- Hidayat, Micky. 2009. Meditasi Rindu. Jakarta: Bukupop.
- Yamani, Hijaz. 2012. Malam Hujan. Banjarmasin: Rumah Dokumentasi Sastra Hijaz Yamani
Senin, 12 Januari 2015
Misteri Kerinduan Micky Hidayat*
Esai Nailiya Nikmah
JKF
Membaca
sajak “Meditasi Rindu” karangan Micky Hidayat seperti menghitung bintang di
langit. Kita mungkin tidak akan memperoleh angka pasti tapi kita pasti akan
memperoleh keindahannya. Inilah kerinduan terindah yang menyimpan sebuah
misteri dari seorang penyair nasional kelahiran Banjarmasin, 4 Mei 1959 yang
namanya pernah tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) karena berhasil
menciptakan rekor membaca puisi selama 5,5 jam nonstop.
Meditasi Rindu
bagi ayahanda
Hijaz Yamani
1
Mengingat kembali dirimu
Keterasingan dan sunyi pun
menyapa
Menulisi air mata, di antara
kata-kata liar buruanku
Mengaliri duka cita tak pernah
terucapkan
Serombongan camar membelah laut
Kumandang takbir melayang-layang
di udara
Menyusuri riwayat dunia yang tak
pernah tamat kubaca
Selalu kubaca, berulang-ulang aku
membacanya
2
Tiba-tiba rinduku padamu memuncak
Menjelma jadi sebuah menara kaca
menjulang
Mengajari udara beterbangan
Dengan kesabaran
Mengusik angin dan cuaca
Cahaya matahari mengirimkan salam
dan doa
Yang tumpah dalam kenikmatan
ruang dan waktu
Dalam keheningan sempurna
3
Bayang-bayang wajahmu
Menjelma jadi rembulan dan
bintang-bintang
Di hamparan sajadah kebijaksanaan
Kekhusyukan tasbih dan tahmid
Dengan kesetiaan samudera
Berkelebatan ayat-ayat
Berkilauan rahasia-rahasia
Tebing-tebing mimpi dunia
Yang diselimuti kabut
Dalam tahajud sunyi
4
Mendaki, mendaki
Mendakilah!
Meditasi, meditasi
Meditasilah!
Hingga ke puncak zikir kembara
Telah engkau reguk kehidupan fana
Dengan linangan air mata
Telah engkau enyahkan
kilau-kemilau
Dan kecemasan dunia
Menuju ketenangan maha sempurna
5
Telah engkau tamatkan membaca
beribu ayat
Hingga menerangi alam semesta
Telah engkau tuntaskan tafakkur
dalam keheningan
Berkhalwat dalam gumaman salawat
Berharap pancaran cahaya Rasul
Muhammad
Mengembara di keluasan padang mahsyar
Telah engkau kumandangkan takbir
Tak habis-habis bertakbir
Di keluasan sajadah keagungan-Nya
Hingga setiap sujud dalam rakaat
demi rakaatmu
Menyentuh lantai surga
6
Sedangkan aku di sini, di puncak
kerinduan ini
Beribu tahun memunguti kesepian
tak terperi
Dalam ketidakberdayaan – di ruang
kefanaanku
Dan menanti, akankah kau bakal
datang lagi
Dengan senyum tulusmu
Kemudian pergi begitu saja, tanpa
pamit dan jejak
Bersama mimpiku yang mawar
Juga rinduku tak terpuaskan
7
Sebagaimana sajak-sajak yang
mengalir
Dari kawah batinku, pada setiap
puncak pendakianku
Selalu saja menulisi kecemasan
dunia
Menangisi luka bulan,
bintang-bintang, dan matahari
Mentasbihkan kebijakan dan
kebajikan
Menzikirkan kebaikan dan
kebenaran
Yang pernah kau ajarkan diam-diam
padaku
Seperti kediaman batu-batu
8
O, bapak, sebagaimana
sajak-sajakmu
Yang kini tak bisa lagi bicara
Tetapi masih saja berulang-ulang
kubaca
Senantiasa aku membacanya
Sebagaimana aku terus belajar
mengeja
Dan mencari kata-kata
Sebagaimana aku terus belajar
membaca
Isyarat dan gerak zaman
Sambil mengumandangkan ayat-ayat
kebenaran
Dengan cahaya zikir semesta
Dan air mata doa
Mengkristal dalam jiwamu yang
mawar
Bersemayam cahaya maha cahaya-Nya
Di
gerbang penafsiran terhadap Meditasi Rindu, sajak ini seakan menawarkan
kegamblangan pada pembaca untuk menikmatinya. Setidaknya itulah yang kita
dapatkan dari frase bagi ayahanda Hijaz
Yamani. Ini semacam rambu-rambu bahwa segala hal yang tertulis di Meditasi Rindu
adalah ungkapan-ungkapan seorang anak terhadap ayahnya. Di rimba puisi,
sebenarnya ini sesuatu yang biasa. Cukup banyak kita temukan sajak atau puisi
yang ditulis seorang anak kepada ayahnya. Persoalannya menjadi tidak sederhana
ketika kita memandang siapa Micky Hidayat dan siapa Hijaz Yamani. Meditasi Rindu
tidak hanya bicara tentang fase bersemedinya Micky Hidayat tapi ia juga menjadi
salah satu jendela kecil bagi kita untuk membaca Micky Hidayat di fase
kepergian ayahnya sekaligus membaca sang maestro Hijaz Yamani serta hubungan
mereka berdua.
Bait
pertama dan kedua adalah tahap awal kegiatan meditasi sekaligus jendela kecil
untuk membaca Micky Hidayat. 1 /Mengingat
kembali dirimu/ Keterasingan dan sunyi pun menyapa/ Menulisi air mata, di
antara kata-kata liar buruanku/ Mengaliri duka cita tak pernah terucapkan/…//
Bait ini memperlihatkan aku lirik tengah mengingat kembali sang ayah. Artinya,
hal tersebut bukan pertama kalinya dia lakukan. Seperti sebelumnya, aku dilanda
rasa asing, sunyi dan sedih di tengah kesibukannya beraktivitas. Duka yang
mendalam karena kepergian sang ayah bahkan membuatnya menangis namun hebatnya
ia tak pernah mampu mengucapkannya. Apakah yang membuat duka cita aku lirik tak
pernah terucapkan?
Lalu,
apa yang aku lirik lakukan untuk mengatasi kedukaannya tersebut? Inilah yang
menjadi fokus utamanya. /…/ menyusuri
riwayat dunia yang tak pernah tamat kubaca/ selalu kubaca, berulang-ulang aku
membacanya//. Aku lirik melakukan pembacaan demi pembacaan. Dalam
keheningannya, dalam kesadarannya akan kebesaran Allah, dengan sengaja ia
‘membaca’, merenungkan, dan memikirkan alam semesta. Inilah makna meditasi
secara harfiah. Secara teori, meditasi tidak sama dengan melamun. Ia merupakan
tindakan sadar karena yang melakukannya tahu dan paham akan apa yang sedang ia
lakukan.
Bait
kedua dan seterusnya merupakan tahap selanjutnya dalam meditasi. /Tiba-tiba rinduku padamu memuncak/ menjelma
jadi sebuah menara kaca menjulang/ …/Cahaya matahari mengirimkan salam dan doa/
Yang tumpah dalam kenikmatan ruang dan waktu/ Dalam keheningan sempurna//.
Puncak meditasi aku lirik adalah ketika kerinduan menjelma menjadi menara kaca
yang menjulang yang disinari matahari. Obyek ‘Menara kaca yang menjulang’
menyiratkan dua hal kontras. Satu sisi, ia merupakan sesuatu yang sangat indah,
agung, kemilau ketika ditimpa matahari tapi di sisi lain ia juga punya
kelemahan, yaitu mudah pecah. Akhirnya, meditasi itu mengantarkan aku pada
bayang-bayang wajah sang ayah. Di bait ketiga hal ini tertulis, 3/ Bayang-bayang wajahmu/ Menjelma jadi
rembulan dan bintang-bintang/…. Hingga bait keempat, kenikmatan aku lirik
dalam meditasinya tumpah ruah.
Diksi-diksi
seperti menara kaca, bayang-bayang, matahari, rembulan, bintang-bintang, berkilauan menjadi kata kunci
dalam meditasi. Sebuah artikel tentang meditasi menyebutkan bahwa salah satu
tahapan meditasi adalah membayangkan sebuah objek, utamanya matahari, kemudian
secara perlahan setelah terus-menerus membayangkan objek tersebut sambil merenungi-Nya,
akan muncul berkas cahaya/bayangan (www.tejasurya.com/artikel-spiritual/blogs-meditasi-yoga/197-dasar-meditasi-umum-teja-surya.html).
Artikel lain menyebutnya dharana atau
tahap ‘memegang’ obyek dengan baik, tahap selanjutnya disebut dhyana atau tahap memasuki meditasi. Apabila
kita telah dapat “memegang” obyek meditasi dengan baik, maka “saluran-saluran
energi” dalam tubuh kita akan mulai terbuka dan berkembang. Inilah tahap
memasuki meditasi. Pada setiap orang akan mengalami pengalaman yang
berbeda-beda, ada juga yang seolah tidak mengalami hal ini tapi langsung ke
tahap selanjutnya, savikalpa samadhi.
Bagi yang mengalami, sensasinya bermacam-macam. Ada yang melihat cahaya biru
kecil, ada yang melihat cahaya dari langit menghujam ke seluruh badan, ada yang
melihat cahaya warna-warni yang indah sekali, ada yang tubuhnya merasa ringan
sampai seperti terbang, ada yang merasa terangkat dari tempat duduknya, ada
yang merasa tubuhnya membesar atau sebaliknya tubuhnya mengecil, dll. Ada juga yang
[kadang-kadang, jarang] menerima seperti wangsit atau suruhan melalui suara
yang masuk. (https://alitarimbawa.wordpress.com/2012/01/07/belajar-sendiri-meditasi-pranayama-dhyana/)
4/Mendaki, mendaki/ Mendakilah!/ Meditasi,
meditasi/ Meditasilah!/ Hingga ke puncak zikir kembara/ Lima baris pertama bait keempat merupakan
bait-bait yang sakral. Bait-bait yang ambigu. Bait-bait ini mengungkapkan
pendakian aku lirik sekaligus pendakian sang ayah dalam pikiran aku lirik.
Agaknya, inilah puncak meditasinya. Jika di bait kedua aku lirik sampai dalam
keheningan sempurana, maka pada saat yang bersamaan (pada bait keempat) ia
menyadari sang ayah dalam pendakiannya menuju ketenangan maha sempurna.
Lima baris terakhir pada
bait keempat sampai dengan bait kelima merupakan jendela kecil untuk mengenali
Hijaz Yamani. …/ Telah engkau reguk
kehidupan fana/ Dengan linangan air mata/ Telah engkau enyahkan kilau-kemilau/
Dan kecemasan dunia/ Menuju ketenangan maha sempurna// 5/Telah engkau tamatkan
membaca beribu ayat/ Hingga menerangi alam semesta/ …/ Hingga setiap sujud dalam
rakaat demi rakaatmu/ Menyentuh lantai surga//. ‘Engkau’ dalam hal ini
adalah ayahanda aku lirik yang telah berpulang. Semasa hidupnya, ia adalah orang
yang sederhana, rendah hati, taat beragama, ahli ibadah, rajin mengkaji banyak
hal.
Yang
teristimewa, ayahanda aku lirik bukan hanya seorang yang soleh tapi juga
menyolehkan orang lain. Dengan kata lain, Hijaz Yamani juga mendakwahkan
nilai-nilai relijius yang ia pelajari dan yakini kepada orang lain. Hal itu
dapat dilihat pada baris Telah engkau
tamatkan membaca beribu ayat/ Hingga menerangi alam semesta/. Sebuah
artikel yang mengupas hal ini pernah dimuat di Tabloid Serambi Ummah, 19
Desember 2001 dengan judul Hijaz Yamani:
Berdakwah Lewat Puisi (terdapat dalam buku Malam Hujan). Baris-baris keistimewaan
Hijaz Yamani dalam Meditasi Rindu
tersebut merupakan bait-bait puncak meditasi Micky Hidayat.
Selanjutnya,
pada bait keenam, ketujuh dan kedelapan, Micky sudah mengakhiri meditasinya,
dengan perginya bayang-bayang sang ayah. Dengan melankolis aku lirik bertanya
/…,akankah kau bakal datang lagi/ Dengan senyum tulusmu/ Kemudian pergi begitu
saja, tanpa pamit dan jejak/ Bersama mimpiku yang mawar/ Juga rinduku tak
terpuaskan//. Mimpi yang mawar dan rindu yang tak terpuaskan ini membuat
aku lirik kembali bermeditasi. /… pada
setiap puncak pendakianku/ menyiratkan meditasi rindu kerap dilakukan oleh
aku lirik.
Sebagaimana sajak-sajak yang mengalir/ Dari
kawah batinku…/…/ Yang pernah kau
ajarkan diam-diam padaku/ Seperti kediaman batu-batu//
Inilah
bait-bait sendu tentang hubungan Micky Hidayat dan Hijaz Yamani. Bukan hubungan
antara seorang ayah dan anak biasa melainkan hubungan antara ayah yang penyair
dan anak yang juga penyair. Ini pulalah bait kerinduan Micky yang paling
misteri dalam sajak Meditasi Rindu. Segala
sajak, segala tulisan, tasbih, zikir, empati, dan nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran lainnya diajarkan secara diam-diam oleh sang ayah kepada anaknya. Diam-diam
yang seperti apa? Sajak ini memberi jawaban yang penuh misteri, tidak tanggung-tanggung,
kediaman tersebut diumpamakan seperti kediaman batu-batu. Mengapa harus
diam-diam? Apakah ini tentang seorang anak yang dilarang mengusik ruang kerja
atau ruang perpustakaan ayahnya? Apakah ini tentang ‘dunia sunyi’ yang didiami
para penyair? Ataukah ini tentang mengajarkan kebaikan yang cukup dilakukan
tapi tak perlu diomongkan? Bagaimana dengan /…, sebagaimana sajak-sajakmu/ Yang kini tak bisa lagi bicara/,
adakah diam-diam di sini bermakna tak banyak cakap antara ayah beranak itu
sehingga sebenarnya sajak-sajak sang ayahlah yang mengajarinya selama ini?
Apapun
itu, yang jelas, pengajaran yang seperti kediaman batu-batu itu telah berhasil
mengantarkan Micky Hidayat menjadi manusia pembelajar sejati. …/Tetapi masih saja berulang-ulang kubaca/ Senantiasa
aku membacanya/ Sebagaimana aku terus belajar mengeja/ Dan mencari kata-kata/
Sebagaimana aku terus belajar membaca/ Isyarat dan gerak zaman/. Dalam masa
pembacaannya yang berulang-ulang terhadap sajak-sajak ayahnya, Micky Hidayat
membuatkan prasasti intelektual untuk sang ayah. Desember 2012, dalam Malam
Mengenang Hijaz Yamani, diluncurkan buku Malam
Hujan yang dieditori oleh Micky Hidayat. Di antara sekian sajak Hijaz
Yamani yang dikumpulkan itu, tentu ada alasan khusus mengapa sajak Malam Hujan yang
dipilih menjadi judul buku – yang kalau disingkat menjadi MH sama dengan
singkatan Micky Hidayat. Adakah ini suatu upaya meditasi lain yang dilakukan
oleh Micky?
Sekali lagi, apapun itu, yang jelas Micky
sudah melakukan hal yang akan membuat ayahnya senang. Di samping itu, inilah yang
dilakukan Micky, yang akan membuat sang ayah berbahagia di kampung barunya, …/Sambil mengumandangkan ayat-ayat kebenaran/ Dengan
cahaya zikir semesta/ Dan air mata doa/…. []
Referensi
* Dimuat di Harian Media Kalimantan, Minggu 11 Januari 2014, Halaman Sastra