Senin, 20 Oktober 2014

Kurikulum 2013 Itu...

14.25 0 Comments
Waktu mendengar ada kurikulum baru yang akan diterapkan di sekolah-sekolah, aku tidak terlalu "ngeh" karena toh aku bukan guru. Aku mulai "wake up" ketika tiba hari UTS di sekolah anakku. Aku kesulitan memahaminya. Kubuka buku pegangan yang dipakai di sekolahnya, aku mencari TIU dan TIK, mencari standar kompetensi dan kompetensi dasarnya, akupun mulai panik. Ternyata aku harus mempelajarinya walaupun aku bukan guru sebab anak-anakku kalau mau ulangan, belajarnya harus dengan aku. BAgaimana ini, besok anak-anakku sudah UTS dan aku belum selesai mempelajari buku berkurikulum baru. Ini salahku, harusnya aku tidak secuek ini. Apa boleh buat, aku pasrah.
Syukurlah, pulang sekolah anakku bilang UTS ditunda minggu depan. Oh, Terima kasih Tuhan. TAk henti aku mengucap tahmid. Aku semangat lagi. Aku pergi ke toko-toko buku. Kusurvei buku-buku yang berlogo kurikulum 2013. sampai aku menjatuhkan pilihan pada dua buku untuk kubeli. Inilah bekalku untuk sementara.
Besoknya, suamiku datang membawakan referensi kurikulum baru. Tebalnya minta ampun. Aku garuk-garuk kepala. Berasa jadi mahasiswa FKIP kembali:) Padahal, suer aku hanya seorang ibu yang ingin anaknya bisa lancar dan sukses ketika ulangan. Baiklah, aku akan belajar lagi. Untuk kalian, anak-anak:)

Hujan dan Kenangan Tiga Lelaki (Celotehku Tentang Buku Nun, Kota (di) Tanah Rawa

13.54 1 Comments


HUJAN DAN KENANGAN TIGA LELAKI
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Terbitnya buku Kumpulan Puisi Nun, Kota (Di) Tanah Rawa (Juni 2014) yang memuat puisi-puisi tiga lelaki asal Kalimantan, yaitu Sandi Firly, Hajriansyah dan M. Nahdiansyah Abdi menambah deretan buku kumpulan puisi yang ditulis oleh para penyair asal banua.  Buku tersebut memiliki sampul yang didominasi warna kuning, warna yang erat dengan kesakralan budaya Kalimantan Selatan. Separuh buku ini berisi kata pengantar yang ditulis oleh penyair Micky Hidayat. Lumayan banyak untuk sebuah kata pengantar. Hal ini menyiratkan betapa terbitnya buku kumpulan puisi tersebut adalah sesuatu yang dipandang sangat berharga oleh Micky Hidayat.
Buku tersebut pernah pula diulas oleh Sumasno Hadi dari sudut pandang filsafat yang dimuat secara bersambung di harian Media Kalimantan. Sumasno Hadi membagi-bagi pokok pembahasannya berdasarkan tiga nama penyairnya, sama seperti yang dilakukan oleh Micky Hidayat dalam pengantarnya terhadap buku ini. Pembagian seperti ini menyiratkan bahwa ketiga penyair tersebut adalah tiga pribadi yang sudah memiliki “posisi” masing-masing di mata publik sehingga agak sulit bagi pembaca untuk memandang puisi-puisi tersebut secara independen sebagai sebuah puisi (tanpa melihat siapa penulisnya). Sulit untuk membaca “Hujan Bulan November” misalnya, tanpa mengaitkannya dengan posisi Sandi sebagai seorang penulis prosa. Begitu juga dengan puisi-puisi dua penyair lainnya.
Hal tersebut sejalan dengan dengan pendapat Maman S. Mahayana yang menyebutkan bahwa memberi kebebasan seluas-luasnya kepada pembaca tidak berarti mematikan pengarang. Secara faktual, benar teks sudah terlepas dari diri pengarangnya. Tetapi secara kultural, teks itu tetap menyimpan ruh kultural pengarangnya.
Puisi merupakan genre sastra yang paling unik. Entah itu puisi lama, entah itu puisi baru (modern). Terlebih puisi modern yang tidak terikat dengan baris dan larik seperti yang terdapat pada puisi lama. Kata-kata menjadi permainan indah di tangan para penyair. Hal yang rumit bisa menjadi sederhana dalam sebuah puisi. Sebaliknya hal yang sederhana bisa menjadi ‘wah’ dalam sebuah puisi. Hujan salah satunya. Fenomena alam ini bagi sebagian orang adalah hal yang biasa namun bagi sebagian yang lain ia merupakan fenomena alam yang spesial.
Dalam kumpulan puisi NK(d)TR, hujan adalah salah satu hal yang istimewa. Setidaknya, ia menjadi istimewa karena tiap penyair menyertakan puisi tentang hujan dalam kompilasi tersebut. Baik yang menggunakannya sebagai judul puisi maupun yang menggunakannya sebagai bagian dari isi puisi. Hujan Bulan November ditulis oleh Sandi (hlm 54), Rumput bulan April; Kenangan ditulis oleh Hajri (hlm 78), UntukMu ditulis oleh M. Nahdiansyah Abdi (hlm 92). Berikut puisinya,


Hujan Bulan November
Puisi Sandi Firly

Hujan kali ini mengingatkan aku
pada basah rambutmu
tanah yang menguap sehangat pipimu
juga kopi sore hari
senyummu, selalu seperti gerimis ini,
rinai dan kupetik menjadi kembang gula

Kucari denting langkahmu pada aspal
yang mengkilap sehabis hujan
itu seperti baru saja terjadi
kaki kecilmu berlari jauh
memecahkan genangan air
di kolam hatiku

Pandangi hujan kali ini
dan rasakan deru angin rindu
yang kukirim dari lembah tersunyi
tempat yang dulu pernah kita singgahi 

November 2008


Rumput Bulan April; Kenangan
Puisi Hajriansyah

Hujan april tak semeriah kejutanmu
Daun dan kembang menari di jendelaku
Kita berdua berhadapan, tapi tak saling
berpandangan

Ya, bukankah kita telah sama lelah
Menguraikan kenangan jadi rumputan
UntukMu
Puisi M. Nahdiansyah Abdi

Hujan membekas di hatiku
penuh rasa iba dan dingin
Buru-buru puisi ini kubikin
hidup menderaku sambil membanyol

18022001

Mari kita bicara keunikan tiga puisi ini. Pertama,  ketiga puisi ini memiliki bait berurutan dari angka terbanyak hingga tersedikit yaitu, 3, 2, dan 1. Puisi Sandi 3 bait, puisi Hajri 2 bait dan puisi Nahdi 1 bait. Bisa jadi ini ada hubungannya dengan “posisi” mereka di luar perpuisian. Sandi sebagai seorang novelis (yang cenderung menulis lebih banyak kata), Hajri seorang cerpenis dan Dian seorang esais.
Kedua, kecuali puisi Nahdi, puisi ini mengaitkan hujan dengan bulan tertentu. Sandi mengaitkannya dengan November sedangkan Hajri dengan April. Dalam konteks pembagian musim di Indonesia, tidak ada yang istimewa dengan hujan bulan November karena pada bulan tersebut memang musim hujan. Inilah pertanyaan awal ketika memasuki gerbang puisi hujan Sandi. Ada hal spesial apa di hujan bulan November?
Sementara Hajri memilih hujan di bulan April sebagai baris pertama puisinya. /Hujan april tak semeriah kejutanmu/…. Pemilihan lirik tersebut sebagai baris awal puisi ini mengundang tanya di benak pembaca. Haruskah hujan April meriah? Meriah apa yang dimaksud oleh penyair? Bulan April termasuk bulan yang bukan musim hujan di Indonesia. Artinya, memang hujan di bulan ini adalah sesuatu yang jarang terjadi. Lalu ada apa dengan kejutan di bulan April? Mungkinkah yang dimaksud penyair adalah kejutan semacam April Mop? Jika ya, maka hujan tersebut memang sangat tidak seru.
Berbeda dengan Sandi dan Hajri, Nahdi tidak menyebutkan secara tersurat hujan di bulan apa yang sedang ia tuliskan dalam puisinya. Akan tetapi, pembaca masih dapat menafsirkan dari catatan kecil di bawah puisi. Berdasarkan catatan kecil tersebut dapat diketahui puisi ini ditulis pada 18 Februari. 4 hari setelah orang-orang merayakan hari kasih sayang. Hari yang didominasi warna pink dan bentuk-bentuk hati. Hanya saja, sama dengan April Mop, hari yang satu inipun bukan budaya yang melekat pada Hajri dan Nahdi sebagai masyarakat Kalimantan Selatan yang kental nilai-nilai islaminya. Barangkali inilah pengaruh interaksi keduanya dengan budaya-budaya luar.
Ketiga,  puisi-puisi tersebut bicara tentang penyikapan mereka (para lelaki) terhadap kenangan dan hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi. Hal ini dapat ditelusuri dari pembacaan ketiganya.
Benarkah hujan di bulan November tidak istimewa?
/Hujan kali ini mengingatkan aku pada basah rambutmu/…. Demikian tulis Sandi. Inilah jawaban pertama tentang istimewanya hujan bulan November. Begitu banyak kenangan aku lirik yang terjadi ketika hujan. November kerap disambangi hujan. Alangkah perih yang dirasakan aku lirik karena pada bulan itu ia kerap pula disambangi kenangan tentang seseorang yang sekarang sudah tidak lagi bersamanya. Begitu lekat kenangan yang ia miliki sehingga seakan-akan semua itu baru saja terjadi.
Hujan membangkitkan kenangan dan kenangan yang pertama kali diingat aku lirik adalah fisik orang yang dirinduinya dalam hal ini rambut. Berturut-turut kemudian pipi, bibir (yang diungkapkan dengan ‘senyum’) dan kaki. Ini mengingatkan kita pada pandangan bahwa laki-laki lebih banyak menilai perempuan dari fisiknya.
…//Pandangi hujan kali ini/ dan rasakan deru angin rindu /yang kukirim dari lembah tersunyi/. Kutipan ini memperlihatkan bahwa aku lirik mencoba berkomunikasi kembali dengan seseorang yang dirindukannya. Ia berharap kesunyian yang ia rasakan juga dapat dirasakan oleh seseorang itu. Sandi berupaya membangun monumen kenangan. Kenangan yang tidak bisa dilupakan, kenangan yang menurut aku lirik harus juga dipahat oleh seseorang yang sudah berlari jauh.
Pandangan Hajri jauh berbeda tentang kenangan dalam puisi Rumput bulan April; Kenangan. Keadaan yang datar, monoton, menjadi sesuatu yang ingin disampaikan dalam puisi ini. //Ya, bukankah kita telah sama lelah/ Menguraikan kenangan jadi rumputan//. Baris terakhir puisi Hajri memperjelas situasi. Jika Sandi sangat asyik dengan kenangannya, Hajri justru merasa lelah dalam kenangan. Hajri menyampaikan kejujurannya tentang yang ia rasakan. Ia berharap sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan.
…//Daun dan kembang menari di jendelaku/…. Hujan yang jatuh menimpa tetanaman membuat daun dan kembangnya terlihat seperti menari. Daun dan kembang selalu berpasangan. Puisi ini bicara tentang ‘keharusan’ berpasangan. Bahwa sebuah hubungan harus tetap dipertahankan, seburuk apapun keadaannya. Tidak sedikit pasangan yang mengalami hal seperti ini.
 …/Kita berdua berhadapan, tapi tak saling/ berpandangan//. Dalam teori komunikasi, kontak mata merupakan hal yang penting untuk tercapainya komunikasi yang efektif. Bahkan, kontak mata juga menjadi indikasi kejujuran karena salah satu ciri orang berbohong adalah menghindari kontak mata dengan lawan bicara. Kutipan tersebut menyiratkan tentang pasangan yang bersama tapi dalam kebersamaannya tidak terjalin komunikasi yang efektif. Bisa jadi karena masing-masing menyimpan kebohongan. Ini adalah tentang harapan untuk bisa memaknai kembali arti kebersamaan. Sebab apalah artinya bersama tanpa komunikasi yang baik.
Nahdi memiliki pula kenangan dalam hujan. Ia begitu hemat dengan 1 bait untuk bicara kenangan dan hujan. /Hujan membekas di hatiku/, /penuh rasa iba dan dingin/, /Buru-buru puisi ini kubikin/, /hidup menderaku sambil membanyol.
Bagi Nahdi, hujan membekas di hatinya. Hujan yang membekas dalam hati adalah kenangan. Aku lirikpun menjadi melankolis, penuh rasa iba dan dingin. Perasaan-perasaan sendu, haru-biru yang oleh orang zaman sekarang disebut ‘galau’ dialami aku lirik. Akan tetapi, berbeda dengan Sandi dan Hajri, entah mengapa, Nahdi tampak ‘jual mahal’. Ia seperti merasa perlu buru-buru mengalihkan kesenduannya. Nahdi seakan-akan mencoba menyampaikan aku tidak cengeng seperti yang kaukira. Aku bisa cepat melupakanmu. Ini terlihat dari kata ‘buru-buru’. Sayang sekali, Nahdi gagal menunjukkan ‘kekuatannya’. Pengalihan yang ia lakukan justru makin memperjelas betapa ia masih merasakan kesenduan itu. … /Buru-buru puisi ini kubikin/…. Nahdi menuliskan kenangannya menjadi puisi. Tidakkah menuliskan kenangan menjadi puisi adalah mengabadikan kenangan itu sendiri? Bisa jadi, Nahdi sengaja menipu pembaca. Bisa jadi pula, Nahdi yang tertipu oleh kenangannya sendiri. Deraan hidup yang dijalani Nahdi, baik suka maupun duka, baik serius maupun lelucon, semuanya sejatinya takkan mampu membuat Nahdi menghapus hujan(:kenangan) dalam hatinya.  
Satu hal yang menjadi misteri dalam puisi ini (jika ini bukan kesalahan teknis) adalah penggunaan huruf m besar pada judul UntukMu. Apakah Mu di sini dimaksudkan Nahdi merujuk pada Tuhan karena menurut ejaan yang benar, UntukMu yang merujuk pada Tuhan seharusnya ditulis Untuk-Mu. Seandainya Mu di sini dimaksudkan sebagai Tuhan, maka inilah bentuk komunikasi Nahdi pada penciptanya. Inilah pengaduan singkat Nahdi kepada Tuhannya, bahwa ia makhluk yang lemah. Yang salah satu kelemahannya itu muncul ketika  menghadapi ‘kenangan’.[] Menanti hujan di Flamboyan, Oktober 2014


*Dimuat di Media Kalimantan, 19 Oktober 2014


Senin, 13 Oktober 2014

5 Tahun Si Kembar

14.12 0 Comments


5 Tahun Menjadi Mamanya Si Kembar
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Hari ini, 13 Oktober 2014 si kembar genap berusia 5 tahun. Itu artinya sudah 5 tahun 9 bulan aku diamanahii-Nya menjaga sepasang anak laki-laki yang istimewa. Aku menyebutnya istimewa karena memiliki bayi kembar semula dalam pikiranku adalah hal yang sangat jauh dari kemungkinan akan kualami (mustahil). Sungguh aku harus menambah keyakinanku tentang tidak ada yang mustahil di dunia ini jika Allah berkehendak.
Lebih dari 5 tahun yang lalu, ketika anak pertamaku berusia 5 tahun dan anak keduaku berusia 4 tahun, aku merasa hidupku sudah lengkap. Anak pertama perempuan yang cantik, anak kedua laki-laki yang ganteng. Mereka sudah pula kusekolahkan di sebuah TK yang menurutku cukup bagus masih di kawasan kecamatan kami tinggal. Aku tiap hari berangkat kerja, begitu juga suamiku. Aku rutin menulis, mengikuti organisasi, semua terasa sudah berada pada level “aman” setelah tahun-tahun sebelumnya aku harus menghadapi berbagai rintangan rumah tangga yang tidak mudah.
Maka, ketika ada yang menawari kami untuk membeli tanah di sebuah kawasan prospektif, aku pikir tidak ada salahnya kami mencobanya. Hitung-hitung sebagai simpanan. Tempatnya di luar kota, dekat dengan bandara. Pemandangannya cukup bagus. Pada hari yang ditentukan, kami mendatangi lokasinya. Aku masih ingat, hari itu aku dan suami naik motor, membawa kedua anak kami. Hitung-hitung rekreasi. Banyak ilalang di sana. Mengingatkanku pada rencanaku membukukan kumpulan cerpen RRI (kelak, akhirnya RRI terbit).
Di perjalanan pulang, entah kenapa kami merasa sangat haus dan lapar. Kami mampir di warung pinggir jalan masih kawasan tanah yang kami beli. Penduduk setempat ramah-ramah. Aku mserasa berada di Hulu Sungai. Gorengan dan minuman yang dijual juga mengingatkanku pada masa kecilku di Hulu Sungai. Ada minuman panta tapi bukan Fanta yang seperti sekarang lhoo.
Pulang dari sana aku selalu ingin mencari makanan yang (kadang) aneh. Gorengan ala Hulu Sungai, Panta ala masa kecilku, dan sore itu tiba-tiba saja aku pengen makan buah ketapi pake kecap lombok. Kata suamiku sekarang lagi tidak musim ketapi. Pas ia pulang kampung, ia berhasil mendapatkan buah ketapi yang masih kecut dan aku memakannya dengan lahap pake kecap lombok. Aku juga mengeluhkan badanku yang masih saja pegal-pegal habis pulang dari lokasi tanah yang kami beli. Kupikir karena jaraknya yang lumayan jauh untuk kami tempuh pakai motor. Aku juga merasa kulitku jadi kusam gara-gara terpapar matahari hari itu. Akupun membeli suplemen kulit yang mengandung Vitamin E. Anehnya setelah mengonsumsinya aku merasa sangat mual. Akupun menghentikannya. Akupun ingat, biasanya kalau mual dan pegal seperti ini tanda aku mau datang tamu bulanan. Lalu aku mencoba minum ramuan pegel linu kemasan yang dijual di mini market dekat rumahku. Aku juga berpikir, dengan minum ramuan itu, mungkin haidku bisa cepat keluar agar pegelku juga berakhir. Sayangnya tidak berhasil juga.
Lama-lama suamiku curiga. Ia mulai menghitung sudah berapa lama aku telat. Ia mencoba menghubung-hubungkan keinginan-keinginan anehku terhadap makananan dan minuman akhir-akhir ini terutama ketapi pake kecap lombok. Ia menyuruhku membeli alat tes kehamilan. Jangan mengada-ada, bantahku. Aku tidak hamil, kok. Cuma lagi mau dapet haid aja. Tapi aku tetap membelinya untuk menyenangkan hati suamiku.
Subuhnya, masih setengah ngantuk, aku mencoba alat tersebut pada urine yang kutampung di wadah kecil. Mataku langsung melek melihat dua garis merah yang begitu cepat muncul di alat mungil itu. Aku hamil?!? Anak ketiga?
Besoknya aku memborong susu Ibu Hamil. Mulai membuka-buka lagi buku-buku kehamilan. Lalu menyampaikan berita ini kepada keluarga besar. Semua senang. Aku teringat tahun-tahun tersebut harusnya aku sudah mengurus kepangkatan fungsionalku ke 3C. Setahuku persiapannya tidak semudah waktu fungsional 3A. Aku mengelus perutku dan aku menjadi pening. Aku memandangi motor butut suamiku. Aku menghibur hatiku, pasti akan tambah seru naik motor bersama tiga anak.
Di bulan keempat kehamilanku, aku masih beraktivitas seperti biasa. Toh ini kehamilan ketiga, aku sudah pegalaman dua kali hamil. Semua lancar dan aman saja. Kupikir untuk anak ketiga ini aku tidak perlu tiap bulan ke dokter spesialis kandungan. Periksa di bidan puskesmas saja cukup. Hitung-hitung berhemat. Aku juga sempat iseng mikir. Anak pertama sudah perempuan, anak kedua sudah laki-laki. Artinya aku sudah tahu akan menghadapi anak yang ketiga ini seperti apa. Sudah pengalaman, gitu loh.
Pagi naas itu, aku dibonceng suami. Kami ada keperluan keluar rumah. Entah kenapa motor yang dikendarainya terpeleset, kami jatuh di perempatan jalan. Ia panik menanyaiku berkali-kali apakah aku baik-baik saja. Kurasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Besoknya, ada flek darah di celana dalamku. Kamipun khawatir. Malamnya aku ke dokter kandungan. Rupanya doketr tersebut masih ingat denganku. Ia terperanjat karena aku hamil lagi (:2 kali melahirkan, aku selalu bermasalah). Waktu kubilang ada flek, dokternya agak cemas. Ia pun melakukan USG.
“Lho, lho…kok, jantungnya ada dua ya?” gumamnya. Aku bingung. Apa maksudnya jantung ada dua. Apakah bayiku mengalami pembelahan jantung gara-gara aku jatuh. Ataukah bayiku ada kelainan jantung?
“Coba ibu dan bapak lihat, itu yang berdenyut-denyut, ada dua, nah..itu..itu jantungnya..” katanya sambil menunjuk layar. Aku tidak terlalu jelas melihatnya.
“Bayi ibu kembar” sambungnya.
Kembar? Aku diamanahi bayi kembar???
“Ibu sebaiknya rutin USG,…”
Aku tidak menyimak lagi. Aku hanya sedang mikir, ada maksud apa Tuhan kali ini? Bahagia, senang, cemas, takut, semua bercampur aduk. Anak kembar! Aku akan punya anak kembar, bukankah itu istimewa? Tapi itu artinya aku harus belajar lagi. Dimulai dari buku menyususi anak kembar, merawat anak kembar, memberi nama anak kembar, membeli perlengkapan bayi kembar, bagaimana anak kembar sekolah, psikologi anak kembar, oooh banyak sekali yang harus kupelajari. Bagaimana urusan kantorku?
Dan, sejak insiden berdarah itu, aku tidak boleh naik motor sendiri lagi. Akupun menjadi tergantung dengan suami. Sungguh menyebalkan menggantungkan diri dengan orang lain. Pulang kerja nunggu suami dulu padahal pinggang dah capek berat. Aku mulai blues gitu. Kalau makan, porsinya dua kali lipat ibu hamil biasa. Makan bakso semangkok gak berasa. Makan bingka sebijian sendiri aja. Makan anggur 1 kilo belum puas. Sebentar-sebentar aku lapar. Berat badanku naik drastis. Anehnya waktu USG bulan-bulan berikutnya dokter bilang anakku beratnya masih kurang. Mungkin nanti akan diinkubator setelah lahir. Kelahirannya sendiri, menurut dokter bisa saja normal karena posisinya bagus saja keduanya. Akupun tidak ingin cesar. Aku paling takut cesar.
Tibalah hari itu, ketika ciri atau tanda melahirkan sudah nampak. Kami pergi ke rumah sakit. Sampai bukaan lengkap sikembar tidak ada yang mau keluar duluan. Rasa sakit luar biasa sudah menjalariku. Akhirnya diputuskan untuk cesar. Aku takut tapi rasa sakit mengalahkan rasa takutku. Aku ingin bayi-bayiku segera keluar dengan selamat. Suami dan orang tuaku panik karena kami tidak menyiapkan untuk cesar. Mencari tapih bahalai saja baru hari itu. Aku tidak ingat apa-apa lagi, terakhir yang kulihat para perawat dan dokter yang menyiapkan operasiku.
Aku menggigil kedinginan. Ketika kubuka mata aku sudah di ruangan rawat inap. Keluargaku ramai, semua hepi terhadap kelahiran bayi kembarku. Aku pikir, tidak ada yang peduli dengan rasa sakit yang kualami. Oh, rupanya baby blues mulai menjangkitiku. Aku berusha duduk tapi semua berputar-putar. Akupun diperiksa. Tes hb, tensi. Ternyata hb ku sangat rendah. Tensiku juga. Menurut dokter aku harus tambah darah, 4 kantong. Aku takut. Seumur hidup aku belum pernah transfusi darah. Pihak keluarga segera mencarikan donor darah yang cocok denganku. Aku mendapat donor darah dari 4 orang yang berbeda. 3 orang masih keluarga dekat ibu, 1 orang teman ayahku. Semuanya laki-laki.
Bayi-bayiku alhamdulillah normal dan sehat, laki-laki keduanya dengan berat masing-masing 3kg dan 2,6kg. Kembar identik, satu tembuni saja. Pantas agak susah keluar normal. Tidak ada yang perlu masuk inkubator. Tidak ada yang akan tertinggal di rumah sakit, justru akulah yang masih harus menjalani perawatan.
Menyusui bayi kembar sekaligus ternyata hanya gampang dibaca di buku tapi tidak gampang untuk dijalani. Apalagi ditambah suara-suara sumbang di sekitar kita yang akan menyurutkan langkah. Aku bersyukur ada adikku yang selalu memotivasiku tentang ASI. Ah, memberi ASI adalah perjuangan yang paling berat bagi seorang ibu setelah melahirkan. Bahkan mungkin lebih berat daripada proses melahirkannya itu sendiri. Apalagi bagiku yang selalu jatuh sakit setelah melahirkan. Apalagi setelah aku masuk kerja kembali.
Banyak hal yang sudah kami jalani selama 5 tahunan ini. Banyak cerita sebenarnya. Mungkin cukup dulu untuk kali ini. Yang pasti, jika ada yang bertanya padaku, “Sudah punya anak?”, waktu kujawab ya dan ada 4, rata-rata mereka tidak percaya. Badan kecil gini anaknya 4? Hehe.
Selamat ulang tahun yang ke 5 anak-anakku, semoga jadi anak yang soleh, kuat, sehat, disayang Allah, calon penghuni surga, berguna bagi umat. Amiin… Terima kasih, Tuhan, telah memberiku kepercayaan sampai detik ini. Insha Allah aku akan terus belajar menjadi ibu yang baik, mengantarkan anak-anakku ke gerbang kesuksesan mereka, dunia akhirat.



Sabtu, 11 Oktober 2014

Di Balik Penulisan Novel Sekaca Cempaka

14.40 0 Comments


Di Balik SC
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Novel Sekaca Cempaka kutulis berdasar banyak kisah nyata di samping imajinasiku tentunya. Sudah lama aku ingin menulis novel. Beberapa ide sempat kutulis beberapa halaman, kutinggalkan. Kutulis, kutinggalkan. Selalu begitu. Sampai muncul ide SC ini, aku merasa harus menuntaskannya. Ada banyak rindu yang memenuhi hati. Aku ingin mengabadikannya dalam bentuk sebuah novel.
Aku membiarkan rindu ini mengalir tapi tidak untuk novelnya. Novel ini harus ada muaranya. Novelku harus selesai, kali ini. Aku tidak ingin main-main. Aku ingin total dalam berkarya. Akupun riset ke kampungku, Hulu Sungaiku. Separuh jiwaku di sana. Sepenggal kisahku di sana. Aku harus ke sana. Di kunjunganku yang pertama, sialnya aku tak mendapatkan yang kucari. Aku membutuhkan sesuatu, semacam deadline agar novelku selesai. Sebenarnya ada sih, aku sudah janji pada seseorang akan menghadiahkan novelku di hari ulang tahunnya. Lebai juga ya. Kayak sangkuriang saja. Berani menjanjikan sesuatu yang sulit. Dan lebainya lagi, di halaman ke-20, file-ku terkena virus. Hilang. Jadilah aku ngetik dari awal.
Aruh Sastra ke-13 akan digelar di Banjarbaru. Aruh Sastra itu adalah ajang sastra paling keren di Kalimantan Selatan, bahkan mungkin di dunia, hehe…. Baru kali itu ada cabang lomba menulis novel. Biasanya lomba nulis puisi dan atau cerpen saja. Sebagai penganut aliran “tidak ada yang kebetulan”, aku makin memantapkan niatku untuk menulis novel. Ini yang kubutuhkan sudah ada. Aku butuh deadline, bukan? Inilah deadlinenya. Akupun mengajukan proposal alias izin nulis novel kepada suami dan anak-anakku. Bagaimanapun, aktivitas menulis novel pasti akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas pengabdianku pada mereka. Kusampaikan visi misiku, teknis, rencana, hingga deadline lomba. Seperti biasa mereka selalu mendukungku. Sangat mendukung. Saking mendukungnya, dulu di awal rencanaku ingin punya novel, pernah pada suatu hujan yang deras, kami berempat naik motor saja ke Hulu Sungai (waktu itu belum punya mobil).
Separuh dari batas halaman minimal sudah kuketik. Tiba-tiba aku didera keraguan. Banyak hal yang menyurutkan langkahku. Di tengah malam aku terkaget-kaget, suamiku membangunkanku. “Ayo, ketik novelmu. Lanjutkan, lanjutkan!” Aku yakin, tidak ada suami lain macam dia di dunia ini. Membangunkan istrinya tengah malam “hanya” untuk menulis novel! Aku juga mengontak beberapa kawan di Hulu Sungai untuk memperoleh beberapa informasi penting sehubungan isi novelku.
Lalu, datanglah cobaan itu. Salah satu anakku sakit parah. Aku tambah ragu menyelesaikan novelku. Sempat terpikir, mungkin ini bukan deadlineku yang sebenarnya. Lagi-lagi suamiku menyuruhku menyelesaikannya. Masalahnya, lanjut atau tidaknya kisahku bergantung pada beberapa hal yang untuk mendapatkannya aku harus riset lapangan, tidak bisa tidak. Aku harus kembali ke Hulu Sungai. Bagaimana aku bisa meninggalkan anakku yang sakit? Kata “operasi” mungkin cukup untuk menggambarkan seberapa parah penyakit anakku.
Saat itu menjelang Ramadhan 2013. “Pergilah, biar anak-anak denganku. Setelah kaudapat yang kaucari, pulanglah. Setelah itu baru kita pikirkan rencana operasi anak kita” itulah keputusan suamiku. Yang kami khawatirkan, setelah operasi, aku tidak akan bisa kemana-mana lagi. Dengan berat hati aku berangkat. Aku tidak membawa baju ganti. Niatnya semalam-malamnya, aku pulang hari itu juga.
Setelah sholat subuh suamiku mengantarku ke Pal 7. Tempat angkutan umum biasa mangkal. Hari masih gelap. Kami pilih-pilih angkutan. Karena aku berangkat sendiri, aku tidak bisa sembarangan milih angkutan. Mobil colt berplat kuning tujuan Hulu Sungai menjadi buruan kami. Selain aku, ada seorang ibu paruh baya yang juga menunggu angkutan tapi dia mau ke Martapura saja. Entah mengapa hari itu agak sulit mencari angkutan.  Ada satu mobil dengan tiga penumpang laki-laki semua yang tampangnya seperti orang habis mabuk. Tentu saja aku tidak berani naik. Ibu itupun melarangku naik. Syukurlah tidak lama ada mobil tujuan Hulu Sungai yang penumpangnya lebih meyakinkan. Di Banjarbaru beberapa penumpang lain menambah ramai mobil tersebut. Di persimpangan, ternyata kami harus ganti mobil sebab mobil yang kami tumpangi ternyata ke Barabai. Aku agak cemas karena sudah lama tidak bepergian sendiri.
“Ganti mobil, lah Ding. Tu ada yang ke Amuntai” Kata Dek Sopir. Ia, Dek Sopir, sebab aku yakin sopir itu jauh lebih muda daripada aku. Mungkin tampangku yang imut membuat ia mengira aku lebih muda daripada dia.
Di angkutan yang kedua itu ada seorang penumpang yang mengajakku ngobrol, “Sekolah di mana, Ding?” tanyanya.
Ya ampun, dia pikir aku anak Madrasah apa? Aku pandangi baju yang kukenakan, rok hitam, kerudung hitam, baju kemeja batik hijau, memang salahku juga, aku seperti anak sekolahan.
“Ulun sudah tidak sekolah,” jawabku.
“Oh…sudah kuliah kah?” tanyanya lagi.
Aku benar-benar malas melanjutkan pembicaraan. Aku takut kalau-kalau dia bermaksud jahat. Aku hanya menggeleng, berharap dia tidak lagi menanyaiku. Nomor hp temanku berkali-kali kuhubungi. Aku sms dia apakah aku berada di jalan yang benar. Angkutan yang kutumpangi ini angkutan dalam kota, alur yang dia pilih bukan alur yang biasa aku tempuh.
Aku lega sekali ketika sampai di terminal Palampitan. Ojek ramai menawarkan diri. “Tidak, ulun sudah dijemput,” tolakku. Untunglah sahabat baikku bersedia menjemputku. Dia berjanji akan membantuku selama riset.
“Oh, dia sudah dijemput kakaknya, tuh,” Kata Pak sopir.
Aku garuk-garuk kepala. Masa sahabatku dia bilang kakakku.
Ternyata informan yang aku perlukan saat itu sedang berada di Martapura! Malam baru datang. Terpaksa aku harus menginap. Lagi-lagi aku harus berterima kasih pada sahabatku ini. Aku tidak berani menginap di hotel sendirian. Jadilah aku menginap di rumahnya. Hikmah lainnya, aku lebih banyak waktu. Aku berbincang dengan para pengarang bunga, aku juga akhirnya jadi mendatangi Hapingin. Negeri bunga-bunga. Di bawah gerimis, berkali-kali aku merapalkan puisi cinta.
Begitulah, esok siangnya aku baru pulang membawa sehelai puisi yang menyusup dalam perjalananku. Puisi yang begitu harum. Seharum negeri bungaku, Hapingin. Tentu saja membawa serta tekad yang berkibar “novelku harus selesai.”

Ini adalah foto aku dan sahabatku bersama dua orang informanku, pengarang bunga dari Bayur. Di atas meja tampak kuntum-kuntum bunga kenanga.


Rabu, 08 Oktober 2014

Diskusi Novel Sekaca Cempaka

13.25 0 Comments
Media Kalimantan, 7 Okt 2014


Suatu Malam di Sidang Pembaca
Catatanku Tentang Diskusi Novel Sekaca Cempaka
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Aku sangat berterima kasih pada sidang pembaca yang bersedia hadir di malam diskusi novel Sekaca Cempaka (SC), Jumat, 5 September 2014 pukul 20.30 Wita. Acara yang digawangi oleh Harie Insani Putra dkk (Bubuhan Onoff Solutindo) tersebut berlangsung di Aula Pustarda Banjarbaru. Malam itu peserta tidak hanya dari Banjarbaru dan Banjarmasin tapi datang juga peserta dari Martapura dan Hulu Sungai (Barabai, Kandangan, Amuntai) serta Tanah Bumbu dan Kotabaru. Peserta tidak hanya sastrawan prosa, para penyair (puisi) pun datang. Beberapa komunitas teater dan seni ada hadir. FLP Banjarbarupun mengirim utusannya. Sang fotografer, salah satunya, Yulian Manan pun tidak ketinggalan.
Acara dimoderatori oleh Sainul Hermawan, dosen Unlam yang tulisan-tulisannya kerap mejeng di koran (kritikannya itu lhooo, terasa sampai ke hati hehe.) Moderator membukanya dengan menyampaikan bahwa Aruh Sastra Kalsel 2013 telah berlalu namun malam ini kita kembali mengingatnya dengan dua hal, yaitu novel SC karya Nailiya Nikmah JKF sebagai Unggulan dan Dewi Alfianti sebagai pemenang lomba Menulis Esai.
Pemateri adalah Aliman Syahrani (sastrawan asal Hulu Sungai Selatan) dan Dewi Alfianti (Dosen Unlam). Tiga orang yang namanya kusebut ini kuyakini sudah membaca SC dengan baik. Mereka menyampaikan pemaparan dari kaca mata masing-masing. Diskusi dimulai segera tidak lama setelah aku datang karena para pembicara sudah hadir lengkap. Dewi membawakan esainya yang sebelumnya terbit di Media Kalimantan, Sekaca Cempaka dalam Perspektif Feminis Kritis.
Yang mendebarkan adalah sesi diskusi. Komentar, kritikan, pertanyaan, saran, dan lainnya dari peserta diskusi membuat aku ber-o panjang dalam hati. Niatku semula untuk “diam mendengarkan saja” menjadi terlupakan. Akupun tidak tahan hati untuk tidak menjawab komen-komen tersebut.
Aliman Syahrani menganggap alur ketika anak Nurul sakit dan Nurul membawa anaknya ke rumah sakit adalah bagian yang kurang penting.
Andi Syahludin menanyakan apakah penulis pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga; apakah penulis pernah merasakan tinggal di tengah-tengah lingkungan laki-laki; apakah penulis pernah punya teman yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. (Andi Sahludin lebih dari satu kali berkomentar). Menurutnya, poligami bukan hal yang khusus terjadi di Hulu Sungai melainkan bisa terjadi di mana saja.
Hajriansyah memaparkan tanggapannya setelah membaca SC dari BAB belakang. Ia menghargai upaya penulis dalam melakukan riset kecil-kecilan sebelum menulis SC.
Iberamsyah Barbary menanyakan di mana letak islaminya novel SC karena ada label NI. Mana nilai-nilai islaminya. Ia juga memaparkan pengetahuannya tentang bunga cempaka dalam botol.
            Datang bersama Aliman seorang sastrawan dari Kandangan yang mengingatkan kita pada Boerhanuddin Soebly. Beliau memaparkan pembacaan-pembacaan sastra yang pernah beliau baca.
Seorang mahasiswa dari Darussalam Martapura memaparkan konsep islami yang mungkin muncul dalam karya sastra islami.
Yang menyenangkan juga adalah diskusi tersebut dihadiri oleh dua orang juri lomba menulis novel Aruh Sastra Kalimantan Selatan  2013, yaitu Randu Alamsyah dan Sandi Firly. Menurut Randu, ia mengunggulkan SC dibanding novel satunya (saingan SC dalam lomba tersebut). Ia mengatakan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang setia karena itu sulit untuk move on. 
Hatmiati Masy’ud, penulis cerpen perempuan dari HSU memaparkan tentang alasan laki-laki menikah lagi tidak lain hanya sebgai pembuktian dirinya. Dia juga memaparkan tentang bunga cempaka dalam botol yang menjadi kerajinan khas dari Amuntai. Selain itu Hatmiati bercerita tentang “misteri” perempuan Hulu Sungai yang mampu memikat hati lelaki.
            Budi Kurniawan menyampaikan apresiasinya. Ia juga menanyakan mengapa bunga cempaka yang dipilih. Benarkah cempaka khas Kalimantan?
Sandi Firly menyayangkan mengapa dalam diskusi tersebut penulis terlalu ngotot tentang adanya bunga dalam botol tersebut. Ia lebih melihat bagaimana teknik penceritaan yang baik yang seharusnya dilakukan oleh penulis novel.
Apapun yang mereka sampaikan, bagiku keindahan. Tidak ada yang lebih indah selain ketika karya kita diapresiasi, dikritik, dibicarakan. Syukur-syukur jika dari situ ada sesuatu yang dibawa pulang oleh peserta dan pembaca lainnya. Thanks, all. Begitu banyak komen lain yang ingin kudengar sebenarnya. Ada Nahdiansyah Abdi di ruangan itu, ada HE Benyamin, ada Ali Syamsudin Arsy, ada Zian Army Wahyufi, ada Maulana Usaid, ada Syam Indra Pratama dan yang lainnya. Mereka kukenal sebagai pembaca-pembaca kritis juga. Sayang mereka tidak menyampaikan sepatah katapun. Lain waktu barangkali, semoga….[]

*Larut malam, sebelum memejamkan mata aku bertanya padanya, adakah kata-kataku yang salah di acara tadi?