Minggu, 20 Desember 2015

AKADEMI GAJAH

03.46 0 Comments
Aku sudah menuju bagian kasir toko buku terbesar di kotaku dengan setumpuk buku dalam tas jinjing dari pramuniaga. Beberapa lngkah lagi aku sampai ke meja kasir. Entah bagaimana mataku tiba-tiba tertumbuk pada sebuah buku dengan judul yang sudah hampir dua tahun ini kucari-cari. Ayahku Bukan Pembohong yang dikarang oleh Tere Liye. Aku sudah tidak peduli betapa pengeluaranku akan melebihi anggaran. Betapa isi dompetku akan berkurang. Aku langsung mencomot dan memasukkannya dalam jinjingan belanja. Buku itu pun bergabung dengan buku lainnya.
Ceritanya begini, belum genap dua tahunan yg lalu itu, aku menginap di rumah adikku di Jogja. Ketika itulah aku menemukan buku ABP. Baru setengahnya aku membaca, kami sudah harus pulang ke Banjarmasin. Sebenarnya bisa saja aku meminjamnya tapi aku tidak enak. hehe. Kupikir toh aku bisa membelinya di toko buku setiba di kotaku. Ternyata aku harus gigit jari. Buku tersebut tidak ada di kotaku. Jadilah aku penasaran level 9 dengan kisahnya.
Akademi Gajah, Lembah Bukhara, Suku Penguasa Angin dan yang lainnya... Semacam kata kunci yang menjadi misteri dalam kekepoanku terhadap novel tsb.
Aku heran juga, mengapa penulis memilih nama GAjah. Mengapa tidak nama lain. Akademi Bintang misalnya? Hehe...
Sejujurnya yang paling ingin aku ketahui adalah apakah ayahnya pembohong atau tidak. itu saja. Ternyata endingnya cukup mengejutkan buatku. Tiba-tiba aku merasa semakin sayang terhadap ayahku. Ayahku juga suka bercerita seperti ayah Dam, meski dongeng ayah selalu terulang yang itu-itu saja.
Lalu akupun terpikir ingin memasukkan anak-anakku ke Akademi Gajah, andai akademi itu ada...

Minggu, 13 Desember 2015

Motivasi Menulis

11.02 1 Comments
Post ku yang ini merupakan materi yang pernah kusampaikan di beberapa seminar kepenulisan. Aslinya dalam bentuk power point. Jadi agak kurang panjang penjelasannya memang. Yang merasa butuh penjelasan lebih jauh, silakan tinggalkan pesan yaa?


Setitik Semangat untuk yang Ingin Menulis
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Bayangkan seandainya nenek moyang kita tidak meninggalkan tulisan di candi, di prasasti, di lontar atau yang lain…. Betapa susahnya kita menelusuri jejak-jejak sejarah kita…
Sejarah Islam mencatat: 70 orang sahabat terbunuh pada perang Yamamah – yg sebagian besarnya adalah para penghafal Quran. Umar Bin Khatab meyakinkan Abu Bakar agar mengumpulkan serakan Alquran yang ditulis pada pelepah kurma, daun dan tulang; dan menuliskan ayat-ayat yang tdk ditulis – yang cuma dihafal.

Tahukah Kamu?

  •   Menulis bisa menimbulkan efek

Dalam dunia kedokteran, menulis bisa menyembuhkan. Sebuah penelitian ilmiah pernah dilakukan tentang hal ini. Mendeskripsikan apa yang dirasakan setiap harinya, membuat seseorang lebih baik daripada yang tidak menuliskannya.


  •   Menulis bisa mengubah dunia

Karl Max ---> Das Capital
Van deventer --> De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). (1899)
  HTR --> Ketika Mas Gagah Pergi
Gola Gong --> Balada Si Roy
Ipho Santoso --> otak kanan
Yohanes Surya -->Mestakung

Untuk Apa Kita Menulis?
Berikut ini beberapa kemungkinan alasan mengapa kita menulis
  •  Untuk menyampaikan sesuatu
  •  Untuk menunjukkan eksistensi diri
  • Untuk mengeluarkan isi hati
  • Untuk menyalurkan hobi
  •  Untuk memelihara kenangan
  • Untuk mencari penghasilan
  • Untuk mengikat ilmu
  • Untuk mencerahkan dunia?
  • ....

Bagi muslim dan muslimah, bisa melihat
  Q.S. Adz Dzariat:56
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi (beribadah) kepada-Ku”

Jika mengacu pada ayat tersebut, maka seorang muslim yg beriman akan menjadikan ibadah sebagai motivasinya menulis, yaitu
Menulis dalam kerangka ibadah

Selain itu,
Menulis adalah cara memotivasi diri sendiri agar tetap mau melangkah dan melangkah (Prof. Yohanes Surya, Ph.D.)
Caranya:
            Tuliskan apa saja yang menjadi cita-citamu dalam buku atau catatan lainnya. Baca dan doakan setiap hari, yakinlah, lalu melangkah lah!

Menulis, seperti halnya naik sepeda, adalah keterampilan. Siapa pun bisa naik sepeda asal mau belajar, mau menerima kemungkinan jatuh-bangun. Jadi, siapapun bisa menulis asal mau belajar dan latihan

Sabtu, 12 Desember 2015

Tentang Ide

20.50 0 Comments


Postingan berikut ini merupakan materi yang pernah saya pakai untuk dibahas dalam kelas menulis online bersama grup FLP Cabang Banjarbaru. Semoga bermanfaat

Dari Ide Segalanya Bermula

Apa yang paling berharga dalam dunia kepengarangan? Yang tanpanya para pengarang bisa semaput? Ya, apalagi kalau bukan “ide”. Ada yang menyebutnya “ilham”, “inspirasi” dan sebagainya. Apapun namanya, si ide adalah hal paling penting dalam proses menghasilkan sebuah karya. Untuk itulah, kali ini kita akan mendiskusikannya.

Tanpa ide, tidak akan ada cerita. Tanpa ide tidak akan ada karya. Lantas, dari mana sih si ide ini berasal? Kadang-kadang ide datang tak terduga. Bisa jadi, dia datang saat kita justru tidak sedang mencarinya. Kadang-kadang ide malah tidak nongol-nongol meski kita sudah mencarinya kemana-mana. Nah, jangan sampai kita hanya duduk bertopang dagu menunggu datangnya ide sambil mendengarkan detak jam dinding. Daripada menunggu datangnya sang ide, lebih baik kita mencari ide, kita menjemput ide dengan mengenali sumber-sumber ide.

Sumber Ide
Ada beberapa sumber ide penulisan (cerpen) menurut Hermawan Aksan (2011).
  1. Pengalaman pribadi
  2. Sepenggal peristiwa dalam kehidupan pribadi seseorang
  3. Obrolan dengan orang lain
  4. Sejarah
  5. Peristiwa-peristiwa yang ditulis di koran
  6. Peristiwa yang terjadi secara kebetulan
  7. Petualangan
  8. Gejolak sosia politik
  9. Mimpi

Menurut Fauzil Adhim (2005) masalah yang paling mudah kita tuis adalah apapun yang kita yakini, kita alami dan kita rasakan.

AS Laksana (2013) mengatakan jika Anda ingin menulis karena mencintai dunia penciptaan, menulislah dalam suasana hati apapun. Ketika sedang jatuh cinta, ketika sedang patah hati, ketika sedang puyeng, ketika sedang bahagia, bahkan ketika sedang tidak punya ide! Nah, lho.

Menulis apa saja ketika sedang tidak punya ide sebenarnya adalah salah satu cara untuk memancing datangnya ide.

Dengan strategi tiga kata.

Mengkoneksikan Satu Ide dengan Ide lainnya

Satu ide akan jadi satu karya. Jadi, jika punya banyak ide atau banyak ide berseliweran di kepala, mestinya akan menghasilkan banyak karya juga. Misal punya 5 ide, berarti bisa jadi 5 karya (cerita). Nah, daripada mengkoneksikan satu ide dengan ide lainnya, lebih baik kita menggali tiap ide lebih dalam. Jadi, yang kita koneksikan adalah hal-hal yang masih berhubungan dalam satu ide. Bagaimana caranya? Mungkin yang dilakukan oleh Gola Gong bisa ditiru.
Ketika menemukan sesuatu yang menarik, Gola Gong (2007) akan melakukan investigasi. Ia akan menggali semua unsur 5W+1H-nya. What, Where, When, Who, Why and How.

Membangun Ide agar Bisa Diaplikasikan/Dijabarkan

Setelah kita menemukan ide, langkah selanjutnya adalah membuat kerangka karangan. Secara sederhana, kerangka karangan (cerita) terdiri atas:
  1. bagaimana kita memulai suatu kisah (prolog)
  2. apa konflik permasalahannya
  3. bagaimana kita mengakhirinya (ending).

Dari tiga hal di atas, barulah kita kembangkan menjadi beberapa unsur lain. Unsur lain tersebut adalah unsur-unsur pembangun karya, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Mulai dari apa temanya, bagaimana alurnya, siapa tokohnya, apa latarnya dan lain-lain.

Kamis, 03 Desember 2015

Pantai Batakan

03.42 0 Comments
Satu lagi tempat wisata populer di Kalimantan Selatan. Namanya Pantai Batakan. Pantai ini terletak di Kabupaten Tanah Laut.
Pantai Batakan berada di Desa Batakan, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Jarak dari pusat kota pelaihari kurang lebih 40 km. Pantai Bantakan berpasir coklat dan banyak ditumbuhi pohon pinus. Di dekat pantai ini juga terdapat sebuah pulau di tengah laut bernama pulau Datu. Di pantai ini kamu bisa bermain  pasir sepuasnya dan mendengarkan irama pohon pinus yang berbisik. Apalagi kalau kamu mendirikan tenda dan menikmati malam berlatar suara debur ombak sepanjang malam. Pagi harinya kamu dapat menikmati indahnya matahari terbit dan segarnya udara khas tepi pantai.
Di sini juga ada beberapa kuda yang dapat kamu tunggangi mengelilingi kawasan pantai. Tenang saja, jika kamu belum mahir, ada joki yang membantumu.

Pulau Kembang

03.28 2 Comments
Kalau mendengar Banjarmasin, apa yang kamu ingat? Pasar Terapung? Seribu Sungai? Kamu tidak salah tapi ada satu lagi yang harus kamu ketahui, yaitu Pulau Kembang.



Pulau Kembang merupakan sebuah pulau yang berada di tengah Sungai Barito. Tempat wisata ini menjadi habitat monyet dan beberapa jenis burung. Menurut warga, di pulau ini terdapat seekor monyet besar yang merupakan raja monyet.
Saat berkunjung ke pulau ini, berhati-hatilah dengan barang bawaan Anda. Monyet-monyet seringkali penasaran dan ingin melihat apa saja yang Anda bawa. Tidak jarang monyet-monyet itu mengambil tas, kamera, sepatu anak Anda, topi, atau benda lainnya. Sebaiknya bawa makanan ringan atau buah-buahan untuk mengalihkan perhatian mereka dari tas Anda. Akan tetapi tidak perlu khawatir. Di sana ada juga beberapa orang warga sekitar yang akan membantu kita mengatasi monyet-monyet tersebut. Semacam pawang gitu...
Naah, yang unik di pulau ini terdapat sebuah kuil dan altar dengan arca berbentuk monyet putih atau Hanoman. Altar ini, oleh warga Tionghoa, digunakan untuk meletakkan sesaji pada saat-saat tertentu.
Tempat wisata ini berjarak sekitar 1,5 km dari pusat kota Banjarmasin. Untuk dapat melihat aktifitas monyet-monyet ini dari dekat, Anda harus membayar sebesar 5.000 Rupiah untuk wisatawan domestik dan 25.000 Rupiah untuk wisatawan mancanegara. Sebaiknya jadikan kunjungan ke tempat ini serangkai dengan kunjungan ke Pasar Terapung. Pasti lebih seru!


Kain Sasirangan

03.12 0 Comments
Kali ini aku memposting sebuah tulisan tentang kain khas Kalimantan Selatan. Berbeda dengan artikel-artikelku yang lain, postingan yang satu ini aku kutip/ aku ambil dari rumah maya orang lain. Berikut kutipannya:



Sejarah
Kain Sasirangan umumnya digunakan sebagai kain adat yang biasa digunakan pada acara-acara adat suku Banjar. Kata sasirangan berasal dari kata menyirang yang berarti menjelujur, karena dikerjakan dengan cara menjelujur kemudian diikat dengan tali raffia dan selanjutnya dicelup, hingga kini sasirangan masih dibuat secara manual.
Menurut sejarahnya, Sasirangan merupakan kain sakral warisan abad XII saat Lambung Mangkurat menjadi patih Negara Dipa. Awalnya sasirangan dikenal sebagai kain untuk “batatamba” atau
penyembuhan orang sakit yang harus dipesan khusus terlebih dahulu (pamintaan) sehingga pembutan kain sasirangan seringkali mengikuti kehendak pemesannya. Oleh karena itu, Urang Banjar seringkali menyebut sasirangan kain pamintaan yang artinya permintaan. Selain untuk kesembuhan orang yang tertimpa penyakit, kain ini juga merupakan kain sakral, yang biasa dipakai pada upacara-upacara adat.
Pada zaman dahulu kala kain sasirangan diberi warna sesuai dengan tujuan pembuatannya, yakni sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan suatu jenis penyakit tertentu yang diderita oleh seseorang.
Arti Warna Sasisangan :
1. Kain sasirangan warna kuning merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit kuning (bahasa Banjar kana wisa)
2. Kain sasirangan warna merah merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit kepala, dan sulit tidur (imsonia)
3. Kain sasirangan warna hijau merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit lumpuh (stroke)
4. Kain sasirangan warna hitam merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit demam dan kulit gatal-gatal
5. Kain sasirangan warna ungu merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit perut (diare, disentri, dan kolera)
6. Kain sasirangan warna coklat merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit tekanan jiwa (stress)

Dahulu kala kain sasirangan diberi warna dengan zat pewarna yang dibuat dari bahan-bahan yang bersifat alami, yakni dibuat dari biji, buah, daun, kulit, atau umbi tanaman yang tumbuh liar di hutan atau sengaja ditanam di sekitar tempat tinggal para pembuat kain sasirangan itu sendiri.
Ada 6 warna utama kain sasirangan yang dibuat dari zat pewarna alami dimaksud, yakni :
1. Kuning, bahan pembuatnya adalah kunyit atau temulawak
2. Merah, bahan pembuatnya adalah gambir, buah mengkudu, lombok merah, atau kesumba (sonokeling, pen)
3. Hijau, bahan pembuatnya adalah daun pudak atau jahe
4. Hitam, bahan pembuatnya adalah kabuau atau uar
5. Ungu, bahan pembuatnya adalah biji buah gandaria (bahasa Banjar Ramania, pen)
6. Coklat, bahan pembuatnya adalah uar atau kulit buah rambutan

Supaya warnanya menjadi lebih tua, lebih muda, dan supaya tahan lama (tidak mudah pudar), bahan pewarna di atas kemudian dicampur dengan rempah-rempah lain seperti garam, jintan, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis, kapur, tawas, cuka, atau terusi.

Motif-motif kain sasirangan banyak sekali jumlahnya. Motif yang umum diketahui yaitu beberapa motif berikut ini :
1.    Iris Pudak
2.    Kambang Raja
3.    Bayam Raja
4.    Kulit Kurikit
5.    Ombak Sinapur Karang
6.    Bintang Bahambur
7.    Sari Gading
8.    Kulit Kayu
9.    Naga Balimbur
10.    Jajumputan
11.    Turun Dayang
12.    Kambang Tampuk Manggis
13.    Daun Jaruju
14.    Kangkung Kaombakan
15.    Sisik Tanggiling
16.    Kambang Tanjung

Kain sasirangan adalah sejenis kain yang diberi gambar dengan corak dan warna tertentu yang sudah dipolakan secara tradisional menurut citarasa budaya yang khas etnis Banjar di Kalsel.

Secara etimologis istilah Sasirangan bukanlah kata benda sebagaimana yang dikesankan oleh pengertian di atas, tapi adalah kata kerja. "Sa" artinya satu dan "sirang" artinya jelujur. Ini berarti "sasirangan" artinya dibuat menjadi satu jelujur.Menurut sejarah sekitar abad XII sampai abad ke XIV pada masa kerajaan Dipa, di Kalimantan Selatan telah dikenal masyarakat sejenis batik sandang yang disebut Kain Calapan yang kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan.

Menurut cerita rakyat atau sahibul hikayat, kain sasirangan yang pertama dibuat yaitu tatkala Patih Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di atas rakit balarut banyu. Menjelang akhir tapanya rakit Patih tiba di daerah Rantau kota Bagantung. Dilihatnya seonggok buih dan dari dalam buih terdengan suara seorang wanita, wanita itu adalah Putri Junjung Buih yang kelak menjadi Raja di Banua ini. Tetapi ia baru muncul ke permukaan kalau syarat-syarat yang dimintanya dipenuhi, yaitu sebuah istana Batung yang diselesaikan dalam sehari dan kain dapat selesai sehari yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40 orang putri dengan motif wadi / padiwaringin. Itulah kain calapan / sasirangan yang pertama kali dibuat.

Kain sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak warna-warm berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas (vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah disepakati secara social budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain (kata benda).

Pada mulanya kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwana kuning. Ketika Empu Jatmika berkuasa sebagai raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1355-1362. Kain langgundi merupakan kain yang digunakan secara luas sebagai bahan untuk membuat busana harian oleh segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa.

Hikayat Banjar memaparkan secara tersirat bahwa di kawasan yang sekarang ini dikenal sebagai pusat kota Amuntai banyak berdiam para pengrajin kain langgundi. Keterampilan membuat kain langgundi ketika itu tidak hanya dikuasai oleh para wanita yang sudah tua saja, tetapi juga dikuasai oleh para wanita yang masih gadis belia. Paparan ini menyiratkan bahwa kain langgundi ketika itu memiliki pangsa pasar yang besar. Jika tidak, maka sudah barang tentu tidak bakal banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuninya sebagai pekerjaan utama. Bukti bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para pembuat kain langgundi adalah paparan tentang keberhasilan Lambung Mangkurat memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai syarat kesediaannya untuk dijadikan raja putri di Kerajaan Negara Dipa.

Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih ketika itu meminta Lambung Mangkurat membuatkan sebuah mahligai megah yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang pria yang masih bujangan. Selain itu, Putri Junjung Buih juga meminta Lambung Mangkurat membuatkan sehelai kain langgundi yang selesai ditenun dan dihiasi dalam tempo satu hari oleh 40 orang wanita yang masih perawan.

Semua permintaan Putri Junjung Buih itu dapat dipenuhi dengan mudah oleh Lambung Mangkurat. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para tukang pria yang masih bujang, dan para penenun wanita yang masih perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih. Pada hari yang telah disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan tempat persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong. Ketika itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain adalah kain langgundi warna kuning basil tenuman 40 orang penenun wanita yang masih perawan (Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar)
Merujuk kepada paparan yang ada di dalam Hikayat Banjar (selesai ditulis tahun 1635), kain langgundi sebagai cikal bakal kain sasirangan sudah dikenal orang sejak tahun 1365 M. Namun, sudah barang tentu kain langgundi yang dibuat pada kurun-kurun waktu dimaksud sudah tidak mungkin ditemukan lagi artefaknya.

Menurut laporan Wulan (2006), kain sasirangan yang paling tua berusia sekitar 300 tahun. Kain sasirangan ini dimiliki oleh Ibu Ida Fitriah Kusuma, salah seorang warga kota Banjarmasin (Tulah Mata Picak Tangan Tengkong, SKH Mata Banua Banjarmasin, Senin, 13 November 2006, hal 1 bersambung ke hal 13).

Konon, sejak Putri Junjung Buih mengenakan kain langgundi, maka sejak itu pula, warga negara Kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi mengenakan kain langgundi. Mereka khawatir akan kualat karena terkena tulah Putri Junjung Buih yang sejak itu menjadi raja putri junjungan mereka. Akibatnya, para pengrajin kain langgundi tidak lagi membuatnya, karena pangsa pasarnya memang sudah tidak ada lagi.

Meskipun demikian, kain langgundi ternyata tidaklah punah sama sekali. Beberapa orang warga negara Kerajaan Negara Dipa masih tetap membuatnya. Kali ini kain langgundi dibuat bukan untuk dijadikan sebagai bahan pembuat busana harian, tetapi sebagai bahan pembuat busana khusus bagi mereka yang mengidap penyakit pingitan. Penyakit pingitan adalah penyakit yang diyakini sebagai penyakit yang berasal dari ulah para arwah leluhur yang linggal di alam roh (alam barzah). Menurut keyakinan yang sudah berurat berakar di kalangan etnis Banjar di Kalsel, konon para arwah leluhur itu secara berkala akan menuntut anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya untuk mengenakan kain langgundi. Begitulah, setiap satu, tiga, lima, dan tujuh tahun anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya akan jatuh sakit akibat terkena penyakit pingitan. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkannya dari penyakit pingitan itu kecuati mengenakan kain langgundi. Kain langgundi yang di pergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif itu dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan keperluan, seperti sarung (tapih bahalai), bebat (babat), selendang (kakamban), dan ikat kepala (laung). Corak dan warna gambar kain langgundi sangatlah beragam (tidak melulu bercorak getas dan berwarna dasar kuning saja), karena setiap jenis penyakit pingitan menuntut adanya kain langgundi dengan corak dan warna gambar tertentu yang saling berbeda-beda. Sejak dipergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif inilah kain langgundi lebih dikenal sebagai kain sasirangan. Nama ini berkaitan dengan cara pembuatan, yakni disirang (kain yang dijelujur dengan cara dijahit kemudian dicelup ke dalam zat pewarna).

Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan sebagai kain untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa, bahkan mungkin sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan oleh Empu Jatmika pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika itu (sebelum tahun 1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara.

Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan sebagai kain untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa, bahkan mungkin sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan oleh Empu Jatmika pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika itu (sebelum tahun 1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara.

Setelah Putri Junjung Buih, kemudian Pangeran Surianata, dan anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, kain langgundi hanya boleh dikenakan sebagai busana kebesaran para bangsawan kerajaaan. Rakyat jelata tidak berani mengenakannya sebagai busana harian karena, takut terkena tulah. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika, itu (sesudah tahun 1335) merujuk kepada fungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani bagi para bangsawan kerajaan saja.

Fauzi (1993), memperkirakan sejak abad ke 14-15 kain sasirangan berubah menjadi kain yang dikeramatkan dan kain Pamintaan, yakni kain yang hanya dibuat berdasarkan permintaan anak, cucu, buyut, intah piat para bangsawan pengidap penyakit pingitan. Konon, diyakini tidak ada obat lain yang mujarab bagi para pengidap penyakit pingitan ini selain dari pada mengenakan kain sasirangan di kepala (ikat kepala, selendang), di perut (bebat), atau bahkan menjadikannya sebagai selimut fidur (sarong).

Menurut penuturan nenek Jumantan (72 tahun), seorang juru sembuh terkenal di kota Banjarmasin, para pasien penyakit pingitan yang datang berobat kepadanya tidak lain adalah orang-orang yang masih mempunyai hubungan pertalian darah dengan nenek moyang mereka yang dulu tinggal di Amuntai, Alabio, Kalua, dan Margasari (Wulan, 2006).

Patut diduga, nenek moyang para pasien nenek Jumantan tersebut tidak lain adalah anak, cucu, buyut, intah, piat dari 40 orang wanita perawan yang dulu berjasa membantu Lambung Mangkurat membuatkan kain langgundi yang diminta oleh Putri Junjung Buih. Ini berarti fungsi kain sasirangan sudah bergeser.

Perbedaan asal-usul geneologis nenek moyang antara anak, cucu, keturunan bangsawan berdarah biru menuntut perlakuan yang berbeda dalam hal proses penyembuhan. Proses penyembuhan penyakit yang dideritanya, keturunan rakyat jelata dapat dilakukan dengan cara-cara yang sederhana. Sekadar meminum air putih yang sudah diberi mantra-mantra atau doa-doa oleh para juru sembuhnya.

Sementara proses penyembuhan penyakit yang diderita oleh keturunan bangsawan sudah mengalami perumitan yang sedemikian rupa. Proses penyembuhan penyakit yang mereka derita harus dilengkapi dengan terapi mengenakan kain sasirangan yang harganya relatif mahal. Paparan ini merupakan petunjuk bahwa kain sasirangan pada zaman dahulu kala pernah menjadi simbol status sosial di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Kasus semacam ini masih terjadi hingga sekarang ini.

Rakyat jelata yang hidupnya miskin hanya diberi fasilitas pengobatan setara dengan dana yang tersedia dalam program asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Sementara itu para pejabat bahkan para mantan pejabat diberi fasilitas pengobatan yang terbilang istimewa dan dirawat di rumah sakit berkelas dengan dana ditanggung negara.

Menurut keterangan nenek Antung Kacit, siapa saja yang nenek moyangnya bukan keturunan bangsawan atau bukan keturunan pembuat kain sasirangan, akan kualat karena terkena tulah yang sangat menakutkan, yakni ninta picak tangan tengkong (bahasa Banjar, artinya mata buta dan tangan mati rasa karena terkena stroke).


Kalian juga dapat menemukan bahan serupa dalam buku Sasirangan, Kain Khas dari Tanah Banjar karangan Tajuddin Noor Ganie, M.Pd yang diterbitkan oleh Tuas Media.