Rabu, 27 Februari 2019

Aku, Teater Wasi Putih (TWP) dan Cinta tak Bertepi

00.25 6 Comments
Prolog
Kautahu apa itu cinta? Cinta tak punya tepi seperti pantai. Tidak ada yang bisa meramal di mana titik terakhir cinta sebagaimana tidak ada yang bisa menyebutkan di mana titik awal sebuah cinta.


Sejak pertama mengetahui ada UKM teater di kampus tempat aku bekerja, ingin rasanya aku mendaftar jadi anggotanya. Tiap lewat di depan sekre UKM bernama Teater Wasi Putih (TWP) seakan ada yang melambai-lambai memanggil.
Hanya saja aku tahu diri. Aku tidak memenuhi syarat utama untuk menjadi anggota. Yup, aku bukan mahasiswa.
Jadi...kusimpan saja keinginanku. Tahun tahun berlalu keinginan itu hanya tinggal keinginan.

Hingga hari itu tiba, 2016 (11 tahun kemudian), menjelang aku berangkat umrah. Wakil Direktur meminta aku membantu anak-anak TWP yang hendak mengikuti Festival Si Palui. Aku diminta membacai atau menilai naskah. Aku bersedia. Eh, ternyata aku ditunjuk menjadi Pembina UKM TWP. Rasanya tidak percaya. Aku hanya menyimpan mimpi untuk menjadi.anggotanya, malah jadi pembina. Saat itu, yang terjadi cukup membuatku shock hehe. Aku bukannya diminta menilai melainkan membuatkan naskah untuk penggarapan si palui. Aku merasa diospek! Haha.
1 pekanan menjelang umrah..aku malah sibuk menulis naskah. Naskah yang kutulis digarap oleh Ipul  di era kepemimpinan Syarwani menuju kepemimpinan Thoyib. Kelak, aku juga terlibat dalam pemggarapan lainnya.
***

Sejak mendapat Surat Keputusan (SK) sebagai pembina TWP, aku mulai mempelajari, mengenali dan melakukan adaptasi. Aku paham dengan baik SOP untuk menjadi anggota. Mulai dari sosialisasi di hari2 OKKMB, pengisian form pendaftaran, wawancara, menuju study pentas, workshop, pemantapan, pelantikan yang biasanya dilakukan di pantai. Setelah itu, mereka berhak mendapat kartu dan nomor anggota, berhak membuat baju PDL yang menurutku keren sekali. Setelah semua proses yang tidak mudah itu mereka akan menjadi anggota selamanya...bahkan kelak setelah mereka lulus dari kampus. Mereka akan menyandang gelar DPO. Aku sering menyebutnya para senior.
Aku belajar banyak hal selama membersamai mereka. Belajar saling menghargai, belajar memaknai sebuah proses, belajar tentang sebuah kepercayaan dan kebersamaan, belajar tentang keteguhan pendirian. Aku merasa sebagai anggota keluarga di antara mereka di samping sebagai seorang dosen pembina UKM.
Akupun larut dalam kebahagiaan menjadi bagian dari TWP. Lalu suatu ketika aku seperti tetiba menyadari satu hal.  Betapa sedihnya. Mereka semua abadi di dalamnya sedang aku...aku tidak abadi. Nasibku tergantung pada selembar SK. Ketika aku sudah bukan pembina mereka lagi maka ketika itulah aku tidak berhak lagi ada di situ. Aku sedih sekali ketika menyadari ini.
Aku beberapa kali menyampaikan kesedihanku ini kepada mereka.
"Dalam lingkaran ini, aku satu-satunya yang tidak abadi. Kalian semua abadi, aku tidak tapi aku akan menyimpan semua kenangan ini dalam hatiku, dalam hidupku"
Aku mengucap kalimat itu sama seperti sebelumnya selalu dengan segenap kepedihan di hati.
***

Tak terasa aku berada di situ sudah beberapa periode kepemimpinan ketum. Kuhitung dari periode akhir Syarwani, periode Thoyib, periode Ardhi hingga kini periode Syarif. Aku seperti orang sekarat yang tinggal menunggu hari kematian. Lalu aku menerima undangan pemantapan dan pelantikan calang angkatan 19. Jika biasanya aku tidak bisa ikut kali ini aku beupaya keras untuk ikut. Jika pada awalnya kehadiranku dicampuri kepentingan sebagai seorang pembina, hari itu aku berangkat lebih karena didasari perasaan sayang. Aku menyayangi mereka entah sejak kapan.

Sabtu sore, 23 Feb 2019 aku berangkat menyusul mereka yang sudah berangkat satu hari sebelumnya. Aku sendiri yang melepas mereka waktu itu.
Aku mengikuti serangkaian  agenda di malam Minggu hingga hari Minggunya.
***
Dalam sesampaianku di acara api unggun, aku kembali mengatakan betapa beruntungnya  mereka bisa abadi. Bisa selamanya berada dalam lingkaran keluarga TWP.
Minggu dini hari, aku berjalan menyusuri pantai sendirian. Duduk di gazebo sambil membaca puisi yang kutulis.



***
Aku diajak menonton pementasan calang. Aku diajak makan bersama mereka. Aku menjalani semuanya dengan perasaan campur aduk. Senang, bangga juga sedih. Sedih karena berpikir..akankah aku bisa selamanya bersama mereka. Ah, rasanya mustahil.

Aku menyeka air mata yang sesekali menetes di antara deru angin pantai.

***
Lalu acara puncak tiba. Aku menyaksikan dan melibatkan diri dalam momen pemantapan dan pelantikan calang. Hingga setelah mereka mengucap janji pelantikan yang sangat mengharukan, aku tersentak kaget. Ketum mengatakan ada sesuatu untukku. "Kami akan mengabulkan permintaan pian"
Aku bingung. Aku merasa tidak pernah meminta apapun.
"Permintaan apa?" Tanyaku.
"Bukan. Bukan permintaan pian. Kami yang meminta" Sahut seorang senior.
Aku bingung.
"Kami meminta pian menjadi anggota TWP seumur hidup"
Aku kaget. "Tidak. Tidak. Aku tidak berhak. Kalian semua berproses untuk menjadi anggota. Aku tidak"
"Pian selama ini sudah berproses bersama kami" Sahut senior lainnya.
Aku benar-benar tidak percaya. Sesuatu yang semula mustahil bagiku, hari ini menjadi mungkin.
"Kami ingin pian jadi keluarga kami tanpa tergantung SK" ucap salah satu senior lagi.
Aku menangis.
Ketum memberiku gelang merah yang selama ini kulihat melingkar di tangan para anggota.
"Mesan PDL segera..."celutuk yang lain.
"Ini serius?" Tanyaku masih tak percaya.
Mereka semua tersenyum. Aku melihat cinta yang tulus di mata mereka. Aku sempat berpelukan dengan beberapa anggota aktif yang perempuan. Kalau saja ketum dan para senior itu perempuan..sudah kupeluk juga mereka satu-satu. Terima kasih, terima kasih banyak.


***
Hei, pantai dan laut. Kamu percaya kan sekarang. Cinta bisa membuat sesuatu yang mustahil menjadi mungkin. Aku merasa menjadi orang paling beruntung hari itu. Sekarang aku sama dengan mereka. Aku akan jadi bagian keluarga TWP. Selamanya...


Batakan, 24 Februari 2019.

Minggu, 03 Februari 2019

Pepes Telur Asin ala Nai

13.32 2 Comments
Siang ini hari ke sekian aku tak enak hati. Salah satu caraku mengatasinya kali ini adalah dengan bereksperimen macam terjun payung tanpa parasut alias memasak tanpa buku panduan.


Di dapurku ada 3 biji telur asin mentah. Ada tomat, jagung, lombok besar hijau, ramania mentah, bawang merah.



Semua bahan kucuci. Kuiris tipis. Kutaburi garam dan gula secukupnya. Di dapurku tidak ada penyedap, tidak ada MSG, semua aman.

Setelah itu semua bahan yang sudah kuiris tipis tadi kumasukkan dalam daun pisang yang sudah diganggang atau diasap di atas api sebelum dan sesudah telur asin mentahnya dimasukkan. Daun dilipat rapat dan disemat pakai lidi, lalu dikukus dalam api sedang.

Bukan belajar namanya kalau tidak ada kesalahan alias keerorran. Hehe. Namanya juga eksperimenku...

Air dalam panci kukus kebanyakan, hehe. Pepesanku nyaris terendam. Ini kalau ketahuan mertua bisa tercemar nama baik. Wkwkwk.

Tidak lama kemudian...pepes telur asinku dah jadi..


Rasanya sih biasa saja tapi bagiku ini pencapaian luar biasa hari ini. Besok besok eksperimen apa lagi ya?