Sudah lama aku tidak ke sini. Aku ingin menulis sesuatu dengan santai saja. Kali ini aku hanya ingin mencatatkan sekelumit kenangan pada Ramadan ke-25 di tahun 2023 atau 1444H. Malam itu aku diminta menjadi moderator acara bertajuk Ngaji Puisi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Banjarmasin. Tahun lalu aku juga menjadi moderator di acara yang sama. Jika tahun lalu yang dibahas adalah Ajamuddin Tiffani, tahun ini yang dibahas adalah Jamal T. Suryanata dan Abdussukur. Bang Jamal dan Bang Sukur, demikian beliau berdua biasanya disapa. Oiya, kalau mau tahu apa itu Ngaji Puisi, silakan berselancar di sumber lain ya.
Acara dihantarkan dengan apik oleh pembawa acara, Akbar atau Abay dari Komite Sastra DKBjm. Rekan kami, Cupi yang multilatent membacakan doa. Istimewanya, malam itu acara dihadiri oleh Walikota Banjarmaisn. Ya, setelah disambut oleh Ketua DK yaitu Bang Hajriansyah, acara Ngaji Puisi malam itu kemudian dibuka secara resmi oleh Walikota Banjarmasin, Bapak Ibnu Sina. Pak Ibnu Sina sempat juga membacakan puisi setelah menyampaikan sambutannya.
Aku pikir setelah membuka acara, Walikota akan meninggalkan forum. Tak disangka beliau masih bertahan saat aku sudah dipanggil oleh MC untuk bergabung memoderatori jalannya acara. Jadilah aku duduk di sebelah Pak Wali, malam itu. Acara menghadirkan guru-guruku di bidang seni dan sastra sebagai pemantik. Siapa lagi kalau bukan Bapak Micky Hidayat dan Y.S. Agus Suseno. Suatu kehormatan pula, panitia menghadirkan Bapak Hadani yang merupakan Ketua DK Tala.
Siapa Bang Jamal, siapa Bang Sukur, tak ingin kujelaskan lebih dalam. Keduanya memiliki tempat spesial di hati masyarakat Kalsel. Khusus bagiku, kepergian beliau berdua dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh, setelah sebelumnya berada dalam satu forum dengan mereka berdua (aku juga sebagai moderator dan beliau berdua nara sumber), forum terakhir yang sangat berkesan bagiku. Lalu, ketika malam Ngaji Puisi aku mendapat kesempatan menjadi moderator di acara mengenang mereka berdua, tidakkah aku merasa sendu dan haru.
Oiya, malam itu, panitia membagikan semacam buklet berisi puisi-puisi Bang Jamal dan Bang Sukur. Aku diminta Ketua DK untuk menulis sebuah pengantar. Berikut yang kutulis:
Sebuah
Pengantar
Ada
begitu banyak kehilangan dalam beberapa tahun terakhir, terkhusus di dunia
sastra Kalimantan Selatan. Nama Abdussukur dan Jamal T. Suryanata menjadi
bagian tersedih dari lirik kehilangan tersebut. Banyak catatan telah ditulis
oleh rekan dan sahabat-teman seperjuangan mengantar kepergian keduanya sejak
hari pertama berpulang. Baik Abdussukur maupun Jamal T Suryanata, keduanya
mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat sastra Kalimantan Selatan.
Dari
berbagai catatan kisah dan jejak lainnya yang masih dapat ditelusuri dapat
diketahui bahwa Jamal menoreh sangat banyak prestasi di dunia sastra hingga
membawa harum nama Kalsel hingga ke kancah internasional. Berbagai prestasi dan
karyanya terangkum dalam berbagai penghargaan yang pernah ia terima. Jamal pernah
menerima Hadiah Seni dari Gubernur Kalsel (bidang sastra) tahun 2006, penerima
Penghargaan Sastra dari Kepala Balai Bahasa Banjarmasin (bidang cerpen) tahun
2007, penerima Anugerah Budaya dari Gubernur Kalimantan Selatan tahun 2015, bukunya
Sastra di Tapal Batas terpilih sebagai pemenang Hadiah Sastra
Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) dari Pemerintah Malaysia tahun 2016,
penerima Hadiah Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage, Bandung atas
novel berbahasa Banjar Pambatangan tahun 2017 dan novelet Naga
Runting tahun 2022.
Berbeda
dengan Jamal, Abdussukur memilih dan “dipilih” untuk lebih banyak berjalan di
alur tradisi lisan. Banyak hal yang ia lakoni selama karir kesenimannya dengan
lebih menonjolkan keterampilan lisannya. Ada saja yang bisa ia jadikan bahan
untuk membuat pendengar/penonton terkesima ketika ia tampil di panggung.
Pertunjukan dan panggung adalah dunianya. Seakan panggung adalah takdir yang
selalu berpihak padanya. Bapandung merupakan salah satu kepiawaiannya yang
hingga hari ini belum mendapat tandingan sepadan di bumi Kalimantan.
Kepergiannya akan menjadi putusnya salah
satu rantai seni tradisi lisan yang harus menjadi perhatian lebih dunia sastra
Kalimantan Selatan untuk segera diantisipasi.
Terlepas
dari seluruh prestasi mereka berdua, patutlah kita menyimak tutur hati mereka
di jalan sunyi para penyair. Sambil mengenang hari-hari indah bersama mereka di
masa yang silam sebelum mereka pamit, mari kita baca dan selami puisi-puisinya.
Mari kita kaji dalam “Ngaji Puisi 2023” pada Ramadan kali ini.
Banjarmasin,
15 April 2023
Nailiya
Nikmah