doc pribadi |
Kamis, 28 Desember 2017
Piagam dan Piala Perspektif Keluargaku
Bagi kami sendiri, benda-benda
tersebut selalu membawa cerita unik di sebaliknya. Tentang gigihnya perjuangan,
pentingnya giat latihan serta yang lebih penting adalah tetap sportif apapun
yang terjadi. Menang tidak sombong, kalah jangan patah. Coba lagi. Itu yang
kutanamkan pada anak-anak.
Menanamkan sportivitas pada anak
bukan pekerjaan yang gampang. Aku masih ingat ketika anak sulung dan anak keduaku
mengikuti beberapa cabang lomba mewakili sekolahnya bersama beberapa temannya.
Artinya, selain bersaing dengan orang lain, mereka juga bersaing dengan
teman-temannya sendiri. Dan alangkah menyakitkan ternyata, ketika kemenangan
diraih oleh teman yang satu sekolah denganmu. Lebih menyakitkan daripada ketika
kemenangan diraih okeh utusan sekolah lain. Beragam cara kulakukan untuk
menghibur mereka, termasuk menasihati agar tetap sportif, misalnya dengan
memberi ucapan selamat pada teman yang menang.
Yang susah itu kalau standar
penilaian juri tidak sama dengan konsep yang ada di kepala kita. Namanya lomba,
pasti ada menang ada kalah, pasti ada unsure subjektivitas sedikit banyaknya.
Ini pernah terjadi ketika anak-anakku ikut lomba puisi dan melukis (bisa jadi
aku salah menyikapinya saat itu). Temanya keragaman budaya. Kupikir pastilah
konsepnya tentang bagaimana kita berbeda tapi tetap satu. Anakku yang ikut
lomba puisi menulis puisi tentang persahabatannya bersama teman beda suku.
Sementara anakku yang ikut lomba melukis cerita bergambar memilih melukis kisah
Ben Ten yang keliling Indonesia, ke beberapa pulau dengan ciri khas daerah
masing-masing (ia sudah melatihnya di tempat kursus). Dari gaya dan teknik
anakku melukis, aku yakin dia menang. Paling tidak dapat nomor 3. Ternyata kami
keliru. Anakku tidak menang sama sekali. Yang menang justru yang teknik
melukisnya masih jauh dari anakku. Tidak berkarakter sama sekali. Aku
terbelalak. Sepertinya kami salah konsep. Yang menang adalah yang mengangkat
satu saja sisi lokalitas daerah kami. Ya, tidak salah lagi, yang menang
rata-rata yang melukis pasar terapung! Itu juga terjadi pada anakku yang ikut
cabang puisi. Kalian mau tahu apa yang kuucapkan pada anak-anakku? Kalian kalah
bukan karena jelek. Kalian kalah bukan karena kurang latihan. Kalian kalah
karena konsep jurinya tidak sama dengan kita. Gambarmu bagus, puisimu bagus.
Mari kita rayakan dengan makan-makan (kaya iklan). Meski luka, kuajari anakku
menegakkan kepala di depan temannya yang menang. “Beri selamat pada temanmu.”
Bahkan kuambil fotonya bersama temantemannya.
Sepanjang jalan aku tahu persis
bagaimana kecewanya mereka. Besoknya, kusuruh anakku melukis sebagus mungkin.
Kubantu ia membereskan puing-puing hatinya. “Perhatikan, Mama. Gambarmu akan
mama kirim ke majalah. Mama akan buktikan gambarmu bagus dan akan lebih
berharga di media nasional sana.”
Aku melonjak kegirangan, ketika
suatu hari ada sebuah paket dari majalah anak. Paket berisi boneka yang berarti
lukisan anakku dimuat! Aku menangis lega. Bagaimana tidak, aku sedang bertaruh
dengan ucapanku sendiri. Aku sedang bertaruh dengan harga diri dan kepercayaan
anakku. Halaman majalah yang memuat lukisannya kami beri pigura, kami pajang di
dinding rumah.
Di lain kesempatan, anakku ikut
lomba lagi (tidak kapok). Waktu itu dia pulang membawa piala tapi kok wajahnya
tidak ceria. “Kenapa? Kan dapat piala?”
“Ambil saja mama pialanya. Aku
kalah kok. Ini piala bohongan, Cuma buat menghibur hati. Semua peserta dapat
piala”
Aku tertegun. Bukan piala yang
membuat mereka senang. Mereka sudah paham arti kekalahan.
Lama-lama anakku kapok jua ikut
lomba. Malas katanya.
***
Sejak kakak-kakaknya malas lomba,
si kembar juga tidak pernah kuikutkan lomba. Terus terang aku trauma. Lalu hari
itu, TK-nya bekerja sama dengan sebuah rumah makan mengadakan lomba mewarna. Semua
anak ikut. Kubilang kita hepi-hepi saja. Seru-seruan. Ternyata kekalahan itupun
membuat mereka mengomel sepanjang masa dan bertekad tidak mau ikut lomba lagi
hingga takdir berkata lain. Itu terjadi ketika mereka sudah SD.
Inilah cerita keramat itu, jeng-jeng…
“Ma, aku dipaksa guru ikut lomba mewarnai kaligrafi mewakili kelasku. Aku padahal tidak mau” kata kembar 1 sebel.
“Lhaa, kan bagus ikut lomba”
“Malas ah, Ma!”
“Kamu harusnya senang dan
bersyukur.” Gumam kembar 2.
“Senang apanya?” Kata kembar 1
“Padahal… aku pengen lho..ikut
lomba mewarnai kaligrafi,” gumam kembar 2.
“Lho, kenapa gak bilang ke guru
kalau kamu mau ikut?”
“Kan dipilih, Maaa. Aku gak
dipilih. Yang dipilih dia” sahutnya sedih.
“Jangan sedih, aku juga gak mau
ikut kok!” teriak kembar 1.
Sampai bagian ini aku mulai
mengendus sesuatu. Astaga, aku memahaminya sekarang. Kembar 2 sedang sakit hati
karena kalah dengan kembarannya sendiri dan kembar 1 tidak mau ikut lomba
karena toleransi dengan hati kembar 2. Kalah dari kembaranmu sendiri? Ow, aku
memang belum pernah merasakannya. Membayangkannya saja hatiku terasa
ditusuk-tusuk duri. Ini harus diselesaikan dengan baik. Tidak boleh ada yang
merasa tersakiti tapi setiap anak punya hak untuk maju dan berkembang. Aku
memutar otak.
“Ah, mama ada ide. Kamu gantikan
dia ikut lomba. Gurumu mana tahu, muka kalian kan mirip”
“Mama, baju kami kan pakai
nama?!” seru keduanya.
“Gampang, tuker aja bajunya”
“Mama pikir kami bisa menukar
suara dan tahi lalat?” mereka berebut protes menyebut ciri khas masing-masing.
Aku tertawa sambil menutup mulut.
“Lagipula, Ma. Dia terpilih
karena memang warnaannya dia lebih bagus daripada aku” ucap kembar 2.
Aku tersentak. That’s the point!
Horayy. We did it.
“Bagaimana guru bisa tahu warnaan siapa yang lebih bagus?” tanyaku.
“Kami semua diminta mewarnai lembaran kaligrafi, dikumpul, lalu dipilih yang terbagus” cerita mereka.
“Ooow begitu.” Aku
mengangguk-angguk.
“Makanya tadi kubilang harusnya
senang dan bersyukur” kata kembar 2.
“Iyaa yaa… Kalau begitu, tugasmu
memberi semangat untuknya. Boleh kan saat lomba diberi semangat?”
“Iya..mama benar. Ayo, kamu ikut
lomba, aku akan memberi semangat pas kamu lomba nanti” kembar 2 berkata
antusias.
Melihat keceriaan kembar 2,
kembar 1 berangsur-angsur tersenyum. Baiklah, aku akan ikut lomba besok”
Penasaran dengan hasilnya? Ya,
piagam itu jawabannya. Semula kembar 1 ragu dan takut melihat piagam itu. “Aku
sebenarnya tidak ingin menang. Aku mewarnanya tidak bagus kok. Aku tidak mau
juga piagam ini” aku menatap mata beningnya. Toleransi yang sangat tinggi, Nak.
“Beri bingkai Ma, piagam ini!”
kata kembar 2. “Ini kenanganmu lho!” katanya semangat. Aku tahu, itu bukan
kalimat basa-basi. Aku tahu dia tulus.
Kembar 1 tersenyum senang. “Tidak
usah dipajang. Simpan saja baik baik, Ma”
Tentu aku akan menyimpannya baik-baik.
Insya Allah. Piagam itu saksi keberhasilan kembar 1. Eits, bukan. Piagam itu
adalah saksi kemenangan mereka berdua karena berhasil melewati satu fase yang
nyaris merusak hubungan mereka sebagai saudara dan nyaris menghalangi kemajuan
satu sama lain. Kalau boleh aku narsis sedikit…hiks..aku ingin pula mengklaim
piagam itu adalah saksi cintaku pada mereka berdua. Boleh kan yaaa? []
Senin, 11 Desember 2017
Selamat Jalan Luka,
Selamat Datang 2018
(Resolusi 2018 Nailiya Nikmah JKF)
Aku bukan tipe orang yang suka merayakan sesuatu berlebihan, termasuk tahun baru. Bagiku, tahun baru lebih dari sekadar sebuah perayaan atau pesta. Tahun baru kujadikan sebuah momen untuk menyetting perubahan diri ke arah yang lebih baik. Bukankah terkadang orang memerlukan momen tertentu sebagai pemicu upgrade diri? Kebetulan aku lahir bulan Desember, pas sekali momen tahun baru Masehi sekaligus momen “tahun baru” ku secara pribadi.
Aku bukan tipe orang yang suka merayakan sesuatu berlebihan, termasuk tahun baru. Bagiku, tahun baru lebih dari sekadar sebuah perayaan atau pesta. Tahun baru kujadikan sebuah momen untuk menyetting perubahan diri ke arah yang lebih baik. Bukankah terkadang orang memerlukan momen tertentu sebagai pemicu upgrade diri? Kebetulan aku lahir bulan Desember, pas sekali momen tahun baru Masehi sekaligus momen “tahun baru” ku secara pribadi.
Biasanya aku membuat daftar
“ini-itu” alias daftar perencanaan untuk tahun mendatang. Aku menuliskannya di
buku Diary. Kadang beberapa kutuliskan di kertas yang kutempel di dinding
kamar. Kadang, ada juga sebagian kecil yang hanya kucatatkan di langit-langit
kamar, di angan-angan dan khayalku (yang ini biasanya sifatnya rahasia).
Sebelum menulis resolusi untuk
tahun baru, biasanya juga aku kilas balik tahun yang sudah dijalani. Hal apa
yang sudah dicapai, hal apa yang belum. Termasuk hal-hal yang mengganggu otak
dan hati, jangan sampai mengganggu kewarasan diri di tahun berikutnya (hehe).
2017 dalam Kenangan
2017 nyaris sama dengan tahun
sebelumnya jika saja aku tidak mempunyai anak-anak yang special. Keempat anakku
sama spesialnya. Pada 2017, si kembar bermasalah dengan sekolahnya. Kami bahkan
sampai harus memindahkan mereka ke sekolah yang lain. Sementara itu, para kakak
baru saja memasuki dunia ABG. Dunia kupu-kupu kertas menurut Ebiet G. Ade. ABG
kami yang perempuan sedang asyik dengan K-Pop, yang laki-laki sedang asyik
dengan kegiatan naik gunung. Keduanya mulai tertarik dengan lawan jenis. Mereka
pun sudah mulai suka membantah, melawan dan menolak aturan kami. Sebagai ibu
yang merangkap wanita karier, semua persoalan itu cukup membuat hatiku was-was.
2017 adalah tahun kami sekeluarga melek dokter dan rumah sakit. Diawali
dengan ayahku yang mendapat serangan stroke yang kedua (serangan pertama tidak
kami sadari). Ayah yang selama sakit tidak pernah mau dibawa ke rumah sakit,
akhirnya pasrah kami bawa ke rumah sakit menggunakan ambulans. Tepat setelah
kami sholat Idul Adha, 5 September 2017, kami sekeluarga (:keluarga besar)
membawa ayah ke rumah sakit. Di ruang IGD, kami bahkan berkali-kali ditegur
satpam karena kelebihan penjaga. Banyak sekali pelajaran dan hikmah selama ayah
sakit. Ayah nyaris terlambat ditangani. Ayah salah minum obat, ayah kena dampak
buruk beli obat sembarangan. Ayah kena stroke dua kali! Bukan sakit biasa. Ayah
juga kena gangguan ginjal, untung tidak sampai harus cuci darah. Ayah
kehilangan memorinya, demensia istilahnya. 14 hari opname, pulang ke rumah 5
hari, balik lagi opname seminggu. Aku berburu buku dan referensi tentang stroke,
ternganga-nganga membaca, kadang sambil berderai airmata. Bagaimana aku bisa
setolol ini selama ini – gumamku setiap habis satu bacaan. Kami seperti baru ngeh dengan dunia kedokteran dan medis. Intinya,
kami melek dokter dan rumah sakit. Aku yang sebelumnya sudah bye-bye dan
menyatakan loe-gue end dengan dokter,
kembali mencoba menjalin hubungan baik (apa coba).
Belum selesai mengurus ayah,
salah satu anak adikku mendapat sakit yang tidak sepele yang membuatnya harus
opname juga di rumah sakit yang lain. Kami seperti pontang-panting menghadapi
serangan penyakit. Belum lama ke-shock-an kami, anakku yang bungsu bermasalah
dengan telinga. Singkat cerita, ia harus operasi pemasangan grommet. Apa itu
grommet? Bius total? Oh, aku seperti tersesat di dunia entah. Nanti akan
kuceritakan di kesempatan lain. Kata dokter, anakku sering pilek karena alergi.
Aku harus menjaganya dari debu, rumah harus dipel setiap hari. Makanan juga
harus dijaga. Harusnya aku memasak sendiri makanan untuk anakku. Oh, ini
kelemahanku.
2017 bagi karierku: aku mumet
urusan jurnal. Cemas tunjangan akan dipotong. Sama saja dengan yang dikeluhkan
orang lain. Kadang aku juga merasa berada di tempat yang kurang tepat. Bagi
dunia tulis-menulisku, aku merasa tidak banyak kemajuan. Belum bisa membuang
luka akibat novelku yang diplagiat orang. Aku juga belum bisa menerbitkan
kumpulan puisi seperti yang kutargetkan sebelumnya. Draft novelku belum
tergarap juga. Banyak lomba dan acara sastra yang terlewatkan. selain itu semua, ada satu lagi yang menggangguku di 2017. Aku bosan dengan warna lipstikku dan sepertinya aku akan menggantinya.
Resolusi 2018
Nah, karena aku termasuk makhluk
multidimensi, di 2018 ini resolusiku kubagi beberapa kelompok:
Dalam Kehidupan Rumah Tangga, aku ingin
- Meningkatkan ibadah kepada Tuhan YME sesuai agama yang kuanut: merutinkan lagi salat Tahajud, salat Dhuha, dan salat sunah lainnya; meningkatkan kepedulian terhadap perkembangan dan hal-hal yang menimpa umat secara global; mengaktifkan lagi One Day One Juz.
- Meneruskan pengobatan dan terapi sesuai saran dokter untuk anakku dan ayahku.
- Meneruskan perawatan gigi anak-anakku biar giginya rapi dan sehat (jangan kayak mamanya yang telat merawat gigi,hehe).
- Mencarikan halaqoh untuk anak gadisku.
- Mencarikan sekolah menengah atas yang bagus untuk anakku.
- Belajar memasak makanan yang sehat. Entah bagaimana memulainya. Aku rasa, harusnya dimulai dengan merenovasi dapur agar dapur lebih cantik (biar semangat masaknya). Aku inginnya dapurku bergaya ala-ala shabby atau kalau tidak, ya..yang simple (dengan tempelan kata motivasi di salah satu dinding dapur).
- Membeli vacuum cleaner agar membantu meringankan pekerjaanku mengusir debu dari rumah yang membuat alergi anakku kambuh. Rumah harus bersih setiap hari, setiap saat. Kalau massih ada budget, pengen juga memperbaharui karpet di ruang tengah yang sudah mulai robek.
- Menata ulang kamar anakku yang kembar agar lebih gampang dipel dan dibersihkan setiap hari. Perabot yang tidak perlu pun disingkirkan. Ini terkait dengan agenda mengepel karena mengepel adalah agenda wajib tiap hari. Hidup mengepel!
- Membeli timbangan berat badan untuk mengontrol berat badan seluruh anggota keluarga (terutama aku yang mulai ditanya orang “Berapa bulan?” – sangkanya aku hamil, efek perut membesar).
- Mengurangi parfum karena anakku bisa saja alergi parfum.
- Membongkar lemari pakaian, mengeluarkan yang harus dikeluarkan (agar bisa diizinkan suami beli yang baru, hehe).
- Membelikan anakku tenda baru yang lebih kecil.
- Mencarikan tempat les untuk anak-anakku. Sepertinya ini sudah sangat urgen. (les umum dan agama).
- Mencoba mesin jahit kecil yang sudah lama kubeli.
- Memiliki jadwal keluar jalan-jalan dengan suami.
- Menjalankan olah raga rutin tiap pekan/ syukur kalau bisa ikut kelas senam.
- Membeli lipstik baru.
- Mengulang kursus menyetir dan mengurus SIM A (menurut ayahku, aku harus mengulang!)
Dalam Pekerjaan/Karierku, aku ingin:
- Menulis 3 artikel ilmiah untuk 3 jurnal
- Memperbaiki RPS sesuai buku terbaru dan mengacu profil lulusan
- Menyusun perangkat pembelajaran baru
- Menyusun bahan ajar
- Mempelajari bahasa Inggris
- Mengajar di kampus lain agar ilmuku tidak stag.
Dalam Dunia Tulis-Menulisku (Sastra), aku ingin:
- Memaafkan kesalahan orang-orang yang telah melukai hatiku di dunia sastra (walaupun masih luka, tetap berkarya).
- Membeli beberapa buku sastra.
- Menyunting puisi-puisi di laptop, mencari dan menghubungi editor, proses menerbitkan kumpulan puisiku.
- Menulis esai untuk dikirim ke media.
- Membenahi rumah mayaku- Tatirah, mendisiplinkan diri kembali untuk mengisi Tatirah dengan tulisan berkualitas tinggi agar tidak memalukan menjadi member of Female Banjarmasin Blogger (FBB).
- Menyeriusi draft novel. Harus serius. H-A-R-U-S.
- Mencoba menulis di Wattpad. (ini ikut-ikutan anakku saja sebenarnya).
Nah, demikian resolusiku. Adakah
yang sama dengan resolusimu? Jangan-jangan kita bisa kerja bareng? Yuuk…
hubungi aku ya! [Nai].