Riza dan Rahasia Tukang Obat: Catatan di Tepi Pementasan Monolog Tukang Obat Karya Y.S. Agus Suseno pada Banjarmasin Art Week 2022
Banjarmasin Art Week 2022 yang digelar oleh Dewan Kesenian Banjarmasin menjadi lengkap dengan hadirnya teater monolog Tukang Obat yang diperankan oleh aktor Riza Akhmad Fahlipi. Agenda BAW yang memilih berlokasi di area siring Menara Pandang menjadikan seluruh agendanya benar-benar dilempar ke ruang publik. Siring Menara Pandang merupakan lokasi yang sangat strategis untuk keramaian di Banjarmasin.
Naskah Tukang Obat dapat ditemukan
pada laman pribadi penulisnya, yaitu di datutadungmura.blogspot.com dengan tahun
postingan tertulis 2013. Sementara pada naskah tertera tahun 2007 di bagian
akhir. Ketika didekati dengan netnografi, inilah yang dapat kita himpun. Naskah
ini ternyata pernah dipentaskan juga oleh aktor yang sama dan diposting melalui
kanal youtube.
Akan tetapi, kali ini naskah
Tukang Obat benar-benar dihadirkan di ruang publik yang nyata. Ketika dihadirkan
di ruang publik dengan kesejatian kepublikan yang melingkupinya, maka setting
atau pelataran pementasan ini menjadi ambigu seperti dua sisi koin yang saling
berebut peluang. Kita tidak tahu apakah yang hadir menonton saat itu benar-benar
mengerti bahwa yang ia tonton adalah pementasan sebuah naskah monolog atau
jangan-jangan ada yang menganggap itu tukang obat betulan. Keduanya tentu saja
memiliki daya tafsir yang saling melengkapi. Untunglah pementasan ini masih dilengkapi
pula oleh penatacahayaan yang bagus. Sehingga di sinilah unsur intrinsik dan
ekstrinsik karya sastra memainkan perannya.
Aktor Riza bermain ditemani ular yang
sudah sangat kooperatif. Keberadaan ular sungguhan, Mandau dan sebotol minyak
yang ia sebut sebagai minyak timpakul sudah sangat cukup sebagai sebuah pendukung
naskah Tukang Obat. Ular-ular tersebut seakan menjadi penyampai pesan
bahwa naskah ini memanng ditulis untuk Riza.
Kualitas vokal dan akting Riza
membuat pesan di balik naskah ini berhasil disampaikan kepada penonton.
“Minyak timpakul? Ya! Saya
ulangi: m-i-n-y-a-k t-i-m-p-a-k-u-l. Ya, betul! Anda tak salah
dengar. Menurut saudara ipar dari sepupu keponakan istri saya yang makan
sekolahan, Djebar Hapip, timpakul itu i-k-a-n
b-u-t-a. Entah apa maksudnya, padahal matanya sebesar mata kodok.
Katanya, manimpakul adalah sifat orang yang di mudah berubah, tidak tetap
pendirian. Sedangkan timpakul janjan adalah sifat orang yang jelek perilakunya.
Tapi itu kata Djebar Hapip! (Ketawa ngakak.). Nah, kalau timpakul tinggal di
rawa-rawa, di pinggir sungai atau di kayu apung, ada juga hewan lain yang
perilakunya mirip, tapi tinggal di pepohonan. Apa itu? Angui. Saya ulangi:
a-n-g-u-i.
….
Nah, berbeda dengan timpakul yang
tak ada persamaan namanya dengan binatang sejenis dalam bahasa Indonesia, angui
punya, yaitu b-u-n-g-l-o-n. Lalu, menurut Djebar Hapip tadi, angguk angui
adalah ungkapan untuk orang yang selalu mengiyakan, tapi kerjanya juga yang
jalan.
(Perlahan dan hati-hati
mengeluarkan botol kecil berisi cairan dari dalam bungkusan kain kuning,
meletakkannya di telapak tangan.) Anda lihat? Ini adalah s-a-r-i-p-a-t-i alias i-n-t-i atawa
h-a-k-i-k-a-t jiwa timpakul. Tepat tengah malam Jumat, olesi jari manis Anda
dengan minyak ini. Tanpa menarik napas, tekan jari manis Anda ke langit-langit
mulut. Selesai. Keselamatan dan kemakmuran menanti Anda. Mengapa? Karena Anda
sudah menyatu dengan jiwa timpakul, sudah manimpakul, mambatang timbul! (Ketawa
ngakak.)
…
Manimpakul tidak jelek! Itu
cermin kemampuan bertahan hidup yang luar biasa. Kita tahu, timpakul biasanya
tinggal di tebing-tebing sungai atau di kayu apung yang hanyut. Bila gelombang
datang menyapu tebing atau kayu apung tempat timpakul berada, dengan gesit ia
melompat ke tebing atau ke kayu apung lain untuk menyelamatkan diri. Tebing
atau kayunya tenggelam, dia tidak. Begitu seterusnya. Nah, kenapa cara bertahan
hidup yang luar biasa itu dimaknai
jelek? Apa salah timpakul? (Ketawa ngakak.)
Sebuah kritik sosial sedang ditayangkan
dalam pementasan dan secara tersurat telah pula hadir dalam naskah. Kutipan di
atas, cukup menjelaskan beberapa hal ekstrinsik yang masih relevan dengan masa
sekarang. Di mana jiwa-jiwa menimpakul telah menjadi pemyelamat beberapa oranvg
dalam hidupnya. Sadar maupun tidak sadar, menimpakul telah menjadi peyelamat Sebagian
besar orang.
(bersambung)