APA YANG KAUHARAPKAN DARI HATI YANG RAPUH; DALAM CERUK KESEDIHAN; DI PINTU SEPI
Tentang Antologi Puisi Tangan-tangan Kecil Semesta Karya Mahasiswa Prodi PBSI FKIP ULM 2020
Terkadang butuh waktu menyendiri
Bukan tuk melamun
Hanya saja merenung diri
Menjauh dari keramaian
Dan berteman dengan keheningan
....
(“Insecure (Aku
Terlalu Rapuh)” Puisi Karya Muhammad Hendriansyah, hlm 38)
***
Pendahuluan
Dari sekian puisi yang terdapat dalam antologi Tangan-tangan Kecil Semesta (TtKS) karya mahasiswa PBSI ULM (2020) yang
dieditori oleh Sainul Hermawan, puisi berjudul “Insecure (Aku Terlalu Rapuh)”
Karya Muhammad Hendriansyah menarik untuk dijadikan pintu masuk sebagai salah
satu jalan menyelami kanal puisi para generasi milenial ini. Dia ibarat portal
menuju dunia entah yang hectic, hiruk-pikuk;
dipenuhi pernik-pernik kemajuan zaman dan teknologi, perubahan tradisi,
revolusi industri terbaru. Portal yang setelah berhasil kita lewati justru akan
membuat kita tercekat dan tersadar bahwa tidak ada yang berubah sebenarnya.
Hidup dan kehidupan berpola. Kisah-kisah berjalan mengikuti pola. Cerita
mungkin berbeda tapi amanat yang dibawa tak berubah, tak lekang oleh masa.
Amanat kehidupan yang dititipkan pada sehelai puisi tidak semudah karya
sastra lainnya untuk ditelisik. Meski kita sudah memahami seluruh unsur
intrinsiknya, menelusuri unsur ekstrinsik puisi juga sangat baik dan perlu dilakukan
jika kita benar-benar ingin menemukan makna yang sesungguhnya. Di akhir
pengantarnya untuk antologi puisi TtKS, Sunu Wasono menyampaikan satu harapan
semoga pembaca bisa berdialog dengan sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi
tersebut. Sebuah harapan yang sangat solutif. Bukankah berdialog merupakan
salah satu cara manusia untuk bisa (saling) memahami.
Antologi TtKs ditulis oleh sekelompok mahasiswa yang menjalani kehidupan
sebagai generasi milenial. Generasi yang sering kali diklaim baik oleh dirinya
sendiri maupun orang lain sebagai sebuah generasi paling maju. Sayangnya,
berbagai kemajuan yang melingkupi mereka tidak serta-merta menjadikan mereka
sebagai manusia baru yang terlepas dari kemungkinan-kemungkinan buruk atau
negatif. Salah satunya, perasaan insecure
yang saya jadikan gerbang untuk meyingkap seluruh puisi. Dengan pendekatan
psikologi sastra, inilah bedah kecil yang saya lakukan untuk TtKS.
Di Pintu Insecure
Insecure, atau rasa tidak aman, bisa diartikan sebagai rasa takut akan
sesuatu yang dipicu oleh rasa tidak puas dan tidak yakin akan kapasitas diri
sendiri. Rasa insecure inilah yang pada akhirnya, memicu anak untuk menciptakan
‘topeng’ agar sisi lain yang ingin kita sembunyikan itu tidak terlihat oleh
orang lain. Perilaku insecure pada
anak dapat dicegah dengan mengasuh anak dalam cara-cara yang dapat meningkatkan
kepercayaan diri, kemampuan beradaptasi, dan optimisme anak. (Muaawanah, 2017) http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/assibyan/article/view/1336
Perasaan secure dan insecure yang dimiliki oleh seseorang
tergantung dari internal working models
of attachment yang dimilikinya (Bowlby dalam Collins & Feeney, 2004).
Perasaan tersebut merupakan representasi umum tentang bagaimana orang terdekat memberi
respon dan memberikan dukungan setiap kali seseorang membutuhkan orang lain dan
bahwa dirinya sangat mendapat perhatian dan dukungan. Ini juga sangat berperan untuk
membentuk kognisi, afeksi dan perilaku seseorang dalam konteks yang berhubungan
dengan attachment. Individu yang
mendapat secure attachment akan
mengembangkan sebuah working model
tentang dirinya sebagai orang yang dicintai dan memandang orang lain dekat,
perhatian dan responsif terhadap kebutuhannya. Sebaliknya, individu yang
mendapat insecure attachment akan
mengembangkan working model diri yang
tidak berharga, tidak kompeten dan sebagainya (Aji, Pranoto dan Zahrotul Uyun, 2010).
Sebuah penelitian berjudul Hubungan
antara Insecure Attachment dengan Kesepian yang dilakukan oleh Veri Aristi
Amalia (2016) mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata
Semarang menghasilkan simpulan bahwa ada hubungan positif yang sangat
signifikan antara insecure attachment dengan
kesepian.
Pembahasan
Butuh
waktu bagiku menerimanya
Sempat
raga dan batin tak seirama
Bahkan
hatipun tak jelas suaranya
Aku
sudah terlalu rapuh untuk dipatahkan
Bahkan
terlalu retak untuk dipecahkan
Dihujani
cacian seakan hal biasa
Lirikan
matanya seolah menghina
Lidahnya
bak seribu duri
Tiap
percikan liur hanya menggores sembilu di hati
Dalam tes-tes atau wawancara psikologi, biasanya kata demi kata atau diksi/
pilihan kata yang diucapkan oleh klien merupakan petunjuk berharga yang tidak
bisa diabaikan. Kadang-kadang kata diwakili oleh simbol-simbol, lambang,
gambar, coretan-coretan tangan untuk kemudian diselami, dimaknai. Pendekatan semacam
itulah yang harus dilakukan saat kita menyelami TtKS melalui pintu bernama insecure.
Meski tidak disebutkan siapa yang melakukannya, dapat dilihat dan didengar
dengan jelas bahwa aku lirik dalam cuplikan bait-bait puisi di atas mendapatkan perlakuan yang buruk. Ini bisa diketahui dari frase-frase
seperti dihujani cacian, lirikan menghina, lidah
seribu duri, tiap
percikan liur hanya menggores sembilu di hati. perlakuan-perlakuan yang ia terima inilah yang
kemudian membuat aku lirik mengembangkan working
model diri yang tidak berharga, tidak kompeten dan sebagainya seperti
disebutkan oleh Aji dan Zahrotul Uyun (2010). Aku sudah terlalu rapuh untuk dipatahkan. Bahkan
terlalu retak untuk dipecahkan. Seperti itu yang muncul dalam perasaan aku lirik. Perasaan bahwa dirinya
rapuh dan retak merupakan sebuah pernyataan alias dialog yang coba disampaikan
sebagai salah satu bentuk insecure yang
dialami.
Selanjutnya tengoklah Linda Pahlina dalam Puisinya “Segaris” hlm 37.
dalam
garisku sebagai manusia
aku
hanyalah orang yang penuh kegagalan
tanpa
ada seorangpun yang sudi
menjadi
tempat sekadar berbagi pelukan
saat
hidup ini terasa menyakitkan
dalam
garisku sebagai manusia
aku
hanyalah orang yang kalah
yang
menyerah, dipermainkan imajinasiku sendiri
....
Sungguh sedih mendengar aku
lirik bertutur sebagaimana dalam cuplikan bait puisi di atas. Akan tetapi,
kejujurannya menyampaikan semua yang dirasakan merupakan sebuah kabar baik. Ini
artinya, aku lirik mengenali perasaan-perasaan insecure yang ada pada dirinya. Aku lirik juga dengan lugas
menyampaikan apa yang ia inginkan, apa yang ia harapkan dalam garis hidupnya
sebagai seorang manusia. kutipan-kutipan ini selanjutnya menjadi petunjuk. .../aku lelah merasa terbuang/.../aku jatuh.../.../aku
hanya ingin memanusiakan diriku/hingga disematkan kata pantas/diperlakukan sebagai
manusia.//
“Bunga Tak Bernama” ditulis oleh Firda
Nabila Hidayati pada halaman 30, memperlihatkan insecure attachment yang
diterima aku lirik, duri yang tumbuh bersamanya terus membisikkan bahwa dirinya
tak lebih dari bunga buangan, bunga yang tak pernah diharapkan. Jika pada puisi
sebelumnya tidak jelas siapa yang memberikan perlakuan-perakuan buruk terhadap
aku lirik, pada puisi Firda ditulisnya bahwa duri yang tumbuh bersama sang
bunga lah yang menumbuhkan perasaan insecure
itu. Siapakah duri yang tumbuh bersama bunga? Orang-orang terdekat,
orang-orang yang masih berada dalam satu lingkaran utama. Inilah salah satu
contoh insecure attachment. Perlakuan-perlakuan
tidak nyaman justru dilakukan oleh orang terdekat. Ini tidak bisa dipungkiri. Berita-berita
di berbagai belahan bumi sudah banyak yang menginformasikan peristiwa-peristiwa
menyakitkan seperti orang tua yang menganiaya anaknya - melakukan kekerasan
fisik dan psikis, anak yang menjahati orang tuanya, kakak terhadap adik, adik
terhadap kakak, paman, bibi, sepupu, sahabat dll. Pada puisi Ayu Anindya Sekarndari, “Asalkan Ibu Tetap di Sini” hlm 24 makin memperjelas pentingnya
secure attachment bagi seseorang. Ibu sebagai individu pertama dan utama dalam
kehidupan manusia dalam puisi tersebut dengan lugas dituturkan oleh aku lirik
.../Asalkan ibu tetap di sini/ Hidupku akan selalu penuh makna//.
Selanjutnya Annida Fitriani di hlm 9 dalam puisinya "Dalam Ceruk Kesedihan" menulis /jiwa-jiwa yang rapuh/lirih kumembisik sebuah ratapan/tentang leburnya perasaan/....Cahaya Nor Hidayah dalam puisi “Ruang Jiwa”hlm 27 menyuguhkan
tentang keadaan sunyi tanpa suara. Sepercik semangatpun hampir tak ada/ tampak
kuat padahal tak tersisa apa-apa/.../ingin rasanya berdebat dengan jiwa/.... Sunyi,
sepi berkaitan dengan insecure. Kemudian
rasa insecure ini pada akhirnya,
memicu seseorang untuk menciptakan ‘topeng’ agar sisi lain yang ingin kita
sembunyikan itu tidak terlihat oleh orang lain. Tampak kuat padahal tak tersisa
apa-apa.
Lantas, bagaimanakah perasaan-perasaan
tidak aman alias insecure tersebut
sebaiknya disikapi? Antologi ini memaparkan dengan apik melalui beberapa puisi.
Jika diamati maka polanya adalah pertama-tama ada rasa terluka, marah, benci,
ingin melampiaskan semuanya, lalu tahap berikutnya melakukan perenungan,
memilih untuk diam, hingga menemukan satu titik kembali pada hakikat sebagai
manusia, makhluk yang tunduk pada ketetapan Tuhan. Seperti sambungan puisi insecure
berikut ini
Ingin kumarah dan melepas amarah
Tapi lisan lebih memilih untuk tidak
Kadang semangatku membara
Dan tak heran jika awan hitam bisa saja datang tiba-tiba
Pada akhirmya diri memilih tak peduli dan
menutup telinga
Dan mencoba berdamai dengan realita
Ada fase untuk memilih, seperti kata Nur Anggia Febrina dalam “Memilih”
(hlm 46). Dalam menjalani hidup kita akan selalu/memilih antara memacik nafsu
atau/memeluk nurani/.... ada proses bagi makhluk yang berpikir. Selain itu, Anisa
Nurul Fadilah memberikan sebuah altenatif paling keren melalaui puisi “Syukur”
pada halaman 10. Perasaan-perasaan tidak nyaman dan tidak puas terhadap diri
sendiri kadang juga disebabkan oleh kurang bersyukurnya kita terhadap kehidupan
kita. .../Begitu bodohnya aku/tidak bisa bersyukur dengan apa yang kumiliki//.
Cahaya Nor Hidayah menulis di bait terakhir “Ruang jiwa” ah, tapi tenang
saja/bukankah tuhan maha tahu/apa-apa yang tersembunyi di balik segalanya/dan
takkan pernah mengacuhkan hamba yang datang/kepadanya//.
Sri Annisa dalam “Tangan-tangan Kecil Semesta” memberikan gambaran .../Aku
berjalan merenungi semesta/Kita diberikan kehidupan yang berbeda,
dengan/punggung yang beda juga kuatnya/.... Puisi Annisa sekaligus yang menjadi
judul antologi ini dengan bijak menepuk pundak kita saat hati bersimpah duka. Kehidupan
yang berbeda dengan punggung yang berbeda juga. Menerima kenyataan bahwa kita
berbeda dari orang lain kadang perlu untuk menyadarkan kita agar tidak selalu
menjadikan kehidupan orang lain sebagai tolak ukur. Kita perlu menyadari bahwa
Tuhan tidak akan membebani di luar batas kemampuan kita; menyadari bahwa tidak
akan tejadi apapun kepada kita selama tidak tertulis dalam takdir kita.
Lantas, berterima kasihlah pada Dina
Septiana Dewi yang dengan lugasnya pada hlm 29 menulis “Takdir Tuhan Pasti Baik”.
Ketika
kau hampir menyerah pada tujuanmu
Jangan
pernah kau berbalik arah
Apalagi
berhenti untuk menggapainya
Ingatlah
Tuhan selalu di sisimu
Mungkin
apa yang kauminta sekian lama
Belum
juga terwujud
Bukan
karena Tuhan tak mendengar doamu
Tuhan
lebih tahu apa yang kaubutuhkan
Karena
takdir Tuhan pasti baik
***
Epilog
Saya akan
kembali sekarang, melewati portal yang berbeda. Di penghujung esai ini, saya
kutipkan sebuah puisi yang akan menghantarkan kita menuju jalan pulang. Ditulis
oleh Anugrah Gio Pratama, begini bunyinya:
Di
Pintu Sepi
Di
pintu Sepi,
Pecahan
pagi berguguran
Aku
menyentuhnya
Lalu
keributan mengungsi
Ke
dalam dada
Lalu
kesedihan tumpah
Di
pelupuk mata
Tidak masalah
jika saat ini kita merasa sedang insecure, tidak aman, tidak nyaman. Tidak masalah
jika hari ini kita menangis atau bersedih dalam takaran yang bahkan tidak
pernah dibayangkan oleh penduduk lain di muka bumi ini. Jika fase itu sedang
kita jalani, itu artinya kita perlu jeda, perlu rehat. Jemputlah kata-kata
sebanyak-banyaknya untuk memenuhi rongga dada. Kata-kata indah, positif, penuh
harapan, penuh doa, agar besok jauh lebih baik daripada hari ini.