Cerpen ini terdapat dalam buku antologi cerpenku "Rindu Rumpun Ilalang" Terbitan KSI Banjarmasin, 2010
Sabtu, 29 Desember 2012
RINDU RUMPUN ILALANG
Oleh Nailiya Nikmah JKF
“Ayolah...kita
bermain di padang ilalang. Sebentar...aja.”
Aku suka ilalang. Tidak semata-mata karena
kesederhanaan yang ditampilkannya seperti awenku
Bakumpai tapi juga karena hal-hal misterius yang selalu menjelma di sela-sela
rimbunnya. Setiap aku menatap rumpunnya yang bergoyang ditiup angin, akan
terbit rasa rinduku. Rindu yang tak terbatas dan tak terbalas pada yang tak
tertentu. Rindu yang tak dapat kupahami, yang selalu berubah-ubah bentuk.
Ketika aku masih berseragam putih merah, menatap
rumpun ilalang di belakang rumah kami membuatku rindu Ibu. Uma yaku hantarawang kan langit. Iye melay si awan.* Begitulah kata
Ayah dan Neneng. Mulanya aku percaya.
Kupikir, kalau sudah lelah di atas langit, Ibu pasti akan pulang dan mencariku.
Seiring berjalannya waktu, aku jadi mengerti kemana Ibu sebenarnya. Saat
pertama kalin memahami makna kepergian Ibu sebenarnya, aku menangis seperti
langitg menumpahkan hujan. Aku memeluk nisan bertuliskan nama Ibu. Aku merasa
tak ada lagi harapan bertemu Ibu. Aku menyesali perjalanan waktu. Kadang aku
berpura-pura belum mengerti dan memaksakan diriku untuk tetap menganggap Ibu
ada di atas langit, dan kalau sudah lelah Ibu pun akan pulang. Tapi usaha itu
sia-sia. Waktu sudah mengatakan yang sebenarnya.
Lambat laun kesedihanku berkurang. Ketika aku SMP,
mentap rumpun ilalang membuatku tersipu-sipu dan tersenyum sendiri. Aku tidak
tahu mengapa di sela-sela rimbunnya kutemukan wajah Aldi. Aldi adalah ketua
kelasku. Aldi adalah teman laki-laki pertama yang memujiku. Dia bilang aku
manis. Saat itu kunyatakan padanya bukankah Lala lebih cantik? Lala adalah anak
tercantik disekolahku. “Cantik dan manis itu tidak sama. Manis itu tidak
membosankan “kurang lebih begitu yang dikatakan Aldi. Lalu aku merasa rumpun
ilalang menarik tanganku dan mengajakku menari. Hanya itu, tak ada sesuatu yang
berlebih . sesederhana para ilalang, sesederhana itulah kerinduanku.
Aku terlanjur mencintai ilalang dibelakang rumah
kami. Sampai-sampai ketika ayah memaksaku melanjutkan sekolah ke Marabahan, aku
sempat berontak. Aku ingin di Tabukan.
Neneng sama saja, ia bilang sekolah di Marabahan lebih bagus. Aku tak ingin
jauh dari makam ibu- alasan ini dipatahkan Ayah. Kata Ayah Tabukan-Marabahan
tidak terlalu jauh. Tapi aku tak ingin berpisah dengan ilalangku. Kusaksikan
rumpun ilalangku menunduk sedih. Dan betapa kecewanya aku, sesampainya di
Marabahan ternyata Ayah sudah menyiapkan Ibu baru untukku.
Kekecewaanku tak bertahan lama. Ibu baruku yang
juga awen Bakumpai dan masih ada
ikatan kerabat dengan Neneng sangat
pandai mengambil hatiku (aku agak heran juga, mengapa Ayah yang berdarah Jawa
tidak mencari istri sesukunya). Selain itu, aku menemukan rumpun ilalang yang
baru! Ketika menatap rumpun ilalang itu, seperti biasanya terbitlah rasa
rinduku. Pertama kali yang kurindukan adalah rimbun ilalang di Tabukan!
Kesibukan di bangku SMA membuatku jarang menatap
ilalang berlama-lama. Aku anggota Pramuka, PMR, KIR, OSIS, pokoknya semua
organisasi aku ikuti. Ayah sampai memperingatkanku agar tidak melupakan
belajar. Peringatan Ayah kujawab dengan prestasi. Aku selalu juara kelas. Lalu
tibalah hari itu. Hari prmbagian jurusan di kelas tiga. Aku dipanggil ke ruang
BP.
“Kema, apa benar kamu memilih jurusan IPS?”Tanya bu
Ida.
“Ya, Bu.”Jawabku.
“Kamu yakin?Tatapanya mencoba mencari kepastian.
“Sangat yakin”
“Ibu tidak ingin kamu salah pilih dan menyasal di
kemudian hari,Nak”Guru BP ku meredakan nada bicaranya.
“Kema sudah memikirkannya sejak kelas satu,Bu”
Ujarku menutup sidang tak resmi bdi ruang BP.
Berdengunglah seisi sekolahku. Ayah dipanggil ke
sekolah. Semua orang seakan-akan tak rela aku masuk jurusan IPS. Aku heran,
apakah pemisahan IPA-IPS sama dengan pemisahan pintar dan tak pintar? Kudengar
di kota lain malah ada jurusan Bahasa. Berhubung tidak ada, ya sudah kupilih
IPS. Yang jelas aku tak minat di IPA.
“Kema sayang, mengapa harus memilih IPS? Kamu mampu
di IPA, Nak” bujuk Ayah.
“Kenapa
harus IPA, Yah?” balasku. Ayah tak menyahut. Perundingan berakhir dengan
kemenanganku.
“Tapi, Kema... kalau kau di IPA, kita akan tetap
bersama. Aku ingin kita sekelas. Dayat rekan sekelompokku setiap kali praktikum
ikut-ikutan membujuk.
“Memang kenapa kita harus harus sekelas?” Tanyaku
polos.
“Aku hanya ingin kita sekela. Itu saja”. Dayat
ghelagapan. Ia seperti penjahat tertangkap yang menyembunyikan barang bukti.
Aku tak puas. Kutatap matanya. Ia melengos. Benar
kata pepatah, mata adalah jendela hati. Kalau ingin kejujuran lawan bicara,
tataplah matanya.
“Tak ada alasan yang logis kan?” ucapku senang
karena mematahkan argumen Dayat.
“Cinta
kadang-kadang tak ada logika**” gumam Dayat.
“Apa? Kau bilang apa, tadi?” tanyaku.
“Cinta!” Dayat balik menatapku tajam. “Yaku mancintai ikaw! Bawi”***
Detik berikutnya aku yang tak berani menatap
matanya. Dayat? Cinta? Kenapa kata-kata itu begitu tiba-tiba datangnya?
Tiba-tiba aku ingin mengulang seluruh praktikum di laboratorium. Tiba-tiba aku
ingin Ibu BP memanggilku dan melakukan sidang ulang. Tiba-tiba aku ingin Ayah
mendebatku lagi. Aku berlari menerjang rumpun ilalang. Aku ingin ada yang
menjelaskan ketiba-tibaan ini. Aku menatap rumpun ilalang. Oh, sungguh kacau
rindu yang diterbitkannya. Mula-mula terselip wajah Dayat, lalu ini’ Aldi, lalu...apa-apaan ini, aku
merindukan para perempuan Bakumpai uang sedang berdendang menumbuk padi dengan
halu di Tabukan. Terakhir ada awan putih di langit. Itu pasti Ibu! Kutanya
ilalang itu. Mereka tak memberiku jawaban lain. Ilalang itu membiarkanku pada
pilihan pertamaku.
***
Keindahan rumpun ilalang terakhir kunikmati seminggu menjelang
pernikahanku. Di sela rimbunnya tak ada lagi wajah Aldi, Dayat atau siapa pun.
Ya..sejak mengikuti kajian intensif di kampusku, aku menatap rumpun ilalang
sambil menyebut asma-Nya dan aku tak pernah lagi menemukan wajah-wajah nonmahram terselip di sela rumpun
ilalangku. Biasanya yang kurindukan adalah Ibu, Ayah, Neneng dan sahabat-sahabatku di kelompok kajian pekanan. Di sela
rimbunnya waktu itu, kutemukan wajah calon suamiku, memperkuat hasil istikharahku. Sejak itu ilalang-ilalang
itu berganti sosok anak-anakku yang lincah dan aktif.
“Ayolah ...kita bermain di padang ilalang.
Sebentar...aja.”
Lalu hari ini, anak-anakku merengekkan ilalang.
Sama seperti aku dulu, mereka tak kalah gilanya daripadsa aku dalam urusan
ilalang. Sebenarnya aku agak takut dan ragu. Hampir lima tahun aku tak lagi
menatap rimbunan ilalang sekhusyuk dulu. Apakah ilalang itu marah padaku?
Apakah mereka juga semakin tua sepertiku? Aku memberanikan diri membawa
anak-anakku ke sebuah padang ilalang. Kedua balitaku berteriak kegirangan.
Kupejamkan mataku beberapa saat. Pelan-pelan kubuka kedua mataku...Oh, tidak!
Di sela rimbunnya kutemukan wajah seorang laki-laki. Bukan, ia bukan ayahku.
Suamiku pun bukan. Aku tak percaya. Wajah itu...
“...merupakan gambaran hidup dan kehidupan... di
dalamnya ada realitas...substansinya harus kita pahami...”
Aku terngiang-ngiang kalimat-kalimatnya yang dulu
pernah menghipnotisku. Meski terpotong-potong, kenangan yang ditampilkannya
menerbitkan kerinduan yang sangat besar. Ini pasti gara-gara perbincanganku
dengan Mitha seminggu lalu. Mitha begitu antusias bercerita tentang dia padaku.
“Dia sekarang sudah berubah. Tidak seperti dulu
lagi. Kamu pasti terpesona” ucap Mitha sungguh-sungguh.
“Kenapa terpesona?” tanyaku.
“Penampilannya sekarang seperti idolamu dulu” jawab
Mitha.
“Idolaku? Siapa?”
“Osama bin Laden!” Mitha terbahak lalu berlari
meninggalkanku yang mulai tertusuk rindu.
Tergesa ku kemasi anak-anak. Aku ingin segera
pulang. Kerinduan ini menakutkanku. Tapi sayang, kerinduan yang diterbitkan
ilalang itu terbawa sampai ke kamarku dan menjadi topik perbincanganku dengan
suami setiap mamal.
“Apakah kau pernah bertemu dengannya baru-baru
ini??” aku menanyakan lelaki itu pada suamiku. Lelaki yang juga pernah dikenal
olehnya.
“Kenapa kayu menanyakannya terus?” Tanya suamiku.
“Aku... merindukannya”lirihku.
Mata suamiku membesar. Tapi hanya beberapa detik.
“Kalau begitu, kau temui saja dia!”
“Tidak mungkin. Tidak ada alasan yang sangat
penting untuk bertemu dengannya”keluhku.
Setelah itu ia tersenyum. “Nanti kalau aku bertemu
dengannya, akan kuceritakan bagaimana keadaannya sekarang. Yang jelas, dia
sudah berubah”
Begitulah berbulan-bulan aku ditikam kerinduan yang
terbatas. Maka, belangsarlah aku
ketika mendapat pesan singkat di ponselku. Pengirimnya tak jelas siapa.
Sepertinya pesan yang diteruskan dari pengirim lain. “EsokSeminarPmbcrxDF” DF adalah inisial laki-laki itu. Aku
penasaran, apa yang akan dipaparkannya tentang sastra setelah perubahan
habis-habisan yang ia lakoni?
“Pokoknya, besok aku ke kampus. Wajib” begitulah
gayaku kalau meminta izin pada suami. Untunglah suamiku tidak terlalu sulit
dimintai izin. Ia sangat memahami kecenderunganku pada dunia sastra. Aku sibuk
menata hati. Ada gemuruh yang tak bisa kusunyikan. Ketika menapaki anak tangga
gedung tempat seminar berlangsung aku nyaris terjatuh saking gugupnya. Di anak tangga terakhir, sebelum sampai di pintu
masuk, aku menarik nafas. Aku tak ingin kelihatan kacau di hadapannya. Nanti
kalau bertanya apa ya? Gumamku dalam hati.
Betapa terkejutnya aku ketika tak menemukan
sosoknya di forum itu. Sepertinya ia sengaja tak ingin menghadiri acara. Aku
menelan kecewa. Tapi kekecewaan ini tak sama dengan kekecewaan ketika aku
kehilangan Aldi dan Dayat. Bukan, ini bukan pencarian yang berakar dari
romantisme konyol karena untuk urusan romantisme aku sudah ada ikatan
perjanjian dengan-Nya. Laki-laki itu adalah orang yang sangat kuhormati. Orang
yang pernah memberiku pengajaran dan pendidikan tentang sastra. Orang yang
pernah meminjamiku buku langka-yang rela mengopikannya karena kerapiannya
mengarsip pustaka. Dia adalah dosenku.
Aku manuruni anak tangga dengan hampa. Kuterabas
rumpun ilalang. Kupejamkan mataku lalu perlahan-lahan kubuka. Kulihat rindu itu
masih terselip di sela rimbunnya.
(Assalamu’alaikum
yaa Ustadz)
*Ibuku pergi di langit, ia tinggal di langit. (Bahasa Bakumpai)
**Cuplikan lagu Agnes Monica
***Aku mencintaimu, Gadis!
Cerpen ini terdapat dalam buku antologi cerpenku "Rindu Rumpun Ilalang" Terbitan KSI Banjarmasin, 2010
Cerpen ini terdapat dalam buku antologi cerpenku "Rindu Rumpun Ilalang" Terbitan KSI Banjarmasin, 2010
RUMAH DI BAWAH
PELANGI*
Cerpen Nailiya Nikmah
JKF
Imah
berdecak kagum menatap rumah mungil bercat biru muda itu. Daun pintu dan
jendela-jendelanya berwarna merah muda. Mirip rumah-rumahan barbie milik Sasha.
Hanya saja rumah yang di hadapannya ini tidak bertingkat dan modelnya sangat
sederhana. Pekarangannya cukup luas. Tak ada pagar pembatas. Yang membuat rumah
itu istimewa adalah lengkungan indah warna-warni di atasnya. Ya, ada pelangi di
atas rumah mungil itu. Kapan pun Imah datang, di langit di atas rumah itu
selalu ada pelangi. Kurang lebih lima
belas menit ia menikmati pemandangan tersebut. Setelah itu, seperti hari-hari
sebelumnya, ia pun menghidupkan motornya dan melaju menuju rumahnya sendiri.
Imah
tak sengaja menemukan rumah itu. Suatu sore Sasha mengamuk tidak mau berangkat
ke tempat les piano. Biasanya tiap Senin dan Jumat sore Sasha ke les piano
diantar papanya tapi sore itu Sasha mogok. Entah apa sebabnya, ia baru mau
berangkat setelah dipaksa Imah dan Imah sendiri yang harus mengantarnya. Karena
merasa sudah terlambat, padahal guru les piano sangat disiplin, Imah pun
tergesa-gesa. Ia lupa membawa dompet. Ia juga lupa memakai helm. Di tengah
perjalanan, dari jauh Imah melihat ada keramaian di depannya. Seseorang
meneriakinya, “muter, muter, razia, razia!”
Imah
tiba-tiba sadar ia tidak memakai helm, ia pun panik. Tak sengaja matanya
tertuju pada belokan sempit di sebelah kirinya. Ia lihat beberapa pengendara
membelok ke sana.
Tanpa pikir panjang Imah mengikuti para pengendara yang sama paniknya dengan
dirinya. Rupanya belokan tersebut adalah jalan tembus ke Jalan utama yang akan
ditujunya. Nah, dalam jalan tembus itulah Imah menemukan rumah berpelangi
tersebut. Sebenarnya bukan Imah yag menemukan pertama kali. Sasha lah yang
pertama menemukannya. Sasha berteriak, “Ma, berhenti Ma, Sasha mau lihat
pelangi! Ada
pelangi, Ma!”
Imah
gusar mendengar celoteh Sasha. “Sha, kita sedang kabur dari polisi, nih. Kamu jangan macam-macam. Lagipula
kamu sudah telat les pianonya!” teriak Imah.
“Sebentar
saja, Ma. Pelanginya aneh. Masa pelanginya cuma di atas rumah biru itu?” Suara
Sasha mulai menjadi rengekan.
“Balik
lagi dong Ma ke rumah yang sudah kita lewati tadiii” Sasha merengek lagi. Imah
hafal betul, kalau sudah nada rengekan yang seperti itu, Sasha pasti akan
mengamuk kalau tidak dituruti. Imah pun membalikkan arah motornya.
Bukan
hanya Sasha yang melongo, Imah pun ternganga melihat rumah di bawah pelangi
tersebut. Anehnya pemakai jalan yang lain tak ada yang tertarik melihat
pemandangan langka itu. Bahkan sepertinya mereka tidak melihatnya. Imah
merasakan kedamaian yang luar biasa saat memandanginya. Mungkin yang ia rasakan
dirasakan pula oleh Sasha. Sejak itulah, Imah setiap hari menyempatkan diri
melewati jalan itu hanya untuk melihat rumah di bawah pelangi.
Ini
pekan keempat Imah menjadi pengagum rumah orang. Selama ini, Imah menganggap
rumahnya adalah rumah terindah di kotanya, eits rumah terindah di dunia malah.
Rumah yang dibeli suaminya itu menurutnya sangat spesial. Selain bahan dan
arsitektur rumah yang elegan, rumah tersebut ada kolam renangnya, ada tiruan
air terjun Niagaranya, ada hutan kecilnya – yang ditanami tetumbuhan hutan pada
umumnya lengkap dengan danau buatan, ada
ruang pameran karya seni, tak lupa mushola kecil untuk beribadah. Memiliki rumah mewah dan suami yang punya
banyak duit membuat Imah merasa menjadi orang yang paling beruntung. Apalagi
setelah kelahiran Sasha, putri tunggalnya yang bermata kejora. Ia merasa sangat
lengkap, kecuali satu hal. Sampai saat ini ia tak berani menyetir mobil
sendiri. Ia harus puas dengan hanya mengendarai motor kerennya. Setelah
menemukan rumah berpelangi itu, Imah merasa ada sesuatu yang kurang dalam
hidupnya.
Pekan
keempat mengagumi rumah itu, Imah menginginkan rumah tersebut. Sebenarnya bukan
rumahnya, melainkan pelanginya. Imah ingin pelangi itu bisa dipindah ke langit
di atas rumahnya. Sang suami tertawa waktu mendengar keinginan Imah, “Hahaha,
pelangi itu tidak bisa dibeli, Imah. Pelangi itu tak bisa dimiliki. Ia milik
semua orang. Ada-ada saja kamu,”
“Tapi
rumah biru itu memiliki pelangi sendiri, Bang,” Imah menyahut.
Suaminya
berhenti tertawa. Laki-laki berambut keriting itu menyentuh dahi istrinya. Imah
menepis tangan suaminya, “Apa-apaan sih, Bang!”
“Hm, kupikir kau demam atau sakit tapi…tidak,”
suami Imah menggeleng-geleng.
Imah
hampir putus asa meyakinkan suaminya. Tiba-tiba ia berteriak, “Aha, Sasha,
Sasha, Bang!”
“Kenapa
dengan Sasha, Ma?”
“Dia
yang pertama kali melihatnya. Kalau Abang tak percaya, coba tanyakan pada
Sasha,” Imah bersemangat.
Setelah
menjemput Sasha yang sedang bermain di rumah sebelah, mereka bertiga pergi ke
rumah pelangi. Sebelum berangkat, Imah hampir meledak melihat tangan Sasha
belepotan warna-warni bekas krayon. Imah sudah berulang kali melarang Sasha
bermain-main dengan alat warna. Ia tak ngin Sasha jadi pelukis. Ia ingin Sasha
jadi pemain piano yang hebat. Imah membersihkan tangan Sasha. “Tanganmu ini
untuk main piano, Sha!”
Sesampainya
di sana giliran
suami Imah yang melongo. Ia berkali-kali mengucek-ngucek matanya, mencubit
lengannya dan menepuk-nepuk pipinya sendiri.
“Jadi,
kita mau membeli rumah ini, Ma? Pa?” tanya Sasha.
“Tidak,
sayang. Kita mau membeli pelanginya saja” suara suami Imah membuat Imah riang.
Mereka
disambut hangat oleh pemilik rumah. Sepasang suami istri yang ramah. Sasha
senang sekali disuguhi semangkuk es krim rasa vanilla dengan butiran coklat
chip di atasnya. Imah dan suaminya disuguhi teh hangat beraroma cengkeh dan
mint, teman yang pas untuk kue brownis kukus buatan istri pemilik rumah.
“Jadi,
apakah kami bisa membeli pelangi punya Bapak dan Ibu?” tanya suami Imah setelah
mengelap bibirnya dengan tisu.
Imah
sangat senang, kini justru suaminya yang terlihat lebih bersemangat. Suami dan istri
pemilik rumah saling berpandangan lalu tersenyum mesra. Sang suami memberi
isyarat agar istrinya yang berbicara.
“Begini
Pak, Bu, pelangi yang di atas rumah kami tak bisa dibeli, tak bisa
dipindah-pindahkan. Kami merawatnya sejak kecil. Kalau Bapak dan Ibu mau, kami
mempunyai bibitnya. Ya… Bapak, Ibu harus sabar merawatnya, menyirami, memberi
pupuk, nanti lama-lama dia akan tumbuh besar sepeti pelangi di rumah kami ini”
Perempuan itu tersenyum, terlihat lekuk kecil di kedua pipinya.
Imah
dan suaminya mengangguk dan berkata bersamaan, “Mau, mau.” Mereka semua tertawa.
Sasha kebingungan melihat semua orang tertawa, gadis kelas satu SD itu dari
tadi asyik dengan es krimnya. Bibir dan pipinya belepotan es krim. Ia pikir
orang-orang menertawakannya. Ia buru-buru menyeka pipinya dengan tangan.
Bukannya membersihkan, Sasha malah menambah kotor mukanya karena tangannya sudah
berlumuran es krim. Imah segera mengelap muka Sasha dengan tisu.
“Mungkin
dia perlu cuci muka dengan air, mari saya antar dia ke belakang” Istri pemilik
rumah menggandeng Sasha. Ia membawa Sasha menuju ruang makan, di sudutnya ada
tempat untuk cuci tangan. Ada sabun dan kain lap
di sana. Agak
ke kiri, Sasha mendapati sebuah lukisan tergantung di dindingnya. Lukisan bunga
matahari yang sangat indah. Warnanya kuning keemasan. Sasha menatapnya. Ia berjinjit,
lalu tangan mungilnya mencoba menyentuh lukisan itu.
“Hm,
cuci tangan dulu, Sayang…” kata istri pemilik rumah.
Sasha
segera mencuci dan mengeringkan tangannya. Ia kembali ke lukisan bunga
matahari. Karena tubuhnya masih kecil, ia hanya bisa menyentuh bagian bawah
lukisan. Istri pemilik rumah menggendongnya. “Kau suka lukisan, Nak?” tanyanya
lembut.
“Ya,
aku suka melukis, di kamarku banyak lukisan, lukisanku sendiri. Ada mawar, melati,
anggrek, raflesia arnoldi. Aku juga suka melukis binatang. Ada kelinci, kucing, hamster, burung kakatua,
panda…” celoteh Sasha. Sasha sangat senang. Belum pernah ia seriang ini
berbicara dengan orang asing.
“Kalau
rumah, kebun, taman, kau pernah melukisnya?” tanya istri pemilik rumah sambil
membelai kepala Sasha.
“Ada sih, tapi tidak
terlalu bagus” jawab Sasha takut.
“Tak
apa Sayang, kalau latihan dan belajar, lama-lama nanti juga bagus hasilnya”
Istri pemilik rumah tersenyum.
Sasha
lega. Ia sangat takut jawabannya mengecewakan istri pemilik rumah. Ia takut
istri pemilik rumah berubah sangar seperti guru les pianonya kalau lagi kesel
karena ia salah memainkan nada. Sebenarnya Sasha sudah tidak tahan lagi dengan
les pianonya. Ia lebih senang melukis tapi sayang mamanya tak membolehkannya
ikut sanggar melukis di taman budaya dekat rumahnya.
Begitulah,
keesokan paginya, sesuai instruksi pemilik rumah pelangi, Imah dan suaminya
menabur bibit pelangi. Hampir saja terjadi pertengkaran seru antara Imah dan
suaminya soal di mana mereka akan menabur bibit pelangi. Imah ingin menaburnya
dekat air terjun. Suaminya ingin menaburnya dekat hutan mini mereka. Akhirnya
Imah mengalah karena ia sudah tak sabar lagi menabur bibit pelangi. Imah dan
suaminya bergantian menyiram dan memberi pupuk. Mereka sabar menanti lengkungan
pelangi di atas langit di hutan mini.
Hingga
suatu pagi Sasha menjerit, “Mama…Papa! Lihat! Banyak awan gelap di atas
langit!”
Imah
dan suaminya bingung, bibit pelangi tumbuh menjadi awan gelap. Sungguh aneh
padahal mereka sudah rajin merawatnya. Mereka bertiga mendatangi pemilik rumah
pelangi lagi.
“Dengan
apa kalian menyirami dan memupukinya?” tanya suami pemilik rumah.
“Tentu
saja dengan air dan pupuk, pupuk yang paling bagus” jawab suami Imah.
Sepasang
suami istri pemilik rumah tersenyum. “Pantas saja” sahut sang Suami.
“Seharusnya,
kalian menyiramnya dengan kebahagiaan dan memupukinya dengan ketulusan” jelas
sang istri.
“Kebahagiaan
dan ketulusan? Maksudnya?”tanya Imah.
“Penghuni
rumah harus lah merasa bahagia sepanjang hari dan melakukan semua perbuatan
dengan tulus, tidak karena terpaksa. Ingat, semua perbuatan.” Suami pemilik
rumah menjelaskan panjang lebar.
“Apa
kamu tidak bahagia, Ma?” tanya suami Imah seolah menyalahkan Imah.
“Ah,
selama ini aku bahagia, sangat bahagia malah. Dan aku, tidak pernah terpaksa
melakukan segalanya. Aku memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengantar Sasha,
semua kulakukan tidak karena terpaksa,” Imah agak kesal, “jangan-jangan kau
yang tidak bahagia, Bang?” selidik Imah.
“Jangan
menuduhku, Ma. Aku lelaki paling bahagia di dunia ini” bantah suaminya.
“Tunggu,
masih ada satu orang yang belum ditanya” kata istri pemilik rumah.
“Tidak,
Bu. Tidak ada orang lain lagi di rumah kami. Kami cuma ber..tiga,”suara Imah
mendadak datar dan kaku.
“Bertiga?
Ada Sasha, kan? Hei, ke mana Sasha tadi?” Suami pemilik
rumah bertanya.
“Dia
pasti di dalam, ayo…” Istri pemilik rumah menggiring semuanya ke ruang makan.
Di sana
terlihat Sasha sedang duduk di lantai dengan peralatan gambarnya. Sesekali
kepalanya mendongak ke atas, ke lukisan bunga matahari.
“Saya
tahu sekarang… Hm, kalau kalian masih menginginkan pelangi itu, hentikan les
piano Sasha. Masukkan ia ke sanggar lukis” kata istri pemilik rumah tegas.
Epilog
Belasan tahun
kemudian, di salah satu hari Senin di bulan Desember, seluruh media
memberitakan: pameran tunggal pelukis muda berbakat, Rumaisa. Telah terjual
dengan harga fantastis, lukisan berjudul Rumah di Bawah Pelangi.
*Cerpen ini
terdapat dalam buku Kiat Menulis dan
Cerpen Pilihan
DONGENG DALAM BECAK*
Oleh Nailiya Nikmah JKF
Menunggu adalah pekerjaan yang paling
membosankan. Sayangnya, aku selalu tak bisa lepas dari pekerjaan yang satu ini.
Waktu kecil, aku harus menunggu lama agar bisa pamer baju baru pada teman-teman
karena ayahku terlalu lama mengumpulkan duitnya. Ayahku baru bisa dapat duit
kalau ada orang yang dapat musibah dengan kendaraannya, khususnya bagian ban.
Ya, ayahku adalah seorang tukang tambal ban. Sebuah profesi yang membuatku ngetop semasa SD. Bagaimana tidak, aku
menjadi terkenal dengan tambahan lain di belakang nama asliku. Namaku Hamdan.
Teman-teman menjuluki Hamdan ATT. Bukan, bukan karena wajahku atau suaraku
mirip penyanyi dangdut itu. ATT di belakang namaku adalah kependekan dari anak tukang tambal. Menurut teman-temanku,
aku cocok sekali menyandang nama itu ditambah dengan kemiskinan yang begitu
melekat di hidupku, jadilah aku Hamdan ATT,
orang termiskin di dunia.
Aku harus menunggu sekian lama untuk bisa
melihat angka-angka yang tertawa di raporku. Lagi-lagi karena masalah duit. Aku
tak bisa mengambil rapor karena belum melunasi bermacam-macam pembayaran.
Aku harus menunggu lama agar bisa
mengerjakan tugas dan belajar dengan tenang sampai dagangan gorenganku habis.
Aku bahkan pernah harus menunggu lama agar bisa memejamkan mataku di malam hari
karena perutku yang keroncongan minta diisi. Tapi sejujurnya masih ada
saat-saat aku terbebas dari pekerjaan menunggu, yaitu ketika teman-temanku
serentak berlarian sambil berteriak “Kelengan
pagat! Kelengan pagat!” Aku orang paling cepat merespon teriakan itu. O,iya
masih ada satu hal lagi yang membuatku pernah terbebas dari pekerjaan menunggu.
Waktu itu aku habis menerima ijazah. “Bu, Hamdan setelah ini sekolah di mana?”
Mendengar tanyaku, tanpa basa-basi ibuku
langsung menjawab,”Sekarang giliran adik-adikmu, Dan. Giliranmu itu, tuh...” Ibu
menunjuk tempat mangkal operasi ayah. Tiga tahun kemudian, ketika teman-temanku
merengek seragam abu-abu putih, Ibu menunjukan jarinya ke sebuah becak yang
terparkir manis depan rumah kami.
Sebenarnya itu adalah mimpi buruk bagiku.
Aku bisa malu berat kalau bertemu Wenny-gadis pujaanku. Wenny teman SD yang
selalu berkepang dua itu begitu baik padaku. Ia satu-satunya teman yang selalu
menanyakan apakah aku sudah mengerjakan PR atau belum. Ia juga pernah merelakan
roti bekalnya untukku ketika ia memergokiku sedang memungut sisa nasi bungkus
di tempat sampah kantin sekolah. Wenny pasti melanjutkan ke sekolah yang
terbaik. Aku tidak tahu bagaimana menamai perasaanku waktu itu. Perasaan ingin
terus sekolah-kalau bisa sekelas lagi dengan Wenny. Perasaan malu membayangkan
Wenny melihatku sedang menarik becak. Yang jelas, perasaan-perasaan itu
dikalahkan oleh tatapan adik-adikku yang tak mau menunggu. Mereka juga ingin
sekolah. Becak itu mungkin merupakan mimpi buruk bagiku tapi bagi adik-adikku
tentu becak itu adalah sebuah harapan.
Tak terasa tiga belas tahunan sudah aku
menjadi tukang becak. Mulai dari menarik becak sewaan sampai akhirnya aku punya
becak sendiri. Sejak jadi tukang becak, aku pun tak lepas dari menunggu.
Menunggu kedatangan penumpang yang tak pasti sehari itu ada; menunggu penumpang
yang minta dijemput, eh tidak tahunya lama sekali baru berangkat; menunggu
penumpang yang minta mampir-mampir dulu sebelum sampai ke tujuan yang disepakati
di awal. Enak benar sopir taksi, kudengar kalau menunggu lama seperti itu bisa
dikenai hitungan oleh mesinnya. Kalau tidak salah namanya argo.
Hari ini, aku sedang menunggu. Anehnya,
menunggu kali ini terasa berbeda dibanding pertungguanku
yang sebelum-sebelumnya. Aku memang merasa jemu dan gelisah tapi ketika yang
kutunggu sudah datang, aku malah tambah gelisah. Sebelum pertungguanku yang
satu ini aku belum pernah merasa serumit ini untuk menjelaskan sesuatu, selain
tentang perasaanku pada Wenny dulu.
Semua ini bermula ketika Abang Jacky
memintaku menggantikan tugasnya. Jangan berprasangka yang wah dulu mendengar nama Bang Jacky. Namanya memang keren seperti
orang sugih tapi ia beda tipis
denganku. Ia seniorku dalam urusan perbecakan. Nama sebenarnya aku tidak tahu
siapa. Mungkin Zaki, Muzakki, Yuzakki...entahlah sampai hari ini tidak ada yang
tahu siapa nama aslinya.
“Dan, beberapa hari ini tolong gantikan
tugas Abang ya. Istriku lagi sakit, aku khawatir meninggalkannya sendirian di
rumah. Kemarin ia jatuh pingsan di kamar mandi” itulah prolog cerita
pertungguanku yang beda ini.
Aku diminta menjemput seorang perempuan
di rumah mewah di tepi jalan raya, lalu ke sebuah sekolah-menjemput anaknya,
setelah itu balik lagi ke rumah semula. Enak juga Bang Jacky punya langganan
seperti ini. Paling tidak dalam sehari sudah ada rezeki pasti yang sudah
menunggu. Tidak sepertiku yang serba tak pasti. Tapi kalau kuingat penjelasan
guru agama dulu, katanya rezeki manusia itu sudah pasti, sudah di atur oleh Allah.
Manusia tinggal berusaha. Mungkin inilah masalahnya, usahaku yang belum pas.
Hari pertama aku menjalankan tugas aku
bertanya-tanya. Penumpangku ini masih terlalu muda untuk punya anak. Terlalu
muda? Ah mungkin tidak juga. Bukankah Fatma teman sekelasku dulu lulus SD
langsung kawin? Aku tersenyum miris mengingat Fatma dikejar-kejar ibunya sehari
sebelum pernikahannya. Fatma tidak mau kawin tapi kemiskinan memaksanya.
Penumpangku ini tentu kawin muda bukan karena alasan ekonomi. Tidak ada
tanda-tanda kemiskinan dipenampilannya. Jangan-jangan dia “kecelakaan”? aku
menepis prasangka burukku. Tidak mungkin, dia berkerudung rapi dan selalu
berbaju panjang. Tampang alim begitu sepertinya tidak mungkin bergaul bebas
apalagi sampai kebablasan.
Hari kedua, aku mencuri-curi wajahnya.
Mulanya sih sekedar mencoba mengenali lama-lama aku ketagihan. Wajahnya cantik bersinar.
Persis bintang iklan produk pemutih wajah. Mataku dan matanya belum pernah
bertemu. Mana berani aku menatapnya. Bisa-bisa aku dipecat. Lalu aku mulai
menyimak setiap tuturnya dengan anaknya. Suaranya lembut.
“Rini senang sekolah hari ini?” sapanya pada
anak kecilnya.
“Senang, Bu...”anak itu menjawab dengan
riang. Lalu ia berceloteh ke sana kemari tentang sekolahnya.
“Oh, iya tadi ada PR. Nanti Ibu bantu
Rini ya...?”
“Tentu sayang. Tentu Ibu akan membantu
Rini”
Percakapan mereka membuatku teringat masa
lalu. “Kena aja belajarnya, Dan. Sawat
godoh lawan jalabianya dingin. Kada nyaman lagi” Ibu selalu marah melihatku
mengulang pelajaran sepulang sekolah. Gorenganku sampai pukul lima sore baru
habis. Itu juga kalau lagi mujur. Setelah itu teman-teman mengajakku main
sambil sesekali membantu ayah, habis magrib aku nonton tv di kelurahan. Usai
Isya aku sudah kelelahan. Besok pagi saja belajarnya pikirku. Paginya rumah
kami ribut. Ibu berteriak, ayah menyumpah, adik-adik menangis. Lama-lama aku
jadi malas belajar.
Hari ketiga, penumpangku mendongeng. Perjalanan
jadi tak terasa. Sumpah, baru kali ini aku mendengar dongeng Cinderella seindah
dan seutuh itu. “Bekesah pang
Ma...kakawalan di kelas bagus-bagus karangannya. Buhannya raja-raja mengarang, jarnya
mun handak guring dikesahi kuitannya.” Aku pernah meminta.
Ibuku menjawab “Mama haur. Banyak gawian tahu lah! Kena, isuk-isuk aja bakesahnya” Besoknya dan besoknya Ibuku tak pernah
menepati janjinya. Sampai aku lupa, tepatnya sampai aku tak ingin memintanya
lagi.
Malamnya aku tak sabar ingin segera siang
dan menjemput penumpangku. Kira-kira besok apakah ia mendongeng lagi? Semoga
besok ia mendongeng lagi. Apakah ia akan mendongeng kisah Timun Mas, Putri
Salju, atau... Bawang Merah Bawang Putih seperti yang pernah diceritakan Wenny
di depan kelas? Aku tertidur. Dalam tidur aku bermimpi jadi pangeran yang
sedang berdansa dengan Cinderella.
Hari keempat, aku tambah terpesona dengan
penumpangku. Kali ini ia mengajari anaknya menghafal ayat Quran. Kalau tidak
salah namanya surat Al Fiil. Hafalan
ayat tidak terasa menakutkan karena ia menambahnya dengan cerita indah tentang
pasukan bergajah yang dilempari kerikil. Aku menyeka keringat dengan handuk
kecil yang setia menggantung di leherku. Aku tersenyum sendiri teringat dulu
aku berkeringat dingin ketika di panggil Bu Guru ke depan kelas untuk
menyetorkan hafalan surat ini. Aku ketakutan. Aku sama sekali tidak hafal karena
aku memang tak pernah menghafalnya. Aku jadi iri berat dengan Rini. Betapa
beruntung anak kecil ini punya orang tua kaya raya dan baik seperti
penumpangku. Aku menjelma anak kecil sedang naik becak bersama ibu sesempurna
penumpangku.
Ini hari kelima. Aku kecewa berat ketika
Bang Jacky datang mengambil alih lagi rezekinya. Ingin rasanya aku marah-marah
pada Bang Jacky. Setelah mengenalkanku pada keindahan ini kenapa sekarang ia
ingin merebutnya dariku? Lho, kenapa aku jadi begini rumit? Bukankah keinginan
Bang Jacky sederhana saja. Ia hanya ingin mengambil lagi langganan
penumpangnya. Kenapa aku jadi sakit hati?
“Kenapa, Dan? Ada yang tidak beres?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan.”Tak ada Bang.”
“Ya sudah, Abang narik dulu,” ia pamit.
“Bang...!” aku menahannya. Ingin sekali
aku memberanikan diri untuk berkata biarkan aku yang menjemputnya. Duitnya buat
Abang. Tapi lidahku kelu.
“Ada apa, Dan? Bayaranmu kurang?” desak
Bang Jacky.
Lagi-lagi aku menggeleng.”Anu bang...nama
Ibu itu siapa ya?”tanyaku asal.
“Oh...itu. namanya Rahimah. Dia pembantu
Nyonya Lisda tapi sudah dianggap seperti adik sendiri oleh Nyonya” jawaban Bang
Jacky membuat mulutku ternganga.
“Pembantu? Tapi..kok dipanggilnya
Ibu?”tanyaku.
Bang Jacky tersenyum. “Makanya gaul dikit, Dan. Kalau sore ia ngajar
ngaji di TPA kampung kita”
Aku masih menganga sampai Bang Jacky
berteriak. “Woi! Mikir apa? Kamu naksir ya?
Abang pergi dulu. Nanti kita ngobrol lagi”
Aku tak tahu bagaimana menamai perasaan
ini. Ada sedikit harapan menari di benakku. Aku berharap suatu saat ada dongeng
indah dalam becakku. Dongeng tentang aku dan Rahimah. Tapi sampai kapan aku
menunggu dongeng itu datang?
(Kado spesial untuk teman-teman
SD ku yangekarang mencoba mengukir pelangi dalam becaknya masing-masing)
*Pernah dimuat di Harian Radar Banjarmasin dan termasuk dalam buku Kalimantan dalam Prosa (Ed Korrie Layun Rampan).
Minggu, 23 Desember 2012
Puisi Nailiya Nikmah JKF
Banjarmasin
Kangen
(Buat Aliman Syahrani)
kukatakan aku kangen
dan ingin pulang
katamu, “Di Pahuluan kada rami,
hanya ada embun yang luruh bersama
puisi”
Kangenku jadi berlipat-lipat!
Banjarmasin, 13 November
2012
Pengantar
Rinduku
kau kah yang mengetuk pintu
senja-senja
meletakkan serumpun ilalang
di ambin rumahku
lalu pergi diam-diam
kau kah pengantar rindu
yang kucari ke segala musim
sekali bertemu
dinding-dinding sudah temaram
kau kah yang sembunyi-sembunyi meningkalung
jendela hatiku dengan cinta
hingga kacanya berceraian
mengapa engkau terlampau sunyi
padahal di sini banyak nyanyian
Banjarmasin, 23 November 2012
Mimpi di Bulan Desember
maukah kau menemaniku
menyusuri jalan bersalju
sambil memainkan kata-kata
yang menumpuk di balik sweater
lihatlah, Desember membekukan sungai Martapura
aku dan kamu asyik melempar kata. Aku tahu ini hanya mimpi,
mimpi di bulan Desember
Jangan bangunkan aku sebab kata-kata masih menumpuk di balik sweater
(Flamboyan, 12/12/12)
Kamis, 29 November 2012
Puisi Nailiya Nikmah JKF
Banjarmasin
Merobek Hujan
Buat –mu
hapuslah kalimat asing dalam prosa pendek kita
penampakannya hanya membasikan kenangan
kuncup ini takkan pernah jadi bunga
meski di belantaranya hujan bermain
hapuslah seluruh ingatan yang menyandera namaku
di serat-serat catatanmu
karena seperti juga aku
kau terbebas dari semua belenggu
kecuali takdir yang sudah di kumur-Nya
menjadi semburan di kertas kita
Robeklah kitab cinta kita
seperti aku merobek hujan hari ini!
Hujan, November 2012
Hujan, Matahari, dan Sajak Terakhir
jika engkau hujan
dimanakah dapat kusentuh rintiknya
jika engkau matahari
di manakah dapat kupandang sinarnya
Jika ini luka- dan sepertinya begitu
- biarlah kutulis sajak terakhir
12 November 2012
Banjarmasin
Merobek Hujan
Buat –mu
hapuslah kalimat asing dalam prosa pendek kita
penampakannya hanya membasikan kenangan
kuncup ini takkan pernah jadi bunga
meski di belantaranya hujan bermain
hapuslah seluruh ingatan yang menyandera namaku
di serat-serat catatanmu
karena seperti juga aku
kau terbebas dari semua belenggu
kecuali takdir yang sudah di kumur-Nya
menjadi semburan di kertas kita
Robeklah kitab cinta kita
seperti aku merobek hujan hari ini!
Hujan, November 2012
Hujan, Matahari, dan Sajak Terakhir
jika engkau hujan
dimanakah dapat kusentuh rintiknya
jika engkau matahari
di manakah dapat kupandang sinarnya
Jika ini luka- dan sepertinya begitu
- biarlah kutulis sajak terakhir
12 November 2012
Sabtu, 17 November 2012
DZIKRUL MAUT DALAM KUMPULAN PUISI “TANAH
HUMA”
Oleh
Nailiya Nikmah
1. Pendahuluan
Tidak berlebihan tentunya jika pembaca (penikmat) puisi
pun mempunyai kebebasan yang sama dalam menikmati atau mengapresiasikan sebuah
karya sastra (puisi) sesuai dengan pengalaman yang melatarbelakangi pemikiran
dan perasaannya. Kumpulan puisi “Tanah Huma” karangan tiga penyair Kalimantan memiliki banyak kemungkinan objek yang dapat
diamati tergantung dari sudut mana dan siapa yang memandang. Membaca judul
kumpulan puisi ini kita diajak membayangkan atau mengasosiasikannya pada
hamparan luas pehumaan, kebanggaan
orang-orang tuha, harapan anak-anak
untuk tetap bisa meneruskan perjalanan hidup.
Memang secara umum Tanah Huma menghadirkan panorama khas
Kalimantan; hutan maupun kekayaan alam lainnya (Kepada Paduka Puisi, Hutan,
Huma yang Perih, Berbisik dengan Laut, Gua Batu, Lapar, Kali Martapura, Di
Sebuah Tanjung, dan Surat dari Muara Teweh).
Lain Tapi sesungguhnya ada hal lain yang tidak kalah
menariknya untuk diamati dalam Tanah Huma. Jika cermat mengamati, kita akan
menjumpai nuansa kematian dalam beberapa puisi yang dapat mengingatkan kita
pada kematian atau istilahnya adalah dzikrul
maut.
2. Dzikrul Maut
Dzikrul maut, sebuah istilah yang dapat diartikan
sebagai “mengingat kematian”. Mungkin tidak semua penyair berminat menggoreskan
kisah kematian, seperti halnya tidak semua pengapresiasi tertarik mengupas
makna kematian dalam sebuah puisi.
Mengingat kematian adalah salah satu anjuran Rasulullah.
“Perbanyaklah mengingat penghancur berbagai kelezatan” HR Tirmidzi. Artinya
kurangilah berbagai kelezatan dengan mengingat kematian agar berkonsentrasi
pada Allah. Selain itu mengingat
kematian juga berguna untuk melembutkan hati kita. “Shafiyah ra. berkata: Ada seorang wanita mengadu
kepada Aisyah ra. tentang kekesatan hatinya lalu Aisyah berkata ‘perbanyaklah
mengingat kematia niscaya hatimu menjadi lembut’.
Jalan merealisasikan mengingat kematian adalah dengan
mengosongkan hati dari segala sesuatu
kecuali dzikrul maut yang ada di hadapannya, seperti orang yang ingin bepergian
mencapai keberuntungan besar atau menyeberangi lautan sehingga ia tidak
memikirkan yang lain.
Cara paling mujarab dalam hal ini ialah memperbanyak
mengingat kawan-kawan atau orang-orang yang telah mendahului. Mengingat
kematian mereka, pembaringan mereka di bawah tanah, dan bagaimana tanah kuburan
sekarang menimbunnya.
Abu Darda ra. berkata: Apabila Anda mengingat orang yang
sudah mati anggaplah dirimu termasuk salah seorang diantara mereka.
Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil
pelajaran dari orang lain. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: Tidakkah kalian
melihat bahwa kalian setiap hari menyiapkan orang yang pergi dan pulang kepada
Allah, kalian meletakkannya di dalam tanah dan berbantalkan tanah degan
meninggalkan para kekasih dan terputus segala upaya.
Terus-menerus menghadirkan pikiran-pikiran tersebut,
ziarah kubur, dan menengok orang sakit merupakan hal-hal yang bisa memerbaharui
dzikrul maut di dalam hati sehingga mendominasi dan menjadi perhatian utamanya.
Pada saat itulah orang hampir telah siap dan terhindar dari kampung tipu daya.
Jika tidak, maka zhahir hati dan manisnya lisan tidak lagi banyak berguna dalam
memperingatkan.
Jika hatinya merasa senang dengan sesuatu di dunia maka
ia harus segera ingat bahwa ia pasti berpisah darinya. Pada suatu hari Ibnu
Muth’I memandangi rumahnya lalu mengagumi keindahannya kemudian ia menangis dan
berkata: Demi Allah kalau bukan karena kematian niscaya aku merasa senang
terhadapmu, dan seandainya bukan karena kita aka berada di dalam himpitan
kuburan niscaya kami merasa senang kepada dunia. Kemudian ia menangis dengan
keras sehingga suaranya terdengar.
3. Dzikrul Maut dalam Tanah Huma
Seperti yang sudah disebitkan di awal, pembaca atau
penikmat puisi bebas mengapresiasikan sebuah karya yang dibacanya. Meskipun
kadang tigkat kebebasan memaknai sebuah puisi tidak setinggi kebebasan penyair
dalam berkarya. Setidakya dalam berapresiasi dan mengkritisi sebuah puisi,
pembaca dipengaruhi oleh latar belakang pengalamannya.
Inilah yang mendasari Tanah Huma dianalisis dari sisi
kematian. Meskipun tidak semua puisi Tanah Huma berbicara tentang kematian,
tetapi beberapa puisi yang mengangkat tema kematian sangat menarik untuk
dicermati sebagai salah satu perwujudan dari dzikrul maut atau mengingat
kematian.
Coba kita simak ‘Melintas Jalan Makam’ (halaman 9). Dari
judulnya saja kita sudah mendapati nuansa kematian. Meskipun mungkin bukan
kematian dalam arti sesungguhnya yang dimaksud penyair.
Dalam ‘Kepada Filsafah’ (halaman 10) kata-kata dhaif dan
idhafi merupakan kata kunci yang menghubungkan kita kepada kematian. Bait
terakhir memperjelas kefanaan dengan lembut.
Daun luruh
Ruh luruh
Kau lusuh
Pada puisi berikutnya, ‘Sekamar dengan Mayat’ (halaman
14) benar-benar merupakan jalan merealisasikan dzikrul maut. Hari kematian
seorang sahabat tentu memberi kesan kesedihan yang mendalam, apalagi bila
kematiannya dengan tragis atau tidak wajar. Ada sesuatu yang menyentak jiwa kita, betapa
kematian adalah sebuah kepastian yang kita tidak tahu kapan datangnya.
Bayangkan saat kita tidur di samping mayatnya, seusai membacakan Yassin sekali.
Hujan yang turun saat itu menambah kepedihan. Menatap tubuhnya yang terbujur
kaku dan menutupkan tudung putih di atasnya.
Setelah kematian akan ada masa perhitungan, inilah yang
coba digambarkan oleh penyair dalam ‘Hisab’ (halaman 17). Sebuah peringatan
bahwa setiap perbuatan dosa akan ada perhitungannya.
Menyimak ‘Melankolik’ (halaan 18) kita masih disuguhi
hawa pekuburan yang sunyi. Di sana
hanya ada bulan dan angin. Muram.
‘Di bawah Merah Lampu’ (halaman 19) secara simbolik
mengisyaratkan kematian juga. Lampu merah merupakan tanda berhenti pada lalu lintas.
Ini dapat kita asosiasikan sebagai
berhenti dari kehidupan dengan melambangkan duka abadi serta dalam kafe kelabu.
‘Memikul Keranda’(halaman 29) adalah sebuah pekerjaan
yang dilakuakn orang untuk mengantar mayat ke pekuburan. Puisi ini bertutur kesedihan
mendalam yang dirasakan seseorang karena kematian orang yang dikasihi. adalah
sebuah pekerjaan yang dilakuakn orang untuk mengantar mayat ke pekuburan. Puisi
ini bertutur kesedihan mendalam yang dirasakan seseorang karena kematian orang
yang dikasihi. Perasaan tidak dapat menerima kenyatan membuatnya merasa sepi,
segala menuli dan membisu seolah ia sendirian di dunia ini. Dengan diliputi
kesedihan, aku lirik tetap menghantarkan kakandanya menuju peristirahatan
terakhir. Uniknya perasaan sedih dan kehilangan itu justru menyadarkan aku
bahwa suatu saat ia pun akan menyusul kakandanya (meninggal dunia). Ini dapat
kita jumpai di bait terakhir.
dan aku juga
kakanda, sampai waktu
seperti kau ke
laut kembali
Sementara itu ‘Pengembara di Jalan Ujung (halaman 30)
berbicara tetang perjalanan seorang manusia, sebuah perjalanan dalam episode
panjang bernama kehidupan yang akan berakhir. Frase ujung jalan, ujung hari,
dan mengepak jauh menggambarkan sebuah akhir yang akan segera kita temui.
Begitu juga dengan fajar ke maghrib. Bait Engkau kan kembali tidakkan kembali makin
mempertegas simbol kematian.
Puisi ‘Musnah’ (halaman 39) mengisyaratkan sesuatu yang
tidak akan abadi. Bagi manusia ketidakabadian ini ditemukan dalam kenyataan
menua dan kematian. Masa remaja pasti akan berlalu dan tidak akan pernah
kembali. Tak ada manusia yang dapat menyangkal kenyataan itu.
Begitu juga dengan puisi ‘Tangisan Senja’ (halaman 40).
Senja menggambarkan masa pergantian dari siang ke malam. Senja perlambang
masa-masa terakhir dalam kehidupan. Boleh dikatakan sebagai waktu ajal
menjemput hampir tiba atau sekarat. Tangisan anak-anak dan orang-orang yang
dikasihi takkan dapat mengubah kehendak-Nya. Tinggallah harapan agar sang anak
dapat meneruskan cita-cita dan berusaha sendiri.
‘Kudukung Kemenangan Tanpa Melati’ (halaman 41) terkesan
begitu lembut dan bersahaja. Aku lirik mengemukakan betapa ia takut sekali
mati, takut kehilangan. Tapi itu tak menghalanginya untuk terus berusaha dalam
hidup. Ingin meraih kemenangan, keberhasilan, meski tak perlu diberi
penghargaan. Bait terakhirnyalah yang menjelaskan makna ini. Kita memang
dianjurkan mengingat kematian, tapi bukan berarti kita tidak bekerja dalam
kehidupan dunia.
Agak sukar memahami ‘Kepada Bapa’ (halaman 44), tapi
lambang-lambang yang digunakan masih relevan dengan kematian. Coba kita simak
bait tika daun pada bunga sudah kuning tua, kemudian bait berikut:
beringsut-ingsut
lara baru kau datang menjemput
sekilas pisau kata
diapun melambai maut
Atau
karena beginilah
harusnya akhir cerita
biar kutelan
tangis kumalku komat-kamit bendungnya
Membaca ‘Malam Penghabisan’ (halaman 49) ada kesan
‘akhir’ yang kita tangkap. Itulah yang ingin disampaikan dalam baris karena kecapaian angsur mengesani jasmani
pendukung. Menutup hari tentu akan membawa goresan-goresan hasil perjalanan
yang ditempuh. Perlahan menyusuri cerita hidup, semua orang akan sampai pada
masa tuanya. Ini yang coba disampaikan penyair dalam ‘Biola Tua’ (halaman 52).
Berbeda dengan dua penyair sebelumnya, Hijaz Yamani tak
terlalu banyak bicara kematian. Hanya ada dua puisi yang menawarkan sedikit
aroma kematian. ‘Saat dan Hari Baik’ mencoba mewakili. Puisi ini ditulis malam
Ramadhan. Sebuah bulan yang membuat kita selalu berusaha mendekatkan diri pada
Allah. Mungkin ini juga saat mengingat kematian oleh sebagian orang. Unsur
dzikrul maut puisi ini diantarkan oleh bait berikut:
kalau tiba saat
akhir menjelang segala penyelesaian
dengan segala
harapan besar
akan penutupan
segala dosa demi dosa
malam begitu
merunduk kesepian
Dalam puisi ‘Orang Lalu’ (halaman 62) baris Ah, keperkasaan apakah yang harus
dipertahankan mengisyaratkan bahwa tak ada kehebatan apapun yang dapat
dipertahankan karena semua pasti akan musnah.
4. Penutup
Ternyata melalui puisi pun kita dapat mengingat kematian. Tentu saja tak
cukup hanya dengan membaca puisi-puisi ini untuk mengingat kematian. Banyak hal
lain yang harus kita lakukan. Tapi setidaknya mungkin cara inilah yang cukup
efektif bagi penggemar puisi.
Demikianlah dzikrul maut dalam kumpulan puisi Tanah Huma. Sebuah
apresiasi sederhana terhadap kumpulan puisi karya D. Zauhidie, Yustan Aziddin
dan Hijaz Yamani. Mungkin tak semua penikmat kumpulan puisi ini sepakat dengan
pemahaman penulis bahkan mungkin sangat bertentangan. Tak ada salahnya berbagi
kisah di sini, di Tanah Huma.
Sumber: Kumpulan Puisi Tanah Huma, Pustaka Jaya, 1978
Mensucikan Jiwa, Said Hawa, 1998
Makalah
tersebut kusalin ulang tanpa menyuntingnya dari hardcopy yang kudapatkan dari seseorang yang aku sangat berterima
kasih padanya. Aku sempat kehilangan jejak tulisanku ini. Tulisan yang sangat
berarti bagi keberadaanku di ranah sastra, seni dan budaya.
Makalah
ini pernah kusampaikan pada acara sastra bertajuk Diskusi Puisi di Taman
Budaya, 28 maret 2002. Waktu itu, aku masih menjadi mahasiswa S1 PBSID FKIP
Unlam. Masa-masa aku gila puisi. Menulis maupun membacanya. Aku mendengar kabar
mau ada acara sastra di taman budaya. Aku
segera menemui dosenku, Bapak Drs. Jarkasi (alm). Kukatakan aku sangat ingin
ikut acara tersebut. Bisakah aku didaftarkan. Beliau mengiyakan. Kira-kira
seminggu sebelum acara, beliau memanggilku. “Coba kamu buat makalah tentang
kumpulan puisi ini. Ini contoh makalah punyaku. Kamu buat yang seperti ini tapi
cari topik lain!” Aku terkaget-kaget. Mau jadi peserta malah disuruh jadi
pemakalah! Tapi dasar aku gila puisi, aku terima saja perintah tersebut.
Ternyata
selain Bapak Jarkasi, pembicaranya adalah Bapak Ajamudin Tiffany (alm). Ehem, ehem, dua-duanya sudah almarhum nah.
Tinggal aku yang belum…J
Sebelumnya aku tak pernah mengikuti acara yang sekeren itu. Gugup juga aku pas
melihat para peserta. Tidak hanya kalangan mahasiswa (teman-temanku), juga ada
dari kalangan seniman, sastrawan, dan budayawan.Tau gak, saking tergila-gilanya
aku pada para penyair tersebut, selesai acara aku nguber-nguber mereka, minta
tanda tangan! Dulu gak secanggih sekarang. Aku gak punya kamera, hp kamera
apalagi. Sayang aku gak punya dokumentasi fotonya selembar pun.
Nah,
peserta mata kuliah Bapak Jarkasi wajib ikut acara ini dan wajib membuat
tulisan semacam esai tentang acara. Jadi, meski aku pembicara, aku juga wajib
mengerjakan tugas tersebut. Sampai sekarang aku masih menyimpan lembar tugas
yang sudah dinilai beliau itu. Nilaiku termasuk paling sempurna (narsis.com). Aku
suka memamerkannya pada anak-anakku.
Aku
ingat banget habis bubar acara, aku sempat berkenalan dan berbincang dengan
seseorang dari koran, namanya Bang Sandi Firly. Entah dia masih ingat momen itu
atau sudah melupakannya. Hari itu aku
merasa orang paling beruntung sedunia. Bisa bertemu para penyair, berkenalan
dengan Bang Sandi, dan ternyata dapat honor pula. Honornya lumayan besar untuk
ukuran mahasiswa sepertiku. Sorenya, aku mentraktir adikku makan-makan dan
berniat membeli sesuatu yang berharga dari uang tersebut. Akhirnya aku putuskan
membeli Quran terjemah karena saat itu aku belum punya. Di halaman pertama
Quran tersebut kutulisi, kenang-kenangan honor Tanah Huma.
Sampai
hari ini aku tak pernah melupakan momen itu. Aku sangat berterima kasih pada
Bapak Jarkasi- orang yang menyuburkan cintaku pada sastra. Beliau pembimbing
skripsi terkeren yang pernah kukenal. Beliau juga yang membuatku sempat
mengajar 1 semester di almamaterku pasca kelulusanku. Sayang, aku belum sempat
mengucapkan terima kasih padanya….
Aku
sempat merasa menyesal karena setelah itu, komputerku rusak dan aku tak punya
arsip makalahku. Makalah Pak Jarkasi malah aku masih punya. 2012, 7 tahun
setelah aku diterima di Poliban, aku menemukan makalahku. Unik sekali, yang
masih menyimpan makalahku adalah dosen senior di kampusku mengajar. 2005 aku
diterima sebagai PNS di Poliban tapi aku tak pernah berusaha mencari jejak
makalahku. 2012, setelah berdiskusi dengan dosen senor tersebut – namanya Pak
Tarman Effendi Tarsyad – aku kegirangan. Ternyata beliau termasuk peserta acara
tersebut dan masih menyimpan makalahku! Beliau mengopikannya untukku. Thanks banget, Pak…
Hari
ini, aku masih dan selalu mengenang acara Tanah Huma, mengenang para almarhum
yang terlibat di acara itu. Mengenang kematian… ***
Fa: Lamut Cinta
Cerpen Nailiya Nikmah
JKF
Bismillahi ini mula kubilang kartas dan
dawat jualan dagang kartasnya putih selain lapang pena manulis tangan bagoyang,
tintanya titih di kartas lapang bukannya beta pandai mengarang hanya taingat di
dalam badan hanya kurait diumpamakan tali dadayan umpama pendek kupanjangakan
umpama tagumpal kita bujurakan. Wahai Saudara anak tuntunan baik laki-laki atau
parampuan, jantan, betina, janda parawan, tua, muda, balu dan bujang, jikalau
ada malam ini tasama ngaran, jangan jadi pikiran.[1]
“Beruntung
ya jadi laki-laki,” celutuk Fa tiba-tiba.
“Maksudmu
apa, say?” Wida menghentikan ketikannya. Keningnya berkerut. Tak biasanya rekan
kerja sekaligus sahabatnya itu begitu iri dengan laki-laki.
“Kalau
seorang laki-laki yang sudah beristri jatuh cinta lagi, sudah ada pintu darurat
bernama poligami. Sebaliknya, kalau perempuan yang sudah bersuami jatuh cinta
lagi, hanya bisa menahan hati” jawab Fa enteng. Seenteng angin sore itu yang
masuk melalui jendela yang terbuka lebar. Karyawan lain sudah pulang semua.
Tinggal Fa dan Wida di kantor karena harus menyelesaikan laporan penelitian. Fa
dan Wida sama-sama penggemar sejuk AC alami. Jika mereka hanya tertinggal
berdua di kantor, no AC.
Wida
melotot. Ia segera menutup file
setelah memastikan datanya tersimpan aman. “Pekerjaan kita kali ini benar-benar
membuatmu lelah sepertinya, Fa. Fisik yang lelah kadang membuat pikiran kita
terganggu, lho. Ayo, di-save dulu.
Besok saja lagi.”
“Ah,
siapa bilang? Aku masih fit kok. Nih, lihat” Fa berdiri sambil memutar tubuhnya
360 derajat.
“Berarti,
otakmu yang lelah. Ada
yang korslet barangkali sampai kamu menggugat hal yang satu itu,” Wida
tergelak.
“Enak
aja. Kamu yang korslet” Fa menimpuk Wida dengan kertas buram yang menggumpal di
mejanya.
“Hati-hati
bicara lho, Fa. Salah-salah kamu
nanti dituduh aliran Islam liberal, kalau nggak, dibilang kafir.”
“Iya,
iya, bos…. Maaf deh, ku delete
ucapanku.” Fa mengemasi barangnya. Sebenarnya ia berharap Wida menusiknya agar ia bisa menumpahkan
beban hatinya.
* * *
Sore
mengantarkan resah ke lubuk hati Fa. Pelabuhan Lama, satu-satunya tempat yang
disukainya, menjadi penjeda sebelum pulang, sebelum matahari terbenam sempurna.
Angin mengibarkan kerudungnya. Fa memandang riak-riak kecil berwarna coklat
muda yang terhampar di hadapannya. Tak dipedulikannya pengunjung lain yang
lalu-lalang di sekitarnya. Ia ingin berceloteh pada sungai dan angin. Sesekali
ditatapnya layar ponselnya. Fa membaca ulang beberapa pesan di kotak masuk
dalam seminggu terakhir yang sengajanya tidak dihapus. Seminggu terakhir ini ia
nyaris tak pernah tak menjeda perjalanannya dari kantor ke rumah dengan ritual
seperti itu. Ritual membacakan sms untuk sungai dan angin. Sampai ia merasa
yakin azan akan berkumandang untuk daerah Banjarmasin
dan sekitarnya, barulah ia meninggalkan Pelabuhan Lama.
Di
perjalanan pulang, sambil menyetir hanya ada satu nama yang berputar-putar di
kepala Fa. Sebuah nama yang akan menghubungkannya dengan nama lain. Re. Ya,
nama itu lah yang akhir-akhir ini memenuhi kotak masuk di ponselnya. Sebuah
nama yang akan menghubungkannya pula dengan nama Salman dan Rijal menjadi
sebuah rajutan syal yang kusut masai. Ia tak tahan lagi. Kali ini ia ingin
berbagi. Di tekannya nomor kontak Wida. Fa mengalurkan ceritanya, membagikan kepingan-kepingan
kisahnya yang belum diketahui Wida. Sudut matanya mengalirkan bening sesalan.
Ia yakin, Wida di ujung ponselnya pun sedang menangis. Ia merasakan pelukan
sahabat terbaiknya itu dari jauh.
* * *
Sapuluh parkara kubawahakan, satu per satu
kukatakan, nanti maknanya kupacahakan: satu tali, dua lalaran, tiga tungkat,
ampat ukuran, lima jarum, anam kulindan, tujuh kompas, delapan padoman,
kasambilan teuri politik, yang kasapuluh dengan aturan.
Sapuluh tadi dengan aturan di mana tadi awal
parmulaan ini maknanya kupacahakan. Satu tali tadi dua lalaran tiga
taqdimtaqlim yang ditantukan. Malam ini kita balamutan carita bahari
kubawaakan. Memang badanku sebagai palamutan tiada mamakai buku atau tulisan,
tiada di kitab seperti Quran, tiada dijual dari pasaran, tiada batajwid seperti
al-Quran…[2]
Fa
membaca kitabnya pelan-pelan. Sesekali ia menyeka air mata yang menggantung di
pipi dan sudut bibirnya. Saat seperti ini adalah saat terdekat Fa dengan
Tuhannya.
Fa
malu karena ia telah melanggar aturan. Aturan tertinggi dalam hidupnya yang
juga menjadi aturan tertinggi Ibu Bapaknya, Kai Nininya, Datu-Datunya. Tak ada
yang lebih melukai selain dikhianati. Tak ada yang lebih memalukan selain
mengkhianati. Fa tidak kunjung mengerti kenapa ia sampai bisa jatuh hati dua
kali dalam hidupnya. Pun ia tak pernah memahami kenapa matanya yang awas itu
bisa dibutakan oleh pesona lain. Bahkan logikanya tak jua menemukan jawaban kenapa
perempuan selengkap ia bisa merasa lebih lengkap oleh kehadiran pelengkap lain
selain Rijal.
Salman.
Lelaki berusia tujuh tahun di atasnya yang selalu menggunakan kata ganti ulun untuk menyebut dirinya meski dengan
orang yang lebih muda. Lelaki cerdas tapi sederhana yang beramalan ilmu padi. Lelaki
sederhana itulah yang telah mengubah sedikit saja haluan jiwa Fa. Sesederhana
perkenalannya. Mereka bahkan tidak berkenalan secara langsung. Fa mengetahui
ada seseorang bernama Salman di focus
group discussion-nya dari daftar hadir yang dibagikannya ke peserta. Saat
membaca daftar hadir itu, samar-samar Fa ingat, ada budayawan atau sastrawan
bernama Salman yang berasal dari Hulu Sungai yang suka membuat tulisan tentang
sastra dan budaya Banjar. Lalu ia membisiki
Wida agar mencari tahu yang mana di antara peserta tersebut yang bernama
Salman. Wida mencari tahu ke peserta lain, lalu memberitahukannya pada Fa.
Begitu saja. Ya, begitulah perkenalannya dengan Salman.
Fa
ingin lamut sebagai bahan disertasinya untuk meraih gelar Doktor. Teman-temannya
sudah mengingatkannya bahwa meneliti lamut seperti mengurai benang kusut. Rijal
bahkan mengumpamakannya seperti melukis dalam air saking susahnya meneliti lamut
menurutnya. Fa seperti cadas. Ia kukuh mau mengangkat lamut.
“Jangan
ribet-ribet deh, Fa. Yang penting
kamu cepat lulus dan jadi Doktor” ucap Wida.
“Tapi
aku mau lamut, Wid” rengeknya.
“Kenapa
harus lamut?”
“Karena
aku peduli!” suara Fa meninggi.
“Peduli
itu sama anak yatim, orang miskin, orang terlantar, korban bencana…” sanggah
Wida.
“Aku
melihat kondisi Lamut sekarang lebih buruk dari itu, Wid” Fa mulai berorasi.
“Ah,
terserah kau lah, Fa” Wida kehabisan bahan. Ia terlihat sebel karena tak
sependapat dengan Fa.
“Tapi,
kau mau membantuku, kan ?” suara Fa
melunak karena melihat wajah Wida yang mulai tak bersahabat.
Wida
langsung mengacak-acak kepala Fa sampai kerudungnya mencong-mencong. “Alah…sudah ada maunya, baru deh ramah….”
Ternyata
pendapat teman-temannya ada benarnya juga. Minggu-minggu pertama penelitiannya,
Fa kewalahan. Data yang diperolehnya simpang siur. Ada yang bilang lamut asli Hulu Sungai
Selatan. Ada
juga yang bilang, lamut dari Cina di bawa ke Hulu Sungai Utara.[3]
Referensi juga kurang lengkap. Yang paling membuat Fa nyaris menyerah adalah
kenyataan bahwa lamut adalah tradisi lisan yang hampir punah. Menelitinya tak
bisa dikerjakan sambil lalu dan sendirian di dalam kamar sambil tidur-tiduran
seperti meneliti sastra tulis. Meneliti lamut berarti menjalin kerja sama. Fa
harus turun ke lapangan, menggali informasi dari informan dan palamutan. [4]
Meski
dari awal menyatakan siap membantu, Wida kadang absen juga. Rijal juga tidak
terlalu bisa diandalkan, ia sibuk dengan proyeknya. Entah bagaimana awalnya,
akhirnya yang banyak membantunya adalah Salman. Salman sampai menginap
berhari-hari di rumah temannya hanya untuk membantu Fa. Waktu Fa menanyakan
alasan kenapa Salman mau repot-repot membantunya, jawaban Salman membuat Fa
merasa “sesuatu”.
“Ulun peduli dengan lamut….” Salman
menjawab dengan santai. Ia membutiri
beberapa alasan tapi Fa tidak mendengarkan lagi. Cukup kalimat awalnya saja
yang ia simak. Kalimat yang membuatnya merasa se-misi dengan Salman.
Fa
tidak akan lupa saat tinggal lima
orang saja di ruang pertunjukan – salah satunya Salman. Saat itu, ia
terkantuk-kantuk menyaksikan palamutan
menuturkan serunya kisah Kasan Mandi
sambil manapak terbang. Wida serius merekam pertunjukan. Salman menyeduhkan
secangkir kopi manis untuk Fa. Semula Fa mengira kopi itu untuk palamutan.
Ketika tahu kopi itu untuknya, Fa terbengong-bengong.
Rekonstruksi
lamut hampir selesai. Salman sudah pulang ke kampungnya tapi komunikasi tetap
terjalin lewat sms. Fa sering meminta
pendapat-pendapat Salman tentang sastra. Ia nyaris lupa kalau Salman lulusan
SMA. Berdiskusi dengan Salman seperti berbicara dengan doktor sastra dari
negeri antah berantah yang belum pernah ditemuinya. Salman juga ahli membuat
puisi. Fa dikiriminya beberapa. Lama-lama ia jadi terbiasa dengan Salman.
Terasa ada yang janggal jika tak menerima sms
Salman. Semacam perasaan mengganggu yang rasanya sama dengan perasaan jika lama tak mengunjungi Ibu. Ah, bukankah itu kangen namanya? Lalu
terciptalah bait-bait puisi di laptopnya. Bait-bait tentang Salman.
Hingga
suatu sore yang berpelangi. Fa sedang membaca naskah transkrip lamut, ada kosa
kata yang membuatnya bingung. Ia teringat Salman tapi tidak enak hati
menghubunginya. Rasanya sudah terlalu sering ia mengganggu Salman. Lagi pula,
ia sedang ingin menghindar dari Salman. Tengah Fa menimang-nimang ponselnya,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh bunyi ponselnya. Ada pesan masuk. Ternyata dari Salman! Fa hampir
memekik. Ia seperti anak kecil yang baru dijanjikan es krim.
Ulun lagi ngetik naskah baru nih. Mau
dikirim ke penerbit.
Fa
segera membalasnya, baru aja mau sms pyan.
Wah, kayaknya kita sehati…hohoo..,
Salman membalas.
Fa
terhenyak. Entah kenapa, ia merasa ada yang aneh menyusup ke ruang hati.
Seperti ada yang mengalir, menelikung di lorong-lorong jiwa. Ramai dan sepi
bersilangan. Fa merasa senang sekaligus cemas.
Jujur, kata “sehati” membuatku takut. Fa
memejamkan matanya sambil menekan tombol di ponsel. Di layar tertulis pesan terkirim.
Duh, maaf kalau ulun keliru menggunakan kata “sehati” untuk menggambarkan keadaan
yang terjadi. Kenapa takut? Salman membalas.
Fa
bingung mau membalas apa. Akhirnya ia hanya mengirim satu kata, Entahlah…
Duh, bisa jadi bahan tulisan, tuh!
Kalimat itu yang dikirim Salman berikutnya.
Fa
langsung membalas, Sudah tercipta sepuluh
puisi. Mendadak puitis.
Sekitar
lima menit
kemudian Salman membalas Wah…wah… menurut
Socrates, semua orang mendadak jadi penyair kalau sedang jatuh cinta. Hayoo…
Balasan
Salman membuat Fa panas dingin. Ia bertanya-tanya apakah sebenarnya Salman tahu
apa yang ia rasakan. Apakah Salman juga merasakan hal yang sama seperti yang ia
rasakan? Fa tak berani berharap. Fa merasa seperti anak baru gede yang sedang
terlibat cinta monyet. Ia merasa sangat konyol tapi tangannya mengetik, Itulah yang kutakutkan.
Salman
pasti kehabisan kata. Ia hanya membalas dengan Hm…
Akhirnya
Fa pun membalas Hm…juga. Setelah itu
ia menghapus semua item di kotak pesan ponselnya.
Sejak
hari itu Fa seperti orang linglung. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Yang ada
di pikirannya hanya Salman dan Salman. Fa tahu apa yang dirasakannya adalah
sebuah pelanggaran tapi ia tetap membiarkan perasan-perasaan itu dan
menyimpannya rapi-rapi. Fa seperti menyimpan bom waktu yang kapan saja bisa
meledak.
Tak
usah menunggu lama. Bom itu ternyata justru meledak di hulu sana . Di subuh yang luka, seseorang yang
mengaku tulang rusuk Salman, seseorang yang bernama Re menelpon ke ponselnya.
Di saat ia baru saja keluar dari kamar mandi setelah menyucikan jiwa dan
raganya dengan air wudhu. Seharian itu dan hari-hari selanjutnya Fa menerima
luapan kecaman dari Re. Fa sangat paham apa yang dirasakan Re. Tak ada
pembelaan apa-apa dari Fa atas sumpah serapah Re. Fa hanya satu kali mengirim
balasan, sebuah kalimat singkat bahwa tak ada apa-apa antara ia dengan Salman.
Lalu datanglah sms ini, Minggu depan aku labuh ke Banjar. Aku mau ketemu kamu. Tempatnya kau
yang tentukan. Sms inilah yang menggiring burung-burung cemas ke langit
pantai hati Fa. Untuk apa Re ingin bertemu dengannya? Untuk menambah luka
hatinya dan hati Fa? Wida tak berani menyarankan apa-apa. Fa tahu, sahabatnya
itu sebenarnya kecewa dengannya.
***
sungai adalah kaca bening
di permukaannya selalu terpantulkan wajah
yang bingung,
entah milik siapa.
(mungkin juga wajah kita sendiri) yang
mencari ke luhuk-
luhuk tersembunyi [5]
Beberapa
menit Re dan Fa mematung. Keduanya mengakrabi pertemuan langit dan sungai yang
menjadi kawan setia kapal-kapal putih. “Menikahlah dengannya. Aku siap dimadu. Jika
kau mau, aku bersedia membagi Salman denganmu.” Di Pelabuhan Lama, Re menawarkan jaring untuk menangkap angin pada
Fa.
Fa
melotot mendengar tawaran Re.
Ia luruh. Ada yang menggedor-gedor pintu jiwanya yang
lelah. “Aku tak bisa menikah dengan Salman,” derai Fa.
“Tapi
kenapa?” tusik Re. “Itu jalan yang
sesuai aturan.”
Fa
mematung. Pandangannya lurus ke tengah sungai. Sore tidak menyuguhkan gerimis
tapi Fa merasa ada yang membasahi hatinya. Tidak
semua pertautan hati bisa disimpulkan dalam ikatan pernikahan, batin Fa.
“Kau
dan Salman sama saja. Tak ada yang mau menerima tawaranku. Aku tahu, ada
sesuatu di antara kalian,” desak Re.
“Kau
lihat laki-laki yang sedang bermain lempar tangkap bola dengan balita lucu
itu?”Fa menunjuk ke seberang jalan. Re mengikuti tunjukan Fa.
“Laki-laki
itu namanya Rijal dan balita itu, Adit. Suami dan anakku,” Fa menggetaskan
hatinya.
Kali
ini gilaran Re yang membisu. Beberapa detik keduanya tak bersuara, larut dalam
pikiran masing-masing. Angin sibuk mengibarkan kerudung keduanya.
“Re,
aku janji, setelah ini aku tak akan menghubungi Salman lagi,” ucap Fa.
“Kau
tidak tapi Salman iya!” Re menyahut cepat.
“Dia
tak kan bisa
lagi. Percaya padaku,” sekonyong-konyong Fa melempar ponselnya sekuat tenaga ke
tengah sungai, menciptakan bunyi cemplung dan riak-riak di permukaannya beberapa
saat. Setelah itu sungai kembali tenang dan bisa dijadikan cermin. Fa yakin,
hatinya pun seperti sungai itu. Besok atau besoknya lagi, pasti ia akan melupakan
Salman.
* * *
Aku
tersenyum. Cerpenku dimuat. Kali ini aku tak memakai nama asli. Takut sepenggal
kisahku diketahui oleh orang lain. Beginilah kalau pengarang lagi jatuh cinta,
bisa jadi ide cerita. Sebelum cerpen itu jadi, aku tak bisa ngapa-ngapain. Gara-gara karindangan dengan seseorang. Setelah
kujadikan cerpen, lumayan, bisa membuatku lebih tenang. Mungkin ini bagian dari proses kreatifku?
“Kenapa,
La, senyum-senyum sendiri baca koran?” tanya adikku. “Cerpennya lucu, ya?
Cerpen siapa?”
“Tidak
lucu sih…tapi aku senang aja membacanya. Nama pengarangnya Nayomi.” Aku menutup
koran Minggu. Lumayan, bisa beli buku
baru nih dari honornya.
Tiba-tiba
ponselku berbunyi. Ada
pesan masuk. Hai, Fa. Apa kabar?
Aku
kaget setengah mati. Berarti ada yang tahu kalau penulis cerpen itu adalah aku!
Segera kubalas sms nya, Siapa, neh?
Aku Salman
Aku
buru-buru mematikan ponsel. Apakah itu
dia? Bagaimana dia bisa tahu? Apakah aku harus membuang ponselku ke sungai juga
seperti tokohku? Aku memandangi ponselku. Ah, enggak ah. Sayang, kan
ponselnya? Ganti kartu aja. Beres.
***
Catatan:
Beberapa bagian yang menyangkut
lamut, datanya diambil dari artikel/esai
Sainul Hermawan dalam bukunya Maitihi
Sastra Kalimantan Selatan 2008-2011:
[1] kutipan
ucapan palamutan yang biasa dibawakan oleh Jamhar Akbar di awal pertunjukan,
lihat Hermawan, 2011:265.
[2] kutipan
ucapan palamutan yang biasa dibawakan oleh Jamhar Akbar di awal pertunjukan,
lihat Hermawan, 2011:265.
[3] Lihat
Hermawan, 2011:252.
[4] Lihat
Hermawan, 2011:234
[5] Penggalan
puisi Hajriansyah, “Sungai Adalah Kenangan dan Mimpi yang Terang”, dikutip dari
buku Sungai Kenangan, 2012:66