- Hati yang mendambakan sesuatu mengantarkan pada pertemuan baik.
- Motivasi sederhana pun bisa membawa keberhasilan.
- Cobalah menjawab tantangan jika diminta
- Jika ingin menjadi orang yang unggul, bergaullah dengan kalangan unggul.
- Bekerja samalah dengan orang yang berbeda dengan diri kita.
- Pada diri manusia tidak terjadi apapun yang melebihi gen-nya
- Semua keberhasilan kita adalah berkat pendahulu kita
- Kesukaran adalah titik balik menuju keberhasilan
- Ada kalanya menjaga gengsi adalah dengan membuangnya.
- Jika merasakan “sinyal rahasia” itulah kesempatan mencurahkan segenap tenaga.
- Selama tidak berpikir mustahil, kemungkinan ada tidak terbatas
- Lebih baik bangun pagi daripada skor kemampuan akademik yang tinggi
- Jika tidak berhasil, gantilah caranya
- Jangan bergembira sendirian, berbagilah kebahagiaan dengan semua
- Latihlah penglihatan agar melihat yang tak kasatmata.
Selasa, 05 November 2013
Buku Pilihanku 1
Setelah membaca
buku ini, kita akan semakin yakin, tidak ada yang kebetulan, tidak ada yang
tiba-tiba. Semua sudah direncanakan oleh yang paling baik perencanaannya.
Dialah Tuhan semesta Alam. Aku ingin berbagi hasil bacaanku. Semoga menginspirasi
siapa saja yang membacanya. Terutama bagi muslim, hasil riset Kazuo Murakami
sangat banyak yang sesuai dengan ajaran Islam. Sungguh sayang jika kita sebagai
muslim justru jauh dari nilai-nilai tersebut. Benar kata Allah, “Tidaklah sama
orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui.”
Inilah sedikit
yang bisa kubagi:
MISTERI HIDUP KITA dalam MISTERI DNA –nya
Kazuo Murakami
Judul Buku : Misteri DNA/ judul asli:
Jinsei No Ango
Penulis : Kazuo Murakami
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : Maret 2013
Tebal : 178 Halaman
ISBN: 978-979-22-9375-3
Gen dalam tubuh
manusia dapat dinyalakan atau dipadamkan seperti sakelar ON-OFF pada tombol
lampu. Manusia ternyata dapat menyalakan gen yang baki dan memadamkan gen yang
buruk sesuai kebutuhannya.
DNA = faktor keturunan?
Meski tidak sama
persis, karakter yang dimiliki kedua orang tua diturunkan pada anak. Gen
dipahami sebagai medium yang menyampaikan faktor keturunan tsb. Pemahaman tsb
hanya menjabarkan sebagian dari fungsi gen. Gen berkaitan dengan segala
aktivitas kehidupan seperti bernafas, makan lalu buang air, menjalani hidup
sambil berpikir atau gembira. Kinerja Gen juga vital saat manusia memutuskan
sesuatu dalam hatinya.
Gen ada dalam
bagian yang disebut inti sel. Pada inti sel terdapat materi bernama DNA, dan
materi inilah yang kita sebut gen. DNA terdiri atas dua buah pita yang
berbentuk spiral. Di atas pita ini tertulis informasi yang dilambangkan dengan
4 abjad simbol kimia. Informasi ini adalah informasi genetik. Informasi dasar
gen dalam 1 sel manusia terdiri atas 3 miliar abjad simbol kimia. Jika
dijadikan buku, diperlukan 1.000 jilid buku setebal 1.000 hlm untuk
mencatatnya.
Tubuh manusia
tersusun dari sel. Manusia dewasa memiliki sekitar 6 triliun sel. Dalam setiap
inti sel tersimpan 3 miliar informasi yg kita bahas tadi. Yang mengejutkan
adalah sel tubuh bagain manapun pasti menyimpan 3 miliar informasi tersebut. Artinya,
setiap sel dalam tubuh bagian manapun menyimpan informasi yang sama. Lalu,
mengapa sel hati hanya menjalankan fungsi sebagai hati? Sel kuku hanya
menjalankan peran sebagai kuku? Mengapa pada jantung tidak tumbuh rambut?
Inilah yang
disebut fungsi ON/OFF atau nyala/padam DNA. DNA dalam sebuah sel memiliki
bagian yang terjaga dan berfungsi, juga bagian yag tertidur dan tidak
berfungsi. Lalu apakah bagian yg tertidur itu akan tidur selamanya? Tidak. Fungsi
DNA bisa dinyalakan dan dimatikan.
Pemuda yang
rambutnya sudah beruban. fungsi DNA penghitam rambutnya tidak bekerja dengan
baik atau padam karena sesuatu hal.
Lansia yang
kulitya masih kencang. DNA pada sel kulit yang seharusnya sudah tertidur masih
giat bekerja atau menyala.
Diperkirakan,
dari keeluruhan informasi genetik, hanya 5-10% yang betul2 bekerja. Artinya:
Kemampuan tersembunyi yang dimiliki seorang manusia tidak terhingga besarnya.
Cara Menyalakan DNA baik:
Mengubah drastis lingkungan tempat berada
sekarang.
Menghargai pertemuan dengan orang dan pertemuan
dengan kesempatan.
Berpikir optimis dan gembira dalam keadaan
apapun.
Merasa tergugah dan terkesan.
Bersyukur.
Hidup dengan memikirkan kepentingan orang lain
dan untuk kebaikan dunia.
Nilai-nilai dalam buku Misteri DNA:
Cara Mengatur ON/OFF Gen
o
Faktor fisik (panas, tekanan, ketegangan,
latihan, dll)
o
Faktor makanan dan kimiawi (alkohol, rokok,
hormon lingkungan, dll)
o
Faktor psikis (kejutan, kegemparan, rasa
terkesan, cinta kasih, kegembiraan, kebencian, iman, keyakinan, dll)
Senin, 04 November 2013
KUNTUM SATU
Karangan Bunga Abadi
“Apakah
benar dalam bunga-bunga kaca yang Ibu buat terdapat guna-guna?”
Pertanyaan
yang diucapkan dengan nada mengancam itu keluar dari mulut seorang laki-laki
tak dikenal. Laki-laki berkemeja merah hati lengan panjang dengan satu kancing
paling atas dibiarkan terbuka, bercelana panjang hitam, bersepatu hitam
mengilap. Lengan baju kanannya tergulung sampai siku sementara gulungan lengan
baju kirinya terlepas. Di saku kemejanya menyembul ujung dasi warna senada. Tatanan
rambut pendeknya tidak jelas seperti tidak disisir. Wajahnya sedikit berminyak.
Matanya sembab dan memerah. Tangan kirinya menggenggam kunci mobil.
Perempuan
di ambang pintu menahan tangan kanannya agar tidak terayun keras ke wajah
lelaki di hadapannya. Ia baru saja bergegas membukakan pintu setelah mendengar
ketukan yang bertubi-tubi tanpa jeda. Ia belum sempat mengucapkan kata “siapa”
pada tamunya dan menanyakan ada keperluan apa, sebagaimana basa-basi seorang
tuan rumah pada tamunya. Ia belum pula menyilakannya masuk tapi tamu itu telah
terlebih dahulu menikam perasaannya. Tamu lelaki itu bahkan lupa mengucapkan
salam.
“Katakan
apa maumu sebenarnya?” kali ini ia lebih berani meninggikan suara. Bagaimanapun
yang berada di hadapannya sekarang adalah seorang lelaki bukan perempuan
seperti yang datang dua hari sebelumnya. Lagipula, kejadian dua hari yang lalu
membuat ia memiliki pengalaman. Tangan kirinya sekarang memegangi daun pintu.
“Aku
hanya ingin tahu, apakah benar bunga-bunga yang Ibu karang menyimpan
guna-guna,”
“Apakah
teman perempuanmu kemarin belum memberitahumu? Atau penjelasannya kurang
meyakinkan di telingamu sehingga kamu harus datang ke sini untuk menanyakannya
kembali?”
“Teman
perempuan? Siapa? Siapa namanya?” Lelaki itu terperanjat. Ia tak menyangka
perempuan berbibir tebal dan bertubuh gempal yang sedang ditatapnya mengeluarkan
kalimat tersebut. Tidak terlintas sama sekali di pikirannya kalau ada orang
lain yang berkepentingan sama dengannya.
“Jadi
kau tak tahu? Atau pura-pura tidak tahu? Siapapun namanya, apa urusanku?” Nada
suaranya meninggi. “Aku tidak punya urusan dengan orang-orang tidak sopan
seperti kalian!” Matanya melotot. Ia mengerahkan seluruh keberanian. Ia tidak
ingin harga dirinya diinjak-injak seperti dua hari yang lalu. Ia pikir
perempuan yang datang dua hari yang lalu itulah yang mengutus lelaki di
hadapannya.
“Aku
benar-benar tidak mengerti. Siapa orang lain yang datang ke sini sebelum aku?”
“Aku
lebih tidak mengerti mengapa kalian repot-repot ke rumahku hanya untuk
menuduhkan fitnah murahan kepadaku,” perempuan menutup pintu.
“Jangan,
jangan ditutup dulu.” Sang tamu menahan pintu dengan tangannya.
“Pergilah!”
“Aku
tidak akan pergi sebelum mendapat jawaban darimu,”
“Jawaban
apalagi? Aku sudah mengatakannya kepada temanmu!”
“Percayalah,
aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak tahu siapa yang kaumaksud dengan temanku.”
“Mengapa
aku harus percaya padamu?”
“Tolonglah
aku,” suara itu kini terdengar memelas. “Aku memerlukan bantuanmu. Maaf jika
tadi aku agak kasar. Aku…aku,”
Perempuan
itu tidak menduga keadaannya akan berbalik. Perlahan, ia membuka pintu kembali.
“Baiklah, aku percaya padamu. Sekarang kuminta kaupercaya padaku. Tidak ada
apa-apa dalam bungaku termasuk guna-guna yang kautuduhkan. Jelas? Atau perlu aku
ulang sekali lagi?”
Tamu
itu menunduk. Wajahnya terlihat putus asa.
“Apalagi?
Pergilah sebelum anak-anakku atau tetangga berdatangan. Aku tidak mau terjadi
keributan.”
“Ya,
aku akan pergi. Terima kasih. Sekali lagi maafkan aku,” Lelaki itu membalikkan
badannya. Tak dihiraukannya panas matahari yang sedang berada tepat di atas
kepalanya. Langkahnya gontai menuju mobil yang diparkir di depan pagar.
Perempuan
menutup pintu. Hatinya rusuh. Ia ke kamarnya, membuka pintu lemari pakaian,
mengambil selembar kertas berlipat empat di sela lipatan bajunya yang paling
bawah. Ia mencoba
menghubung-hubungkan pesan yang tertulis di kertas tersebut dengan kedatangan
tamu-tamunya. Kini ia mulai memahami makna pesan itu. Dikibas-kibaskannya ujung
selendang hijau tua ke arah lehernya yang bersimbah keringat. Iapun kembali membaca
sebuah pesan.
Katakan pada mereka bahwa pada bunga-bunga
tersebut memang terdapat sesuatu. Sesuatu yang bisa mendekatkan yang jauh dan
menjauhkan yang dekat. Sesuatu yang bisa memanggil hati-hati yang berpaling,
mendekatkannya dan menyatukan dalam sebuah hubungan; serta sebaliknya, mampu
memisahkan hati-hati yang terjalin seerat apapun pengikatnya serta mengubah
seluruh cinta menjadi benci. Sesuatu yang menjadikan rindu dan dendam di luar
kendali pemiliknya. Katakan seperti yang tertulis di kertas ini. Keempat anakmu
taruhannya!
Meski keempat anak laki-lakinyanya
terancam, ia tidak mau mengikuti perintah dalam selembar kertas yang
ditemukannya di teras rumahnya sepekan yang lalu. Ia masih ingat kejadian itu.
Saat
itu belum waktunya membangunkan anak-anak dan suaminya untuk siap-siap pergi ke
langgar dekat rumah. Gerimis turun berirama, jatuh di atas atap lalu turun ke
pekarangan. Ia baru saja menaruh seceret air di atas kompor yang menyala untuk
si bungsu yang barangkali ingin mandi pakai air hangat. Tiba-tiba ia mendengar
seperti bunyi pintu diketuk. Ia membenahi daster panjangnya, menggelung rambut,
menajamkan pendengaran sambil menuju pintu depan. Langkahnya tidak segesit dulu
karena sekarang badannya semakin gemuk.
Dari
ruang tamu ketukan itu terdengar lebih jelas. Sejenak langkahnya terhenti.
Ditekannya tombol lampu ruang tamu. Matanya menyipit karena silau. Dilihatnya
jam dinding bergambar bola menunjukkan pukul 04.25. Ia berpikir apakah
sebaiknya ia membangunkan suaminya tapi ia menepis ide itu. Sebelum membuka
pintu disibaknya sedikit gorden ungu yang menutup kaca di samping pintu lalu
mengintip siapa yang datang. Ia tidak melihat siapa-siapa atau apa-apa di
teras. Sedikit rasa takut menghampirinya tapi ia yakin betul dengan pendengarannya.
Ada seseorang yang mengetuk pintunya tadi.
Rasa
penasaran mengalahkan rasa takutnya. Ia memutar anak kunci, menekan gagang
pintu lalu menariknya ke belakang membuat pintu terbuka sempurna. Hawa dingin
segera menyergapnya. Ia tidak melangkahkan kaki keluar. Ia mengedarkan
pandangan dimulai dari arah yang terjauh. Dari tempat ia berdiri dapat dilihatnya
jalanan sepi, hanya ada gerimis yang jatuh satu-satu. Lalu dilihatnya pintu pagar
depannya terbuka separuh. Seseorang pasti telah membukanya dengan paksa sebab
ia yakin suaminya tidak pernah lupa menutup dan menggembok pagar sebelum pergi
tidur. Di halaman rumah tidak ada apa-apa selain tangkai-tangkai mawar yang
melambai lembut ditimpa gerimis. Di
lantai kayu terasnya, ia menemukan jejak-jejak sepatu atau sandal. Ia mulai
menduga-duga apakah ada pencuri yang masuk rumahnya. Jika memang pencuri, untuk
apa ia mengetuk pintu?
Ia
hampir saja menutup pintu ketika matanya tak sengaja melihat ke bawah. Tepat di
depan pintu, dekat kakinya, tergeletak kertas putih polos berlipat dua. Kertas
itu ditindih oleh sebongkah batu seukuran genggaman tangan orang dewasa.
Perempuan itu membungkuk, memungut kertas dan membuka lipatannya. Matanya
menemukan sebuah pesan yang diketik rapi dengan jenis huruf yang biasa ia lihat
di halaman depan tugas kuliah anak pertamaanya.
Setelah
mengetahui isinya, perempuan itu ketakutan setengah mati. Hampir saja ia
berteriak memanggil suami dan anak-anaknya tapi lagi-lagi hatinya berkata lain.
Ia bertekad merahasiakannya. Ia tidak ingin anak-anak dan suaminya cemas,
terlebih anak sulungnya yang akan menghadapi ujian akhir. Ia berharap, surat
itu hanya kerjaan orang iseng yang ingin mengajaknya bercanda. Pada hari itu,
seharian ia gelisah. Anak bungsunya yang masih TK ia tunggui di halaman gedung
sekolah. Anak kedua dan ketiga yang masih SMP dimintanya untuk segera pulang ke
rumah sehabis jam pelajaran. Biasanya mereka berdua suka main-main dulu ke
rumah teman. Anak sulungnya ia pesani untuk lebih berhati-hati di jalan.
Keempat anaknya keheranan dengan sikapnya yang tidak biasa. Dia hanya bilang,
perasaan ibu tidak enak. Ia sama sekali tidak mengerti, untuk apa dan mengapa
seseorang mengirim pesan semacam itu padanya.
Hari
kelima setelah pesan itu ia terima, ia didatangi seorang perempuan. Perempuan
yang ia kenali ibunya sebagai seorang pengarang bunga karena mereka pernah satu
kampung. Seperti dirinya, keluarga
perempuan itu hidup dari hasil menjual karangan bunga-bunga. Hanya saja,
karangan bunga mereka tidak sama. Karangan bunga yang ia hasilkan memiliki
nilai jual yang lebih tinggi.
“Aku
tahu, kau tak akan mengatakan apa-apa perihal bunga karanganmu karena mungkin
ini menyangkut rahasia bisnismu tapi tolong katakan padaku, apakah kau tahu
tentang kemungkinan ada sesuatu dalam bungamu?”
“Sesuatu?
Maksudmu?” Perempuan itu mulai was-was. Ia menebak-nebak arah pembicaraan
perempuan yang mendekap seorang bayi laki-laki dalam gendongannya.
“Yah…sesuatu
yang bisa mempengaruhi seseorang,”
“Aku
tak paham apa maksudmu.”
“Kau
jangan berpura-pura tidak paham. Aku hanya minta tolong padamu untuk
memberitahuku bagaimana cara mematahkan pengaruhnya. Apakah cukup dengan cara
memecahkan botolnya?”
“Dengar,
aku tidak paham apa yang kamu bicarakan. Pengaruh? Pengaruh apa?”
“Pengaruh
guna-guna yang ada dalam botol karangan bungamu!” Perempuan itu memekik sambil
mengacungkan telunjuk ke arahnya. Bayi dalam gendongannya sontak menangis
kencang tapi perempuan itu tak peduli.
“Jangan
menuduhku sembarangan!” mata perempuan itu melotot.
“Dibayar
berapa kamu untuk tutup mulut. Aku akan membayar lebih!”
Ia
tidak tahan lagi mendengar ocehan perempuan yang ditingkahi tangisan bayinya.
Kedua tangannya mencengkram bahu perempuan itu, “Dengar. Mungkin ibumu
mencekokimu macam-macam karena ia iri dengan bungaku tapi aku tegaskan, aku
tidak menaruh apa-apa dalam bungaku. Sebaiknya kamu keluar dari rumahku. Kalau
saja kamu bukan bekas tetanggaku, kamu sudah kuteriaki agar warga sini
mengeroyokmu!”
“Jangan
bawa-bawa ibuku. Ia tidak ada hubungannya. Kau mau meneriakiku? Apa tidak
terbalik? Bagaimana kalau aku yang meneriakimu di hadapan warga bahwa kamu
tukang santet?”
“Jaga
mulutmu!” tangannya menjambak kerudung perempuan di hadapannya.
“Hei,
apa-apaan ini. Ibu, hentikan, hentikan! Ingat Tuhan. Lihat, kalian membuat bayi
ini ketakutan.” Seorang lelaki paruh baya keluar melerai.
“Dia
duluan, Pak! Dia menuduhku menaruh guna-guna dalam bungaku.”
“Sudah…,
sudah. Duduklah dulu kalian berdua. Mari kita bicara baik-baik. Apa sebenarnya
yang terjadi. Tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan kalau semua
pihak beritikad baik.”
“Tidak
usah. Terima kasih. Saya mau pulang saja,” Perempuan itu berlalu bersama
bayinya yang masih menangis. Dalam hatinya terselip rasa malu ketika tatapannya
bersirobok dengan suami perempuan yang baru saja ia maki-maki. Lelaki itu
membuatnya teringat pada ayahnya sendiri. Ingin sekali ia menceritakan semua
kepedihan hatinya tapi ia tidak yakin itu akan berguna.
“Kasihan
dia, Bu. Tidakkah kaumelihat dia seperti orang frustasi? Bukankah dulu dia anak
yang ramah dan santun? Bukankah dia gadis pengarang bunga yang suka menjuali
kita bunga-bunga petikan ayahnya? Entah apa yang terjadi pada dirinya.”
”Mengapa
Bapak malah membela dia? Yang Ibu lihat tadi adalah perempuan kasar yang tak
tahu diri dan tidak perlu dikasihani,” wajahnya cemberut tapi hatinya
mengiyakan pendapat suaminya.
“Bapak
hanya mengatakan hal yang tidak Ibu lihat karena mata Ibu tertutup amarah.”
***
Selama
ini orang-orang datang ke rumahnya untuk memesan dan membeli rangkaian
bunga-bunganya. Rangkaian bunga biasa sebenarnya. Tangannyalah yang telah
membuat rangkaian bunga tersebut menjadi tidak biasa. Bunga-bunga yang
tersentuh tangannya menjadi bunga abadi, seperti kisah-kisah yang hanya ada
dalam negeri dongeng. Kisah tentang bunga yang tak pernah layu seperti cinta
yang tak pernah mati antara putri dan pangeran impian.
Untuk keperluan apa orang-orang itu membelinya, ia tak pernah
ambil pusing. Ada yang menjadikannya hiasan saja – ini yang umum, ada yang
memperlakukannya sebagai jimat penglaris toko – ini tidak banyak, ada yang
menjualnya kembali, ada juga yang menganggapnya sebagai cinderamata khas
kabupatennya. Ia sendiri tidak memiliki anggapan khusus terhadap rangkaian
bunganya. Ia hanya merangkainya dengan keterampilan yang ia miliki.
Ada
beberapa yang pernah membeli sambil menanyainya perihal rahasia karangan
bunganya. Akan tetapi ia pikir, menjawab dengan benar atau tidak pertanyaan
tersebut adalah sebuah pilihan yang merdeka baginya. Tidak ada orang yang
berhak mengintimidasinya untuk mengatakan rahasia apa yang tersembunyi di balik
keawetan karangan bunganya.
Mungkinkah airnya sudah dicampur formalin
atau zat kimia tertentu sebagai pengawet?
Mungkinkah airnya adalah air hujan yang
langsung ditampung dari langit?
Mungkinkah ada jampi-jampi yang dibacakan
hingga bunganya bisa awet?
Mungkin ada bantuan jin dalam pembuatannya?
Sebenarnya apa makna rangkaian bunga ini
menurut ibu?
Saya ingin menulis tentang karangan bunga
yang Ibu buat, bisakah ibu ceritakan pembuatannya?
Saya ingin sekali bisa membuat hiasan bunga
seperti yang ibu buat, bisakah saya diajari cara membuatnya?
Bermacam-macam
komentar orang yang pernah menemuinya. Biarlah jika ada yang menganggapnya misteri.
Semisteri jawaban atas pertanyaan mengapa hanya bunga cempaka yang bisa dipakai
dan mengapa bunga yang lain selalu gagal bertahan lama.
Ia
merasa tidak perlu dan tidak harus
mengatakan yang sebenarnya sebagaimana ia tidak perlu menanyakan mengapa takdir
memilihnya menjadi pengarang bunga abadi…
KARYA SASTRA BERBAHASA BANJAR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PELESTARIAN BAHASA BANJAR
Nailiya Nikmah
12.50
0 Comments
KARYA SASTRA BERBAHASA BANJAR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PELESTARIAN
BAHASA BANJAR*
Oleh Nailiya Nikmah, S.Pd.,M.Pd
A.
Pendahuluan
Dalam catatan
perjalanan sejarah bangsa Indonesia
tercantum salah satu hal penting berkaitan dengan bahasa bangsa, yaitu bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928
sebagai bahasa persatuan menjadi salah satu pengikat keragaman suku bangsa
dalam semangat kebangsaan Indonesia. Tidak berlebihan jika ikrar yang
dicetuskan oleh para pemuda tersebut menjadi salah satu unsur terpenting bangsa
Indonesia
khususnya dalam hal persatuan dan kesatuan. Para pemuda pada tahun tersebut
menyatakan ikrar yang mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia,
dan menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia.
Semangat
Sumpah Pemuda melandasi pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945. Pasal tersebut mempertegas bahwa bahasa negara ialah
Bahasa Indonesia. Kemudian, tentang Bahasa Indonesia ini selanjutnya diatur
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan. Undang-undang tersebut juga mengatur tentang
bahasa daerah. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa bahasa daerah adalah
bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia
terdiri atas berbagai suku dengan bahasanya masing-masing. Dalam artikelnya,
Budiwiyanto menyebutkan berdasarkan laporan hasil penelitian Kekerabatan dan
Pemetaan Bahasa-Bahasa di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Bahasa pada tahun
2008, telah berhasil diidentifikasi sejumlah 442 bahasa. Hingga tahun 2011,
tercatat terjadi penambahan sejumlah 72 bahasa sehingga jumlah keseluruhannya
menjadi 514 bahasa. Jumlah tersebut masih dapat bertambah karena masih ada
beberapa daerah yang belum diteliti. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1285.
Selanjutnya,
pelestarian bahasa daerah tidak terlepas dari peran dan tanggung jawab
pemerintah daerah, dengan tetap mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2009, Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Serta Lagu
Kebangsaan. Upaya pelestarian ini idealnya diatur dalam peraturan daerah
(Perda) sebagai wujud apresiasi Pemda atas pelestarian budaya daerah.
Upaya
pelestarian bahasa daerah perlu dilakukan karena bahasa daerah mulai terkikis
oleh pengaruh globalisasi, serta kecenderungan penurunan penggunaan bahasa
daerah dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga maupun
lingkungan pergaulan masyarakat di luar keluarga. Jika diamati lebih jauh,
banyak kemungkinan penyebab terkikisnya bahasa daerah. Sebagai contoh yaitu
perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan
segala gaya
hidup yang mempengaruhinya termasuk bahasa. Kebutuhan berbahasa yang dapat
diterima dan dipahami oleh masyarakat yang didatangi membuat bahasa ibu (bahasa
daerah) perlahan-lahan tersaingi. Ekonomi juga turut mempengaruhi hal ini.
Kecenderungan orang yang pandai berbahasa asing dan atau bahasa Indonesia yang
lebih diutamakan untuk menempati sebuah posisi di dunia kerja membuat bahasa
daerah lambat laun akan memudar penggunaannya.
B.
Bahasa
Banjar sebagai Salah Satu Bahasa Daerah di Indonesia
Salah
satu bahasa daerah di Indonesia
yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan adalah bahasa Banjar. Abdul Djebar
Hapip dalam Kamus Banjar Indonesia
(2008) menjelaskan bahwa bahasa Banjar (BB) ialah bahasa yang dipergunakan oleh
suku Banjar. Secara geografis suku ini pada mulanya mendiami hampir seluruh
wilayah provinsi Kalimantan Selatan sekarang ini yang kemudian akibat
perpindahan atau percampuran penduduk dan kebudayaannya di dalam proses waktu
berabad-abad, maka suku Banjar dan BB tersebar meluas sampai ke daerah-daerah
pesisir Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, bahkan banyak didapatkan di
beberapa tempat di Pulau Sumatra yang kebetulan menjadi pemukiman orang-orang
perantau dari Banjar sejak lama seperti di Muara Tungkal, Sapat dan Tembilahan.
BB
bisa dibedakan antara dua dialek besar, yaitu dialek bahasa Banjar Kuala (BK)
dan dialek Bahasa Banjar Hulu Sungai (BH). Dialek BK umumnya dipakai oleh
penduduk “asli” sekitar kota Banjarmasin, Martapura dan Pelaihari, sedangkan
dialek BH adalah BB yang dipakai oleh penduduk di daerah hulu sungai umumnya,
yaitu daerah-daerah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah
dan Hulu Sungai Utara serta Tabalong. Pemakai BH ini jauh lebih luas dan masih
menunjukkan beberapa variasi subdialek lagi yang oleh Den Hamer disebut dengan
istilah dialek lokal, yaitu Amuntai, Alabio, Kalua, Kandangan, Tanjung, bahkan
ia cenderung berpendapat bahwa bahasa yang dipakai oleh “orang bukit” yaitu
penduduk pedalaman pegunungan Meratus merupakan salah satu subdialek BH pula.
Dan mungkin subdialek baik BK maupun BH itu masih banyak lagi.
C.
Peran Karya
Sastra sebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Bahasa Daerah
Karya
sastra bukan semata-mata penyajian peristiwa yang indah melainkan penyampaian
hakikat peristiwa tersebut. Dari sini akan ditemukan makna-makna peristiwa
setelah melalui penghayatan, pendalaman makna dan penafsiran. Karya sastra
memuat bahan perenungan yang melibatkan aspek moral, nurani, emosi dan etika.
Karya
sastra diciptakan dengan daya kreativitas dan imajinasi tapi kreativitas itu
tidak lantas menghilangkan unsur realita dalam prosesnya. Pengarang melahirkan
berbagai pengalaman dalam karyanya dengan
memilih unsur-unsur terbaik dari pengalaman hidupnya maupun pengalaman
manusia lain yang dihayatinya.
Pengalaman tersebut tidak hanya pengalaman lahir tetapi juga lebih pada
pengalaman batin.
Karya
sastra mengemukakan masalah-masalah manusia, masalah hidup dan kehidupan.
Pengarang yang kreatif selalu mampu mengolah permasalahan- permasalahan
tersebut menjadi suatu karya yang berharga, berguna bagi dirinya dan bagi orang
lain. Pengarang kreatif senantiasa berusaha mengemukakan wacana baru dalam
karyanya, apapun bentuk karya sastra yang ditulisnya agar para pembacanya tidak
hanya merasa terhibur tapi juga merasa tercerahkan jiwanya.
Berbicara
tentang karya sastra tidak bisa lepas dari bahasa
sebagai media dan unsur utamanya. Pada umumnya masyarakat terkini mengenal
karya sastra sebagai karya yang berbahasa Indonesia
padahal ada juga karya sastra yang bukan berbahasa Indonesia, melainkan berbahasa
daerah. Di Kalimantan Selatan misalnya terdapat bahasa daerah Banjar (yang
dominan) di samping bahasa daerah lainnya. Meskipun yang dimaksud dengan karya
sastra bertema lokalitas bukan semata
tentang hadirnya suatu bahasa dalam karya melainkan nuansa kehidupan lokal yang
menjadi ciri utama mesyarakatnya, kiranya bukan sesuatu yang berlebihan jika
mengemukakan unsur eksistensi bahasanya ke permukaan ranah sastra. Hal ini
diwujudkan dengan penggunaan bahasa daerah (:Banjar) sebagai bentuk penyampaian
ekspresi (Mungkin cerpen, mungkin puisi).
1.
Upaya Pelestarian Bahasa Banjar Melalui Puisi Berbahasa
Banjar
Puisi
sebagai salah satu bentuk karya sastra menggunakan bahasa sebagai medianya.
Akan tetapi bahasa yang digunakan dalam puisi “berbeda” dengan bahasa yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa puisi memiliki keunikan
tersendiri sebagai hasil kreativitas, ekspresi dan imajinasi penyair. Bahasa
puisi memiliki nilai estetika yang akan diperoleh oleh pembacanya melalui
pembacaan yang intens dan apresiasi yang tinggi. Tarsyad menyebutkan bahwa
bahasa puisi mengalami proses pemadatan makna dan kreativitas pemilihan diksi
penyairnya (2011:6).
Puisi berbahasa Indonesia relatif mudah dan banyak
ditemui. Hal ini sejalan dengan Sumpah Pemuda yang ketiga, menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Akan tetapi ada hal yang tidak boleh dilupakan
yaitu adanya bahasa-bahasa daerah yang merupakan unsur pembangun dan pemerkaya
bahasa Indonesia.
Sudah sewajarnya ada upaya untuk melestarikan bahasa daerah dari masyarakat
penuturnya. Salah satu upaya pelestarian tersebut bisa dilakukan melalui jalur
kesusastraan.
Salah satu bahasa daerah yang
dipakai dalam bahasa puisi adalah bahasa Banjar. Menemukan puisi berbahasa
Banjar dari jenis puisi lama mungkin relatif lebih mudah. Yang masih terbilang
langka adalah puisi baru/puisi modern yang menggunakan bahasa Banjar, baik
bahasa Banjar Hulu maupun bahasa Banjar Kuala.
Contoh puisi yang menggunakan bahasa
Banjar yang dapat kita apresiasi dan kritisi bersama adalah puisi-puisi
karangan penyair asal Kalimantan Selatan, Abdurrahman El Husaini. Ada dua buku
yang memuat kumpulan puisi berbahasa Banjar yang ia karang, yaitu Doa Banyu Mata (diterbitkan oleh Tahura
Media, Juni 2011) dan Jukung Waktu
(diterbitkan oleh Scripta Cendekia, Februari 2012).
Tasanda
jua Banyu Mata Ngini
Tasanda jua
banyu mata ngini paampihannya
Lawan
sungai-sungai nang ditabat
Lawan
pahumaan-pahumaan nang disaluh manjadi rumah-rumah ganal bagus
Lawan gunung
manggunung nang diruntuhakan
Lawan puhun
mamuhun nang ditabangi
Lawan
paparutan tanah nang dibungkari
Cuba
pian liati janak-janak
Cuba
pian janaki pitih-pitih
Amun kumarau
Kumarau
balalandangan
Amun musim ujan
Ba ah saalaman
Musim kada
kawa ditangguh lagi
Nang disangka
panas sakalinya ujan sing labatan
Nang disangka
ujan sakalinya panas manggantang
Mbah anu ujan
mbah anu panas
Mbah anu panas
mbah anu ujan
Tasanda jua
banyu mata ngini paampihannya
Lawan ingui
tangis kita barataan
(Puisi
Abdurrahman El Husaini dalam Doa Banyu
Mata, 2011:66).
Puisi tersebut berbicara tentang
kepedulian penyairnya terhadap lingkungan. Sungai, sawah, gunung, pohon, hutan,
tanah, mulai terancam keberadaannya karena ulah tangan manusia. Akibatnya musim
menjadi tidak menentu, tidak lagi bisa terbaca. Kadang-kadang hujan,
kadang-kadang panas. Hal ini menjadikan kesedihan yang mendalam bagi penyair.
Dalam puisi tersebut ia mewakilkannya dengan tergadainya airmata.
Ada beberapa kosakata yang mungkin
tidak terlalu dikenal lagi oleh masyarakat Banjar khususnya usia remaja ke
bawah dalam puisi tersebut misalnya “pitih”, “balalandangan” dan “ingui”. Dalam
Kamus Banjar Indonesia karangan Abdul
Djebar Hapip, dapat ditemukan kata “itih”, mungkin ini yang dimaksud oleh
penyair dengan “pitih”. Itih berarti teliti (2008:63). Sedangkan “landang”
berarti jauh, panjang, lama (2008:102). Adapun “ingui” (2008:6) dipadankan
dengan “iluy” yang berarti lagu; bailuy berlagu
(menangis).
ZIKIR
HATI
Zikir hati
Bajalulut
Bajarikit
Lawan gatah
Hidayah
Allah Taala
Siang malam
kada sing lingkahan
Malam
Sabtu 12 Ramadhan 1432 H
(puisi
Abdurrahman El Husaini dalam Jukung Waktu, 2012:65).
Puisi tersebut berbicara tentang
kereligiusan, kecintaan, kedekatan terhadap Allah. Beberapa kosakata yang cukup
khas dalam puisi tersebut adalah “bajalulut”, “bajarikit” dan “sing lingkahan”.
“ Jalulut” tidak ditemukan dalam kamus sedangkan “ Jarikit” berarti lekat,
lengket (Hapip, 2008:67). Adapun yang
dimaksud dengan “lingkah” dalam puisi tersebut masih menurut Kamus Banjar Indonesia
berarti terlepas atau hilang (2008:111).
2.
Upaya Pelestarian Bahasa Banjar Melalui Cerpen
Berbahasa Banjar
Poe dalam Afra (2007: 112) menyatakan bahwa cerpen adalah narasi yang
bisa dibaca dalam sekali duduk, dengan lama waktu setengah hingga dua jam.
Karena pendek, cerpen memiliki ruang yang padat. Meski kelihatannya pendek,
sebuah cerpen mampu menyampaikan hal-hal berharga yang bisa tersampaikan secara
implisit maupun eksplisit.
Unsur-unsur yang membangun sebuah cerpen secara intrinsik adalah tema,
plot (alur), setting, sudut pandang atau penokohan dan tokoh. Namun secara
ekstrinsik sebuah cerpen dipengaruhi pula oleh pandangan-pandangan dan latar
belakang kehidupan penulisnya.
Cerpen sebagai bagian dari kesuasteraan modern Indonesia
merupakan cermin kebudayaan bangsa Indonesia yang hidup dalam
keberagaman sistem budaya. Hal ini diwujudkan ke dalam aspek-aspek tematis dan
stilistis karya.
Sebagai karya fiksi, cerpen diciptakan dengan daya kreativitas dan
imajinasi. Kreativitas itu tidak saja dituntut dalam upaya pengarang melahirkan
pengalaman batin dalam karyanya, tetapi juga harus kreatif memilih unsur-unsur
terbaik dari pengalaman hidup manusia
yang dihayatinya. Penulis cerpen bersandar pada kreativitas. Kreativitas
memberi peluang yang sangat luas bagi keragaman muatan karya sastra. Dunia
fiksi jauh lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan daripada yang ada di
dunia nyata. Dalam proses kreativitasnya pengarang bisa saja menyiasati,
mengkreasi, memanipulasi berbagai masalah hidup dan kehidupan yang dialami dan
diamatinya.
Seperti halnya puisi, cerpen pun menggunakan bahasa sebagai media. Cerpen
berbahasa Banjar senasib dengan puisi berbahasa Banjar. Para penulis cerpen
Kalimantan Selatan lebih banyak menulis cerpen dalam bahasa Indonesia. Salah satu buku kumpulan
cerpen berbahasa Banjar yang dapat dibaca, diapresiasi dan dikritisi adalah
kumpulan kisdap Malam Kumpai Batu
(disusun oleh Sandi Firly dan diterbitkan oleh Media Tahura, April 2012).
Berikut kutipan cerpen “Malam Kumpai Batu” yang terdapat dalam buku
tersebut.
Tadapatnya kami tabarungan haja, wan pulang, kada disangka-sangka. Mulai
kapal At Taslim balayang matan Palabuhan Pasar Lima Banjar siang tadi, bujur
nah, aku kada tahu inya sakalinya umpat jua, jadi panumpang, di kapal ngini. Di
Murung Panti, waktu kapal singgah di pos panjagaan, aku handak bakunjang kaluar
kapal, ka warung palabuhan handak manukar roko. Sakilaran, bibinian ngitu
takurihing. Asa pinandu asa kada, kada kuherani ai inya. Kalu ai inya
takurihing gasan urang lain. Dua pulang, kau gair kalu aku dikira urang
lalakian liur baungan. …. (Kisdap Malam Kumpai Batu karangan M. Rifani
Djamhari, 2012:1).
Kutipan tersebut menggambarkan adanya perjalanan yang menggunakan kapal bernama
At Taslim. Pembaca memperoleh gambaran bahwa dulu, alat transportasi yang
diandalkan adalah kapal. Dari kutipan tersebut diperoleh pula ungkapan “liur
baungan” yang tidak mustahil suatu saat tidak terdengar lagi dalam percakapan
orang Banjar karena berganti ungkapan dari bahasa lain. Begitu juga dengan kata
“sakilaran” dan “takurihing”.
Cerpen “Malam Kumpai Batu” mengisahkan pertemuan kembali sepasang manusia
yang pernah memiliki hubungan khusus secra tidak sengaja dalam sebuah
perjalanan yang menggunakan alat transportasi air. Dalam cerpen ini pembaca
akan menemukan rute-rute perjalanan yang dilalui. Perjalanan tokoh aku dimulai
dari pelabuhan pasar lama Banjarmasin.
Dari cerpen ini pula, pembaca akan mengetahui rute Banjarmasin-Nagara
melewati Margasari Marabahan.
Cerpen selanjutnya yang bisa diamati adalah sebagai berikut,
Imah takulimpapak! Bakalincuat saitu saini. Hinaknya mahingal, kaya
urang ngangal, pual-pual lacit ka bantal, nang kaya hadangan disumbalih angkal.
Awaknya manggitir. Jimus paluh. Inya hanyar mailan tumatan mimpi nang kada sing
baikan. Bakalimpusut inya bapuat, duduk mancugut di tubir ranajng sambil
mangajang pinggang nang ngilu. Dilacungakanya hinak landang-landang. Rancak
Imah mangucak-ngucak bigi matanya, tagal hayabang mimpi nang saling kada baikan
tuti maguni haja maumpinak di panjanaknya. (Cerpen “Anja” karangan Aliman
Syahrani dalam buku kumpulan kisdap Banjar Malam
Kumpai Batu,2012:40).
Kutipan cerpen “Anja” tersebut menghadirkan bahasa Banjar Hulu dengan
subdialek Kandangan. Kata-kata “takulimpapak”, “bakalincuat”, “pual-pual”
termasuk kata-kata yang tidak mudah dipahami artinya oleh pembaca yang bukan
penutur bahasa Banjar Hulu (dalam kamus Banjar pun belum ada). “Takalimpapak”
artinya sangat terkejut, disertai gerakan seluruh tubuhsecara refleks.
“Bakalincuat” artinya bangkit dari berbaring atau duduk dengan segera, bisa
karena takut, marah, atau kaget. “Pual-pual” sama dengan “kepul”, seperti orang
mengeluaran asap rokok dari mulut. Mungkin masih ada beberapa kata lain yang
maknanya tidak langsung dipahami oleh pembaca karena kemungkinan kata tersebut
berasal dari dialek atau subdialek yang bukan dialek atau subdialek keseharian
pembaca.
Secara bentuk, kata-kata tersebut menunjukan bahwa bahasa Banjar memiliki
keunikan. Ada
kata (hanya satu kata) yang menjelaskan suatu keadaan yang tidak bisa
dipadankan dengan kata lain. Semacam keunikan yang terdapat pada kata “intil”
misalnya. “Intil” menurut Kamus Banjar Indonesia berarti letak sesuatu
yang hampir jatuh, atau mudah terlihat, mudah diambil orang (Hapip, 2008:62).
Ini memperlihatkan kekayaan bahasa Banjar dalam mengemukakan suatu konsep.
Jika dibaca secara utuh, cerpen
“Anja” memberi gambaran tentang salah satu kepercayaan masyarakat Loksado
terhadap arwah. Cerpen ini sangat kental nuansa lokalnya. Tidak hanya karena
bahasa yang dipakai adalah bahasa daerah (Banjar Hulu) tapi karena memang dalam
cerpen ini ditemukan unsur lokalitas yang khas dari masyarakat Loksado.
Kepercayaan tersebut mungkin lambat laun tidak akan terjalin lagi dalam
kehidupan masyarakat Banjar. Seiring perkembangan zaman, keterbukaan pemikiran
dan wawasan masyarakat, peningkatan intelektualitas, kepercayaan tersebut bisa
saja akan menghilang. Menghilangnya sebuah konsep akan diikuti dengan hilangnya
sebuah istilah.
Jika dibandingkan dengan cerpen “Julak Utam” karangan Dewi Alfianti,
masih dalam buku kumpulan kisdap Malam
Kumpai Batu, cerpen “Anja” sangat kental bahasa BH nya sedangkan “Julak
Utam” terasa lebih mengarah ke bahasa BK nya. Tentu secara ekstrinsik, sedikit
banyaknya latar belakang pengarangnya turut mempengaruhi hal ini. Aliman
Syahrani, pengarang cerpen “Anja”, lahir di Datar Balimbing Loksado kemudian
tinggal di Kabupaten Hulu Sungai Selatan di kota
Kandangan sedangkan Dewi Alfianti, pengarang cerpen “Julak Utam” lahir dan
tinggal di Banjarmasin.
Berikut kutipan cerpen “Julak Utam” dalam buku kumpulan kisdap Malam Kumpai Batu (2012):
Rambut basulah, muha pina membulat, dahi meneng, pas haja lawan potongan
muha bulat nang jua pina putih baminyak…(hlm 86).
Atau kutipan berikut,
Sidin datang, bubuhannya abut wan tumbur-tumburnya. Ada nang bukah-bukah, siapakah tu di bawah.
Iwan, nang manyetel lagu rok di higa kamarku mahamuk-hamuk lakas manggemeti
tip-nya…(hlm 87).
Kutipan tersebut memuat kata-kata yang dominan terdapat dalam tuturan
bahasa BK. Salah satu hal yang utama adalah dalam bahasa BH tidak terdapat
vokal “O” dan vokal “e”. Keduanya secara berturut-turut digantikan oleh vokal
“u” dan vokal “a” atau “i”. “manyetel”
dan “manggemeti” misalnya, dapat dikenali sebagai bagian dari bahasa BK.
Melalui cerpen berbahasa Banjar, pembaca tidak hanya memperoleh “Banjar”
sebagai tempatan atau lokalitas sebuah pengisahan tapi juga memperoleh
pengetahuan bahasa Banjar itu sendiri. Mungkin saja terdapat beberapa kosa kata
yang sudah tidak dijumpai lagi dalam penuturan sehari-hari, mungkin pula ada
kosa kata yang berasal dari sub-subdialek BB yang akan memperkaya khasanah BB.
Melalui cerpen, kosa kata dan pemahaman terhadap kosa kata tersebut kiranya dapat
dijaga kelestariannya.
D.
Penutup
Suatu bahasa sebagai salah satu identitas suatu masyarakat memiliki
kemungkinan akan hilang dari masyarakatnya, terpengaruh arus globalisasi, lalu
terbentuklah bahasa-bahasa baru. Sebagai
masyarakat yang lebih dekat dengan tradisi lisan, masyarakat Banjar memerlukan
pengembangan tradisi literasi sebagai salah satu upaya pelestarian bahasa.
Tradisi yang menyandingkan kegiatan baca dan tulis dalam suasana yang sehat dan
kreatif. Keberadaan cerpen dan puisi berbahasa Banjar merupakan salah satu
upaya pelestarian bahasa Banjar yang dapat diandalkan.
Meskipun cerpen dan puisi dihasilkan oleh individu-individu pengarang,
masyarakat memerlukan peran dan dukungan pemerintah serta berbagai pihak
terkait lainnnya untuk menopang upaya pelestarian ini. Pemerintah dapat
memfasilitasi penerbitan karya-karya bermutu, lebih daripada itu juga melakukan
upaya penyosialisasiannya kepada masyarakat pembaca misalnya dengan mengadakan
kegiatan rutin “pembacaan” karya sastra berbahasa Banjar.
Sastra Berbahasa Banjar dengan bentuk puisi dan cerpen dapat
diaplikasikan dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Ini disesuaikan dengan
kurikulum yang berlaku pada tiap tingkatan. Ini berarti, pada pembelajaran
puisi dan cerpen, siswa-siswa di Kalimantan Selatan tidak hanya mempelajari
puisi dan cerpen berbahasa Indonesia
tapi juga mempelajari puisi dan cerpen berbahasa Banjar. Sebenarnya selain
puisi dan cerpen, bentuk karya sastra lainnya yang dapat dipakai sebagai upaya
pelestarian bahasa Banjar adalah sastra berbentuk drama, baik yang tradisional
maupun yang modern.
Selain mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata pelajaran Muatan Lokal dapat
pula dipakai sebagai upaya pelestarian bahasa Banjar. Baik melalui pembelajaran
bahasa Banjarnya maupun melalui pembelajaran seni budayanya yang menggunakan
bahasa Banjar sebagai media.
E.
Daftar
Pustaka
Afra, Afifah. 2007. How To Be A Smart Writer. Surakarta: Indiva Media
Kreasi.
El Husaini, Abdurrahman. 2011. Doa Banyu Mata. Banjarmasin: Tahura Media.
------------. 2012.
Jukung Waktu. Banjarbaru: Scripta
Cendekia.
Firly, Sandi
(Ed). 2012. Malam Kumpai Batu. Banjarmasin: Tahura Media.
Hapip, Abdul Djebar. 2008. Kamus Banjar Indonesia. Banjarbaru:
CV
Rahmat Hafz Al Mubaroq.
Tarsyad,
Tarman Effendi. 2011. Kajian Stilistika
Puisi Sapardi Djoko Damono. Banjarmasin:
Tahura Media.
Biodata
Nailiya Nikmah JKF lahir di Banjarmasin,
9 Desember 1980. Aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Banjarmasin
dan Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Kalimantan Selatan. Sekarang menjabat
wakil sekretaris Dewan Kesenian Kota Banjarmasin. Ia bertugas sebagai pengajar
di Politeknik Negeri Banjarmasin.
Nailiya menulis cerpen, puisi, esai dan novel. Beberapa karyanya yang telah
dibukukan adalah Nyanyian Tanpa Nyanyian
(Antocer bersama-9 penulis perempuan Kal-Sel), Menulis itu Mudah (esai bersama), Konser Kecemasan (Kumpulan Puisi Lingkungan Hidup/Puisi bersama), Rindu Rumpun Ilalang (antocer sendiri), Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Pelangi di
Pelabuhan (kumcer bersama FLP), Antologi
Bersama-Puisi Religius Indonesia “Para Kekasih”, Ketika Api Bicara (antocer HSU), Senja di Teluk Wandoma (antocer nasional bersama), Malam Kumpai Batu (anto kisdap bersama),
Kiat Menulis dan Cerpen Pilihan (bersama
penulis HSU). Cerpennya “Mangadap Langit” terpilih sebagai juara harapan III
Lomba Menulis Cerpen Bahasa Banjar, Disbudpar. Novelnya Sekaca Cempaka terpilih sebagai unggulan dalam lomba menulis novel
dalam rangka Aruh Sastra Kalimantan Selatan 2013.
*Mengalami penyuntingan setelah disampaikan
dalam Dialog Bahasa Daerah Sekalimantan, Banjarbaru 23-24 Oktober 2013.