Minggu, 17 April 2016
Ketika Mas Gagah
Pergi (KMGP) The Movie
Film Dakwah Paling
Dahsyat
Oleh Nailiya Nikmah
JKF
Inilah
film pertama yang bicara tentang dakwah Islam di Indonesia yang Indonesia
banget. Memang sebelumnya sudah ada
beberapa film religi yang mengandung muatan dakwah. Akan tetapi, film-film
tersebut lebih banyak mengaitkannya dengan hal-hal yang berbau luar negeri.
Kalaupun ada yang pure Indonesia,
biasanya lebih menonjolkan hal-hal lain di luar esensi utama dakwah itu
sendiri. Lebih menonjolkan hakikat dan fungsi hubungan lelaki dan perempuan
misalnya, atau ada juga yang lebih menampilkan sisi lokalitasnya. Selain itu,
ada yang lebih menonjolkan efek sebuah bencana alam.
Film
“Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP)” diangkat dari sebuah cerpen berjudul sama.
Cerpen tersebut dikarang oleh Helvy Tiana Rosa dan dipublikasikan pertama kali di
majalah Annida. Cerpen ini kemudian diterbitkan dalam sebuah buku kumpulan
cerpen. Tahun 2000, KMGP diterbitkan kembali oleh Syamil. Cerpen KMGP menjadi
salah satu wasilah dakwah bagi para remaja di Indonesia pada masa itu. Yang rajin
membaca tulisan-tulisan Helvy tahu persis betapa banyak para remaja yang
memutuskan berhijrah setelah membaca KMGP. KMGP kemudian bermetamorfosis
menjadi novellet setelah dilebur oleh penulisnya dengan salah satu cerpen
terbaiknya yang lain yaitu “Lelaki Tak Bernama”.
Edisi
KMGP yang sudah bermetamorfosis itulah yang menjadi sayap cantik Helvy dalam
menyampaikan idealisme KMGP the movie-nya. Idealisme Helvy dalam proses
pembuatan film KMGP menghadapi banyak tantangan. Mulai pencarian sutradara yang
bisa menerjemahkan literasi idealis Helvy ke dalam bentuk film, produser,
pemain hingga masalah pendanaan (lebih lengkap dapat dicek di akun-akun media
sosial Helvy). Maka inilah film dakwah pertama yang didanai secara patungan
oleh para pecinta dakwah.
Akting
para pemain patut diacungi jempol. Hamas Syahid dkk sukses memerankan para
tokoh dalam KMGP secara natural. Film ini juga melibatkan para aktor dan artis
papan atas seperti Wulan Guritno dan Epi Kusnandar. Selain itu, film KMGP
melibatkan Dwiki Darmawan dan Indah Nevertari pada bagian musik dan lagu.
KMGP
The Movie menceritakan hijrahnya seorang pemuda bernama Mas Gagah ke jalan Islam yang kaffah. Hijrahnya Mas
Gagah membuatnya berkonflik dengan sang adik (Gita). Menurut Gita, Mas Gagah
sudah tidak asyik lagi semenjak “perubahannya”. Selain menjadi lebih pendiam,
Mas Gagah tidak suka mendengar lagu-lagu kesukaan mereka yang dulu lagi, Mas
Gagah tidak mau salaman dengan perempuan, Mas Gagah lebih sering bergaul dengan
anak-anak rohis, Mas Gagah tidak fashionable
lagi dan Mas Gagah berhenti jadi model. Konflik Gagah-Gita membuat sang mama
kecewa dan sedih.
Di
tengah konflik tersebut, Gita si gadis tomboi beberapa kali bertemu dengan
seorang lelaki misterius yang sevisi dengan Mas Gagah. Pertemuan pertama mereka
dalam angkutan umum. Lelaki misterius itu (Yudi) berorasi menyampaikan
nilai-nilai Islam dalam angkutan umum. Yudi dalam film ini merupakan anak
seorang alim yang diharuskan ayahnya menjadi penerus sang ayah. Sayangnya, Yudi
lebih memilih jalannya sendiri, menyampaikan nilai-nilai Islam dengan caranya
sendiri yang menurutnya lebih kontekstual.
Dalam
film ini penonton akan menemukan nilai-nilai Islam yang disampaikan secara
terang benderang tapi tanpa paksaan dalam memeluk kebenaran. Jika kita tidak
bisa menerima sesuatu yang berbeda dengan kita, paling tidak kita bisa menghargainya,
demikian salah satu pesan yang disampaikan dalam kisah ini. Ketika menonton
KMGP The Movie, para penonton yang segenerasi dengan kelahiran cerpen KMGP (yang
pas nonton sudah bawa banyak pasukanJ) mungkin akan
bernostalgia mengenang masa-masa perjuangan semasa jadi aktivis di era dulu. Adegan
walimahan yang tamu undangan terpisah misalnya. Bukan sesuatu yang mudah bagi
para aktivis dakwah untuk melobi orang tua agar di pesta pernikahan mereka para
tamu duduknya dipisah antara laki-laki dengan perempuan. Tidak sedikit yang
akan ditentang orang tua dan keluarga besar atau bahkan mungkin dicibir oleh
masyarakat. Mereka akan dianggap sok alim lah, sok suci lah, aliran aneh lah,
Islam fanatik lah, aliran keras lah, atau tuduhan miring lainnya.
Persoalan
lain yang paling sederhana tapi cukup berat juga bagi para aktivis dakwah
misalnya ketika tidak bersalaman atau
berjabat tangan dengan lawan jenis. Mereka akan dituduh macam-macam juga. Nah,
yang ini juga ada dalam KMGP. “Padahal Ustadz A melakukannya, Kyai B juga…”
Kalimat ini persis seperti yang terjadi pada kenyataannya.
Hal
penting lainnya adalah tentang jilbab atau kerudung. Dialog-dialog tentang
jilbab dalam KMGP begitu mengena, begitu mengalir, sangat menyentuh. Sekali
lagi, persis seperti yang terjadi pada realita. Betapa berat keputusan untuk
mengenakannya, berat pula untuk memperjuangkannya. Sama seperti para mantan
preman yang berubah jadi orang baik. Betapa keistiqomahan itu merupakan hal
wajib setelah seseorang dianugerahi hidayah.
Ya! Secara umum, film ini menyampaikan betapa
pentingnya keistiqomahan seseorang setelah memilih jalan kebenaran. Selebihnya,
KMGP dengan manis menyampaikan bahwa hidayah itu misteri. Hidayah itu mahal. Cerpen
KMGP telah menoreh perannya dengan tinta emas dalam sejarah dakwah Islam di era
90-an. Akankah filmnya menjadi penoreh sejarah baru bagi dakwah Islam di
Indonesia pada era ini?[]
Sabtu, 16 April 2016
RESEP KUE BROWNIES
TANPA OVEN
(Ketika Membuat Kue
Semudah Menulis Status)
Aku
adalah seorang perempuan yang tidak pandai masak-memasak. Bagiku, lebih baik
aku disuruh menulis sebuah esai pendek daripada harus memasak sebuah makanan.
Aku hanya bisa memasak makanan wajib saja seperti nasi, sayur sederhana, ikan
goreng, tempe
goreng, telur dadar, telur ceplok, sop ayam, sop ikan, dan mie instan tentunya!
Nah,
kalau cemilan, kue-kue an, aku hanya bisa membuat pisang goreng, lempeng,
puding dan bubur kacang hijau. Pernah juga mencoba membuat kue basah khas
daerahku, namanya kue amparan tatak pisang. Ini gara-gara suamiku yang sangat
suka kue amparan tatak pisang. Tiap pulang kampung, dia selalu minta buatkan
kue ini pada ibunya. Penasaran, akupun belajar cara membuat kue tersebut. Tak
lupa dengan bekal buku catatan karena
aku tidak pede mencoba resep tanpa ada catatannya. Nanti kapan-kapan aku
ceritakan pengalamanku membuat kue amparan tatak pisang. Kali ini aku ingin
bercerita tentang kue brownies dulu.
Berawal
dari membaca postingan seorang penulis keren di akun facebook-nya tentang resep
membuat kue brownies yang terkesan sangat gampang, aku pun menjadi merasa wajib
mencobanya. Jadi ceritanya, Mbak Dee juga nemu resep itu di internet. Dia
membaca, mencoba, dan menikmati hasilnya….
Beberapa
alasan aku merasa wajib mencoba resep tersebut:
1. Penulis keren itu adalah Mbak Rahmadiyanti Rusdi yang
semangat menulisnya tak kalah keren dengan orangnya, lho. Mbak Dee – biasa dia
disapa – merupakan salah seorang dedengkot FLP juga. Status-statusnya selain
seru, lucu, juga bermanfaat. (Harusnya saya dapat sesuatu nih dari Mbak Dee☺).
2. Dalam statusnya tentang resep kue brownies tersebut,
kalau tidak salah ingat, Mbak Dee menulis sesuatu yang menyiratkan bahwa dia
juga tidak terlalu terampil memasak (ampun ya Mbak Dee jika daku salah ingat,
hihi..). Inilah yang membuatku tambah semangat. Mbak Dee berani mencoba,
mengapa aku tidak?
3. Dalam resep tersebut tertulis “tidak memerlukan oven”,
bahan-bahannya pun mudah dicari. Sebagai pengganti oven, aku hanya memerlukan
magic com. Itu tuuh, alat pemasak nasi yang sangat praktis. Kupikir ini pasti
sangat gampang.
4.
Kue brownies adalah salah satu kue kesukaan aku dan
keluarga.
5.
Pengen jadi perempuan seutuhnya (ini alasan yang ngawur
kali yaa).
Sebelum mencoba resep yang ditulis
Mbak Dee, aku berselancar di dunia maya. Berbekal kata kunci “Resep kue brownies”
dan “Resep kue brownies tanpa oven” aku menemukan banyak resep yang diposting
para pembuat kue handal. Ada
juga resep kue brownies serba tiga sendok. Beberapa resep yang mirip
ku-screenshoot dan kusimpan. Resep-resep tersebut kubandingkan dengan resep
yang diposting Mbak Dee. Aku padu padankan, aku buat rumusan sendiri. Nekat
sekali ya aku, padahal seumur-umur belum pernah membuat kue brownies.
Hari yang tepat untuk membuat kue
pun tiba. Pagi itu gerimis lirih menyapa Banjarmasin,
bermantel abu-abu aku pergi ke mini market terdekat. Aku membeli beberapa bahan
untuk membuat kue brownies. Telur ayam, Susu bubuk Milo 3 in 1 beberapa sachet,
gula, keju, mentega atau margarin Blue Band, lalu baking powder. Ya ampun aku tidak
tahu yang mana baking powder. Tiba-tiba aku ingat, duluuu banget, aku pernah
belajar membuat donat di rumah teman. Ada
satu bahan bernama fermivan. Apa itu ya baking powder? Daripada keliru,
akhirnya aku putuskan bertanya pada seorang ibu yang saat itu sedang mencari
bahan membuat kue juga. Semula dia agak kaget tapi setelah kujelaskan aku
sedang belajar membuat kue, dia dengan senang hati membantuku. Hampir saja aku
menuju kasir jika saja aku tidak mengingat satu bahan lagi. Tepung! Aku menuju
rak tepung. Aduh, ternyata ada berbagai jenis tepung dan berbagai merk tepung.
Yang mana yaa? Lagi-lagi ibu tadi yang membantuku. Dia bilang, kalau cuma
sedang belajar, pilih tepung yang biasa saja, lebih murah. Aku manggut-manggut
sambil mengambil tepung biasa. Tapi setelah ibu itu pergi, aku kembalikan
tepungnya. Aku mengambil tepung yang bermerk. Yang menurut iklannya sih tepung
bagus. Biarpun cuma belajar, aku ingin hasil yang terbaik. Tapi bagaimanapun
terima kasih atas bantuan tadi ya, Bu.
Sebelum memasak, aku pastikan semua
bahan tersedia. Hari itu kebetulan magic com ku sedang kosong. Aku menunda
memasak nasi agar aku bisa mencoba resep kue brownies. Sebelumnya aku minta
izin dulu dengan suami karena magic itu masih terbilang baru. Dan dia yang
membelikan. Aku takut saja kalau-kalau resepku gagal dan terjadi sesuatu dengan
magic kami. Rusak misalnya….hehe.
Bahan-bahan membuat brownies tanpa oven |
Aku mencampur semua bahan sambil
mataku tak lepas dari layar ponsel tempat aku menyimpan screenshoot resep.
Tiba-tiba upps..ponselku mati. Aku panik. Ponselku ini sudah mulai eror. Kalau
habis baterainya, memerlukan waktu yang sangat lama untuk menge-charge.
Bagaimana ini ? aku kan
tidak hafal cara membuatnya? Sambil panik, aku terus memasak.
Saat yang mendebarkan adalah saat
memasukkan adonan ke dalam magic com. Setelah mencolok kabel dan menekan tombol
on, aku menunggui sambil harap-harap cemas. Tidak lama, ada bunyi, lalu lampu
“cooking” mati berganti “Warming”. Aku pun membuka tutupnya. Hah?! Kue ku belum
matang. Kutekan lagi tombol “cooking” . Kejadian terulang lagi seperti semula.
Kueku belum matang juga. Kucoba lagi menekan tombol cooking. Eh, tidak mau. Aku
gugup sekali. Takut magic-ku rusak. Lalu kabelnya kucabut. Kuulang kembali, eh
ternyata bisa! Aku lupa sampai berapa kali aku melakukan itu. Yang jelas,
akhirnya kueku matang juga.
Keempat anakku heboh. “Wuih…mama
kita bisa bikin kue!”
“Kita bikin yang banyak, Ma! Kita
jualan, Ma!” teriak salah seorang anakku.
Ini momen yang sangat berharga
buatku. Ada
rasa haru, bangga, girang, semua campur aduk. Aku sudah jadi perempuan beneran
saudara-saudara..hihihi.
“Eiits, sebelum dipotong-potong,
kita foto dulu kuenya.” Untunglah ponselku kembali menyala, aku bisa
memotretnya sebelum browniesku diserbu anak-anakku. Semua menyukai kue
buatanku. Aku sangat berterima kasih pada pembuat resep itu, iya,
kepada-siapapun orang pertama yang menemukan atau menciptakan resep gampang
itu. Aku juga berterima kasih pada Mbak Dee. Selama ini, begitu banyak resep
yang di-posting teman-teman di facebook, baru resep di status Mbak Dee ini yang
membuatku tergoda untuk mencobanya. Baru
kali ini aku berpikir, betapa mudah membuat kue, semudah menulis status di
facebook☺
Kamis, 14 April 2016
JUMAT DI MADINAH
Catatan Umrahku (2)
Oleh Nailiya Nikmah
Oleh Nailiya Nikmah
Matahari masih
bersinar garang di Madinah. Ketika itu, kami sedang duduk-duduk di halaman
masjid Nabawi menunggu waktu sholat Asar tiba. Itu adalah Jumat kedua kami di
tanah mulia, setelah Jumat pertama kami
jalani di Makkah.
Aku dan adikku
asyik membaca Alquran. Kami membawa mushaf pribadi. Aku membawa mushaf-ku
kemana-mana karena aku merasa sudah terbiasa dengannya. Sampulnya terbuat dari
kain beledru berwarna pink magenta. Pink adalah warna kesukaanku sejak kecil. Selain
itu, mushaf-ku ini merupakan mushaf yang satu halamannya terdiri dari 20 baris.
Jadi, kesannya seolah-olah sejuz itu lebih sedikit daripada mushaf yang lain.
Padahal sih sama saja, hehe. Sebenarnya aku bawa dua. Satunya lagi yang ungu,
pemberian kawanku. Kebetulan saat itu yang ungu dibawa suamiku. Mushaf yang aku
bawa ini sering menarik perhatian jamaah lain. Tidak hanya jamaah dari negara
lain tapi juga dari negaraku sendiri, Indonesia. Tak jarang mereka
meminjamnya atau sekadar membolak-balik dan mengamati desainnya. Mungkin juga
karena warnanya yang mencolok mata, terlihat sangat kontras dengan mushaf pada
umumnya yang dipakai di tanah suci.
Tak terkecuali
saat aku di Madinah Jumat itu. Seorang jamaah asal negara lain yang duduk di
kananku menunjuk2 mushafku ketika aku menghentikan tilawahku karena aku merasa
diamati. Aku menduga-duga, apakah dia terganggu dengan suara tilawah kami (aku
pernah dengar, hanya jamaah Indonesia
yang tilawah dengan mengeluarkan suara).
Dia mencoba
berkomunikasi denganku. Sayang sekali aku sama sekali tidak mengerti bahasanya.
Arab bukan, Inggris bukan.
Dia
menunjuk-nunjuk mushafku. Aku menyodorkan Quran pink-ku. Barangkali dia mau
pinjam.
Dia tersenyum,
menggeleng-geleng, ekspresif sekali.
“Jum’ah..Alkahfi..Alkahfi..”
ucapnya.
Aku baru paham. Subhanallah, aku
bukannya tidak tahu kalau membaca surat
Alkahfi memiliki banyak keutamaan ketika dibaca di hari Jumat (atau kalimat
lainnya mungkin begini, salah satu amalan yang dianjurkan di hari Jumat adalah
membaca Surat Alkahfi). Aku tahu. Aku bahkan sudah pernah mengamalkannya karena
hal itu terdapat juga dalam kesepakatan grup baca Quran yang aku ikuti lewat
WA. Hanya saja, karena aku sedang mengejar target khatam selama umrah, aku jadi
melupakan kebiasaan yang satu itu. Aku membaca surat yang sesuai dengan urutan tilawahku
saja meski saat itu hari Jumat.
Dia
lalu bersuara lagi sambil memiringkan kepala ke kanan dan meletakkan tangkupan
tangan di bawahnya, mengisyaratkan orang sedang ingin tidur, aku tak paham apa
yang ia ucapkan, tapi dari kata terakhir aku mulai mengerti.
“...blablabla..,
Al-Mulk”
“Ah..ya..ya..syukron”
sahutku. Aku yakin sekali, ia sedang memberitahu bahwa kalau ingin tidur bagus
membaca Surat Al-Mulk.
Aku bergegas
mencari halaman Surat
Al-Kahfi. Mataku berkaca-kaca. Aku teringat kawan-kawan dalam grup “Sehari
Sejuz” yang aku ikuti. Orang-orang dalam grup itulah yang pertama kali
memberitahu aku keutamaan surat
tersebut. Sesaat sebelum membaca surat
Al-Kahfi, kupanjatkan doa untuk seluruh kawan dalam grup itu. Rasanya, inilah
tilawah Alkahfi-ku yang paling mengesankan. Terima kasih, Ibu jamaah negara
lain-yang aku tak tahu namanya. Semoga Allah selalu merahmati engkau di manapun
engkau kini.[]
Selasa, 05 April 2016
Aku Penuhi Panggilanmu
Catatan Umrahku (1)
2011-an aku
mengalami sakit yang cukup parah. Sakit yang semula aku remehkan dan aku
tunda-tunda untuk mengobatinya. Sebuah Sakit yang membuat aku berada pada titik
paling nol dalam hidupku. Sakit yang membuat aku begitu menghargai kata “sehat”
dan “hidup”. Sakit yang membuat aku merasa dekat dengan kematian (aku bahkan
mulai merancang-rancang dengan siapa anak-anakku hidup nanti jika aku telah
tiada). Sakit yang membuat aku memiliki satu lompatan hidup yang tidak pernah
aku duga sebelumnya. Selama sakit itu, dalam tiga hari aku mampu mengkhatamkan
membaca Alquran.
Aku sempat
stress menghadapinya tapi lambat laun aku menyerah. Aku memilih berdamai dengan
penyakitku. Aku mengikuti saran keluargaku untuk berobat ke luar pulau. Akupun
pergi ke ibukota negara bersama ayahku. Anak-anakku bersama suami dan ibuku di
rumah. Sebelumnya, dokterku bilang, tidak terlalu berarti Anda ke Jakarta atau ke manapun.
Obatnya sama saja dengan yang saya berikan selama ini. Tapi aku pergi untuk
menuntaskan ikhtiarku sebelum aku mengambil jalan lain. Banyak hal yang aku
dapatkan selama berobat di Jakarta.
Aku makin mengerti betapa berharganya hidup dan kesempatan untuk berbuat
sesuatu dalam hidup. Satu hal lagi, aku semakin yakin, betapa orang miskin
tidak boleh sakit. Sama sekali tidak boleh….
Sepulang dari Jakarta, tidak lama
kemudian aku memutuskan untuk menghentikan obat dokter. Bukan apa-apa. Aku
tidak tahan dengan efek sampingnya. Aku mempelajari banyak buku, terutama
tentang pengobatan herbal, pengobatan nabawi, pengobatan timur, pengobatan
cina, dll. Lalu aku intens membacai tafsir surat An-Nahl. Dari situ aku yakin, madu
adalah salah satu obat segala penyakit. Aku memadukan madu dengan herbal lain.
Alhamdulillah aku merasa lebih baikan. (Maaf, ini bukan testimoni produk. Ini
hanya sedikit ceritaku). Aku juga mencoba terapi totok, bekam, rukyah syariyah,
dll.
Aku merasa lebih
segar tapi di kedalaman hatiku aku tak mampu menepis kemungkinan aku lebih
cepat mati karena penyakitku. Lalu, tiba-tiba aku terpekur. Aku teringat kabah
di Makkah sana.
Aku belum pergi haji. Aku belum pernah ke sana…Bagaimana
aku bisa mati dalam keadaan belum berhaji?
Aku tiba-tiba diliputi rindu yang sangat mendalam. Aku ingin pergi haji.
Itu saja yang aku pikirkan saat itu.
Pelan-pelan aku
menyampaikan keinginanku pada suamiku. Semula ia kaget dan ia merasa belum
yakin untuk mendaftar haji. Proses yang tidak mudah, hingga akhirnya Ramadhan
2012 kami resmi mendaftar haji. Menurut perkiraan, kami akan berangkat tahun
2026! Kota Banjarmasin merupakan kota
yang paling banyak antrian calon jamaah hajinya. Sementara kuota terbatas. Jadi
jangan heran kalau masa keberangkatan kami masih sangat lama. Kukatakan, dengan
mendaftar, aku sudah menunjukkan kesungguhan niatku pada Tuhan.
Tahun-tahun
berikutnya, aku mulai dilanda rindu. Aku mulai berharap agar bisa pergi umrah.
Tiap awal tahun, yang menjadi daftar resolusiku di nomor urut pertama adalah
pergi umrah. Suamiku geleng-geleng kepala. Setiap mendengar ada yang pergi umrah,
diam-diam aku menyeka airmata. Tidak tahu kenapa, selalu saja aku menangis
setiap mendengar ada yang pergi ke sana.
Dan Februari
2016 ini, ketika aku akhirnya pergi umrah, tidak ada lagi yang bisa aku
tuturkan selain Labbaikallahumma labbaik…(bersambung)
Sastra sebagai Penguat Identitas Nasional dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Nailiya Nikmah
15.08
0 Comments
Sastra sebagai Penguat Identitas
Nasional
dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
Oleh Nailiya Nikmah, M.Pd.
Penulis berkerudung coklat paling ujung, saat membawakan makalah ini. | (Foto Dok Panitia) |
ASEAN
telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan menuju pada
tahapan baru yang lebih integratif dan berwawasan ke depan, yaitu Masyarakat
ASEAN. Masyarakat ASEAN adalah kesatuan bangsa Asia Tenggara yang berpandangan
keluar, hidup damai, stabil dan makmur, serta terikat bersama dalam kemitraan
pembangunan yang dinamis dan saling peduli. Pembentukan Masyarakat ASEAN
dilatarbelakangi antara lain oleh adanya pengaruh negatif krisis ekonomi yang
menimpa negara-negara ASEAN pada 1997. Hal itu mendorong ASEAN berinisiatif
untuk menciptakan kawasan yang memiliki daya tahan ekonomi.
Masyarakat
Ekonomi ASEAN dibentuk untuk mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN, yakni
tercapainya wilayah ASEAN yang aman dengan tingkat dinamika pembangunan yang
lebih tinggi dan terintegrasi, pengentasan masyarakat ASEAN dari kemiskinan,
serta pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kemakmuran yang merata dan berkelanjutan.
Untuk itu, MEA memiliki empat karakteristik utama, yaitu pasar tunggal dan
basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan
pembangunan ekonomi yang merata, serta kawasan yang terintegrasi penuh dengan
ekonomi global.
Dalam
upaya menciptakan sebuah kawasan yang kompetitif, ASEAN telah menetapkan
beberapa sektor kerja sama yang perlu ditingkatkan antara lain: perlindungan
konsumen, hak kekayaan intelektual (HKI), pengembangan infrastruktur dan e-commerce. Kebijakan HKI salah satunya
dapat menjadi pendorong yang kuat bagi
kreativitas budaya, intelektual dan seni beserta aspek komersilnya.
Sebagai
salah satu negara ASEAN, Indonesia
sudah semestinya melakukan berbagai persiapan menuju MEA. Hal ini merupakan
suatu upaya mengingat MEA akan menghadirkan berbagai tantangan selain
peluang-peluang positif bagi masyarakat Indonesia. Salah satu tantangan
tersebut menyangkut persoalan identitas nasional bangsa Indonesia.
Identitas
nasional adalah suatu jati diri yang khas yang dimiliki oleh suatu bangsa dan
tidak dimiliki oleh bangsa lain. Dalam hubungan antarbangsa, identitas menjadi
penting karena menyangkut keberlanjutan eksistensi sebuah bangsa terutama dalam
konteks global. Identitas nasional merupakan kumpulan nilai-nilai budaya yang
tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang
dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia
menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika
sebagai dasar dan arah pengembangannya. Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa
yang majemuk. Unsur-unsur pembentuk identitas nasional meliputi suku bangsa,
agama, budaya dan bahasa.
Sebagai
salah satu unsur pembentuk identitas nasional, bahasa Indonesia memiliki
peluang sekaligus tantangan dalam menghadapi MEA. Persaingan bahasa terus
menjadi pembahasan yang menarik untuk diperbincangkan. Bila sebelumnya beberapa
pakar bahasa di Indonesia menyebutkan bahwa bahasa Indonesia memiliki potensi
untuk menjadi salah satu bahasa Internasional yang berpengaruh, dalam situasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) potensi bahasa Indonesia juga turut diteliti
serta dicanangkan untuk menjadi bahasa ASEAN.
Terdapat empat argumentasi yang mendukung hal
ini, yaitu bahasa Indonesia itu sudah banyak dipelajari pada banyak negara, mudah
dikuasai, laju perkembangannya fantastis, dan sebagaian kosa kata Indonesia
juga ada di dalam bahasa negara-negara ASEAN lainnya. (Lihat http://www.goodnewsfromindonesia.org/2016/01/10/inilah-alasan-mengapa-bahasa-indonesia-bisa-menjadi-bahasa-asean).
Bahasa
Indonesia merupakan salah satu identitas instrumental yang diatur dalam
undang-undang. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, salah satu fungsi
bahasa Indonesia adalah sebagai lambang identitas nasional. Sebagai lambang
identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera dan
lambang negara. Dalam hal ini bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya
apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya dengan baik.
Bahasa
Indonesia memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pemanfaatannya dalam menjembatani komunikasi antarwarga, antardaerah
dan antarbudaya menjadikannya sangat penting di samping penggunaan bahasa
daerah yang ada di Indonesia.
Di tengah-tengah ratusan bahasa dan budaya daerah yang ada, bahasa Indonesia
menjadi unsur istimewa yang tidak bisa dilepaskan dari keseharian masyarakat Indonesia.
Ini menjadikan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat perhubungan
antarwarga, antardaerah sekaligus antarbudaya yang paling memungkinkan.
Selain
sebagai alat perhubungan, bahasa Indonesia merupakan alat penyatuan berbagai
suku, bahasa dan budaya yang ada di Indonesia. Sebagai bangsa yang
terdiri atas sekian ratus suku, Indonesia
serta merta terdiri atas lebih dari sekian ratus bahasa daerah sekaligus budaya
daerahnya masing-masing. Keragaman suku, bahasa dan budaya ini merupakan
tantangan tersendiri bagi integrasi bangsa Indonesia. Keberadaan bahasa Indonesia
terbukti mendukung upaya integrasi bangsa yang terus-menerus. Eksistensi bahasa
Indonesia
sebagai satu hal yang menguatkan identitas nasional membuat masyarakat saling
menghargai perbedaan suku, bahasa dan budaya yang ada serta tetap merasa satu
dalam NKRI. Ketika memahami hal ini, akan muncul pemahaman berikutnya bahwa bahasa
Indonesia tidak saja berperan sebagai alat untuk berkomunikasi tapi juga sebagai
alat untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang majemuk. Bahasa
Indonesia dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan dengan tidak mematikan
peranan bahasa daerah. Sebaliknya, bahasa daerah justru memperkaya bahasa Indonesia.
Bahasa
Indonesia sudah membuktikan eksistensinya secara internal bagi masyarakat Indonesia.
Kini, di era MEA, bahasa Indonesia diuji eksistensinya secara eksternal. Bahasa
Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia kini akan berhadapan
dengan bahasa lainnya di kawasan Asia Tenggara bahkan di kawasan lainnya secara
internasional.
Pakar
bahasa dari Institut Teknologi Bandung menegaskan bahawa Bahasa Indonesia perlu
internasionalisasi agar bisa menjadi bahasa ASEAN. Dibanding negara-negara
ASEAN lainnya, Indonesia
merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak. Ini menunjukkan bahasa
Indonesia memiliki jumlah penutur yang mayoritas pula. Prof. Mahsun mengatakan,
saat ini bahasa Indonesia terancam tergeser oleh bahasa Inggris dalam
pelaksanaan MEA. Menurutnya, jika bahasa Indonesia tidak digunakan dalam MEA, Indonesia
akan kehilangan identitasnya padahal era MEA merupakan era persaingan dan hanya
bangsa yang memiliki identitas kuat yang bisa memenangkan persaingan.
Pembicaraan
tentang bahasa suatu negara tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang menyangkut
bidang kesusastraan. Begitu juga dengan bahasa Indonesia,
sastra merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari upaya pemertahanan dan
pengembangan bahasa Indonesia.
Dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pembelajaran, karya sastra merupakan
unsur penting yang mendukung keterampilan berbahasa seseorang. Bicara tentang
karya sastra berarti bicara tentang unsur-unsur intrinsik sekaligus unsur
ekstrinsik yang membangunnya. Itu artinya, pembacaan terhadap sebuah karya
sastra merupakan penafsiran-penafsiran terhadap bahasa sekaligus nilai-nilai
budaya yang melingkupinya. Nilai-nilai budaya inilah yang menjadi pembentuk
identitas nasional.
Berikut
ini dapat penulis paparkan beberapa hal penting yang berhubungan dengan sastra
sebagai penguat identitas nasional di era MEA. Pertama, pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
dalam karya sastra. Yang disebut sastra Indonesia
adalah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yaitu ketika bahasa
Indonesia pertama kali diumumkan sebagai bahasa persatuan pada momen Sumpah Pemuda
1928. Sejak itulah segala macam kegiatan komunikasi dan berkarya sastra ditulis
dalam bahasa Indonesia
(Rani, 1996:40). Roman yang dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra Indonesia
oleh para ahli adalah roman Azab dan Sengsara karangan Merary Siregar.
Selanjutnya, bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa semakin kuat tercermin
melalui kemunculan karya sastra Indonesia
modern yang berkembang pesat setelah kemerdekaan.
Dalam
bukunya, Segenggam Gumam, Helvy Tiana
Rosa menyebutkan adanya semacam pengakuan bahwa Indonesia adalah negeri dengan
perkembangan sastra terpesat dari negara serumpun lainnya (2003:128). Hal ini
kemudian disusul dengan ‘ketakutan’ negeri-negeri jiran terhadap hegemoni
bahasa Indonesia,
dikaitkan dengan era teknologi informasi. Bahasa Indonesia dengan penutur
sekitar 200 juta orang, dianggap telah memengaruhi kemurnian bahasa Melayu.
Kedua, penggalian nilai-nilai di balik
karya sastra. Karya sastra yang baik adalah karya yang mampu memberikan
pencerahan kepada pembacanya. Setiap karya sastra membawa amanat bagi
kehidupan. Tinggal sedalam apa penggalian terhadap amanat tersebut diupayakan. Penggalian
nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dapat membantu mengenalkan
sekaligus mempertahankan hal-hal positif dari nilai-nilai karya sastra itu
sendiri. Sastra sebagai bagian dari kebudayaan didukung oleh unsur kebudayaan
lainnya, yaitu bahasa dan seni. Setiap bahasa memiliki tradisi sastranya dalam
kadar yang berbeda-beda. Sastra sebuah bangsa mencerminkan tinggi rendahnya peradaban
suatu bangsa. Bahasa yang dapat dipelajari melalui karya sastra sarat dengan
kandungan pemikiran dan ideologi. Kedua unsur ini kemudian dianggap sebagai
jati diri suatu bangsa.
Sutardji
Calzoum Bachri menyatakan bahwa dengan karyanya seorang pengarang menorehkan
identitas dirinya. Ketika pengarang menorehkan identitas dirinya ia juga telah
menorehkan identitas bangsanya. Jadi, sastra memberi ruang yang di dalamnya
persoalan-persoalan kebangsaan dapat ditemukan. Penggalian karya-karya sastra
yang mengeksplorasi budaya lokal misalnya, dapat menuntun kita pada konteks
sosial dan zaman yang terepresentasi dalam karya tersebut.
Ketiga, pentingnya perhatian pemerintah
dan masyarakat terhadap perlindungan hak cipta khususnya karya sastra. Pembajakan,
penjiplakan, plagiat, merupakan persoalan-persoalan yang masih menghantui dunia
karya sastra Indonesia.
Tindakan-tindakan yang mencerminkan sikap tidak menghargai karya orang lain
tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat bangsa Indonesia sendiri tapi juga dilakukan
oleh masyarakat asing. Pemerintah Indonesia
perlu meningkatkan perhatiannya terhadap dunia sastra untuk meningkatkan
industri kreatif sastra di Indonesia.
Keempat, perlunya peran serta
masyarakat Indonesia
dalam segala kegiatan dan kelompok sastra ASEAN. Beberapa negara anggota ASEAN telah ada
yang melakukan kerja sama di bidang seni sastra bahkan ada yang terjalin jauh
sebelum era Masyarakat ASEAN. Indonesia
dan negara-negara ASEAN lainnya telah sering bekerja sama dalam kegiatan dan
kelompok-kelompok sastra. Sekadar menyebut beberapa, ada Pertemuan Sastrawan
Nusantara (PSN) dan Pertemuan Sastrawan Malaysia (PSM), Majelis Sastra Asia
Tenggara (Mastera), ASEAN Literary Festival dan lain-lain.
Pada agenda-agenda besar yang dapat mengangkat nama negara seperti ini
hendaknya pemerintah memberikan kontribusi yang serius. Selama ini momen sastra
di kawasan negara ASEAN dimaksudkan sebagai upaya untuk menyejajarkan sastra
negara-negara kawasan ASEAN dengan sastra dunia. Selain itu, terdapat harapan
saling mengenal produk dan nilai-nilai sastra
antarnegara ASEAN. Bagi Indonesia
sendiri, momen-momen seperti ini dapat mengenalkan sekaligus menguatkan sastra Indonesia
di mata negara-negara peserta lainnya yang secara langsung juga memperkuat
posisi bahasa Indonesia di mata dunia. Peserta yang diutus menjadi delegasi pun
hendaknya dapat menjaga citra bangsa di hadapan negara-negara lain dan dapat
memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas diri dan negeri.
Demikianlah, karya sastra Indonesia
yang bermutu diharapkan dapat menguatkan identitas nasional di era masyarakat
ekonomi ASEAN. Sebaliknya, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
secara konsisten dapat meningkatkan perkembangan sastra di negeri ini.[]
Referensi
Direktorat
Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI. 2015. Ayo Kenali ASEAN.
-------.
2015. ASEAN Selayang Pandang Edisi Ke-21.
Rosa,
Helvy Tiana. 2003. Segenggam Gumam. Bandung: Syamil.
Sunarti, Sastri.
2014. Bahasa dan Sastra Indonesia
sebagai Identitas Bangsa. Tabloid Sastra. https://tabloidsastra.wordpress.com/2015/02/16/bahasa-dan-sastra-indonesia-sebagai-identitas-bangsa/
*Makalah ini disampaikan dalam Seminar Bahasa dan Sastra, Himbi Sastra, K
FKIP Unlam, Banjarmasin, 2 April 2015