Ketika Tradisi Menjadi Amanah: Catatan Kecil Pementasan Pengumbar Tersipu III
Apakah yang paling berharga dalam hidup ini selain mempercayai hal-hal yang sudah semestinya kita percayai? Bahkan di saat seluruh orang tidak lagi berkenan mempercayainya, bukan alasan untuk kita meraguinya. Penggambaran semacam itulah salah satu dari banyak hal yang dapat ditangkap dari pementasan Pengumbar Tersipu III alias Pementasan Pengurus Baru Teater Wasi Putih Politeknik Negeri Banjarmasin Jilid III dengan judul Jukung Tanpa Pewaris karya M. Irwan Aprialdy, Sabtu 29 Sepetember 2018 di Halaman Gedung E Kampus Poliban. Sebuah pementasan yang cukup berimbang antara kekuatan naskah dengan penggarapan naskahnya yang mengangkat tradisi sebagai tema utama.
Kesetaraan karakter seluruh pemain membuat seluruh tokoh terlihat penting. Kalaupun terpaksa harus dipilih, maka karakter Sari menjadi yang paling menonjol dalam hal ini. Sari menjadi satu-satunya kunci penghubung kemajuan zaman dan teknologi dengan kepercayaan terhadap tradisi. Ajaibnya, Sari bukan bubuhan asli Uma Bainah. Sari bukan anak kandung Uma Bainah. Jelas Sari tidak akan pernah bisa mewarisi jukung Uma Bainah. Pertanyaannya, mengapa Sari yang bukan anak kandung Uma Bainah begitu peduli terhadap Uma Bainah dan jukungnya? Begitulah hidup memberikan motif lain dalam riwayatnya. Di tengah pentingnya memelihara ikatan kekeluargaan (pertalian darah), melakukan hal-hal baik kepada orang lain seringkali menjadi sesuatu yang penting untuk kehidupan.
Usai pementasan, 01.00 30 Sept 2018: di sela riset, angket, deadline paper, prosiding, BKD, ultah fbb, international conference, semnastik, dll.