Kanaya tiba di ruang sunyiku ketika ombak besar datang menggulung semua yang ada. Ia mengetuk dinding kaca dalam bilik jiwaku, ketika aku nyaris memutuskan untuk berhenti bernafas. Meski perih, berkali-kali aku meyakinkan diri: bukan, ini bukan saatnya mati. Dalam otakku berputar-putar satu-satunya diksi yang membuatku gagap sekaligus tegap: perempuan. Lalu satu-satu, barisan air mata kusibak dan kusisihkan. Bersama puisi, aku ingin mengembara malam-malam, menembus portal, mengunjungimu dan memintamu menghapus seluruh takdir buruk.
Jumat, 29 November 2019
Esai Nailiya Nikmah JKF
Kanaya tiba di ruang sunyiku ketika ombak besar datang menggulung semua yang ada. Ia mengetuk dinding kaca dalam bilik jiwaku, ketika aku nyaris memutuskan untuk berhenti bernafas. Meski perih, berkali-kali aku meyakinkan diri: bukan, ini bukan saatnya mati. Dalam otakku berputar-putar satu-satunya diksi yang membuatku gagap sekaligus tegap: perempuan. Lalu satu-satu, barisan air mata kusibak dan kusisihkan. Bersama puisi, aku ingin mengembara malam-malam, menembus portal, mengunjungimu dan memintamu menghapus seluruh takdir buruk.
***
Pendahuluan
Setiap orang
yang mempelajari teori sastra pada ujungnya akan memahami bahwa ada dua unsur
dalam karya sastra, yaitu unsur intrinsik
dan ekstrinsik. Sejalan dengan
sebuah rumusan bahwa untuk menganalisis sebuah karya sastra kita memerlukan
kedua unsur tersebut. Bahwa karya sastra tidak bisa dipandang terpisah dari
kreatornya, semua pun bisa memahaminya. Itu pula yang banyak dilakukan para kritikus dan analis ketika
mendekati sebuah karya, baik berupa puisi, cerpen, novel maupun naskah lainnya.
Mungkin itulah
sebabnya titi mangsa dalam setiap puisi diistimewakan keberadaannya. Mungkin, itu
pula yang kadang membuat sebuah novel perlu dituliskan embel-embel based on true story. Ketika semua hal nyata
dan tidak nyata itu saling terkait, haruskah kita memaksa diri mengenang semua
kejadian persis sebagaimana adanya? Padahal berapa banyak dari kita yang mampu
mengingat semua peristiwa sama persis dengan alur sebenarnya lengkap dengan
warna perasaan saat kita mengalaminya? Seorang penyair papan atas pernah
berkata bahwa dia sudah lupa dengan hal yang melatarbelakangi sebuh puisi yang
pernah ditulisnya sedemikian rupa. Dia lupa bagaimana puisinya bisa sedemikian.
Akan tetapi
tidak untuk Kanaya. Tidak bagi Rini Intama. Setiap diksi yang ia hadirkan
begitu kuat. Jalin-menjalin antar semua puisi. Kecil kemungkinan Intama melupakan
semua hal yang ia tulis (semua hal yang melatari). Sebelum sampai pada titik
ini, saya memutuskan mengabaikan unsur ekstrinsik, kecuali bahwa Kanaya ditulis
oleh seorang perempuan. Saya tidak ingin mencari tahu siapa Rini Intama. Saya menahan
jari-jari agar tidak mengetik nama penyairnya di mesin pencarian. Saya memilih
bereksperimen. Bagaiamana kalau Kanaya didekati sebagai Kanaya saja? Bukan sebagai
hasil cipta atau kreasi seorang Rini Intama?
Psikologi Sastra dan Perempuan yang Suka Berbohong
Pendekatan yang digunakan dalam esai ini adalah pendekatan psikologi
sastra. To know a work of literature is to know the soul of
the man who created it, and who created it in order that his soulhould be known
(J. Middleton Murry).
Carlyle (1827) menulis kritik sastra tentang
keterkaitan antara seorang penyair yang puisinya mencerminkan tingkah laku yang
berhubungan secara psikologis. Telah sekian lama orang memandang karya-karya sastra banyak terkait
dengan masalah biografi pengarang; karya sastra merupakan cerminan perasaan,
dan lebih ekstrim lagi sastra merupakan ekspresi impuls seksual yang terpendam
dari si pencipta. Menurut Abrams, sebelum telaah mendalam tentang hal tersebut,
ada beberapa unsur yang peru diketahui.
Pertama, perlunya mengamati si pengarang untuk menjelaskan karyanya.
Telaah dilakukan terhadap eksponen yang memisahkan dan menjelaskan kualitas
khusus suatu karya sastra melalui referensi kuaitas nalar, kehidupan dan
lingkungan si pengarang. Kedua, perlunya memahami si pengarang terlepas dari
karyanya dengan cara mengamati biografi pengarang untuk merekonstruksi si
pengarang dari sisi kehidupannya dan menggunakan karyanya sebagai rekaman
kehidupan dan perwatakan. Ketiga, perlunya membaca suatu karya sastra untuk
menemukan cerminan kepribadian si pengarang dalam karya tersebut. Fenomena
sastra sebagai “cermin” pribadi telah lama berkembang meskipun demikian
Endraswara menyatakan tidak selamanya pribadi pengarang selalu masuk ke dalam
karya sastranya. (Minderop, 2013:61-62).
Pendekatan
Selanjutnya, berbekal satu informasi saja bahwa Kanaya ditulis oleh
perempuan -belum tahu dia perempuan yang seperti apa- esai ini ditulis menggunakan
pendekatan psikologi sastra dengan mengambil unsur ketiga dari paparan
sebelumnya. Kanaya merupakan kumpulan puisi Rini Intama yang terbit 2019, diterbitkan oleh Tarebooks, Jakarta.
Penyairnya perempuan, maka coba kita pelajari sebuah rumus perempuan. Perempuan
adalah makhluk yang cenderung suka berbohong. Ketika perempuan mengatakan “Saya
baik-baik saja” sebenarnya dia tidak baik-baik saja. Ketika dia mengatakan, “Tidak
apa-apa” sebenarnya apa-apa. Ketika dia bilang “Saya tidak sedih” sebenarnya
dia sedang menahan air matanya. Ketika dia bilang “Saya kuat kok” sejatinya dia
sedang menggapai-gapai mencari pegangan, sandaran atau apa saja agar tidak terjatuh.
Burukkah hal tersebut? saya kira tidak. Kebohongan tersebut membuat dia menjadi
benar-benar seperti pada keadaan yang ia bohongkan. Barangkali inilah kekuatan
kata-kata yang menjelma doa-doa hamba teraniaya. Semacam sebuah afirmasi dalam
bidang psikologi.
Pembahasan
Kanaya begitu perempuan. Semua yang mengalun dari derai kawihnya adalah
perempuan. Air mata sebagai duta kesedihan menjadi kontras di antara
tembang-tembang berkekuatan super.
.../Lalu perempuan manakah tak melukis air mata?/.../tempat membiaknya luka/...(hlm
17)
Bait tersebut menggambarkan bahwa perempuan adalah pelukis air mata. Tidak ada
pengecualian dalam kutipan tersebut. Hatta Kanaya menampilkan
kekuatan-kekuatannya. Perempuan adalah “tukang nangis”, itu yang disampaikan
dalam Kanaya.
.../Di tanah Priangan/ Air mata kita jatuh// (hlm 33), ini kutipan puisi
berjudul “Kawih Ibu”. Diksi kita
bermakna aku dan ibu. Dua orang perempuan sedang bertangis-tangisan pada saat yang
sama, pada tempat dan kejadian yang sama. Tapi jangan ambil simpulan dulu,
lihatlah bagaimana kekontrasan ada pada puisi-puisi setelahnya. Kanaya mencoba
menolak, melawan kesedihannya. Hal yang paling lumrah dari banyak perempuan di
dunia.
.../Tak perlu kita tangisi// Tentang sekar ibu/ Jika aku punya air mata/...
(hlm 41).
.../Dan ruang-ruang yang gaduh/ tak perlu air mata/ sebab perempuan
memanggul kecemasan/ menggenggam hidup dari bara api/ ...(hlm 43).
Kutipan tersebut masing-masing berasal dari puisi Sekar dan Pasar. Pada saat
bersamaan, Kanaya menyampaikan ia tidak punya air mata; tak memerlukan air mata.
Lihatlah, bagaimana cantiknya Kanaya bermain. Selain “tukang nangis”, perempuan
“tukang bohong” dengan rapi terlukis dalam Kanaya. Inilah cara perempuan
menolak sedih walau sebenarnya sedih. Memanggul
kecemasan, menggenggam hidup dari bara api merupakan frase-frase yang
mencerminkan kesulitan-kesulitan hidup para perempuan. Sesuatu yang dipanggul
tentu saja adalah sesuatu yang berat, tidak ringan, bukan hal-hal receh. Kecemasan
pada ujungnya adalah air mata. Adapun Bara
api adalah sesuatu yang sangat potensial, potensial mendatangkan keburukan
maupun kebaikan. Perempuan itu menyimpan banyak persoalan. Mereka berpotensi melakukan perlawanan yang dahsyat, tapi jangan
heran jika ujung-ujungnya dia menangis meraung-raung di kamar mandi;
menghabiskan berlembar-lembar tissue. Pernah berkonflik dengan perempuan? Bagaimana
the power of emak bekerja? Polanya selalu sama. Dia kukuh dan garang level 12
dari skala 1-10 tapi tidak lama kemudian, dia akan bersimbah air mata. Itu yang
saya temukan dalam Kanaya. Terima kasih, Rini Intama. Terima kasih atas
kejujuran yang paling jujur.
Penutup
Kanaya, kita tidak mencari pembenaran dalam puisi. Meski kadang terlihat
rumit, puisi bukan matematika. Ia bukan rumus-rumus pasti yang dikungkung oleh
hanya dua pilihan, benar-salah. Puisi adalah tempat jiwa kita berleha-leha. Ia lahan
kita untuk merenung. Sesuatu yang kita gapai-gapai ketika jiwa terlunta-lunta
setelah ayat-ayat Tuhan. Kanaya, mari kita saling menguatkan; menolak sedih
walau sedih.[]
Disampaikan pada Malam Bincang
Buku Kanaya karangan Rini Intama bersama Pemantik lainnya Di Kindai, 28
November 2019. Diabadikan di Flamboyan sehari setelahnya.