Rabu, 30 Januari 2013
Nailiya Nikmah
04.38
0 Comments
Ketika Asma Curhat*
(Analisis Sudut
Pandang dalam Novel Pengikat Surga Karya
Hisani Bent Soe)
Oleh Nailiya Nikmah
JKF
Karya
sastra diciptakan dengan daya kreativitas dan imajinasi. Kreativitas itu
merupakan upaya pengarang melahirkan pengalaman batin dalam karyanya sekaligus memilih unsur-unsur terbaik dari pengalaman
hidup manusia yang dihayatinya. Pengalaman-pengalaman
tersebut diramu dengan imajinasi pengarang. Novel merupakan salah satu jenis
karya sastra. Novel secara fisik memberi ruang yang luas kepada pengarang untuk
menuangkan sebanyak-banyaknya pengalaman hidup yang diramunya dengan kreasi dan
imajinasi.
Seperti
karya sastra lainnya, novel dibangun oleh unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Salah satu unsur tersebut adalah tokoh. Ada
empat cara utama untuk menampilkan tokoh dalam fiksi, yaitu dengan cara memberitahu
pembaca, meminta tokoh bercerita, menyuruh tokoh lain bercerita, dan menggunakan
tindakan tokoh. Selain itu ada cara lain, dengan bahasa tubuh, emosi dan dialog
(Silvester dan Alexander,2004:32)
Ketika
memperoleh ide suatu cerita, pikirkan siapa yang menceritakannya. Di sinilah sudut
pandang masuk. Beberapa jenis sudut pandang, yaitu (1) sudut pandang orang pertama
yang terdiri dari (a) protagonis org pertama – aku adalah tokoh utama yg
menceritakan kisahnya sendiri; (b) saksi orang pertama - cerita tokoh utama
diceritakan oleh tokoh lain; (c) pencerita-kembali orang pertama—cerita
diceritakan oleh orang yang telah mendengar cerita itu dari orang lain, (2)
sudut pandang orang kedua, (3) sudut pandang orang ketiga.
Novel
berlatar sejarah bukan sesuatu yang asing sebenarnya. Yang terkesan baru,
mungkin adalah novel berlatar sejarah Islam. Sebagai sebuah novel sejarah Islam
– (: sejarah kenabian) pengarang
novel Pengikat Surga (PS) cukup
berani mengambil sudut pandang orang pertama, yaitu sudut pandang tokoh utama
dalam novel ini. Ini dapat dikatakan unik sekaligus juga berisiko. Tokoh utama
dalam novel ini adalah Asma. Asma bukan sembarang Asma. Dia adalah Asma Bint
Abu Bakar, putri tercinta sang pembenar, putri seorang sahabat dekat
Rasulullah.
Asma dilahirkan 17 tahun sebelum Muhammad Saw. diutus menjadi Nabi
(Quthb,1995:15). Dia menyaksikan pengutusan Muhammad sebagai Nabi, mengetahui
detil-detilnya karena ia terlibat di dalamnya. Asma adalah anggota keluarga Abu
Bakar yang sekian lama menjadi tempat singgah yang aman bagi Rasulullah.
Rasulullah hampir setiap hari mengunjungi rumah Abu Bakar.
Di kemudian hari semua terpesona dengan sejarah yang diukirnya melalui
sabuknya pada peristiwa hijrah Rasulullah yang ditemani ayahanda tercinta. Pada
hari keberangkatan dari Gua Tsur menuju Yastrib, Asma lah yang membuatkan bekal
perjalanan. Dia lupa membawa tali untuk mengikatkan makanan dan minuman pada
tunggangan. Dengan kecerdasannya, ia melepas sabuknya dan membelahnya jadi dua.
Rasul bersabda, “Allah telah menggantikan sabukmu ini dengan dua sabuk di
surga.” Peristiwa ini selalu dikenang oleh kaum muslim sepanjang masa. Sebuah
gelaran ia dapat dari peristiwa ini. Ya, dialah Asma Dzaatu Nathaqain.
Bukit batu terjal menuju Tsur telah
terlihat. Mendakinya tak mungkin dengan menenteng makanan. Makanan ini harus
kuikat kebadanku agar aku lincah bergerak. Tak ada kain yang dapat kugunakan
untuk mengikat makanan ini. Aku luput memikirkan untuk menyiapkannya. Aku
meraba sabuk yang menahan perutku … Aku memotong sabukku memanjang menjadi
dua…. (hlm 223)
Tidak hanya itu keistimewaan Asma. Dia adalah tokoh perempuan yang pernah
menghadapi “dua setan” dengan ketabahan hati, yaitu Abu Jahal dan Al Hajjaj ibn
Yusuf Al-Tsaqafi. Dalam Novel Pengikat
Surga baru satu setan yang diceritakan (hlm 224).
Keunikan
pemilihan sudut pandang pada novel ini sudah terlihat sejak paragraf pertama.
Kami berlarian saling kejar mengejar menuju
bukit Shafa. Minggu ini kali ketiga kami melakukannya. Skornya 2-1 untuk aku.
Dan kali ini, ia, Ruqayyah, sahabatku, mengatakan ia akan menyamakan kedudukan.
…(hlm 1)
Novel ini dimulai dengan adegan kejar-kejaran dua sahabat, perempuan!
Bukit Shafa, Ruqayyah, dua kata yang sudah memperlihatkan pada pembaca betapa
istimewanya cerita yang akan dituturkan pengarang. Otak pembaca disirami
keindahan imajinasi membayangkan dua perempuan berkejaran menuju bukit Shafa
dalam rangka bermain, disamping itu otak pembaca juga “terjaga” untuk selalu
“waspada” dan bertanya-tanya, ada apa selanjutnya. Kenapa Ruqayyah yang dipilih
sebagai pendamping tokoh utama di permulaan novel ini? Tentu ini bukan pilihan
iseng. Semua terjawab ketika membaca teks selanjutnya, Teks selanjutnya pun
menimbulkan pertanyaan yang dijawab di teks berikutnya lagi. Begitu seterusnya
Novel ini dari awal sudah mengingatkan pembaca bahwa novel ini dijaga
staminanya oleh pengarang. Oleh sebab itu, pembaca pun harus menjaga staminanya
untuk bisa menikmati novel ini hingga tetes terakhir. Sebuah novel sejarah
sangat rentan menebarkan virus bosan dan ngantuk pada pembacanya. PS pun tak
mustahil akan menyebarkan virus tersebut padahal membaca novel ini sampai tamat
adalah sesuatu yang sangat bermanfaat bagi pembaca. Hisani Bent Soe sepertinya
sangat menyadari kelemahan sebuah novel sejarah. Untuk itulah ia memilih sudut
pandang yang unik dan cukup berisiko ini. Sebuah sudut pandang yang sifatnya
menyuarakan semua hal tentang tokoh utama bahkan sampai hal-hal yang
tersembunyi di hati sang tokoh. Pengarang sangat berani mengupas semua hal
tentang Asma, bahkan sampai hal-hal kecil yang mungkin selama ini luput dari
bahasan para sejarawan. Hal kecil yang justru membuat novelnya semakin indah.
Tiba-tiba saja Mush’ab dan AzZubayr datang
ke rumahku. Lamunanku buyar. Aku gugup demi melihat kehadiran mereka berdua.
Ayah mempersilakan mereka duduk dan membincang alokasi-alokasi keuangan yang
harus dilakukan dengan cermat. Sesekali
Az Zubayr menatapku. Tak sanggup
menahan gugup, aku berlalu saja ke kamarku. (hlm 101)
Aku memperhatikan semua kesibukan persiapan
hijrah. Jika berpapasan dengan Az Zubayr mata kami saling menatap. Mataku
berkata padanya temuilah ayahku. Tetapi aku memahami situasi ini … sesuatu yang
dinamakan kerinduan, kerinduan untukmu Az Zubayr!!! (hlm 125)
Hal kecil
lainnya ada pada kutipan teks berikut:
Aku meraba sabuk yang menahan perutku.
Bayiku bereaksi tanda persetujuan. …(hlm 223)
Kutipan tersebut mengisahkan bagian dari peristiwa Asma sampai bergelar
Si Dua Sabuk. Berapa banyak yang tahu bahwa saat itu Asma sedang hamil?
Gaya bertutur pengarang dalam PS persis gaya seorang perempuan
yang sedang curhat. Entah dengan
seseorang, atau mungkin curhat di buku diary. Pilihan pengarang terhadap Asma
sebagai tokoh utama novel ini sangat tepat mengingat Asma adalah anak Abu Bakar
– orang terdekat Rasul. Asma juga saudara seayah Aisyah – istri Rasul. Dan yang
lebih penting lagi, Asma hidup sejak Muhammad belum diangkat menjadi
Rasulullah. Dari segi politis, Asma mengetahui banyak hal sehingga ketika Asma
yang dipilih oleh pengarang untuk jadi tokoh utama, pilihan tersebut sangat
tepat. Melalui curhatan Asma, pembaca
bisa belajar banyak hal tentang sirah.
Pembaca juga disuguhi pengetahuan seputar turunnya ayat Quran secara berurutan
tanpa menyadarinya.
Disamping keunikan dan kelebihan-kelebihan di atas, PS dengan sudut
pandang orang pertama juga memiliki risiko dan kelemahan. Pada suatu adegan
atau peristiwa yang saat itu Asma tidak ada atau tidak melihat, sudah pasti tak
bisa diceritakan dengan gaya
yang serupa. Yang bisa diceritakan “aku” adalah yang dilihat, dialami, dan
dirasakan “aku”. Kelemahan ini diantisipasi dengan cantik oleh pengarang.
Pengarang menggunakan teknik Asma bertutur berdasarkan cerita tokoh lain
kepadanya. Ini bukan pekerjaan gampang. Pengarang harus jeli dan cermat, tokoh
mana yang dalam faktanya benar-benar menyaksikan peristiwa tersebut dan
berkesempatan menceritakaannya kembali sehingga sampai ceritanya ke tokoh
utama. Misalnya, kejadian di Gua Tsur. Saat itu hanya ada Rasul dan Abu Bakar.
Bagaimana cerita tersebut bisa menjadi curhatan
Asma?
Aku ingat bagaimana Ayah menceritakan pada
kami, tentang yang terjadi sewaktu hijrahnya bersamaRasulullah.
“Aku berjalan kadang di depannya, kadang di
belakangnya. Aku takut sesuatu menyergap Rasulullah. Lalu kami mencapai Gua
Hira…. (hlm 363-364)
Sekali lagi, pemilihan Asma sebagai tokoh utama dalam PS sangat tepat.
Asma mendapat cerita tersebut langsung dari tokoh ayah. Contoh lain adalah pada
saat pengarang ingin menjelaskan peristiwa Isra Mi’raj. Dipilihlah dialog
antara Asma dengan sang sahabat, Ummu Kultsum.
“Apa yang Rasulullah ceritakan padamu
tentang Israa Mi’raj?”
“Jibril datang di pembuka malam. Membawa
ayahku ke beranda Masjid Al Haram. Dan di sana
ada buraq”…(hlm 178)
PS memadukan keakuratan sejarah kenabian dengan romantika seorang
perempuan bernama Asma. Hanya saja pengarang perlu menyiapkan jawaban ketika
ada yang iseng bertanya, bukankah novel adalah karya fiksi, lantas pada bagian
manakah di PS yang merupakan fiksi? Bisa
saja pada bagian geretek hati Asma
lah fiksi nya muncul, ketika Asma merindukan Az Zubayr, ketika Asma cemburu
pada Atikah Bint Zayd, atau pada bagian lain? Apapun itu, PS sangat lezat
dinikmati hingga hidangan penutup. Ending
novel ini pun benar-benar mengejutkan. Novel ini ditutup dengan sebuah kalimat
yang sangat mengguncang.
“Aku menceraikanmu”
*Disampaikan pada Bedah Novel "Pengikat Surga" karangan Hisani Bent Soe,
Banjarmasin 11 Juli 2010 -- Olah gawe FLP Banjarmasin
Ayo, Belajar !
(Bicara Pendidikan di
Buku Pelajaran Bahasa Karangan Sainul
Hermawan)
(Buku Pelajaran Bahasa Karangan Sainul
Hermawan dalam Perspektif Pendidikan)
A. Sebuah
Pengantar
Tuntutlah
ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Pepatah ini sudah tak asing lagi tetapi
benarkah ketidakasingan terhadap pepatah ini menjamin dalamnya pemaknaan
terhadap pepatah tersebut? Pelajaran
Bahasa (PB) karangan Sainul Hermawan mencoba menuliskan jawabannya. PB
seperti sebuah komplek sekolah yang menyediakan beragam jenjang, kelas dan
bahkan bidang-bidang spesialis yang ingin ditekuni oleh murid. “Cantik”
berjenjang sekolah dasar diwakili oleh Nauka murid kelas 3. “ Pelajaran Bahasa”
berjenjang sekolah menengah pertama diwakili oleh Iyus, “Parang” dan “Nanang
dan Galuh” mewakili jenjang sekolah menengah atas, “Asty Amelia” mewakili
perguruan tinggi. PB juga menghadirkan sekolah yang tidak formal. PB juga
menyuguhkan pelajaran di luar dinding-dinding bangunan bernama sekolah.
“Sarak”
yang berarti cerai merupakan sebuah cerpen yang memberikan pelajaran
pernikahan. Pelajaran tentang posisi perempuan yang berstatus istri dihadapan
laki-laki yang menikahinya. “Lelaki yang maha esa” memberikan pelajaran tentang
sikap seorang anak terhadap orang tuanya dan sebaliknya. “Asty Amelia” berisi
pelajaran tentang teknologi bernama internet. “Sakadup”, “Mariana yang Bimbang”,
“Lima Liang Banua”, “Kuburan”, “Pangeran Facebook”, “Radius Satu: Tanatos!”
merupakan kelas-kelas khusus yang memberi ruang pendidikan politik. Menariknya,
‘sekolah’ yang dibangun oleh Sainul adalah sekolah yang bervisi politik dan
moral.
Lantas,
sejak kapan dan sampai kapan para murid sebaiknya menikmati pendidikan? “Kuburan” pun menjawab bahwa pendidikan itu
sejak lahir sampai mati. Belajar itu tidak hanya dari orang yang masih hidup
tapi juga dari orang yang sudah mati!
B. Pendidikan
Berbasis Karakter dalam PB
Pendidikan adalah “proses pengubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik
(KBBI, 2003:263).
Sejak
anak-anak memasuki usia sekolah, para orang tua mencarikan sekolah yang bagus
untuk anaknya. Tidak cukup dengan memasukkan ke sekolah yang bagus, para orang
tua pun membelikan anak-anaknya perlengkapan dan fasilitas penunjang belajar
bahkan mendaftarkan anak-anaknya les macam-macam. Kalau perlu memanggil
pengajar ke rumah. Betapa inginnya orang tua melihat anak-anaknya sukses dalam
pendidikan. Sayangnya, kadang-kadang
orang tua terlalu sempit memaknai kata sukses
untuk anak-anaknya. Sukses adalah angka 8 dan 9. Sukses adalah menjadi juara
kelas. Sukses adalah lulus ujian nasional. Tak jadi soal, bagaimana cara anak
mendapatkannya dan bagaimana anak mengurai makna hasil yang diperolehnya.
Tidak
sedikit orang tua memahami belajar dalam pengertian yang cenderung sempit.
Belajar hanya jika anaknya duduk manis sambil membaca buku teks, menghitung,
menulis ‘pelajaran’ di buku. Jadi, jika anaknya berlari-lari di halaman rumah sambil menghitung anak bebek yang
mengikuti induknya, anak sedang bermain bukan belajar. Belajar adalah melakukan
sesuatu untuk bisa lulus ujian nasional.
Ujian
nasional (UN) setiap tahunnya menghadirkan beragam fenomena. PB dengan jeli
memotret sisi memprihatinkan tentang UN
dalam Parang (23-29). Cerpen ini
menggambarkan kerabunan orang tua tentang pendidikan yang sejati. Dalam benak
orang tua, yang penting anaknya lulus UN bagaimanapun caranya.
“Saya tidak mau tahu bagaimana caranya, anak
saya harus lulus! Kalau sampai dia gagal, pian bukan hanya akan berpisah dengan
anak saya dan kawan-kawannya, tapi kepala pian itu bisa pisah dari badan.”
(hlm 24)
Jika
UN tiba guru-guru dan murid-murid yang masih idealis akan mengalami ‘demam
kelas’, sedangkan yang tidak jujur malah berlenggang santai seolah tidak
terjadi apa-apa. Malam menjelang UN beredar sms yang berisi kunci jawaban. Guru
dan murid sama kelakuannya. Murid yang menolak meneruskan sms akan dimusuhi
oleh murid lainnya, dicap belagu, sok
pintar. Guru yang menolak meneruskan sms akan dipisuhi oleh guru-guru lain, dianggap sok jujur, sok suci, dan
sok-sok lainnya. Tidak takut ketahuan kepsek? Tentu saja tidak. Kan, kepsek yang nyuruh? Apakah kepsek tidak
takut sama kepala dinas? Tentu saja tidak. Kan kepala dinas yang nyuruh? Lalu apa sebenarnya ini? Jawabannya ada pada kutipan di
bawah:
Dia cuma bisa berandai-andai jika tak ada
passing grade, vonis lulus pusat, tekanan politik dan parang, dia merasa lebih
bahagia jadi kepala sekolah (hlm 27.)
Parang
adalah simbol kekuasaan dan kekuatan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Parang
adalah sebuah benda yang bisa melukai, tapi sebenarnya parang pun memudahkan
kita dalam beberapa pekerjaan. Seperti pisau bermata dua. Mata pisau pertama
bisa kita pakai memotong sayuran, mata pisau berikutnya bisa saja melukai muka
kita sendiri hingga berdarah. Seperti itulah karakter. Abdullah Munir dalam
pengantar bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter (2010) menyebutkan bahwa setiap
karakter memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Anak yang memiliki keyakinan
yang tinggi akan memiliki dua kemungkinan yang berbeda dan berlawanan.
Kemungkinan pertama, akan jadi anak yang pemberani, kemungkinan kedua akan jadi
anak yang sembrono karena terlalu yakin sehingga kurang perhitungan.
Murid
yang berkarakter positif menghadapi apapun termasuk UN secara positif pula.
Masalahnya penerapan pendidikan berbasis karakter memerlukan ruang yang jika
kurikulum sekarang masih dipakai mungkin tidak muat. Orang tua yang sudah
terbuka matanya terhadap pendidikan karakter diharapkan memulainya dari rumah.
Lihatlah cerpen “Cantik” (15-22). Mama Nauka sudah memulainya. Nauka diarahkan,
dibentuk untuk jadi cantik yang sejati.
Penjelasan
tentang cantik secara ramah, santun, serta memberi ruang berpendapat untuk
Nauka adalah salah satu contoh bekal minimal yang harus disiapkan orang tua
untuk pendidikan karakter. Orang tua harus meyediakan waktu rutin setiap hari
sekitar setengah sampai satu jam untuk berdialog dengan anaknya. Waktu untuk
memberikan pemahaman, melatihkan tindakan, dan melakukan muhasabah (Munir,
2010:15).
Bekal
utama berikutnya adalah visi. Orang tua harus memiliki visi yang jelas untuk
anaknya. Abah Galuh dalam “Nanang dan Galuh” bervisi meningkatkan derajat
hidup. Visi yang membuat Galuh menikah dengan lelaki lain yang akhirnya
memiliki dua anak tanpa memiliki cinta. Visi yang membuat jiwanya labil
sehingga memotivasinya mencari Nanang di facebook
setelah tujuh belas tahun berlalu. Untunglah Nanang adalah lelaki yang sejak
awal sudah memiliki visi yang jelas, yaitu “Aku
ingin memegang tanganmu saat Allah mengizinkan aku menetapkan akad nikah” sehingga
ketika Galuh menawarkan pesonanya lagi, Nanang has signed out sambil
sebelumnya menulis, “…. Tanda kasih kita
di sekolah itu sudah sirna.”
C. Pendidikan
Seumur Hidup
Mulyasa
(2004:5) menyebutkan bahwa Unesco (1994)
mengemukakan dua prinsip pendidikan. Pertama, pendidikan harus diletakkan pada
empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan
(learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together),
dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be). Kedua, belajar seumur hidup
(life long learning).
Cerpen
“Pelajaran Bahasa” sebagai sampel memperlihatkan beberapa prinsip ini.
Sudah biasa, Pak Izul menugaskan setiap
muridnya membawa satu kata yang ingin diketahuinya lebih jauh (hlm 2).
Kutipan
di atas memperlihatkan bahwa Pak Izul memberi motivasi pada muridnya untuk
belajar mencari tahu apa yang ingin diketahui; belajar mengetahui apa yang ingin
dipelajari. Hal ini sesuai dengan pilar pertama, yaitu belajar mengetahui.
Pelajaran dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan anak. Belajar terpusat pada
murid bukan pada guru.
Dia suka belajar bahasa karena dia senang
mengutak-atik kata sejak kecil (hlm 1).
Pilar
kedua, belajar melakukan tersirat dari kutipan tersebut. Iyus senang
mengutak-atik kata sejak kecil. Iyus sudah belajar melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan pelajaran bahasa.
Pilar
ketiga adalah belajar hidup dalam kebersamaan. Hal ini secara tersirat ada
dalam cerpen “Pelajaran Bahasa”, baik dari proses belajar-mengajar Iyus dan
teman-temannya maupun dari pengalaman-pengalaman Iyus dan teman-teman di luar
kelas.
Pilar
keempat, belajar menjadi diri sendiri. Dalam cerpen “Pelajaran Bahasa” tergambar
murid-murid percaya diri memberi jawaban dan mengemukakan pendapat. Tak semua
murid berani mengacungkan tangan. Ada
yang karena takut, malu, atau memang tak tahu mau berkata apa. Sikap guru pun
mempengaruhi sikap murid-muridnya. Guru yang terbuka dan menyenangkan seperti
Pak Izul tentu akan selalu memancing murid terus belajar, berani bicara, berani
berpendapat. Kelas pun hidup dengan diskusi bukan ribut dengan kata ‘setuju’,
‘iya,Pak’, ‘sama dengan si A’. Sebenarnya pilar ini secara global diwakili oleh
cerpen “Cantik.”
Prinsip
Kedua, yaitu belajar seumur hidup. Agaknya inilah yang ingin disampaikan Sainul
dalam sekolahnya yang bernama PB. Belajar tak mengenal kata tamat. Belajar pun
tak terbatas pada hal-hal yang tertulis di buku pelajaran sekolah. Belajar tak
mengenal batas waktu dan materi. Hasil pendidikan sejati tak bisa diperoleh
dengan cara instan. Sekali lagi, pendidikan tidak terbatas pada kata ‘lulus’
dan ‘nilai’.
Akhirnya,
sampai disini dulu pelajaran ini. Semoga peserta diskusi tidak bernasib seperti
kutipan ini:Mereka hasil dari perkuliahan
yang hanaya obral nilai. Daripada pusing-pusing, ya cetak saja mereka seperti
roti. Mereka kan
cuma ingin jadi sarjana? Sangat jarang yang memang ingin jadi manusia berilmu. (“Sakadup”,
hlm 37).
Flamboyan, 17 Desember 2010
Disampaikan pada Diskusi Interdisipliner Buku antologi cerpen Sainul Hermawan, Perpus Unlam Banjarmasin, Senin 20 Desember 2010
Entrepreneurship
dalam Karya Religi Berkonteks Lokal
(Sebuah Pembacaan
Novel Bulan Sabit di Langit Burniau)
Oleh Nailiya Nikmah,
S.Pd., M.Pd.
Merantau atau
pergi ke suatu tempat/negeri yang lain untuk mencari “sesuatu” kadang menjadi
pilihan wajib bagi orang-orang yang berpikiran kreatif. Tak jarang, manusia
menemukan titik cerahnya setelah ia pergi ke tempat lain. Dalam jagat kisah, Malin Kundang – terlepas
dari label anak durhaka yang ia terima – pun telah membuktikan hal ini. Kisah
yang melegenda ini secara tersirat menyampaikan bahwa orang Minang adatnya
merantau. Konsep merantau pun ada dalam budaya masyarakat Banjar. Adanya
istilah madam cukuplah menjadi salah
satu pembukti hal ini. Dalam Kamus Banjar Indonesia terdapat istilah madam ‘merantau’; bamadaman ‘bepergian’(Hapip, 2001:114).
“Sesuatu” yang
dicari di perantauan tak harus berupa harta benda atau materi yang terlihat.
Ilmu pun adalah “sesuatu” yang bisa diperoleh dengan cara pergi ke negeri
seberang. Inilah yang dilakukan Rasyid, tokoh utama dalam novel Bulan Sabit di Langit Burniau karangan
Hafiez ‘Aliyatul Anwar. Rasyid pemuda asli Martapura diberangkatkan oleh Haji
Syamsuddin ke Tanah Jawa untuk menutut ilmu.
Di kota Apel, Rasyid tak
hanya berkesempatan menuntut ilmu. Persis seperti apa yang ditengarai oleh salah
satu tokoh dalam novel ini, yaitu Pak Haji, Rasyid memiliki jiwa entrepreneur.
Jadi – meminjam istilah Ahmad Tohari – Rasyid ini adalah cerita yang
mengeksplorasi santri salaf metropolis dan musafir yang sadar entrepreneurship.
Menurut
Suharyadi, dkk (2008: 9-10), semangat kewirausahaan dibangun berdasarkan asas
pokok sebagai berikut : a. kemauan
kuat untuk berkarya (terutama dalam bidang ekonomi) dan semangat mandiri; b. mampu membuat keputusan yang tepat dan berani
mengambil risiko; c. kreatif dan
inovatif; d. tekun, teliti dan
produktif; serta e. berkarya dengan
semangat kebersamaan dan etika bisnis yang sehat. Jika kita cermat membaca
BSdLB kita akan menemukan hal-hal tersebut.
Ambillah satu
contoh berikut, Ia berniat jika nanti
memang uang itu tak ia gunakan, ia akan kembalikan uang itu kepada Pak Haji. Ia
tak nyaman jika harus terus bergantung hidup kepada orang lain yang bukan
siapa-siapa baginya (hlm 19).
Di Malang, ia
bekerja menjadi tukang ketik di sebuah rental. Ia juga bekerja di Dinoyo
Printing, di bagian penyablonan (hlm 19). Rasyid tidak menggunakan uang kiriman
Pak Haji jika tidak mendesak, ia bahkan berniat mengembalikan uang Pak Haji.
Secara keseluruhan saya melihat novel ini sebagai novel religi berjiwa
entrepreneurship.
Pada bagian
pertama diceritakan kilas balik riwayat keberadaan Rasyid di kota
Malang. Ibu
Rasid meninggal setelah melahirkan Rasyid dan saudara kembarnya. Tak berapa
lama, ayahnya meninggalkannya pergi bersama saudara kembarnya itu. Rasyid
dititipkan kepada Julak Basun. Kehidupan Rasyid bersama Julak Basun adalah
episode yang penuh perjuangan. Sejak kecil, Rasyid bangun sebelum fajar. Ia dan
Julak Basun membuat kue kemudian menjajakannya dan menitipkannya ke
warung-warung. Sepertinya Julak Basun lah yang menanamkan “bakat” entrepreneur
dalam diri Rasyid. Saat Rasid 14 tahun, Julak Basun meninggal. Ia diasuh oleh
Kakek Abdul Ja’far – ayah dari ibu Rasyid. Pengasuhan Kakek Ja’far merupakan
penyeimbang didikan Julak Basun. Kakek Ja’far mendidik Rasyid agar tahu diri
sebagai hamba Allah. Kakeknya pula yang membuat Rasyid mondok di Darul Hijrah asuhan Kiai Muhammad Karim Mubarak. Pondok
yang membuat ia berkesempatan nyantri ke Hadramaut (hlm 12-13).
Selepas mondok,
atas petuah Kakeknya, Rasyid tak lantas berbelok menjadi ulama. Ia tetap mantap
di jalur “pengusaha”. Rasyid pun bekerja di toko intan milik saudagar kaya,
Haji Syamsuddin yang tak lain adalah teman kakeknya. Sifat-sifat baik Rasyid
membuat Haji Syamsuddin terpesona. Ia tidak hanya menguliahkan Rasyid tapi juga
ingin menikahkan Rasyid dengan putrinya yang cantik (hlm 6).
Di bagian kedua
diceritakan pertemuan Rasyid dengan Zahra setelah sebuah insiden “kebetulan”.
Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Pada bagian selanjutnya akan terlihat
bahwa insiden ini adalah sebuah tanda bagi kehidupan Rasyid di masa depan.
Bagian ketiga menggambarkan secara bertahap keistimewaan Zahra. Perangainya yang ramah, tutur kata lembut,
santun, sopan, gaya
berpakaiannya bear-benar berbeda dari yang lain, muslimah dan cantik
buuuaaanget…apalagi ia putri seorang Kiai (hlm 50).
Bagian keempat
memuat dua hal yang kontras. Rasyid menerima lamaran Kiai Syamsuddin untuk
Amelia sedangkan di pihak lain, Zahra telah jatuh hati dengan Rasyid, pemuda
Banjar yang telah menolongnya. Konflik cinta segitiga pun mulai terlihat di
bagian kelima dan keenam, antara Rasyid, Zahra dan Amelia. Di bagian ini
ketiganya, dikisahkan sama-sama pulang kampung. Uniknya, Zahra bertemu dengan
Amelia di ruang tunggu keberangkatan. Kepulangan Rasyid adalah kepulangan
Kakeknya ke alam baka. Pada bagian tujuh dan delapan diceritakan kepergian sang
kakek untuk selamanya.
Bagian sembilan
masih mengisahkan kepedihan Rasyid ditinggal Kakeknya. Di bagian Zahra,
dikisahkan rencana reuni pondok. Di bagian ini lah Rasyid bertemu lagi dengan
Zahra, kali ini Rasyid bisa dengan lengkap mengetahui identitas Zahra yang
ternyata adalah putri Kiai nya. Zahra yang jatuh cinta pada Rasyid sejak
pandangan pertama, tak bisa menerima pinangan orang lain. Ia telah berharap
Rasyid lah jodohnya. Bagian 10 dan 11 memuat kesalahpahaman Zahra terhadap
pinangan lelaki lain yang berujung penolakannya pada pinangan tersebut. Rasyid
sendiri seandainya belum dijodohkan dengan Amelia pun sebenarnya tertarik
dengan Zahra (hlm 162).
Di bagian 12 dan
13, keinginan Rasyid untuk bisa bertemu dengan Amelia menjadi kenyataan. Ia
bertemu untuk pertama kalinya dengan Amelia ketika gadis itu membeli beras di
kios Acilnya. Pernikahan dipercepat karena Haji Samsuddin tak berumur panjang.
Sebelum meninggal, Haji Samsuddin menikahkan Rasyid dan Amelia.
Sayang,
kebahagiaan keduanya tak berlangsung lama. Di bagian 14, 15 dan 16, Rasyid
mengalami kecelakaan. Kapal yang ia tumpangi dari Jawa ke Banjarmasin mendapat musibah. Rasyid
menghilang tak diketahui rimbanya. Rasyid termasuk dalam daftar orang hilang
(hlm 217). Amelia sangat terpukul, apalagi ia dalam kondisi hamil. Akhirnya,
Zaki, anak mereka terlahir tanpa mengenal ayah kandungnya.
Sepeninggal
Rasyid, Amelia menikah lagi dengan Mujahid. Masalah pun muncul, ternyata Rasyid
tidak meninggal dalam kecelakaan itu. Pada bagian 17 dan 18 Rasyid muncul dan
menceritakan kejadian yang menimpa dirinya sampai ia bisa kembali lagi. Ternyata
Rasyid sempat kehilangan memori. Di bagian 19 dituliskan Amelia menemukan kembali
cintanya yang hilang. Hal ini membuat Amelia tak mampu menahan gejolak jiwanya.
Ia menemui Rasyid untuk mengungkapkan isi hatinya. Tapi keimanan Rasyid membuat
Rasyid mampu menahan dirinya. Ia berusaha tidak menghiraukan ekspresi muka
mantan istrinya supaya tidak ikut terbawa perasaan (hlm 252).
Rasyid
menegaskan pada Amelia bahwa mereka bukan suami istri lagi. Yang mestinya
Amelia lakukan adalah memuliakan suaminya suaminya sekarang, yaitu Mujahid.
Mereka harus menerima kenyataan ini sebagai sebuah ketetapan dari Allah. Pertemuan Amelia dengan Rasyid ternyata
diintip oleh Mujahid. Setelah Amelia pergi, Mujahid pun menemui Rasyid. Tak
sedikitpun Mujahid menunjukkan sikap marah. Mereka berbicara antara sesama lelaki
yang mencintai Amelia. Mujahid menghormati Rasyid sebagai orang yang dicintai
amelia. Sikap ikhlas Mujahid membuat Rasyid bangga terhadap orang yang akhirnya
ia panggil Dangsanak. Rasyid pun
merasa bahwa Mujahid adalah orang yang pantas menjadi suami Amelia. Ia yakin,
Mujahid bisa membahagiakan Amelia. Hal ini membuat Rasyid lega. Ia dan Mujahid
sepakat untuk sementara antara Rasyid dan Amelia tidak usah bertemu.
Bagian 20 adalah
bagian yang di dalamnya terdapat sebuah kisah lama, legenda urang banua Banjar,
manakib Syaikh Muhammad Arsyad AlBanjary, Datuk Kelampayan. Kisah tersebut
digunakan oleh Mujahid untuk membujuk hati Amelia yang sedang “galau” karena
kemunculan Rasyid. Hingga akhirnya hati Amelia pun sadar dan kembali ke bilik
hati Mujahid, suaminya yang sekarang. Masalahnya sekarang adalah bagaimana
dengan si kecil Zaki? Ya, Zaki anak Amelia dengan Rasyid. Di Bagian 21 Rasyid
dipertemukan dengan Zaki oleh neneknya, yaitu ibu dari Amelia. Pada saat itu,
sang nenek juga menawari Rasyid menjadi konsultan bisnis rumah makannya. Pada
saat yang hampir bersamaan Rasyid juga ditawari menjadi manajer tambak oleh
Kiai Karim. Di bagian 22 dan 23 pertemuan Rasyid dan Zahra mendominasi alur.
Hingga di bagian 24 Kiai Karim meminta Rasyid menikahi Zahra.
Novel BSdLB
tergolong novel religi karena jika kita membacanya dengan seksama akan terasa
sekali nuansa religi tersebut. Unsur religius tersebut tidak hanya karena novel
tersebut berlatar Martapura yang sudah dikenal sebagai kota santri tapi secara keseluruhan,
tokoh-tokoh yang terdapat dalam BSdLB berkarakter kuat sebagai muslim dan
muslimah yang taat. Tokoh utamanya, Rasyid adalah pemuda soleh yang begitu
sering mendapat ‘kebetulan’yang menguntungkan. Sebagai seorang lelaki, Rasyid
merupakan tokoh yang nyaris sempurna dalam novel ini. Tokoh-tokoh lain pun
mirip dengan Rasyid. Terutama Mujahid, rival Rasyid dalam persoalan Amelia.
Mujahid tidak kalah soleh dibanding Rasyid. Tokoh-tokoh perempuannya pun
solehah-solehah dan cantik-cantik dengan hati lembut seperti salju.
Hampir tidak ada
konflik yang tajam dalam novel ini, kecuali ketika Rasyid hilang dalam sebuah
kecelakaan kapal dan konflik Amelia dengan Mujahid pasca kemunculan Rasyid.
Uniknya, konflik tersebut justru lebih mengarah pada konflik batin Amelia.
Kisah Syarifah akhirnya menempatkan Mujahid pada posisi pemenang di hati
Amelia. Lantas, bagaimanakah dengan Rasyid? tidak salah lagi, yang menjadi
pendamping Rasyid adalah Zahra. Novel ini mengingatkan kita pada gaya karya-karya Kang Abik
(Habiburrahman Elshirazy). Karya yang tidak memunculkan konflik antara tokoh
antagonis dan protagonis seperti konflik cerita pada umumnya. BSdLB persis
seperti karya-karya Kang Abik yang menghadirkan dunia malaikat ke dalam cerita.
Di satu sisi, hal ini bisa menjadi kelemahan jika pengarangnya tidak
menyadarinya. Di sisi lain, hal ini mungkin menjadi kekuatan jika memang
pengarangnya memilih dengan sadar alur yang ia pilih untuk ditempuh para
tokohnya.
Maka, Rasyid
telah membuktikan bahwa sesuai dengan janji-Nya, perempuan yang baik untuk
laki-laki yang baik, laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik.
*disampaikan pada Bedah Novel Bulan Sabit di Langit Burniau, MAN 2 Model Banjarmasin, 27 April 2012
Ayah, Berhentilah
Merokok…!
Oleh Nailiya Nikmah
JKF
Ini
adalah sepenggal episode hidupku bersama Ayah. Mungkin ayahku takkan pernah
membaca tulisan ini karena ayahku tak kenal facebook. Aku harap tulisan ini
jadi prasasti cintaku pada ayah dan cinta ayah kepadaku.
Ayahku
adalah lelaki penyayang. Ia tak tega melihat makhluk apapun tersakiti. Membunuh
seekor semutpun ayahku tak tega. Beberapa kali halaman rumah didatangi ular.
Bukannya membunuh ular tersebut, Ayah malah mengobrol dengan ular tersebut
sambil menunjukkan jalan keluar dari halaman rumah. Begitu juga dengan tikus
yang kadang datang mengganggu. Ayah tak pernah mau memasang perangkap atau
meracun. Kasihan, kata ayah. Waktu Ibu sedang mengandung aku, Ayah pernah
menolong seekor kucing yang hamil tua dan sedang mencari tempat untuk
melahirkan. Kata ibuku, sejak itulah di rumah nenekku banyak kucing.
Ayah
berhati lembut tapi kalau berkata-kata kadang agak kasar, apalagi bagi orang
yang belum mengenalnya. Waktu kecil aku sangat segan terhadapnya. Ayah sangat
disiplin, rapi, teliti. Konon, waktu Ayah masih bujang, kamar ayah bisa dijilat
saking bersihnya. Sebelum masuk kamar, kami terbiasa cuci kaki. Aku dan adikku
tak pernah membawa mainan ke atas tempat tidur. Kalau sampai ada mainan di atas
tempat tidur, artinya kita sudah bosan dengan mainan tersebut alias akan
dibuang ayah.
Ayah
tak suka jalan-jalan. Hobi Ayah adalah membaca. Hobi ini menular pada kami,
anak-anaknya. Kalaupun Ayah mengajak kami jalan-jalan, maka tempat yang dituju
adalah toko buku, pameran buku, ya tidak jauh-jauh dari buku. Kalau aku, adikku
dan Ayah sudah memegang buku, sepertinya tak ada yang menarik lagi di dunia
ini.
Meski
tegas dan disiplin – kadang terkesan otoriter, Ayah sebenarnya demokratis.
Ketika aku masih duduk di bangku sekolah, hampir tiap malam kami berdiskusi
tentang apa saja. Ayah tak gengsi mendengarkan pendapat kami. Satu hal yang tak
bisa disepakati Ayah, yaitu masalah rokok (dulu ayahku perokok). Tiap kami
menasehati ayah agar berhenti merokok, kami selalu kalah argumen. Macam-macam
alasan Ayah. Satu yang menurutku paling aneh, yaitu ayah merokok karena setia
kawan! Kata Ayah, sungguh tidak enak kalau sedang berkumpul dengan teman-teman
yang semuanya merokok, lalu kita tidak merokok. Rasa gimana…gitu. Aku hanya geleng-geleng
kepala.
Ayah
sudah sering dinasehati oleh dokter agar berhenti merokok karena ayah sering
mengalami serangan sakit dada mendadak.
Waktu itu, aku belum tahu teori tentang perokok pasif yang justru lebih
menderita daripada perokok aktif. Yang kutahu hanyalah ayahku perokok, ayahku
sakit dada, ayahku harus berhenti merokok. Aku belum tahu penjelasan ilmiah
tentang rokok semisal kandungan nikotin dan kawan-kawannya itu. Aku juga belum
membaca referensi tentang cara berhenti merokok dan cara menolong orang agar
bisa berhenti merokok. Aku juga belum tertarik untuk mempelajari hukum merokok
menurut agama. Aku pun belum pernah melakukan hitung-hitungan andai uang rokok
ayahku dikumpulkan untukku saja. Aku belum terpikir semua itu. Yang ada dalam
pikiranku saat itu hanyalah aku mencintai ayah, aku tak mau ayahku mati
gara-gara rokok.
Lalu
sore itu, menjelang azan maghrib berkumandang seperti biasa, kami
ngobrol-ngobrol bersama Ayah. Aku berkata, “Ayah, seandainya aku meninggal, aku
meminta satu permintaan terakhir, apakah ayah akan mengabulkan?” tanyaku.
“Memangnya
kau mau minta apa?” tanya Ayah.
“Aku
minta, Ayah berhentilah merokok… Ya, Yah. Jangan lupa, ini pesanku kalau aku
mati duluan” Entah darimana aku dapat kalimat tersebut. Yang jelas, sebagai
anak-anak pada saat itu aku sudah kehabisan bahan untuk menasehati Ayah.
Subhanallah.
Sungguh ajaib, sejak itu, Ayahku benar-benar berhenti merokok. Hari ini belasan
tahun telah berlalu, tak jarang ibuku mengungkit cerita lama tersebut sambil
berkata, “Tuh, Ayahmu tak mau mendengarkan kata-kata Ibu, tapi mendengarkan
anak-anaknya mau aja”
Aku
suka tersenyum sendiri jika mengingat peristiwa tersebut. Apakah sebenarnya
yang membuat ayahku berhenti merokok? Aku tak pernah menanyakannya, dan aku tak
ingin bertanya. Biarlah aku merasa senang dan bangga dengan satu simpulan yang
kuukir sendiri bahwa ayahku berhenti merokok karena ia tahu aku mencintainya
dan karena ia pun mencintai kami, anak-anaknya.
Perpisahan di Cakrawala
Oleh Nailiya Nikmah
JKF
Sahabat
saya yang berprofesi sebagai guru TK pernah bercerita. Sehari setelah hari
perisahan dia dengan murid-muridnya – ia pindah mengajar karena mengikuti suami
– ia ditelepon orang tua murid. Orang tua murid tersebut meminta sahabat saya
untuk membujuk anaknya lewat telepon. Ternyata sang murid mogok sekolah
gara-gara sahabat saya pindah. Sang murid sudah terlanjur cinta pada sahabat
saya dan tak mau diajar oleh guru lain.
Bukan
hanya karena usia sang murid yang masih terlalu belia untuk bisa memahami arti
sebuah perpisahan melainkan adanya ikatan emosional antara sahabat saya dengan
dirinya. Ikatan emosional yang sudah terjalin kuat takkan mudah diputuskan
begitu saja. Ikatan emosional inilah yang kadang membuat kita berat menerima
perubahan. Sepertinya, inilah yang sedang melanda dunia sastra di Kalsel. Pasca
kepergian Sandi Firly sang perintis Cakrawala, kelesuan melanda bumi Cakrawala.
Iklim sastra Kalsel seperti mendadak dingin bahkan membeku. Setidaknya itulah
yang terlihat di Cakrawala beberapa edisi terakhir.
Tak
bisa kita pungkiri rubrik Cakrawala yang meski hanya satu kali sepekan muncul
di Radar ini adalah satu-satunya media yang tekun membina, mendukung dan
memfasilitasi kebutuhan bersastra masyarakat Kalsel. Bisa dikatakan Cakrawala
adalah ikon sastra di Kalsel setidaknya untuk delapan tahun terakhir. Cakrawala
tidak sekedar sarana “memajang” karya sastra tapi juga sarana informasi dan
komunikasi bagi masyarakat sastra Kalsel. Cakrawala pula yang memberi ruang
seluasnya untuk pendidikan politik sastra melalui pemuatan esai, kritik dan
artikel para penulis Kalsel. Bagi saya pribadi, Cakrawala lah yang
menghubungkan saya kembali dengan guru-guru bahasa sastra saya seperti Pak
Hasbi Salim dan Ibu Diana Murni.
Pemangkasan
alias penyempitan lahan Cakrawala seperti awal dari sebuah mimpi buruk bagi
perkembangan sastra Kalsel. Terlepas dari apapun alasannya, saya menyebutnya
ini semacam membuang perangai. Siapa
yang membuang perangai? Ya, tidak
salah lagi, Sandi firly yang membuang
perangai. Bukankah penyempitan lahan Cakrawala disusul oleh kepergian Sandi
dari bumi Cakrawala. Seolah-olah Sandi telah berwasiat “Wahai pewaris tahtaku
selanjutnya (penulis tidak mengkhususkannya untuk Randu), bersiap-siaplah untuk
pekerjaan yang tidak mudah…lakukanlah sesuatu untuk kelangsungan hidup di
Cakrawala”
Maka
jangan heran, dalam kolomnya Randu pernah menuliskan betapa ia merasa ada beban
yang tidak ringan ketika menerima tampuk kepemimpinan selanjutnya. Ini adalah
kali pertama Cakrawala mengalami perubahan “presiden”. Wajar jika akan ada
wacana pembandingan, Cakrawala di tangan Sandi Vs Cakrawala di tangan Randu.
Hal yang biasa pula jika ada yang dengan berat hati berusaha menerima; atau
yang ekstrim menolak mentah-mentah.
Perihal
Cakrawala Sandi Vs Cakrawala Randu ini, izinkanlah saya menganalisis menurut
sudut pandang saya yang sangat sederhana. Cakrawala dalam wujud terakhirnya
versi Sandi adalah Cakrawala yang sudah delapan tahun dirintis, dibangun,
diupayakan oleh Sandi dengan kerja yang tidak mudah. Saya yakin, Sandi
melakukan pendekatan, teknik, dan macam-macam strategi yang tidak semudah
membalik tangan untuk menghadirkan Cakrawala tiap pekannya. Kerja keras Sandi
lah yang mampu membuat sebuah rubrik yang sepertinya hanya numpang mejeng di
harian Radar menjadi sebuah rubrik yang paling dinanti-nantikan oleh masyarakat
sastra Kalsel. Mungkin kalau diteliti (entah sudah ada atau belum yang meneliti
hal ini) penjualan koran Radar edisi Minggu sekian persen lebih banyak
dibanding hari lain.
Sepeninggal
Sandi, sepintas kita melihat bahwa pewaris tahta selanjutnya adalah orang yang
akan mempertahankan kejayaan Cakrawala (sastra koran di Kalsel). Benarkah Randu
bertugas mempertahankan? Saya justru melihat lain. Lahan Cakrawala sudah
dipangkas sebelum kepemimpian Randu. Sempitnya lahan tentu akan mempengaruhi
ruang kreativitas kita. Otomatis cerpen atau tulisan yang panjang-panjang
seperti zamannya Sandi tidak bisa lagi kita temui. Jadi, Randu sebenarnya tidak
sedang mempertahankan tapi membangun ulang. Pentingkah perbedaan istilah ini?
Sangat penting! Kata “mempertahankan” secara psikologis menuntut tanggung jawab
dan beban yang lebih berat sedangkan “membangun ulang” terkesan lebih fleksibel
dan kreatif.
Masalahnya
Randu memang harus kerja keras. Pertama,
meski Potret diganti Sketsa, Cakrawala sudah begitu melekat dengan sosok Sandi.
Cakrawala is Sandi. Hal ini jangan sampai membuat Randu berusaha
“meniru” Sandi sehingga Randu tidak
berani menampilkan dirinya sendiri. Randu tentu tidak akan sama dengan
Sandi. Tiap orang tentu memiliki style
yang berbeda. Sah-sah saja Randu belajar dari kesuksesan Sandi mengelola
Cakrawala tapi dia tetap harus mengembangkan potensi yang ada pada dirinya
sendiri. Kedua, Cakrawala pada hakikatnya
bukan milik harian Radar atau kepunyaan Sandi melainkan kehidupan masyarakat
sastra di Kalsel. Mau tidak mau, untuk kemajuan Cakrawala, Randu- atau siapapun
yang mengelolanya, harus mau dan mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan
masyarakat sastra Kalsel. Bahkan lebih dari itu, harus bisa menjalin ikatan
sosial-emosional. Pengelola Cakrawala tidak hanya bertanggung jawab pada harian
Radar tapi juga menjadi unsur penting bagi perkembangan sastra Kalsel.
Sekian dulu dari saya, kalau salah mohon ampun
dan maaf…
*esai ini pernah di muat di Harian Radar Banjarmasin
Sembilan Jam di Kotamu
sepanjang jalan hujan cemburu
tangannya bertubi-tubi menamparku
yang tengah menyembunyikan sepayung rindu
setapak menuju Loksadomu
peta nya asyik bercumbu
dalam tangis diyang bermata sayu
sembilan jam berlalu
detiknya bagiku adalah kelu
kecuali setitik senyummu
di depan anggrek berwarna ungu
Lalu, tiba-tiba kulihat “selamat jalan” pada sebuah tugu
Kandangan, 1-3, Januari 2013
Inikah Kasudahannya?
(Tentang Cerpen “Kada
Bakasudahan” Vs “Karindangan”)
Oleh Nailiya Nikmah
JKF
Sudah
sepekan ini perbincangan tentang kecurigaan terhadap cerpen “Kada Bakasudahan”
yang ditulis oleh Nur Hidayah mewarnai pemberitaan di kolom Seni Budaya Media
Kalimantan. Hal ini diawali oleh Tajuddin Noor Ganie (TNG) (Media Kalimantan, 6
Desember 2010) yang memaparkan hasil temuannya, yaitu 7 paragraf di “Kada
Bakasudahan” yang mirip dengan paragraf di cerpen “Karindangan” karya Seroja
Murni.
Temuan
tersebut cukup mengejutkan saya tetapi saya belum bisa berkomentar apa-apa
karena menurut saya semuanya masih kabur. 7 paragraf, istilah hypogram dan
beberapa kalimat lain yang ditulis TNG membuat saya ragu-ragu mengambil
simpulan apapun terhadap karya Nur Hidayah.
Saya
mencoba mengingat kembali suasana sidang dewan juri saat mencari pemenang lomba
cerpen tersebut. Saat proses penjurian berlangsung kami tak tahu cerpen A
ditulis oleh siapa, cerpen B ditulis oleh siapa dan seterusnya karena nama
pengarang telah dihilangkan oleh panitia sebelum cerpen-cerpen tersebut
diserahkan ke tangan kami. Betapa
menyenangkan melakukan penilaian tanpa mengetahui siapa nama-nama dibalik
penulisan cerpen tersebut. Perdebatan seputar ide mana yang paling menarik, diksi
yang tepat, alur yang bagus dan sebagainya mewarnai proses penjurian. Dalam hal
ini istilah unsur yang kami pakai adalah bahasa, bentuk dan isi. Ada cerpen yang idenya
biasa saja tapi dari segi diksi (bahasa) sangat kuat, ada yang sebaliknya dan ada juga
yang bagus semua unsurnya (selengkapnya baca buku Aruh Manyanggar Banua, 2010:55-61).
Menurut
saya, Cerpen “Kada Bakasudahan” cukup menarik dilihat dari ide, alur dan terutama
diksinya. Kesan “Banjar”nya pun sangat menonjol. Setelah cerpen “Karindangan”
karangan Seroja Murni sampai ke tangan
saya, mulailah saya membaca, membandingkan dan menganalisis kedua cerpen
tersebut. Pertama, unsur tema. Tema
besar kedua cerpen ini mirip, yaitu tema percintaan. Yang membedakan adalah
“Karindangan” mengangkat tema percintaan orang dewasa sedangkan “Kada
Bakasudahan” mengangkat tema percintaan ‘orang muda’. Yang kedua, segi alur. Cerpen “Karindangan” bercerita tentang
seorang perempuan lajang yang mencintai dan menginginkan seorang lelaki untuk
menjadi suaminya. Sayangnya lelaki tersebut sudah beristri dan beranak. Meski
sang perempuan sudah tahu lelaki idamannya sudah ada yang memiliki, ia tetap
menaruh harapan. Wacana poligami pun muncul. Ia bahkan mendatangi ‘calon
madunya’ untuk meminta restu. Proses ini lah yang menjadi pusat cerita cerpen
ini. Sementara itu pada cerpen “Kada Bakasudahan”, diceritakan seorang
perempuan remaja yang jatuh cinta pada seorang lelaki lajang. Ia mendatangi
rumah lelaki tersebut dengan maksud menyampaikan isi hatinya pada si lelaki. Proses
inilah yang jadi pusat cerita. Ia terkagum-kagum pada segala keindahan yang ada
di rumah lelaki tersebut. Di akhir cerita ada sebuah kejutan ternyata lelaki
tersebut sudah mempunyai pacar. Hancurlah hati sang perempuan.
Ketiga , kedua cerpen ini memiliki
kemiripan pada hal tak sampainya sebuah hasrat untuk memiliki seseorang yang
dicintai. Kemiripan atau bahkan kesamaan ide cerita bukanlah sebuah kesalahan.
Tak sedikit penulis membuat sebuah karya yang idenya mirip dengan karya orang
lain padahal ia tak pernah membaca karya orang tersebut. Hal inilah yang membuat
saya sampai pada detik-detik terakhir sebelum membaca “Karindangan” punya
Seroja Murni – selalu bersikap
positif dan berprasangka baik kepada Nur Hidayah.
Setelah
itu saya meneliti paragraf-paragraf yang dianggap mirip oleh TNG. Sayapun
memberanikan diri membuat simpulan (atas
nama pribadi) bahwa Nur Hidayah telah
melakukan pengutipan terhadap paragraf-paragraf tersebut. Di dunia kepenulisan,
pengutipan boleh dan bisa saja dilakukan, khususnya pada karangan non fiksi
atau karangan ilmiah. Tentu saja, ada tata cara dan teknik pengutipan yang
harus dipatuhi. Pada karangan fiksi pun sebenarnya pengutipan boleh dilakukan
untuk mendukung cerita dan tentu saja
ini pun ada aturan dan etikanya. Pengutipan yang tidak dilakukan dengan
etika pengutipan yang benar bukanlah pengutipan yang diperbolehkan dalam dunia
tulis-menulis. Pengutipan yang dilakukan Nur Hidayah tidak hanya mendukung
cerpen “Kada Bakasudahan” tetapi juga menjadi kekuatan cerpen ini. Sebagai
contoh, paragraf awal yang begitu memesona tak lain adalah paragraf awal cerpen
“Karindangan”.
Ketidakjujuran pengarang “Kada Bakasudahan”
membuat beberapa pihak jadi kesal, marah dan kecewa. Secara hiperbolik HE
Benyamin pun melampiaskannya kepada dewan juri sehingga nila setitik telah merusak susu sebelanga. Berkenaan dengan tulisan
HEB di Media Kalimantan, 12 Desember 2010,
saya memberi tanggapan sebagai berikut: Pertama,
juri sudah berusaha melakukan penilaian seobjektif mungkin. Kedua, juri sudah berupaya melakukan
penilaiai sesuai dengan kapasitas masing-masing sehingga tidak benar jika
dikatakan juri tidak serius mengemban amanah. Menangnya sang plagiat bukanlah
sesuatu yang disengaja oleh juri. Ketiga,
pendapat HEB yang menyatakan “…seandainya, cerpen peserta lomba Aruh Sastra
tersebut plagiat dari cerpen yang tidak pernah dipublikasikan, maka hal seperti
ini dapat dimaklumi.” menurut saya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Keempat, yang kita cari sekarang adalah
solusi bukan bacakut papadaan.
Tulisan HEB menurut saya kurang memberikan solusi tapi malah menyiratkan kesan
ketidaksenangannya terhadap person
(mohon maaf kalau saya keliru menafsirkan.) Kelima,
seharusnya HEB (dan siapapun) melakukan penyorotan yang seimbang. Tidak hanya
mengarahkan jari telunjuk kepada juri tapi juga menyadarkan si plagiator dan
menyuarakan serta mensosialisasikan betapa berdosanya perbuatan memplagiat
karya orang lain.
Berdasarkan
uraian di atas, dengan segala kerendahan hati, kami (:saya, karena belum ada
sidang formal dewan juri) memohon maaf
apabila terpilihnya cerpen “Kada Bakasudahan” menjadi salah satu nominasi dan
menjadi juara harapan II Lomba Menulis Cerpen Bahasa Banjar dalam rangkaian
kegiatan Aruh Sastra Kal-sel VII dianggap merugikan banyak pihak. Izinkan
kami mengulang kalimat terakhir kami di Manyanggar
Banua: 2010:61 “Tak ada gading yang tak retak, tak ada gading yang tak
retak!” Kami juga mengucapkan terima kasih kepada TNG yang telah menemukan
data/bukti seperti yang sudah saya sebut di awal. Secara pribadi saya mencoba
menyapa Nur Hidayah untuk berbesar jiwa ‘menerima’ kenyataan ini.
Semoga
tulisan ini dapat dianggap sebagai
langkah awal upaya positif dan solutif dari kami.
Flamboyan, 12 Desember 2010.
Cinta di Musim Tengkujuh
Untuk Ran
untuk apa fatwamu
jika yang berkenan hanya bisu
di musim tengkujuh ku kayuh cinta
padamu yang tak mungkin kulabuh
muram-muram mengerumuni
Puisi mainanmu,
mencengkeram kalimat-kalimatku
berbilang purnama
mengirimkan musim airmata ke
kamarku
mengelabui langit-langitnya tidak
bersela
mencabik-cabik sukma hingga
sekarat
cercahan majasmu belum habis
kutafsiri
angin kencang buru-buru
menghampiri
di musim tengkujuh kali ini, Ran
ada cinta yang harus tenggelam
Banjarmasin, Januari 2013
Sebongkah Rindu dalam Lemari
selembar kenangan kutempel di kamar mandi
cicak membacanya malu-malu
kecoa mengejar-ngejar waktuku
sebentar lagi, sekejap saja – kah
cermin berembun mengaburkan wajah
di kabusnya kutulis namamu dengan telunjuk
dan mengakhirinya dengan tanda tanya
rinai di ujung shower
membagi-bagi harapan yang dingin
menusukkan sepi hingga ke tulang
mendustakan suam-suam kuku senyum matahari
pada dinding batu yang diam
ku tabur serbuk-serbuk tangis
ku puangi dada
yang penuh dendam
“mengapa engkau, mengapa aku”
dalam lemari ku tapakan sebongkah rindu
terselip di antara gaun merah jambu, daster-daster,
pakaian dalam dan blazer
gigil menetesi ujung handuk, membirui bibir merah
mencicil jejak retak setiap pagi
kelak rayap melagukan nyanyian waktu
dengan tempo luka andante
bongkahan rindu menyublim
menguar abadi pada gaun merah jambu, daster-daster,
pakaian dalam dan blazer
Banjarmasin,
Oktober 2012 – Januari 2013
Rabu, 16 Januari 2013
Juriyat Cinta
(balasan Sajak Sanggam Cinta)
Oleh Nailiya Nikmah JKF
untuk Kanda Rezqie Muhammad AlFajar Atmanegara
membaca pahatan Sanggam Cinta mu di alam maya
adalah mengoyak mimpi semu mata pena dinda
menimang ukiran rindumu yang bertahta rumpun ilalang
adalah mendulang luka-luka purbaku yang hilang
melukis sanja kuning di batang banyu sambil menghitung caracau enggang
adalah mandarasi juriyat dukaku sepanjang Hulu Sungai
maafkan,
sesungguhnya
lalaya mimpi telah lama kutinggalkan
bersama persembahan tarian terakhir di Meratusmu
di purnama ke sembilan
kukubur perahu yang tak pernah kukayuh
ke dalam pagi yang renta
kulabuh tangis yang tak pernah tiris
ke dalam butah kenangan
kusalin kecipak telapak diyang
ke bayang bulan yang jatuh di bola matamu
Kanda,
jangan terlalu lama menafsiri airmataku
menanti keringnya adalah keakhiran sungaimu
kan kuabadikan juriyat cinta kita
pada kitab lamut dan mamandaku yang tak pernah nyata
samar ku dengar senandung panting ditingkahi nyanyian orang dalam
dari bukit yang jauh, teramat jauh
dinding-dinding beton menyentuh langit
- pencerabut rindu rumpun ilalangku-
di situlah kini aku menganyam purun cinta
menunggu kereta ke negeri niscaya
(masih tercium wangi kesturi
yang kau semat di ujung lekuk kerudungku
- kuhirup sepanjang pejaman mata sejarah cinta kita)
Flamboyan 3, Banjarmasin, 9 Januari 2012
Sabtu, 05 Januari 2013
TERIAKAN BISU TIGA LELAKI
Esai Nailiya Nikmah
JKF*
Menuangkan
isi hati ke dalam bentuk puisi terkadang menjadi pilihan terbaik bagi siapa
saja. Tidak terkecuali bagi tiga orang lelaki (Imam Budiman, M. Ansyar dan Zian
Army Wahyufi) yang mengumpulkan puisi-puisinya dalam buku Teriakan Bisu (TB)
terbitan Media Tahura, 2012. Ada
dua kemungkinan yang ingin disampaikan ketiganya melalui teriakan bisunya. Pertama,
mereka sebenarnya sedang ingin berteriak tetapi mereka tidak punya suara
(:kekuatan) untuk berteriak sehingga yang terjadi adalah mereka menyunyikan
teriakan tersebut menjadi baris-baris puisi yang sepi. Kemungkinan kedua, mereka berceloteh, berteriak
lewat puisi-puisi tersebut namun sejatinya mereka “bisu”. Hal ini diakui oleh
Zian secara tersurat dalam epilog buku TB, “ …maka setidaknya, buku inilah teriakan kami selanjutnya, meski kami hanyalah
orang-orang “bisu“.
Di
antara beragam hal yang diteriakkan oleh Zian dkk dalam TB, pembaca dapat menemukan
“orang tua” sebagai salah satunya. Anak lelaki berbicara tentang orang tua.
Adakah keunikannya jika dibandingkan dengan pembicaraan oleh anak perempuan? Para orang tua biasanya lebih lembut dan halus
perangainya ketika berbicara dengan anak perempuannya tapi tidak dengan anak
laki-laki. Saat anak perempuan menangis, ayah pasti kelimpungan mencari sapu
tangan untuk mengusap air matanya tapi saat anak lelaki menangis, ayahnya akan
berkata, “simpan tangismu, anak laki
nggak boleh cengeng!”
Ada empat puisi tentang
orang tua dalam TB. Puisi tersebut adalah Bapak
(hlm 24) dikarang oleh Imam Budiman; Puisi
untuk Orang tuaku (hlm 47) dikarang oleh M. Ansyar; Krak! (hlm 59) dan Kampung
Batu (hlm 65) dikarang oleh Zian Army Wahyufi.
Puisi “Bapak” didominasi oleh bunyi-bunyi
ringan dan lembut seperti e dan i. Misalnya pada kata semburat, manapun, menimpa, sebelumnya,
setumpuk, permata, menuduhnya, tersenyum, membahagiakan dan diam. Lambang
bunyi dapat dihubungkan dengan suasana jiwa (Tarsyad, 2011:15). Bunyi yang
ringan dan lembut melukiskan suasana yang sendu. Hal ini terkait dengan makna
umum puisi “Bapak” yang menggambarkan kesedihan aku lirik ketika tahu bapaknya
ingin menikah lagi yang disebutnya dengan ibu
baru.
Gaya bahasa klimaks
terdapat pada larik “…dan ketika ia singgah dalam jangka waktu relatif singkat,
sangat sebentar/ dirinya pun terengguti ketidakadilan yang entah dengan siapa
ku/ harus menuduhnya.” Gagasan-gagasan yang diungkapkan mengandung urutan
pikiran yang semakin meningkat kepentingannya. Di sini terdapat pula ungkapan
yang perifrasis, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan.
“Jangka waktu relatif singkat, sangat sebentar.” Seharusnya cukup “waktu yang
singkat” atau “sangat sebentar”. Keduanya tidak perlu digunakan bersamaan.
Gaya bahasa yang antitesis
juga terdapat dalam “Bapak”. “…meski keinginan diri menolak keras…/aku diam.”
Antitesis adalah sebuah gaya
bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan (Keraf, 2002:126).
Gagasan “ingin menolak keras” dibenturkan dengan gagasan “diam”. Semua itu
karena Imam terpaksa. Untuk keterpaksaan itu, Imam pun mengeluh /huh! Entah apa
jadinya!/. Lihat juga catatan di akhir puisi Imam. “Keterpaksaan, Juli 2011”
Pada
puisi “Puisi untuk Orangtuaku” terdapat gaya
bahasa kiasan persamaan/ simile. Gaya
bahasa ini adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Langsung menyatakan
sesuatu sama dengan hal yang lain (Keraf, 2002:138). /Itulah ketakutanku Ayah,
Ibu/ yang datang bak gelombang besar/. Ansyar begitu takutnya terhadap
orangtuanya sampai ia menyamakan ketakutannya dengan gelombang besar. Gelombang
yang siap menggulungnya.
Puisi
berikutnya berjudul “Krak!” ditulis oleh Zian. Puisi ini mengingatkan kita pada
gaya puisi
Sutardji Calzoum Bachri. Penggunaan gaya
bahasa repetisi yang berupa anafora pada “Kau tulis” menjadi ruh puisi “Krak!”.
Gaya aliterasi juga
mewarnai puisi ini. Gaya aliterasi adalah
semacam gaya
bahasa yang berwujud pengulangan konsonan yang sama (Keraf, 2002: 130). Pada
puisi “Krak!” terdapat pengulangan konsonan k
di tiap barisnya. Terdapat kata sajak,
jejak, serak, berontak, gejolak, bentak, sorak, teriak, sesak, Bapak, Anak, sentak,
gertak, benak, jarak, hentak, gerak, detak, retak, kelak, tebak, hendak dan tidak.
Semua
kata yang mengandung pengulangan konsonan k
tersebut ditulis menggunakan huruf kecil pada huruf pertamanya, kecuali pada
kata Bapak dan Anak. Ini menyiratkan bahwa ada yang penting yang terjadi antara
bapak dan anak. Kedua kata ini pun
diletakkan di tengah baris, yang menyiratkan poros persoalan pada puisi ini
adalah bapak dan anak.
Berdasarkan
teori lambang bunyi Semi dalam Tarsyad (2011:15), konsonan k termasuk dalam kelompok bunyi yang ringan. Bunyi yang ringan
melukiskan suasana sendu. Krak! adalah bunyi yang ditimbulkan oleh sesuatu yang
patah atau belah. Dengan tanda seru di
sampingnya menyiratkan bunyi tersebut cukup keras. Di balik kegaduhan bunyi
Krak! tersimpan unsur kesenduan. Biasanya sesuatu yang patah akan menimbulkan
kesedihan mendalam, terlebih apabila yang patah itu adalah sekeping hati.
Puisi
“Kampung Batu” dimulai Zian dengan melempar sebuah pertanyaan. “Buat apa kau
datang ke kampungku”. Pertanyaan ini menimbulkan kode teka-teki secara
struktur. Zian seolah-olah meragukan urgensi orang lain untuk datang ke
kampungnya.
Pada
puisi ini terdapat repetisi kata batu
dan debu. Bunyi vokal a dan
u serta bunyi konsonan b dan d termasuk dalam kelompok bunyi-bunyi
yang berat. Bunyi yang berat melukiskan perasaan jiwa yang tertekan dan gelisah
(Semi dalam Tarsyad, 2011:15). Zian menyimpan perasaan tertekan dan gelisah
karena persoalan-persoalan yang bisa membuatnya termasuk dalam kategori anak
durhaka. Anak durhaka tentunya akan menjadi batu seperti Malin Kundang di
Sumatra (atau menjadi gunung seperti Angui di banua kita). Lalu batu itu pun
akan jadi debu. Anak durhaka akan sia-sia hidupnya.
Sebenarnya
Zian anak terakhir yang belum jadi batu. Seperti katanya “…Sisa aku di sini –
yang juga telah durhaka, menunggu jadi batu dan debu/…/ Mama-abah pergi umrah”.
Sayangnya Zian pun kelak akan jadi batu. Akan tetapi ada peluang sebenarnya
untuk Zian. “…Mama-abah pergi umrah” Kalimat ini menyiratkan harapan untuk
Zian. Bisa saja ketika umrah itu orangtuanya khusyuk berdoa untuk Zian.
Bukankah doa di Baitullah sering
terkabul? Meski begitu, Zian tetap tertekan dan gelisah. Untuk itu ia ma- anyaki lagi.” Jadi, masih tertarik
datang ke kampungku?”
Puisi-puisi
yang bicara tentang orang tua ini bertemakan suasana keterpaksaan. Zian dkk
terpaksa menuruti kehendak orang tua, tak berani membantah, lama-kelamaan hal
ini membuat mereka memilih “bisu”. Pada puisi “Bapak”, Imam Budiman tidak suka
bapaknya menikah lagi tetapi demi melihat bapaknya tersenyum, ia terpaksa
menyetujuinya dan memilih untuk diam. Pada puisi “Puisi untuk Orangtuaku”
Muhammad Ansyar juga terpaksa tak bisa jujur karena ia takut terhadap kemarahan
ayah ibunya. Dengan melankolis, Ansyar mengakui bahwa hatinya begitu rapuh.
Kemarahan orang tuanya membuatnya tidak merasa bebas. Ia juga tak bisa melihat
keramaian dengan jelas. Dengan kata lain, hidupnya selalu sepi. Pada puisi
“Krak!” Zian dengan tegas mendeskripsikan perseteruan antara anak dengan Bapak.
Zian ingin memberontak tapi bapaknya balas membentak. Ketika Zian menyentak,
bapaknya balas menggertak. Ujung-ujungnya Zian merasa ada yang retak karena
tiap kehendaknya selalu tidak sama dengan kehendak Bapak. Agaknya puisi ini
terhubung dengan puisi “Kampung Batu”. Dalam “Kampung Batu” Zian akhirnya
mengakui bahwa ia pun telah berani melawan orang tuanya. Ia melakukan
kedurhakaan – mengikuti seluruh orang di kampungnya – justru di saat orang tuanya
sedang mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya. Secara berlawanan Zian juga ingin
mengemukakan bahwa masih ada setitik harapan dari doa dan ampunan orangtuanya.
Tapi sepertinya menjadi batu sudah terlanjur menjadi ancaman yang menakutkan
bagi dirinya. Zian merasa ia pasti akan membatu pula. Zian tidak sendiri, orang
sekampung bahkan telah lebih dulu menjadi batu. Ternyata “bersuara” pun akan
berujung pada diam. Seperti diamnya batu-batu yang terbuat dari anak
durhaka.
Puisi-puisi
tadi mengingatkan saya pada puisi Arief Rahman Heriansyah yang berjudul “Sajak
Ayah; Pada Pernyataan Ngarai Sastra” dalam buku Balian Jazirah Anak Ladang (2011:5-6).
Puisi
tersebut berisi suara hati Arief tentang ayahnya: “…/kemudian saatnya menjadi
bisu/ bisu yang tertahan di kemudian…// dalam sajak Ayah; mengapa terlalaikan
oleh cinta/ dalam sajak Ayah; hempaskanlah apapun maksud baikmu/ dalam sajak
Ayah; aku selalu menggenggam fatamorgana/ dalam sajak Ayah; mengapa bingkisan
tua itu masih terkatup rapat?...// …dalam luka aku menggores sajak/ pada langit
buram yang tak kumengerti”. Sama seperti Zian dkk, Arief pun menjalani
saat-saat menjadi bisu.
Diksi-diksi
seperti hasrat, mimpi, imaji,
dikontraskan dengan tak bernyali menjelaskan
apa yang disebut dengan fatamorgana. Suasana
sedih mewarnai puisi ini dari awal sampai akhir. Arief bahkan merasa perlu
menegaskan kelukaan hatinya dengan memberi catatan pada puisinya tersebut, “*Ayah; kehendakmu goreskan sakit hatiku,
bagaimanapun aku tetap mencintaimu…”
Jurang
yang menganga antara orang tua dan anak; ketidakterampilan dalam berkomunikasi,
kerap menutupi maksud baik orang tua terhadap anaknya. Akhirnya ada anak yang
merasa terpaksa menuruti semua keinginan orang tuanya. Artinya, ia mau saja
menepiskan keinginan dirinya sendiri demi berbakti pada orang tua dan menelan
konsekuensinya: hati yang terluka. Ada
juga anak yang memilih berontak – lalu durhaka. Sementara Zian dkk
terkatung-katung antara keduanya. Akhirnya mereka memilih berteriak lewat
puisi. Uniknya, puisi-puisi tentang orangtua tersebut didominasi oleh sosok
orangtua laki-laki. Imam menyebutnya “Bapak”. Ansyar dan Arief menyebutnya
“Ayah”, Zian menyebutnya “Bapak” dan “Abah”. Adakah misteri yang tak bisa
ditemukan jawabannya antara ayah dan anak laki-laki?
-------------------------------------------------------------------------------------------------
* Nailiya Nikmah JKF lahir di Banjarmasin, 9 Desember 1980. Pencinta hujan
ini sejak kecil menyukai sastra dan menggemari baca tulis, menjalani masa
remaja yang indah di Amuntai. Nailiya aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
Cabang Banjarmasin dan Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Kalimantan Selatan.
Sekarang ia menjadi pengajar Bahasa Indonesia di Politeknik Negeri Banjarmasin, sering
menjadi pembicara pada seminar, pelatihan, workshop,
diskusi, bedah buku seputar kesusastraan dan keterampilan berbahasa. Beberapa
karyanya yang telah dibukukan adalah Nyanyian
Tanpa Nyanyian (Antocer bersama-9 penulis perempuan Kal-Sel), Menulis itu Mudah (esai bersama), Konser Kecemasan (Kumpulan Puisi
Lingkungan Hidup/Puisi bersama), Rindu
Rumpun Ilalang (antocer sendiri), Kalimantan
dalam Prosa Indonesia, Pelangi di Pelabuhan (kumcer bersama FLP), Antologi Bersama-Puisi Religius Indonesia
“Para Kekasih”, Ketika Api Bicara
(antocer HSU), Senja di Teluk Wandoma
(antocer nasional bersama), Malam Kumpai
Batu (anto kisdap bersama), Kiat
Menulis dan Cerpen Pilihan (bersama penulis HSU). Cerpennya “Mangadap
Langit” terpilih sebagai juara harapan III Lomba Menulis Cerpen Bahasa Banjar,
Disbudpar.