Oleh Nailiya Nikmah
Pendahuluan
Dalam bukunya Pengarang
Tidak Mati, Mahayana (2012:122) menulis satu sub bab khusus tentang
komunitas sebagai gerakan ideologi estetika. Ia menyebut sebuah komunitas
terbentuk seringkali dipicu oleh adanya kesadaran yang sama dalam memandang
problem yang melatarbelakanginya dan harapan yang melatardepaninya.
Antologi puisi dan cerpen Sihir Baru Sebuah Kota (SBSK) diterbitkan oleh G Pustaka (Februari
2021) berjumlah 110 halaman ditulis oleh sekumpulan penulis muda Kalimantan
Selatan dengan sebutan Sekte Penulis Muda
Kalimantan Selatan (demikian tertulis di sampul buku). Terlepas dari siapa
yang memberi nama dan hal apa yang melatarinya, makna yang bisa diambil yaitu, pertama, para penulisnya merupakan
sekelompok penulis muda yang berasal dari Kalsel. Kedua, penggunaan kata sekte
menjadi semacam clue awal bagi
pembaca sebelum menyelami satu-persatu isi buku ini, seperti membaca rasi
bintang di langit malam.
Menurut KBBI, “Sekte
berarti kelompok orang yang mempunyai kepercayaan atau pandangan agama yang
sama, yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para
penganut agama tersebut; mazhab. Ini menjadi semacam ajang pencarian jati diri,
baik para penulisnya sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok
tersebut sekaligus upaya pengklaiman mereka (para penulis tersebut) sebagai kelompok
penulis yang berbeda.
Siapa atau kelompok manakah yang hendak mereka bedakan
dari kelompok mereka? Apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan? Arah mana yang
hendak dituju? Apa yang hendak dihasilkan oleh ‘sekte’ tersebut? Ramuan macam
apa yang mereka janjikan? Pertanyan-pertanyaan ini kita bawa saja sambil menuju
sihir baru di sebuah kota.
Kerangka
Teori
Hasil penelitian, kajian dan penelusuran data yang
dilakukan oleh Sulaiman dan Priyono Tri Febrianto (2017) dalam artikel
ilmiahnya pada Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik mengemukakan bahwa konsep
periodesasi sejarah sastra Indonesia berdasarkan perubahan warna sastra
Indonesia dipengaruhi oleh sosial, budaya
dan politik. Periodesasi tersebut, yaitu Angkatan 20 (Angkatan Balai
Pustaka), Angkatan 33 (Pujangga Baru), Angkatan 45 (Perjuangan), Angkatan 66
(Pergolakan), Angkatan 80 (Romantisme) dan Angkatan 98 (Reformasi).
Mahayana (2012) menyebutkan bahwa tradisi kepengarangan
di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Dilihat dari perspektif
kepengarangan sebagai sebuah profesi, cikal-bakalnya dimulai sejak zaman
raja-raja. Pada masa silam, para pujangga dan pengarang memiliki misi
memperkokoh karisma raja di hadapan rakyatnya agar raja dikagumi dan
dibanggakan oleh rakyat sehingga dapat melegitimasi kesaktian raja yang harus
dipercaya oleh rakyat. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang memandang raja
sebagai keturunan dewa. Dalam kehidupan modern, kedudukan dan peran pengarang
(sastrawan) relatif lebih bebas dan mandiri meski sejarah kita mencatat bahwa
pernah ada seniman dan sastrawan yang diawasi, dipaksa dan diperalat untuk
kepentingan ideologi tertentu. Kemudian kesadaran sastrawan mengenai licentia poetica sebagai hak istimewa
yang fundamental menyebabkan sastrawan tidak mau terikat pada pihak manapun.
Mereka berpihak pada kemanusiaan. Yang diperjuangkan adalah peningkatan moral,
keluhuran budi, dan peri kemanusiaan.
Menafsir
Ramuan Sihir SBSK
SBSK mengandung dua jenis ramuan, yaitu puisi dan cerpen. Sungguh sebuah kerja yang berat untuk
membaca dan menafsir dua ramuan sekaligus dalam satu kesempatan. Untuk itu,
saya akan membaginya menjadi dua bagian dengan pendekatan yang berbeda sebelum
memandang keduanya sebagai sebuah kesatuan dalam SBSK.
1. Puisi-puisi
dalam SBSK
Terdapat 25 nama
penulis puisi (yang didominasi oleh laki-laki) dalam SBSK dengan jumlah puisi
yang tidak seragam pada setiap penulis. Beberapa penulis sudah mempunyai ‘nama’
dalam artian sudah jelas posisinya dalam ranah kepenulisan (:kesusastraan) di
Kalimantan Selatan. Penulis-penulis yang karya-karyanya sudah memiliki bentuk
dan karakter. Untuk itu saya pikir saya tidak perlu lagi menghambur-hamburkan
puja-puji atas keterampilan dan kepiawaian mereka dalam membuat ramuan puisi.
Tengoklah ketika ia
bicara soal rindu misalnya, Ikhlas El Qasr sebagai wakil pada halaman 25
menulis di ‘Pukul Sepuluh Malam.’
...
lampu-lampu redup
barak-barak pekerja telah mencapai lelapnya
dan beberapa kendaraan telah terparkir
tapi kepalaku masih begitu beku
begitu rindu
Jika dibaca
bait-bait sebelumnya, akan kita temukan suasana kesepian yang dibangun dengan
sangat hati-hati oleh penyair. Suasana sepi yang dibangun dalam kewajaran
kehidupan sebuah kota. Masih ada sedikit riuh di sekitar, akan tetapi sepi
secara bertahap sudah mengerumuni aku lirik. Situasi yang sempurna untuk sebuah
kerinduan.
Suasana dan situasi
semacam itu, beberapa juga diramu oleh penyair lainnya. Abdillah Mubarak Nurin
pada halaman 8 menulis ... Memandangmu
ialah mendengarkan bunyi hujan/ Di sebuah pagi di hari libur/ .../Memandangmu ialah caraku menepi/ Dari segala
keluh kesah dan kebisingan/ .... atau di puisi lainnya tentang kota dia
menulis .../Langgar-langgar yang sepi /Juga
pepohonan yang rapuh/ .../ Daun-daun
jatuh tanpa denting/ Sungai-sungai mengering/ ....Atau tengoklah ‘Grafir
Mata Luka’ yang ditulis oleh M. Irwan Aprialdy, Kau menyortir ingatan.../mata luka, pagi bertahan amsal angan/ tertahan
di mimpi ganjil kepergian:/...cerita-cerita klandestin/ di bawah hujan?/.
Pada pembacaan
selanjutnya, tulisan ini menggunakan pendekatan kritik feminis sederhana. Dalam
ilmu sastra, feminisme berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu
studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita. Arti sederhana yang
dikandung adalah pengeritik memandang sastra dengan kesadaran khusus bahwa ada
jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan (Syuropati
dan Agustina Soebachman, 2012).
‘Kepada Cinta’
halaman 11, aku lirik menyampaikan seluruh ihwal kepada seseorang atau sesuatu
yang ia sebut Amizah. Menghadap rahim
permaimu menjadi sebuah petunjuk bahwa aku lirik sedang bercakap dengan
perempuan atau sesuatu yang direlasikan sebagai perempuan. Bawalah, sudahilah, marilah, izinkan, jangan kita izinkan, menjadi
simbol-simbol perintah, permintaan dan larangan bagi Amizah yang memiliki rahim
(:perempuan) dalam puisi ini. Di bawah lindungan judul ‘Kepada Cinta’, puisi
ini pun memberikan gambaran, bahwa cinta (kepada perempuan) itu isinya larangan
dan perintah.
F. Chopin:Nocturne
yang ditulis oleh Achmad Zulkifli Altinus halaman 12, ...merambah di celah-celah kesunyian, menyentuh cadar keingintahuanku.
Ahmad Rasyid dalam
‘Menunggu Tua” halaman 14 secara utuh dan eksplisit menuliskan curahan hati aku
lirik kepada seorang perempuan. Keinginan dan harapan-harapan yang bersifat
ragawi terpampang di sini. Aku ingin pulang dan menemukan kau mengeluh
di meja makan beserta anak-anak/
.../Aku ingin pulang dan menemukan/
selarik sambutan mesramu di atas ranjang/...aku ingin mencintaimu seperti sajak
sapardi; sederhana namun kuat/. Kutipan-kutipan ini menggambarkan bahwa
perempuan diharapkan ada di rumah ketika aku lirik pulang, fasih mengurus anak,
terampil melayani dirinya. Selanjutnya di puisi ‘Kota” hal tersebut dipertegas
kembali, setelah seharian bergurau dengan
kesibukan/ laki-laki itu beranjak menuju sarangnya/ dengan kepala mendidih/
Disambut seorang wanita yang sedang bersandiwara/ di atas ranjang kayu mereka
kembali berbulan madu/. Lalu pada masanya, pada akhirnya perempuan pun
menjadi tidak berdaya dalam ‘Pembantu Gila’ .
‘Riwayat Nenek Tua
di Perahu Terapung’ yang ditulis Arif Rahman Heriansyah pada halaman 20,
kembali mengingatkan kita pada kekuatan sekaligus kelemahan perempuan banua. Senada
dengan Arif, M. Rahim Arza pada halaman 29 menuliskan ‘Hikayat Muara Sungai Lok
Baintan’. Pada pukul enam subuh/menatap
sunrise pada kecantikan sungai Lok Baintan/ Acil berjamaah mengayuh harapannya
di perbatasan waktu/ .../ yang terbingkai dalam senyum Hajjah Faridah,
tenggelam di masa silam/.
Perempuan-perempuan
banua begitu rajin, dini hari berkabut, merekalah yang memenuhi permukaan
sungai. Seperti dua mata pisau. Satu sisi kita bisa berbangga hati, lihatlah
perempuan kami mandiri dan gagah berani. Akan tetapi di sisi lain, tidakkah
kita perlu juga bertanya kemana para lelaki. Maka, betapa sempurna baris
terakhir puisi Arif yang berupa tanya tanpa tanda tanya, yaitu masih adakah pemuda, yang bisa menggenggam
Banua.
‘Sihir Sebuah Kota’
karya Muhammad Daffa menyapa Sinta dalam dua baitnya. Dalam heningmu, Sinta, ratusan malam merombak jalan pulang/dari seluruh
kisah yang dibuang/, sementara Muhammad Zaini, merayu Ratih dalam dua
lariknya. Kau puisi yang selalu kucoba
mengerti/ kau sajak yang selalu ingin kunikmati/. Nama-nama perempuan
sering menjadi objek dalam puisi. Jika ingin ditelaah lebih jauh, barangkali
kita akan temukan lebih banyak nama perempuan yang disebut dalam puisi daripada
nama laki-laki. Adakah ini menjadi sebuah tanda bahwa perempuan adalah objek
yang masih dan akan terus berpotensi untuk dieksploitasi. Perempuan adalah
sesuatu yang selalu ingin dinikmati, demikian tulis Zaini. Barangkali pula ini
sebuah petunjuk bahwa penyair laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Jikapun
hipotesis ini keliru, barangkali perempuan enggan menulis nama laki-laki yang
dipujanya karena ia merasa malu.
Rahmat Akbar dalam ‘Nelayan
Tua’halaman 38 seorang lelaki berwajah
legam menggenggam/ .../lalu tersemai di sebuah saku ibu/ berisi mimpi yang akan
lebih maju. Dalam puisi ini bahkan lelaki sekuat apapun memerlukan sosok
perempuan (:ibu) dalam perjuangannya. Meski sekadar dioerankan sebagai pemanjat
doa dan harapan.
‘Hikayat Cinta
Nelayan Piatu’ karya Rezqie M.A. Atmanegara, halaman 39. Puisi ini meng’alam’kan
perempuan. Simaklah larik nelayan lahir
dari rahim pesisir/.../kukalungkan selaksa permata buih di lehermu. Kita perlu
menelisik lebih dalam apa yang dimaksud nelayan
piatu oleh penyair. Piatu artinya seseorang yang sudah tidak beribu. Di bait
kedua disebutkan nelayan lahir dari rahim pesisir. Ketika nelayan menjadi
piatu, artinya dia telah kehilangan pesisir padahal kita tahu nelayanlah yang
meninggalkan pesisir. Ini menjadi sesuatu yang agak bertentangan dengan logika.
Menariknya lagi, penggambaran piatu yang bisa kita relasikan dengan kehilangan
sosok ibu dalam puisi ini membuat aku lirik mencari pengganti sosok lain. Akulah sang nelayan piatu/ dan kaulah sampan
cintaku/. Bait ini kiranya tidak bicara cinta terhadap perempuan yang
berperan sebagai ibu lagi tetapi cinta terhadap perempuan lain sebagaimana
relasi laki-laki dan perempuan lazimnya. Konon laki-laki akan mencari pujaan
hati yang sekarakter dengan sosok ibunya. Barangkali inilah salah satu sihir
dalam ramuan SBSK.
Rizani ‘Mantap’
halaman 41 menulis dengan sangat lugas, jujur, jika kita tidak ingin
menyebutnya vulgar. Jika pada halaman-halaman sebelumnya pembicaraan tentang perempuan
adalah sanjungan, puja-puji dan harapan-harapan lelaki (sulit untuk tidak membacanya
sebagai bukan harapan laki-laki) dalam balutan masa lampau dan konvensional,
Rizani dalam ‘Mantap’ menuturkan kelamahannya ketika menghadapi (:melihat) perempuan
di tik tok. Perempuan yang tidak ada secara fisik atau nyata di dekatnya namun
mampu membua nafsu aku lirik tak terbendung.
Rizky Burmin
‘Selepas Subuh’ halaman 43 menulis selepas
subuh/ kau menggodaku/ dengan linger* warna ungu/ bers*t*buh katamu adalah obat
paling ampuh melupakan hutang dan sewa kontrakan.dst. Puisi ini mencoba
meminjam suara perempuan untuk mengemukakan suara laki-laki. Aku lirik tidak
berani mengatakan bahwa dialah yang berpendapat demikian. Hubungan antara dua
lawan jenis yang bisa melupakan hal-hal lain hanya ada dalam pikiran laki-laki.
Tidak bagi perempuan.
2. Cerpen-cerpen
dalam SBSK
Terdapat 6
cerpen dalam SBSK yang semuanya ditulis oleh laki-laki. Berbeda dengan puisi,
meski sama-sama dikerjakan dalam kesendirian, cerpen memerlukan energi yang
relatif lebih banyak untuk menciptanya menjadi sebuah cerpen yang bagus. Sekali
lagi, sebuah cerpen yang bagus. Bukan asal cerpen, bukan asal jadi. Ada hal
penting yang memang benar-benar penting untuk bisa dikisahkan, dituliskan dan
diselesaikan.
Ketika sebuah
orkestra memainkan simfoni, ada upaya bersama banyak pihak di sana. Para musisi
memainkan alat musik; dirigen membantu agar semua terdengar harmonis;
sebelumnya komponis harus menuliskan lembar musiknya. Begitu pula dengan
sandiwara, teater, film. Ada lebih banyak pihak lagi yang memainkan perannya.
Ada penulis skenario, aktor, penata kostum, penata latar, pencahayaan dan
sebagainya. Berbeda dengan hal tersebut, menulis fiksi adalah seni yang sepi. Card
(2005) memaparkan bahwa bagi penulis fiksi, tidak ada sekelompok aktor atau
musisi yang akan mengikuti perintahnya. Penulis fiksi adalah penggubah
sekaligus pemain; pencerita (pendongeng) sekaligus penulis.
Seorang
penulis fiksi harus mampu memadukan peran pendongeng sekaligus penulis dan
melakukan keduanya dengan baik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
melalui penokohan yang efektif. Dalam bukunya, Card membaginya menjadi tiga
bagian, yaitu penciptaan, pengembangan dan
penampilan. Di antara tiga bagian
tersebut, bagian penciptaan merupakan hal pertama yang mestinya dipenuhi.
Seperti apakah tokoh fiksi yang baik? “Jika dia adalah tokoh penting, dia harus
cukup menarik dan dapat dipercaya. Jika dia tokoh sampingan, dia harus
memajukan alur cerita atau membelokkannya atau meredakan ketegangan atau
menyampaikan informasi-lalu dia harus menyingkir.”
Bicara tentang
tokoh dan penokohan memang identik dengan pembahasan unsur intrinsik. Kadang ada
kritikus yang berpendapat jangan lagi membicarakan unsur intrinsik. Akan tetapi
untuk menguji kualitas sebuah karya sastra, unsur intrinsik merupakan salah satu hal yang harusnya jadi ukuran atau
indikator. Tokohlah yang membawa cerita mengalir dan berjalan kemana-mana. Pada
tokohlah disematkan karakternya. Tokohlah yang menempati ruang dan waktu yang
menjadi latar sebuah cerita. Tokohlah yang mengemban tema dan amanat-amanat.
Dilihat dari
unsur-unsur intrinsiknya, keenam cerpen ini memiliki seluruh unsur yang harus
ada dalam sebuah cerpen. Artinya, untuk bisa disebut sebagai sebuah cerpen,
keenamnya sudah memenuhi kriteria tersebut. Tokoh-tokoh yang ada dalam keenam
cerpen ini memenuhi apa yang ditulis oleh Card sebagai tokoh fiksi yang baik. Selanjutnya,
mari kita gunakan pendekatan psikologi sastra untuk memahami ramuan sihir dalam
6 cerpen ini.
Keenam cerpen
ini membicarakan perihal jiwa-jiwa yang gelisah, yang resah terhadap lingkungan
sekitar sekaligus terhadap dirinya sendiri. Abdul Karim menulis “Bukankah hidup
ini diciptakan? Dan kita yang menjalaninya, juga tanpa alasan yang jelas?...
Tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini” setelah pertanyaan tentang Uttar
dan orang berpakaian besi tidak bisa terjawab.
Muhammad Noor
Fadillah menulis “Apakah aku ini anak yang durhaka?”Setelah sekian panjang
upaya dan argumennya terhadap kewajiban menaati prokes di masa pandemi.
Muhammad Rifki
menulis “Mengapa aku bunuh diri? Benarkah aku bunuh diri? Apakah ini neraka
bagi mereka yang dibunuh? Atau bunuh diri? Mengapa Tuhan tidak menjawab
pertanyaanku?...entah apa yang akan terjadi besok. Apakah aku akan berjumpa
dengannya lagi?
Musa Bastara
bahkan harus mengirimkan kegelisahan-kegelisahannya pada beberapa nama. Ia menyebutnya
enam kisah yang menyesatkan. Mengapa Musa Bastara memilih nama-nama tersebut?
Siapa mereka? Seberapa besar peran mereka terhadap pemenuhan kesempurnaan kisah
yang ia tulis? Malaikat mengajariku
membaca alkitab-alkitab, tapi aku belum memutuskan beragama. Itulah pernyataan
yang sangat terang tentang sebuah kegelisahan, kebimbangan.
Takara Belati
menuliskan sebuah kisah dengan judul berupa tanda titik dua diikuti tanda petik
tunggal dan tanda kurung buka alias simbol emoji orang sedih. Sama seperti
kisah-kisah sebelumnya, cerpen ini pun menghadirkan kegelisahan jiwa. Sedikit berbeda,
Takara Belati menghadirkan kegelisahan jiwa yang dialami oleh manusia yang juga
mengalami penderitaan fisik. Penderitaan yang membuat Majuro tidak dapat
berpikir jernih. “Kau boleh memilih,” ucap sosok itu.”Ikut denganku dan sesaat berbahagia atau tetap di sini mengais-ngais sampah. Majuro dan penderitaannya
membuat ia mengabaikan kata “sesaat” pada frase “sesaat berbahagia”. Untuk itu,
iapun hanya mendapatkan apa yang sudah ia pilih. Kau tak
bisa mengerti semuanya, namun destinasi akhir tak semua berhenti pada api. Demikian
cerpen tersebut ditutup.
Rafii Syihab
menitipkan kegelisahannya pada tokoh perempuan bernama Karmila. Banyak sekali
beban amanat yang harus ditanggung Karmila dalam cerpen ini. Beban utama, beban
sampiran. Kisah-kisah utama, kisah-kisah pengecoh dan lain sebagainya. Beban
seorang perempuan yang kehilangan suami. Beban politik. Entah mana yang utama
dan mana yang sampiran.
Keenam cerpen
ini mengingatkan kita pada teori Kebutuhan Maslow yang menyebutkan bahwa kebutuhan
mendasar yang paling penting bagi manusia adalah aktualisasi diri alias pengakuan
atas eksistensi dirinya. Keseluruhan tokoh dalam cerpen-cerpen SBSK mengirimkan
pesan-pesan rahasia agar manusia merenungi hakikat kemanusiaannya kembali.
Epilog
Kembali pada pertanyaan semula. Apa sebenarnya yang
diinginkan sekte penulis muda Kalsel? Arah mana yang hendak mereka tuju?[]