Selasa, 25 April 2023

Ngaji Puisi 2023 Mengenang Jamal T. Suryanata dan Abdussukur

19.47 0 Comments




Sudah lama aku tidak ke sini. Aku ingin menulis sesuatu dengan santai saja. Kali ini aku hanya ingin mencatatkan sekelumit kenangan pada Ramadan ke-25 di tahun 2023 atau 1444H. Malam itu aku diminta menjadi moderator acara bertajuk Ngaji Puisi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Banjarmasin. Tahun lalu aku juga menjadi moderator di acara yang sama. Jika tahun lalu yang dibahas adalah Ajamuddin Tiffani, tahun ini yang dibahas adalah Jamal T. Suryanata dan Abdussukur. Bang Jamal dan Bang Sukur, demikian beliau berdua biasanya disapa. Oiya, kalau mau tahu apa itu Ngaji Puisi, silakan berselancar di sumber lain ya. 

Acara dihantarkan dengan apik oleh pembawa acara, Akbar atau Abay dari Komite Sastra DKBjm. Rekan kami, Cupi yang multilatent membacakan doa. Istimewanya, malam itu acara dihadiri oleh Walikota Banjarmaisn. Ya, setelah disambut oleh Ketua DK yaitu Bang Hajriansyah, acara Ngaji Puisi malam itu kemudian dibuka secara resmi oleh Walikota Banjarmasin, Bapak Ibnu Sina. Pak Ibnu Sina sempat juga membacakan puisi setelah menyampaikan sambutannya.

Aku pikir setelah membuka acara, Walikota akan meninggalkan forum. Tak disangka beliau masih bertahan saat aku sudah dipanggil oleh MC untuk bergabung memoderatori jalannya acara. Jadilah aku duduk di sebelah Pak Wali, malam itu. Acara menghadirkan guru-guruku di bidang seni dan sastra sebagai pemantik. Siapa lagi kalau bukan Bapak Micky Hidayat dan Y.S. Agus Suseno. Suatu kehormatan pula, panitia menghadirkan Bapak Hadani yang merupakan Ketua DK Tala.

Siapa Bang Jamal, siapa Bang Sukur, tak ingin kujelaskan lebih dalam. Keduanya memiliki tempat spesial di hati masyarakat Kalsel. Khusus bagiku, kepergian beliau berdua dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh, setelah sebelumnya berada dalam satu forum dengan mereka berdua (aku juga sebagai moderator dan beliau berdua nara sumber), forum terakhir yang sangat berkesan bagiku. Lalu, ketika malam Ngaji Puisi aku mendapat kesempatan menjadi moderator di acara mengenang mereka berdua, tidakkah aku merasa sendu dan haru. 


Oiya, malam itu, panitia membagikan semacam buklet berisi puisi-puisi Bang Jamal dan Bang Sukur. Aku diminta Ketua DK untuk menulis sebuah pengantar. Berikut yang kutulis:

Sebuah Pengantar

Ada begitu banyak kehilangan dalam beberapa tahun terakhir, terkhusus di dunia sastra Kalimantan Selatan. Nama Abdussukur dan Jamal T. Suryanata menjadi bagian tersedih dari lirik kehilangan tersebut. Banyak catatan telah ditulis oleh rekan dan sahabat-teman seperjuangan mengantar kepergian keduanya sejak hari pertama berpulang. Baik Abdussukur maupun Jamal T Suryanata, keduanya mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat sastra Kalimantan Selatan.

Dari berbagai catatan kisah dan jejak lainnya yang masih dapat ditelusuri dapat diketahui bahwa Jamal menoreh sangat banyak prestasi di dunia sastra hingga membawa harum nama Kalsel hingga ke kancah internasional. Berbagai prestasi dan karyanya terangkum dalam berbagai penghargaan yang pernah ia terima. Jamal pernah menerima Hadiah Seni dari Gubernur Kalsel (bidang sastra) tahun 2006, penerima Penghargaan Sastra dari Kepala Balai Bahasa Banjarmasin (bidang cerpen) tahun 2007, penerima Anugerah Budaya dari Gubernur Kalimantan Selatan tahun 2015, bukunya Sastra di Tapal Batas terpilih sebagai pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) dari Pemerintah Malaysia tahun 2016, penerima Hadiah Sastra Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage, Bandung atas novel berbahasa Banjar Pambatangan tahun 2017 dan novelet Naga Runting tahun 2022.

Berbeda dengan Jamal, Abdussukur memilih dan “dipilih” untuk lebih banyak berjalan di alur tradisi lisan. Banyak hal yang ia lakoni selama karir kesenimannya dengan lebih menonjolkan keterampilan lisannya. Ada saja yang bisa ia jadikan bahan untuk membuat pendengar/penonton terkesima ketika ia tampil di panggung. Pertunjukan dan panggung adalah dunianya. Seakan panggung adalah takdir yang selalu berpihak padanya. Bapandung merupakan salah satu kepiawaiannya yang hingga hari ini belum mendapat tandingan sepadan di bumi Kalimantan. Kepergiannya akan menjadi  putusnya salah satu rantai seni tradisi lisan yang harus menjadi perhatian lebih dunia sastra Kalimantan Selatan untuk segera diantisipasi.

Terlepas dari seluruh prestasi mereka berdua, patutlah kita menyimak tutur hati mereka di jalan sunyi para penyair. Sambil mengenang hari-hari indah bersama mereka di masa yang silam sebelum mereka pamit, mari kita baca dan selami puisi-puisinya. Mari kita kaji dalam “Ngaji Puisi 2023” pada Ramadan kali ini.

Banjarmasin, 15 April 2023

                                                                                    Nailiya Nikmah

Sabtu, 12 November 2022

Riza dan Rahasia Tukang Obat: Catatan di Tepi Pementasan Monolog Tukang Obat Karya Y.S. Agus Suseno pada Banjarmasin Art Week 2022

22.35 0 Comments

Banjarmasin Art Week 2022 yang digelar oleh Dewan Kesenian Banjarmasin menjadi lengkap dengan hadirnya teater monolog Tukang Obat yang diperankan oleh aktor Riza Akhmad Fahlipi. Agenda BAW yang memilih berlokasi di area siring Menara Pandang menjadikan seluruh agendanya benar-benar dilempar ke ruang publik. Siring Menara Pandang merupakan lokasi yang sangat strategis untuk keramaian di Banjarmasin.




Naskah Tukang Obat dapat ditemukan pada laman pribadi penulisnya, yaitu di datutadungmura.blogspot.com dengan tahun postingan tertulis 2013. Sementara pada naskah tertera tahun 2007 di bagian akhir. Ketika didekati dengan netnografi, inilah yang dapat kita himpun. Naskah ini ternyata pernah dipentaskan juga oleh aktor yang sama dan diposting melalui kanal youtube.

Akan tetapi, kali ini naskah Tukang Obat benar-benar dihadirkan di ruang publik yang nyata. Ketika dihadirkan di ruang publik dengan kesejatian kepublikan yang melingkupinya, maka setting atau pelataran pementasan ini menjadi ambigu seperti dua sisi koin yang saling berebut peluang. Kita tidak tahu apakah yang hadir menonton saat itu benar-benar mengerti bahwa yang ia tonton adalah pementasan sebuah naskah monolog atau jangan-jangan ada yang menganggap itu tukang obat betulan. Keduanya tentu saja memiliki daya tafsir yang saling melengkapi. Untunglah pementasan ini masih dilengkapi pula oleh penatacahayaan yang bagus. Sehingga di sinilah unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra memainkan perannya.



Aktor Riza bermain ditemani ular yang sudah sangat kooperatif. Keberadaan ular sungguhan, Mandau dan sebotol minyak yang ia sebut sebagai minyak timpakul sudah sangat cukup sebagai sebuah pendukung naskah Tukang Obat. Ular-ular tersebut seakan menjadi penyampai pesan bahwa naskah ini memanng ditulis untuk Riza.



Kualitas vokal dan akting Riza membuat pesan di balik naskah ini berhasil disampaikan kepada penonton.

“Minyak timpakul? Ya! Saya ulangi:  m-i-n-y-a-k  t-i-m-p-a-k-u-l. Ya, betul! Anda tak salah dengar. Menurut saudara ipar dari sepupu keponakan istri saya yang makan sekolahan, Djebar Hapip, timpakul itu i-k-a-n  b-u-t-a. Entah apa maksudnya, padahal matanya sebesar mata kodok. Katanya, manimpakul adalah sifat orang yang di mudah berubah, tidak tetap pendirian. Sedangkan timpakul janjan adalah sifat orang yang jelek perilakunya. Tapi itu kata Djebar Hapip! (Ketawa ngakak.). Nah, kalau timpakul tinggal di rawa-rawa, di pinggir sungai atau di kayu apung, ada juga hewan lain yang perilakunya mirip, tapi tinggal di pepohonan. Apa itu? Angui. Saya ulangi: a-n-g-u-i.

….

Nah, berbeda dengan timpakul yang tak ada persamaan namanya dengan binatang sejenis dalam bahasa Indonesia, angui punya, yaitu b-u-n-g-l-o-n. Lalu, menurut Djebar Hapip tadi, angguk angui adalah ungkapan untuk orang yang selalu mengiyakan, tapi kerjanya juga yang jalan.

 

(Perlahan dan hati-hati mengeluarkan botol kecil berisi cairan dari dalam bungkusan kain kuning, meletakkannya di telapak tangan.) Anda lihat? Ini adalah  s-a-r-i-p-a-t-i alias i-n-t-i atawa h-a-k-i-k-a-t jiwa timpakul. Tepat tengah malam Jumat, olesi jari manis Anda dengan minyak ini. Tanpa menarik napas, tekan jari manis Anda ke langit-langit mulut. Selesai. Keselamatan dan kemakmuran menanti Anda. Mengapa? Karena Anda sudah menyatu dengan jiwa timpakul, sudah manimpakul, mambatang timbul! (Ketawa ngakak.)

Manimpakul tidak jelek! Itu cermin kemampuan bertahan hidup yang luar biasa. Kita tahu, timpakul biasanya tinggal di tebing-tebing sungai atau di kayu apung yang hanyut. Bila gelombang datang menyapu tebing atau kayu apung tempat timpakul berada, dengan gesit ia melompat ke tebing atau ke kayu apung lain untuk menyelamatkan diri. Tebing atau kayunya tenggelam, dia tidak. Begitu seterusnya. Nah, kenapa cara bertahan hidup yang luar biasa  itu dimaknai jelek? Apa salah timpakul? (Ketawa ngakak.)

 

Sebuah kritik sosial sedang ditayangkan dalam pementasan dan secara tersurat telah pula hadir dalam naskah. Kutipan di atas, cukup menjelaskan beberapa hal ekstrinsik yang masih relevan dengan masa sekarang. Di mana jiwa-jiwa menimpakul telah menjadi pemyelamat beberapa oranvg dalam hidupnya. Sadar maupun tidak sadar, menimpakul telah menjadi peyelamat Sebagian besar orang.

(bersambung)

Banjarmasin Art Week 2022: Merengkuh Dayung Bersama, Sekali Ini Jangan Berlayar Sendiri

12.46 2 Comments

 

Banjarmasin Art Week 2022 (Doc Nailiya)



Semua hal akan punah, kecuali yang ditulis. Untuk itulah catatan ini ada. Aku tulis dengan perspektif seorang Nailiya Nikmah. Mungkin akan lebih subjektif dibanding catatan para media partner, meski aku berusaha menulis seobjektif mungkin. Semoga menjadi bagian dari prasasti. 

Halaman Pengantar Katalog Pameran Lukis BAW 2022 (Desain Badri)

***

“Nai, kamu jadi ketua panitia Pasar Seni, ya?” suara Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin merambat di udara, terdengar ngeri-ngeri sedap di telingaku melalui ponsel. Saat itu aku lagi di Jogja sehingga tidak bisa ikut rapat. Entah karena pengaruh suasana Jogja saat itu, entah karena ada hal lain, aku tidak ingat, yang pasti setelah sempat berargumen, ujungnya aku terima permintaan itu.

“Kamu mau naruh siapa saja di kepanitiaanmu?” tanya ketua DK. Seingatku, konsep Pasar Seni adalah kegiatan yang menggabungkan semua komite DK untuk bersama berkarya dalam satu event. Pasti sangat majemuk orang-orangnya. Bukan saatnya pilah-pilah rekan kerja. Ini saatnya belajar. Belajar bekerja dan berkarya bersama. Belajar memanajemen sedikit dana yang diamanahkan kepada kami. Lebih dari itu, aku ingin belajar dipercaya oleh teman-teman.

“Putuskan saja di rapat, Bang. Ulun siap bekerja dengan siapapun,” itu jawabanku.

***

Dari Pasar Seni ke Banjarmasin Art Week (BAW)

Aku mulai meminta teman-teman komite menyetor konsep dan ide project beserta anggaran masing-masing. Rapat demi rapat, rancangan demi rancangan kegiatan terus digulirkan. Hingga suatu malam, di Kampung Buku, pada rapat kami yang ke sekian, nama kegiatan Pasar Seni sepakat direvisi menjadi Banjarmasin Art Week dengan berbagai pertimbangan. Kami berharap revisi nama akan lebih menarik para generasi milenial meski ada sedikit kekhawatiran dianggap tidak meng-Indonesia. Seingatku, selain Ketua DK-Bang Hajri, malam itu ada nama-nama berikut: Nafi, Munir, Masno, Dewi, Iki, Syam. Kalau ada yang ketinggalan, konfirmasi aku ya. Biar tulisan ini kusunting. Pada rapat-rapat lainnya, hadir juga Abay, Hafiz, Wanyi, Reza, Cupi, Cahyo, Surya, Jaya, Putri, Atien, Ipul, dll.

Malam itu kami merumuskan tema juga. Dari tiga tema yang muncul, akhirnya Jukung Barenteng menjadi tema BAW 2022. Iki kemudian bersedia membuatkan logo BAW. Dengan proses perenungan yang cukup panjang dan obrolan seru seputar filosofi Jukung barenteng, jadilah logo BAW yang sangat cantik itu.



“Kita perlu koordinator acara,”seru Ketua DK. Lalu, suatu malam, kami sepakat Nafi yang akan jadi koor acara. Sejak itu, kerja kami mulai lebih terarah (:lebih menggugupkan, haha). Kami sepakat akan ada performance/pergelaran/happening art dari para kolaboran, akan ada diskusi tiap komite, akan ada workshop tari dan teater masing-masing dari komite tari dan teater, pergelaran aneka genre music dari komite Musik dikoordinatori oleh Masno dan Surya serta Jaya, ada pameran Lukis komite Rupa; ada Lapak Baca dan Baturai Pantun Komite Sastra dikoordinatori oleh Ipul dan Abay, dijalankan oleh Ahim dkk; ada Movie Booth-nya Komite Film yang ditangani oleh Munir. Happening art secara personal sudah ada nama Gita Kinanthi dan Edi Sutardi yang kami kantongi. Untuk Pameran, ada Badri sebagai kurator dengan tema Jarujut yang lebih awal memulai titik start melalui open kurasi. Dari sini terjaring 25 nama perupa/pelukis. Untuk workshop tari, koor dari komite tari-Putri menegaskan akan menggarap Radap Rahayu minimal 100 penari. Begitu juga workshop teater-kelas actor bersama Bayu Bastari, meski target 30 peserta, ternyata pendaftar lebih dari itu.

***

Langkah pertama yang kami lakukan adalah menemui orang nomor satu di kota Banjarmasin. Ya, siapa lagi kalau bukan Walikota Banjarmasin-Bapak Ibnu Sina. Selama ini memang Dewan Kesenian Banjarmasin selalu menjalin komunikasi dan koordinasi dengan beliau mengingat SK Kepengurusan juga ditandatangani oleh beliau. Alhamdulillah beliau menyambut baik rencana BAW dan beliau juga sempat bilang bahwa November adalah bulan yang tepat.



Selanjutnya, aku dan Mbak Atien-Bendahara BAW meluncur ke Siring Menara Pandang menemui Kepala UPT Menara Pandang. Di sanalah kami bertemu dan berkenalan dengan Kepala UPT Menara Pandang-Pak Naziza yang sangat ramah dan terbuka. Kami membawa proposal dan menjelaskan rencana peminjaman beberapa titik area di Siring Menara Pandang, yaitu Rumah Anno untuk loaksi pameran lukisan, Area teras samping rumah Anno untuk Diskusi dan Pergelaran Musik dan Happening Art, Lantai Dasar Siring Menara Pandang untuk Workshop Tari dan Teater, serta Selasar antara Rumah Anno dan Menara Pandang untuk Lapak Baca Komite Sastra dan Area Movie Booth-nya Komite Film. Semua disetujui. Kami tinggal urus perlengkapannya.



Setelah secara tidak formal Ketua DK menghubungi Sekda Kota, aku ke kantor beliau membawa surat untuk mengurus beberapa keperluan peminjaman bangku, sofa dan tenda. Di sini aku sangat terkesan dengan keramahan semua pegawainya. Mulai dari satpam depan hingga semua orang yang aku temui di sana full senyum. Semoga mereka semua selalu dimudahkan urusannya. Selanjutnya, urusan di-handle oleh Riza.

Jangan kira semua berjalan mulus. Setiap kerja ada tantangan, setiap kepanitiaan ada riak-riaknya. Jujur saja, aku sempat berada pada fase lelah dan ingin menyerah. Merasa gagal menjadi ketuplak. Saat-saat seperti itu, support teman-teman sangat bermakna bagiku.

***

Lobi-lobi Sponsor

Salah satu yang melegakanku, ketika tahu Bendahara kegiatan BAW adalah Mbak Atien. Temanku yang bisa dipercaya dalam urusan duit. Proposal yang dibuat oleh Dewi-Sekretaris, mulailah kami bawa ke mana-mana. Ke beberapa pihak yang menurut pandangan kami bisa memberikan dukungan. Kami membuka diri untuk diberi support dan bekerja sama dalam bentuk apapun. Mengajukan proposal dan proses lobi-lobi ini membuatku halu. Rasanya dejavu. Ingat masa dulu waktu jadi aktivis di kehidupan yang lain, sebelum reinkarnasi ini, hehe.

Dari pintu ke pintu, dari satu Lembaga ke Lembaga lainnya. Sebagian besar yang kami bawa pulang adalah kegagalan. Uniknya, beberapa calon rekan sponsor malah memberi kami pelajaran gratis seputar proposal dan manajemen kegiatan. Ada yang memberi kami persyaratan baru bisa memberikan bantuan, dsb. Beberapa persyaratan ada yang tidak bisa kami penuhi, maka gagallah kami bermitra.

Aku dan Mbak Atien sempat juga konsul ke Bang Majid dan Ka Lina di Rumah Alam. Beliau berdua sudah banyak pengalaman menyelenggarakan kegiatan besar. Banyak ilmu yang kami peroleh, tapi bertambah pula kecemasan kami karena merasa masih banyak kekurangan.



Ketua DK pun gencar melakukan lobi-lobi ke kenalan dan teman beliau. Alhamdulillah, ada aja cintanya, hehe.

Beberapa relasi pengurus DK membawa aku ke ruang dengar alias siaran radio sebagai salah satu bentuk promosi/publikasi BAW selain melalui media sosial resmi BAW. Siaran pertama di acara Palidangan yang dibawakan oleh Bang Noorcholis Majid di RRI. Aku bersama ketua DK menjadi pengisi di acara tersebut. Mbak Atien setia menemani, sambil jepret-jepret. Dari sana kami juga ke Bank Kalsel dan Kantor lainnya untuk beberapa urusan. Radio lainnya adalah Sun FM, beberapa hari menjelang pelaksanaan, BAW berkesempatan menjadi konten acara Sun Shine. Setelah itu beberapa media partner menuliskan berita BAW. DK juga sempat silaturrahim ke Pak Zulfaisal Putra selaku Kadis Kebudayaan. (Sayang aku tidak bisa ikut hari itu, karena aku baru saja mengalami kecelakaan dan kemudian sakit beberapa hari).



 


FenomeNafi: Beberapa Peluang dan Kendala, Mulai SDM hingga Dana

H minus dekat banget, beberapa personil kepanitiaan menulis chat di grup, “Saya ada tugas xxxx, jadi tidak bisa aktif beberapa waktu ke depan. Saya ke luar kota sampai tanggal sekian,” dsb. Chat yang sangat membuat aku cemas.

“Tenang, semua akan baik-baik saja” kurang lebih begitu yang disampaikan koor acara, Nafi. Dia mengajak beberapa UKM dan Komunitas Seni untuk berkolaborasi dengan kami.

Ketua DK juga menginstruksikan memasukkan beberapa personil baru dalam kepanitiaan. Di antara para personil tambahan tersebut, ada beberapa wajah yang aku sebenarnya sudah familiar tapi belum tahu namanya. Ada juga sebaliknya, namanya sudah sering aku dengar tapi belum tahu yang mana orangnya.

Beberapa nama seniman senior turut menjadi konsultan kami seperti Agus Suseno dan Edi Sutardi dkk. Salah satu rapat besar DK juga sempat menghadirkan para penasehat untuk memberikan saran dan masukan. Pak Sukhro dan Bang Majid sangat banyak memberikan masukan dan ide kreatif.

Rundown seluruh agenda BAW sangat dinamis, bahkan sampai hari H masih ada pergerakan dan perubahan. Para penampil dan kolaboran juga masih penuh dinamika. Yang paling mencemaskan adalah dana. Hitung-hitungan kasar kami menunjukkan bahwa dana sangat minim. Diperlukan relawan konsumsi yang pintar mengelola budget. Mbak Wid dari Kampung Buku ternyata yang akhirnya bergabung dalam ketahanan pangan.

Beberapa kali aku menemukan hal-hal yang mencemaskan dan selalu Koor Acara alias Nafi bilang, “Tenang, semua aman.” Dari sini aku mulai berubah pikiran. Ternyata dalam kegiatan ini aku tidak sedang belajar dipercaya tapi sebaliknya aku justru sedang belajar mempercayai orang yang bekerja satu tim denganku. Bismillah, aku mulai mengubah mindset-ku.

 

Pembukaan

Jumat, 04 November 2022 menjadi tanggal penting bagi perkembangan seni di Kalimantan. Setelah hujan yang sempat mengguyur kota Banjarmasin, kami melangsungkan acara pembukaan yang sederhana, khidmat, di area terbuka Siring Banjarmasin. Acara dibuka langsung oleh Bapak Ibnu Sina selaku Walikota Banjarmasin. Ada sesi baturai pantun menjadi bagian acara pembukaan. Resmilah, Banjarmasin Art Week 2022 dibuka sejak hari itu.

“Dewan Kesenian Banjarmasin dengan enam komite di bawahnya mencoba menggelar satu event bersama, yang selama ini belum pernah ada. Kami ingin menghadirkan seluruh cabang seni yang mungkin selama ini terkurung dalam ruangnya masing-masing ke tengah publik. Kami ingin mendekatkan seni kepada masyarakat dan sebaliknya kami juga ingin melihat apresiasi masyarakat terhadap seni itu sendiri. Kami memilih area Siring Menara Pandang mengingat area ini sangat strategis dan sudah menjadi ikon kota Banjarmasin. Kami ingin menyentuh semua kalangan masyarakat. Jika agenda ini sukses dan dianggap perlu oleh masyarakat, insya Allah BAW akan jadi agenda unggulan-andalan Dewan Kesenian Banjarmasin tiap tahunnya.” Demikian yang kusampaikan pada sambutan sebagai ketua pelaksana BAW. Itu juga yang sering aku sampaikan ketika diwawancarai oleh pihak media.

Tujuh Hari Penuh Makna

Movie Booth, Pameran Lukisan dan Lapak Baca merupakan konten yang tujuh hari penuh memanjakan pengunjung BAW 2022. Di luar itu, pergelaran musik, tari, teater bergantian menghiasi ruang performance BAW. Sebagai point yang harus digarisbawahi adalah semua konten yang menjadi bagian agenda BAW gratis alias tidak dipungut biaya. Pengunjung hanya harus membayar parkir yang memang sudah jadi ketentuan di Area Siring Kota Banjarmasin.


Hari pertama

Ada penyerahan selendang dan bokor oleh Walikota Banjarmasin kepada Ketua Panitia dan Ketua DK sebagai simbol dimulainya serangkaian agenda seni BAW (dengan sedikit drama di balik layar). Selendang dan bokor dipilih karena akan ada workshop Tari Radap Rahayu yang menggunakan dua properti tersebut.

Pengalungan selendang  dan penyerahan bokor oleh Walikota Banjarmasin, simbolisasi dibukanya agenda BAW 2022



Walikota didampingi oleh Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin melihat pameran lukisan



Setelah seremoni pembukaan, para pejabat mengunjungi pameran lukisan di Rumah Anno. Beberapa pejabat juga menggoreskan garis pertama di atas kanvas untuk kemudian diselesaikan oleh para pelukis. (Cek pemberitaan berbagai media partner BAW pada tanggal ini untuk mendapatkan liputan lengkap).

Malamnya, KS3B menampilkan pergelaran yang sangat manis dan apik. Selain itu, Edi Sutardi menampilkan happening art yang sangat memukau pengunjung. Beberapa pembaca puisi turut meramaikan pergelaran seperti Hajriansyah, Y.S. Agus Suseno, Baim, Riza Rahim dkk. Siring menjadi tidak biasa malam itu. Malam yang indah bagi penikmat seni. Hari pertama yang awesome. Terima kasih, tim.






Hari Kedua

Diskusi perkembangan seni tari Kalimantan Selatan berlangsung di Ruang Terbuka samping Rumah Anno dengan pembicara Gita Kinanthi dan Rahmani, dimoderatori oleh Nafi berlangsung di siang yang hangat. Gita sang perantau telah menjadi pejuang tari di Kalimantan Selatan. Bersama Rahmani, ia memaparkan bagaimana tari di masa awal hingga di masa pandemic. Dibahas pula tentang film tari. Para koreo tari hendaknya berkolaborasi dengan ahli IT untuk menghasilkan film tari yang bagus.

Setelah itu, agenda berikutnya adalah Sharing with Ibnu Sina dimoderatori langsung oleh Ketua DK Hajriansyah. Terlibat dalam diskusi beberapa seniman dan pengurus DK Banjarmasin. Pada saat yang sama di titik lain, Bayu Bastari dan tim ruang aktor bersama 100-an peserta ber-workshop teater di lantai dasar Menara Pandang. Uniknya peserta workshop sangat majemuk dari berbagai usia dan latar pendidikan.




Diskusi Teater “Quo Vadis Teater Modern Kalimantan Selatan” berlangsung seru menghadirkan nara sumber Sekda Kota Banjarmasin, Ikhsan Budiman dan Bayu Bastari dimoderatori oleh Dewi Alfianti. Beberapa seniman masih terlibat aktif dalam diskusi termasuk Bunda Elly Rahmi yang sudah tidak asing lagi dalam dunia seni di Kalimantan Selatan. Hari kedua yang sangat bergizi.

Hari Ketiga

Hari ketiga berlangsung tepat pada hari Minggu. Pagi yang cerah untuk mendiskusikan Tata Kelola Seni Budaya Kota Banjarmasin bersama moderator Dewi Alfianti. BAW menghadirkan narsum yang komplet, yaitu Kabid Kebudayaan Disbudparpora Banjarmasin-Zulfaisal Putra; Dewan Pertimbangan DK Banjarmasin-Ilham Noor; Anggota Komisi 4 DPRD Kota Banjarmasin-Sukhrowardi dan Sastrawan asal Kalsel-Micky Hidayat. Y.S. Agus Suseno, Hajriansyah dan seniman lain terlibat seru dalam diskusi.

Agenda selanjutnya ada baturai pantun dan Pentas Balet oleh komite sastra dan komite tari. Disusul oleh diskusi musik yang membahas geliat dan masa depan musik di Banjarmasin. Nara sumber Dino Sirajuddin dan Sumasno Hadi dengan moderator Susyam Widhianto. Turut meramaikan, Hariadi Asa menampilkan kepiawaiannya dalam bernyanyi dan main music.

Hari Keempat

Langit dan tanah masih basah oleh hujan pagi itu tapi tidak menyurutkan langkah komite tari melaksanakan workshop Tari Radap Rahayu yang sudah ditetapkan sebagai harta kekayaan warisan budaya tak benda. Lebih 100 peserta memenuhi lantai dasar Menara Pandang. Narsum sekaligus instruktur Bapak Heriyadi Haris dan Ibu Putri Yunita Permata Kumala Sari dari komite tari sangat bersemangat pagi itu. Peserta membawa selendang dan bokor ataupun semacamnya sebagai properti.




Siangnya, Narsum Woko Lestarianto dan Cahyo Purwadi dimoderatori oleh Sumasno Hadi membahas tema Diskusi Pendidikan Seni. Diskusi yang

Sorenya, Sainul Hermawan dan Titik Wijanarti hadir secara spesial membahas tema sastra medsos. Terima kasih, tim BAW yang telah mempercayai aku menjadi moderatornya.

Malamnya pergelaran musik Komunitas Gambus Banjarmasin (KGB), Awang Fitra, serta teater monolog Tukang Obat karya Y.S. Agus Suseno dimainkan oleh Riza Fahlipi sangat mengundang kehadiran pengunjung untuk merapat. Riza bermonolog ditemani ular-ular kesayangannya. Hari yang sangat ajaib. Pengunjung BAW semakin banyak.



Hari Kelima

Diskusi seni rupa dengan nara sumber Badri Hurmansyah yang merupakan kurator pameran Jarujut bersama Rokhyat pelukis dimoderatori oleh Cahyo Purwadi membawa tema Pasar dan Ruang Penciptaan Seni Rupa. Menurut pengamatanku, ini merupakan diskusi yang cukup panjang dibanding diskusi lainnya. Novriandi Saputra dari Banjarbaru hadir dan terlibat dalam diskusi seru. Setelah selesai diskusi, disponsori oleh Wardah Kosmetik, agenda selanjutnya adalah lomba melukis dengan media kosmetik. Klinik Zimbe dengan apik mengantarkan BAW kepada ujung senja. Malamnya ada pergelaran dansa oleh komite tari dan 


Hari Keenam

Lapak Baca dan Movie Booth pindah ke Ruang Terbuka Samping Rumah Anno. Malam dibuka dengan indah oleh Ugahari dan performing tari Gita Kinanthi dkk serta hadir juga Persatuan Seniman Soundsystem Banua (PSB) . Setelah itu dilanjutkan diskusi film bertajuk Persoalan di Seputar Produksi Film Lokal oleh HE Benyamin dan Ade Hidayat Matolese dengan moderator Munir Shadiqin. Sesaat sebelum itu, BAW juga menghadirkan Aktor Mathias Muchus dan Sutradara Avicena sebagai nara sumber, seputar pembuatan film mereka di kota Banjarmasin.

Hari Ketujuh-Penutupan

Hari terakhir, pengunjung BAW masih berdatangan. Sebelum penutupan, siangnya diisi oleh diskusi bersama para perupa/pelukis. Diskusi yang tak putus, obrolan yang takkan pupus. Hingga akhirnya sore menjelang. Seremoni penutupan pun berlangsung meriah.

Sebagai ketua pelaksana, aku berterima kasih kepada stake holders, kepada walikota dan seluruh jajaran pejabat di bawahnya yang selalu mendukung kami, tentunya kepada UPT Menara Pandang tempat kami selama tujuh hari ini berkegiatan. Aku juga melaporkan seluruh rangkaian BAW dalam sambutan terakhir.

Ada lebih dari 1000 pengunjung yang menyambangi BAW. Ada sekitar 100 penonton Movie Booth, dan 100 pembaca Lapak Sastra. Ada 11 Diskusi/Workshop. Ada 10 pergelaran dan happening art. Ada 110 peserta workshop tari Radap Rahayu, ada 100an peserta ruang aktor. Bersama 20 panitia inti, kami ditemani tim kolaboran yang digawangi Nafi. Semuanya gratis, tidak dipungut biaya. Dan jika di sambutan pembukaan, aku menyampaikan bahwa tujuan BAW adalah menghadirkan seluruh cabang seni ke ruang publik, maka pada sambutan penutupan aku sampaikan bahwa tujuan itu tercapai. Demikian aku mengakhiri sambutan.

Ketua DK menyampaikan terima kasih kepada seluruh penampil, kolaboran, relawan, sponsor dan lainnya. Beliau pun menghantarkan iringan penari Radap Rahayu dengan kostum tarinya yang harum mewangi. Ini merupakan hasil workshop komite tari. Usai tarian, Sekda Kota Banjarmasin membacakan sambutan Walikota untuk menutup Banjarmasin Art Week 2022 secara resmi.


Tepat setelah Sekdakota Banjarmasin mengucapkan “…dengan ini Banjarmasin Art week 2022 dengan resmi dinyatakan ditutup.” Para penari yang berbaris di belakang menaburkan kembang yang ada dalam bokor masing-masing.

Berlatar lampu taman, pagar besi, backdrop BAW dan langit senja; di antara tetaburan kembang itu, aku melihat harapan bagi dunia seni Kalimantan khususnya kotaku Banjarmasin. Aku mengusap air mata yang mengalir pelan di sudut mata. Jukung barenteng yang kami dayung hari ini, menjadi saksi bahwa berlayar bersama jauh lebih membahagiakan daripada merengkuh dayung sendiri. Enam komite Dewan Kesenian Banjarmasin bersama para pelaku seni lainnya dengan segala kelebihan dan kekurangan, telah mengukir satu parade dalam sejarah seni di banua; menoreh kenangan yang tak luput dari khilaf. Rasanya larung semua lelah, luruh segala keluh. Terima kasih, semuanya. Alhamdulillah, tunai sudah persembahan ini. Maafkan segala kekurangan dan keterbatasan. Sampai bertemu tahun depan. [] Nai.


Catatan:

Dokumentasi lengkap silakan kunjungi instagram resmi BAW, @banjarmasinartweek

Rabu, 13 Oktober 2021

Cara keluar dari Mode Fastboot di HP Xiaomi

19.31 3 Comments

Halo, sudah lama saya tidak menulis sesuatu di sini. Baru saja saya mengalami sesuatu yang membuat saya merasa harus menuliskannya. 

Malam itu, saya baru saja mengisi daya HP baru saya yang merk nya Xiaomi tipe Redmi Note 10S. Saat hendak mengaktifkan HP karena ingin membuka WA untuk mendapatkan link zoom rapat malam itu, saya kaget menemukan sesuatu yang aneh di layar HP. Ada gambar kartun lucu plus tulisan Fastboot. 



Beberapa menit saya panik. Lalu saya memutuskan untuk googling. Saya pun menemukan beberapa jawaban dari sana. 

Yang berhasil saya terapkan adalah cara yang ini:

Saya menekan tombol power lebih lama. Mulanya saya masih agak panik karena tidak segera berhasil. Setelah percobaan yang ketiga baru berhasil. HP kembali aktif seperti semula. 





Rabu, 07 April 2021

Menafsir Ramuan Sihir Baru Sebuah Kota

19.03 2 Comments

 

Oleh Nailiya Nikmah


 

Pendahuluan

Dalam bukunya Pengarang Tidak Mati, Mahayana (2012:122) menulis satu sub bab khusus tentang komunitas sebagai gerakan ideologi estetika. Ia menyebut sebuah komunitas terbentuk seringkali dipicu oleh adanya kesadaran yang sama dalam memandang problem yang melatarbelakanginya dan harapan yang melatardepaninya.

Antologi puisi dan cerpen Sihir Baru Sebuah Kota (SBSK) diterbitkan oleh G Pustaka (Februari 2021) berjumlah 110 halaman ditulis oleh sekumpulan penulis muda Kalimantan Selatan dengan sebutan Sekte Penulis Muda Kalimantan Selatan (demikian tertulis di sampul buku). Terlepas dari siapa yang memberi nama dan hal apa yang melatarinya, makna yang bisa diambil yaitu, pertama, para penulisnya merupakan sekelompok penulis muda yang berasal dari Kalsel. Kedua, penggunaan kata sekte menjadi semacam clue awal bagi pembaca sebelum menyelami satu-persatu isi buku ini, seperti membaca rasi bintang di langit malam.

Menurut KBBI, “Sekte berarti kelompok orang yang mempunyai kepercayaan atau pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut; mazhab. Ini menjadi semacam ajang pencarian jati diri, baik para penulisnya sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok tersebut sekaligus upaya pengklaiman mereka (para penulis tersebut) sebagai kelompok penulis yang berbeda.

Siapa atau kelompok manakah yang hendak mereka bedakan dari kelompok mereka? Apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan? Arah mana yang hendak dituju? Apa yang hendak dihasilkan oleh ‘sekte’ tersebut? Ramuan macam apa yang mereka janjikan? Pertanyan-pertanyaan ini kita bawa saja sambil menuju sihir baru di sebuah kota.

Kerangka Teori

Hasil penelitian, kajian dan penelusuran data yang dilakukan oleh Sulaiman dan Priyono Tri Febrianto (2017) dalam artikel ilmiahnya pada Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik mengemukakan bahwa konsep periodesasi sejarah sastra Indonesia berdasarkan perubahan warna sastra Indonesia dipengaruhi oleh sosial, budaya dan politik. Periodesasi tersebut, yaitu Angkatan 20 (Angkatan Balai Pustaka), Angkatan 33 (Pujangga Baru), Angkatan 45 (Perjuangan), Angkatan 66 (Pergolakan), Angkatan 80 (Romantisme) dan Angkatan 98 (Reformasi).

Mahayana (2012) menyebutkan bahwa tradisi kepengarangan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Dilihat dari perspektif kepengarangan sebagai sebuah profesi, cikal-bakalnya dimulai sejak zaman raja-raja. Pada masa silam, para pujangga dan pengarang memiliki misi memperkokoh karisma raja di hadapan rakyatnya agar raja dikagumi dan dibanggakan oleh rakyat sehingga dapat melegitimasi kesaktian raja yang harus dipercaya oleh rakyat. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang memandang raja sebagai keturunan dewa. Dalam kehidupan modern, kedudukan dan peran pengarang (sastrawan) relatif lebih bebas dan mandiri meski sejarah kita mencatat bahwa pernah ada seniman dan sastrawan yang diawasi, dipaksa dan diperalat untuk kepentingan ideologi tertentu. Kemudian kesadaran sastrawan mengenai licentia poetica sebagai hak istimewa yang fundamental menyebabkan sastrawan tidak mau terikat pada pihak manapun. Mereka berpihak pada kemanusiaan. Yang diperjuangkan adalah peningkatan moral, keluhuran budi, dan peri kemanusiaan.

Menafsir Ramuan Sihir SBSK

SBSK mengandung dua jenis ramuan, yaitu puisi dan cerpen. Sungguh sebuah kerja yang berat untuk membaca dan menafsir dua ramuan sekaligus dalam satu kesempatan. Untuk itu, saya akan membaginya menjadi dua bagian dengan pendekatan yang berbeda sebelum memandang keduanya sebagai sebuah kesatuan dalam SBSK.

1.      Puisi-puisi dalam SBSK

Terdapat 25 nama penulis puisi (yang didominasi oleh laki-laki) dalam SBSK dengan jumlah puisi yang tidak seragam pada setiap penulis. Beberapa penulis sudah mempunyai ‘nama’ dalam artian sudah jelas posisinya dalam ranah kepenulisan (:kesusastraan) di Kalimantan Selatan. Penulis-penulis yang karya-karyanya sudah memiliki bentuk dan karakter. Untuk itu saya pikir saya tidak perlu lagi menghambur-hamburkan puja-puji atas keterampilan dan kepiawaian mereka dalam membuat ramuan puisi.

Tengoklah ketika ia bicara soal rindu misalnya, Ikhlas El Qasr sebagai wakil pada halaman 25 menulis di ‘Pukul Sepuluh Malam.’

...

lampu-lampu redup

barak-barak pekerja telah mencapai lelapnya

dan beberapa kendaraan telah terparkir

tapi kepalaku masih begitu beku

begitu rindu

 

Jika dibaca bait-bait sebelumnya, akan kita temukan suasana kesepian yang dibangun dengan sangat hati-hati oleh penyair. Suasana sepi yang dibangun dalam kewajaran kehidupan sebuah kota. Masih ada sedikit riuh di sekitar, akan tetapi sepi secara bertahap sudah mengerumuni aku lirik. Situasi yang sempurna untuk sebuah kerinduan.

Suasana dan situasi semacam itu, beberapa juga diramu oleh penyair lainnya. Abdillah Mubarak Nurin pada halaman 8 menulis ... Memandangmu ialah mendengarkan bunyi hujan/ Di sebuah pagi di hari libur/ .../Memandangmu ialah caraku menepi/ Dari segala keluh kesah dan kebisingan/ .... atau di puisi lainnya tentang kota dia menulis .../Langgar-langgar yang sepi /Juga pepohonan yang rapuh/ .../ Daun-daun jatuh tanpa denting/ Sungai-sungai mengering/ ....Atau tengoklah ‘Grafir Mata Luka’ yang ditulis oleh M. Irwan Aprialdy, Kau menyortir ingatan.../mata luka, pagi bertahan amsal angan/ tertahan di mimpi ganjil kepergian:/...cerita-cerita klandestin/ di bawah hujan?/.

Pada pembacaan selanjutnya, tulisan ini menggunakan pendekatan kritik feminis sederhana. Dalam ilmu sastra, feminisme berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita. Arti sederhana yang dikandung adalah pengeritik memandang sastra dengan kesadaran khusus bahwa ada jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan (Syuropati dan Agustina Soebachman, 2012).

‘Kepada Cinta’ halaman 11, aku lirik menyampaikan seluruh ihwal kepada seseorang atau sesuatu yang ia sebut Amizah. Menghadap rahim permaimu menjadi sebuah petunjuk bahwa aku lirik sedang bercakap dengan perempuan atau sesuatu yang direlasikan sebagai perempuan. Bawalah, sudahilah, marilah, izinkan, jangan kita izinkan, menjadi simbol-simbol perintah, permintaan dan larangan bagi Amizah yang memiliki rahim (:perempuan) dalam puisi ini. Di bawah lindungan judul ‘Kepada Cinta’, puisi ini pun memberikan gambaran, bahwa cinta (kepada perempuan) itu isinya larangan dan perintah.

F. Chopin:Nocturne yang ditulis oleh Achmad Zulkifli Altinus halaman 12, ...merambah di celah-celah kesunyian, menyentuh cadar keingintahuanku.

Ahmad Rasyid dalam ‘Menunggu Tua” halaman 14 secara utuh dan eksplisit menuliskan curahan hati aku lirik kepada seorang perempuan. Keinginan dan harapan-harapan yang bersifat ragawi terpampang di sini.  Aku ingin pulang dan menemukan kau mengeluh di meja makan  beserta anak-anak/ .../Aku ingin pulang dan menemukan/ selarik sambutan mesramu di atas ranjang/...aku ingin mencintaimu seperti sajak sapardi; sederhana namun kuat/. Kutipan-kutipan ini menggambarkan bahwa perempuan diharapkan ada di rumah ketika aku lirik pulang, fasih mengurus anak, terampil melayani dirinya. Selanjutnya di puisi ‘Kota” hal tersebut dipertegas kembali, setelah seharian bergurau dengan kesibukan/ laki-laki itu beranjak menuju sarangnya/ dengan kepala mendidih/ Disambut seorang wanita yang sedang bersandiwara/ di atas ranjang kayu mereka kembali berbulan madu/. Lalu pada masanya, pada akhirnya perempuan pun menjadi tidak berdaya dalam ‘Pembantu Gila’ .

‘Riwayat Nenek Tua di Perahu Terapung’ yang ditulis Arif Rahman Heriansyah pada halaman 20, kembali mengingatkan kita pada kekuatan sekaligus kelemahan perempuan banua. Senada dengan Arif, M. Rahim Arza pada halaman 29 menuliskan ‘Hikayat Muara Sungai Lok Baintan’. Pada pukul enam subuh/menatap sunrise pada kecantikan sungai Lok Baintan/ Acil berjamaah mengayuh harapannya di perbatasan waktu/ .../ yang terbingkai dalam senyum Hajjah Faridah, tenggelam di masa silam/.

Perempuan-perempuan banua begitu rajin, dini hari berkabut, merekalah yang memenuhi permukaan sungai. Seperti dua mata pisau. Satu sisi kita bisa berbangga hati, lihatlah perempuan kami mandiri dan gagah berani. Akan tetapi di sisi lain, tidakkah kita perlu juga bertanya kemana para lelaki. Maka, betapa sempurna baris terakhir puisi Arif yang berupa tanya tanpa tanda tanya, yaitu masih adakah pemuda, yang bisa menggenggam Banua.

‘Sihir Sebuah Kota’ karya Muhammad Daffa menyapa Sinta dalam dua baitnya. Dalam heningmu, Sinta, ratusan malam merombak jalan pulang/dari seluruh kisah yang dibuang/, sementara Muhammad Zaini, merayu Ratih dalam dua lariknya. Kau puisi yang selalu kucoba mengerti/ kau sajak yang selalu ingin kunikmati/. Nama-nama perempuan sering menjadi objek dalam puisi. Jika ingin ditelaah lebih jauh, barangkali kita akan temukan lebih banyak nama perempuan yang disebut dalam puisi daripada nama laki-laki. Adakah ini menjadi sebuah tanda bahwa perempuan adalah objek yang masih dan akan terus berpotensi untuk dieksploitasi. Perempuan adalah sesuatu yang selalu ingin dinikmati, demikian tulis Zaini. Barangkali pula ini sebuah petunjuk bahwa penyair laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Jikapun hipotesis ini keliru, barangkali perempuan enggan menulis nama laki-laki yang dipujanya karena ia merasa malu.

Rahmat Akbar dalam ‘Nelayan Tua’halaman 38 seorang lelaki berwajah legam menggenggam/ .../lalu tersemai di sebuah saku ibu/ berisi mimpi yang akan lebih maju. Dalam puisi ini bahkan lelaki sekuat apapun memerlukan sosok perempuan (:ibu) dalam perjuangannya. Meski sekadar dioerankan sebagai pemanjat doa dan harapan.

‘Hikayat Cinta Nelayan Piatu’ karya Rezqie M.A. Atmanegara, halaman 39. Puisi ini meng’alam’kan perempuan. Simaklah larik nelayan lahir dari rahim pesisir/.../kukalungkan selaksa permata buih di lehermu. Kita perlu menelisik lebih dalam apa yang dimaksud nelayan piatu oleh penyair. Piatu artinya seseorang yang sudah tidak beribu. Di bait kedua disebutkan nelayan lahir dari rahim pesisir. Ketika nelayan menjadi piatu, artinya dia telah kehilangan pesisir padahal kita tahu nelayanlah yang meninggalkan pesisir. Ini menjadi sesuatu yang agak bertentangan dengan logika. Menariknya lagi, penggambaran piatu yang bisa kita relasikan dengan kehilangan sosok ibu dalam puisi ini membuat aku lirik mencari pengganti sosok lain. Akulah sang nelayan piatu/ dan kaulah sampan cintaku/. Bait ini kiranya tidak bicara cinta terhadap perempuan yang berperan sebagai ibu lagi tetapi cinta terhadap perempuan lain sebagaimana relasi laki-laki dan perempuan lazimnya. Konon laki-laki akan mencari pujaan hati yang sekarakter dengan sosok ibunya. Barangkali inilah salah satu sihir dalam ramuan SBSK.

Rizani ‘Mantap’ halaman 41 menulis dengan sangat lugas, jujur, jika kita tidak ingin menyebutnya vulgar. Jika pada halaman-halaman sebelumnya pembicaraan tentang perempuan adalah sanjungan, puja-puji dan harapan-harapan lelaki (sulit untuk tidak membacanya sebagai bukan harapan laki-laki) dalam balutan masa lampau dan konvensional, Rizani dalam ‘Mantap’ menuturkan kelamahannya ketika menghadapi (:melihat) perempuan di tik tok. Perempuan yang tidak ada secara fisik atau nyata di dekatnya namun mampu membua nafsu aku lirik tak terbendung.

Rizky Burmin ‘Selepas Subuh’ halaman 43 menulis selepas subuh/ kau menggodaku/ dengan linger* warna ungu/ bers*t*buh katamu adalah obat paling ampuh melupakan hutang dan sewa kontrakan.dst. Puisi ini mencoba meminjam suara perempuan untuk mengemukakan suara laki-laki. Aku lirik tidak berani mengatakan bahwa dialah yang berpendapat demikian. Hubungan antara dua lawan jenis yang bisa melupakan hal-hal lain hanya ada dalam pikiran laki-laki. Tidak bagi perempuan.

 

2.      Cerpen-cerpen dalam SBSK

Terdapat 6 cerpen dalam SBSK yang semuanya ditulis oleh laki-laki. Berbeda dengan puisi, meski sama-sama dikerjakan dalam kesendirian, cerpen memerlukan energi yang relatif lebih banyak untuk menciptanya menjadi sebuah cerpen yang bagus. Sekali lagi, sebuah cerpen yang bagus. Bukan asal cerpen, bukan asal jadi. Ada hal penting yang memang benar-benar penting untuk bisa dikisahkan, dituliskan dan diselesaikan.

Ketika sebuah orkestra memainkan simfoni, ada upaya bersama banyak pihak di sana. Para musisi memainkan alat musik; dirigen membantu agar semua terdengar harmonis; sebelumnya komponis harus menuliskan lembar musiknya. Begitu pula dengan sandiwara, teater, film. Ada lebih banyak pihak lagi yang memainkan perannya. Ada penulis skenario, aktor, penata kostum, penata latar, pencahayaan dan sebagainya. Berbeda dengan hal tersebut, menulis fiksi adalah seni yang sepi. Card (2005) memaparkan bahwa bagi penulis fiksi, tidak ada sekelompok aktor atau musisi yang akan mengikuti perintahnya. Penulis fiksi adalah penggubah sekaligus pemain; pencerita (pendongeng) sekaligus penulis.

Seorang penulis fiksi harus mampu memadukan peran pendongeng sekaligus penulis dan melakukan keduanya dengan baik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui penokohan yang efektif. Dalam bukunya, Card membaginya menjadi tiga bagian, yaitu penciptaan, pengembangan dan penampilan. Di antara tiga bagian tersebut, bagian penciptaan merupakan hal pertama yang mestinya dipenuhi. Seperti apakah tokoh fiksi yang baik? “Jika dia adalah tokoh penting, dia harus cukup menarik dan dapat dipercaya. Jika dia tokoh sampingan, dia harus memajukan alur cerita atau membelokkannya atau meredakan ketegangan atau menyampaikan informasi-lalu dia harus menyingkir.”

Bicara tentang tokoh dan penokohan memang identik dengan pembahasan unsur intrinsik. Kadang ada kritikus yang berpendapat jangan lagi membicarakan unsur intrinsik. Akan tetapi untuk menguji kualitas sebuah karya sastra, unsur intrinsik merupakan salah  satu hal yang harusnya jadi ukuran atau indikator. Tokohlah yang membawa cerita mengalir dan berjalan kemana-mana. Pada tokohlah disematkan karakternya. Tokohlah yang menempati ruang dan waktu yang menjadi latar sebuah cerita. Tokohlah yang mengemban tema dan amanat-amanat.

Dilihat dari unsur-unsur intrinsiknya, keenam cerpen ini memiliki seluruh unsur yang harus ada dalam sebuah cerpen. Artinya, untuk bisa disebut sebagai sebuah cerpen, keenamnya sudah memenuhi kriteria tersebut. Tokoh-tokoh yang ada dalam keenam cerpen ini memenuhi apa yang ditulis oleh Card sebagai tokoh fiksi yang baik. Selanjutnya, mari kita gunakan pendekatan psikologi sastra untuk memahami ramuan sihir dalam 6 cerpen ini.

Keenam cerpen ini membicarakan perihal jiwa-jiwa yang gelisah, yang resah terhadap lingkungan sekitar sekaligus terhadap dirinya sendiri. Abdul Karim menulis “Bukankah hidup ini diciptakan? Dan kita yang menjalaninya, juga tanpa alasan yang jelas?... Tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini” setelah pertanyaan tentang Uttar dan orang berpakaian besi tidak bisa terjawab.

Muhammad Noor Fadillah menulis “Apakah aku ini anak yang durhaka?”Setelah sekian panjang upaya dan argumennya terhadap kewajiban menaati prokes di masa pandemi.

Muhammad Rifki menulis “Mengapa aku bunuh diri? Benarkah aku bunuh diri? Apakah ini neraka bagi mereka yang dibunuh? Atau bunuh diri? Mengapa Tuhan tidak menjawab pertanyaanku?...entah apa yang akan terjadi besok. Apakah aku akan berjumpa dengannya lagi?

Musa Bastara bahkan harus mengirimkan kegelisahan-kegelisahannya pada beberapa nama. Ia menyebutnya enam kisah yang menyesatkan. Mengapa Musa Bastara memilih nama-nama tersebut? Siapa mereka? Seberapa besar peran mereka terhadap pemenuhan kesempurnaan kisah yang ia tulis? Malaikat mengajariku membaca alkitab-alkitab, tapi aku belum memutuskan beragama. Itulah pernyataan yang sangat terang tentang sebuah kegelisahan, kebimbangan.

Takara Belati menuliskan sebuah kisah dengan judul berupa tanda titik dua diikuti tanda petik tunggal dan tanda kurung buka alias simbol emoji orang sedih. Sama seperti kisah-kisah sebelumnya, cerpen ini pun menghadirkan kegelisahan jiwa. Sedikit berbeda, Takara Belati menghadirkan kegelisahan jiwa yang dialami oleh manusia yang juga mengalami penderitaan fisik. Penderitaan yang membuat Majuro tidak dapat berpikir jernih. “Kau boleh memilih,” ucap sosok itu.”Ikut denganku dan sesaat berbahagia atau tetap di sini mengais-ngais sampah. Majuro dan penderitaannya membuat ia mengabaikan kata “sesaat” pada frase “sesaat berbahagia”. Untuk itu, iapun hanya mendapatkan apa yang sudah ia pilih.  Kau tak bisa mengerti semuanya, namun destinasi akhir tak semua berhenti pada api. Demikian cerpen tersebut ditutup.

Rafii Syihab menitipkan kegelisahannya pada tokoh perempuan bernama Karmila. Banyak sekali beban amanat yang harus ditanggung Karmila dalam cerpen ini. Beban utama, beban sampiran. Kisah-kisah utama, kisah-kisah pengecoh dan lain sebagainya. Beban seorang perempuan yang kehilangan suami. Beban politik. Entah mana yang utama dan mana yang sampiran.

Keenam cerpen ini mengingatkan kita pada teori Kebutuhan Maslow yang menyebutkan bahwa kebutuhan mendasar yang paling penting bagi manusia adalah aktualisasi diri alias pengakuan atas eksistensi dirinya. Keseluruhan tokoh dalam cerpen-cerpen SBSK mengirimkan pesan-pesan rahasia agar manusia merenungi hakikat kemanusiaannya kembali.

Epilog

Kembali pada pertanyaan semula. Apa sebenarnya yang diinginkan sekte penulis muda Kalsel? Arah mana yang hendak mereka tuju?[]

Sabtu, 21 November 2020

APA YANG KAUHARAPKAN DARI HATI YANG RAPUH; DALAM CERUK KESEDIHAN; DI PINTU SEPI

12.03 1 Comments

 Tentang Antologi Puisi Tangan-tangan Kecil Semesta Karya Mahasiswa Prodi PBSI FKIP ULM 2020


 

 


Terkadang butuh waktu menyendiri

Bukan tuk melamun

Hanya saja merenung diri

Menjauh dari keramaian

Dan berteman dengan keheningan

....

(“Insecure (Aku Terlalu Rapuh)” Puisi Karya Muhammad Hendriansyah, hlm 38)

 

***

Pendahuluan

Dari sekian puisi yang terdapat dalam antologi Tangan-tangan Kecil Semesta (TtKS) karya mahasiswa PBSI ULM (2020) yang dieditori oleh Sainul Hermawan, puisi berjudul “Insecure (Aku Terlalu Rapuh)” Karya Muhammad Hendriansyah menarik untuk dijadikan pintu masuk sebagai salah satu jalan menyelami kanal puisi para generasi milenial ini. Dia ibarat portal menuju dunia entah yang hectic, hiruk-pikuk; dipenuhi pernik-pernik kemajuan zaman dan teknologi, perubahan tradisi, revolusi industri terbaru. Portal yang setelah berhasil kita lewati justru akan membuat kita tercekat dan tersadar bahwa tidak ada yang berubah sebenarnya. Hidup dan kehidupan berpola. Kisah-kisah berjalan mengikuti pola. Cerita mungkin berbeda tapi amanat yang dibawa tak berubah, tak lekang oleh masa.

Amanat kehidupan yang dititipkan pada sehelai puisi tidak semudah karya sastra lainnya untuk ditelisik. Meski kita sudah memahami seluruh unsur intrinsiknya, menelusuri unsur ekstrinsik puisi juga sangat baik dan perlu dilakukan jika kita benar-benar ingin menemukan makna yang sesungguhnya. Di akhir pengantarnya untuk antologi puisi TtKS, Sunu Wasono menyampaikan satu harapan semoga pembaca bisa berdialog dengan sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi tersebut. Sebuah harapan yang sangat solutif. Bukankah berdialog merupakan salah satu cara manusia untuk bisa (saling) memahami. 

Antologi TtKs ditulis oleh sekelompok mahasiswa yang menjalani kehidupan sebagai generasi milenial. Generasi yang sering kali diklaim baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain sebagai sebuah generasi paling maju. Sayangnya, berbagai kemajuan yang melingkupi mereka tidak serta-merta menjadikan mereka sebagai manusia baru yang terlepas dari kemungkinan-kemungkinan buruk atau negatif. Salah satunya, perasaan insecure yang saya jadikan gerbang untuk meyingkap seluruh puisi. Dengan pendekatan psikologi sastra, inilah bedah kecil yang saya lakukan untuk TtKS.

Di Pintu Insecure

Insecure, atau rasa tidak aman, bisa diartikan sebagai rasa takut akan sesuatu yang dipicu oleh rasa tidak puas dan tidak yakin akan kapasitas diri sendiri. Rasa insecure inilah yang pada akhirnya, memicu anak untuk menciptakan ‘topeng’ agar sisi lain yang ingin kita sembunyikan itu tidak terlihat oleh orang lain. Perilaku insecure pada anak dapat dicegah dengan mengasuh anak dalam cara-cara yang dapat meningkatkan kepercayaan diri, kemampuan beradaptasi, dan optimisme anak. (Muaawanah, 2017) http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/assibyan/article/view/1336

Perasaan secure dan insecure yang dimiliki oleh seseorang tergantung dari internal working models of attachment yang dimilikinya (Bowlby dalam Collins & Feeney, 2004). Perasaan tersebut merupakan representasi umum tentang bagaimana orang terdekat memberi respon dan memberikan dukungan setiap kali seseorang membutuhkan orang lain dan bahwa dirinya sangat mendapat perhatian dan dukungan. Ini juga sangat berperan untuk membentuk kognisi, afeksi dan perilaku seseorang dalam konteks yang berhubungan dengan attachment. Individu yang mendapat secure attachment akan mengembangkan sebuah working model tentang dirinya sebagai orang yang dicintai dan memandang orang lain dekat, perhatian dan responsif terhadap kebutuhannya. Sebaliknya, individu yang mendapat insecure attachment akan mengembangkan working model diri yang tidak berharga, tidak kompeten dan sebagainya (Aji, Pranoto dan  Zahrotul Uyun, 2010).

Sebuah penelitian berjudul Hubungan antara Insecure Attachment dengan Kesepian yang dilakukan oleh Veri Aristi Amalia (2016) mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang menghasilkan simpulan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara insecure attachment dengan kesepian.

 

 

Pembahasan


Butuh waktu bagiku menerimanya

Sempat raga dan batin tak seirama

Bahkan hatipun tak jelas suaranya

 

Aku sudah terlalu rapuh untuk dipatahkan

Bahkan terlalu retak untuk dipecahkan

Dihujani cacian seakan hal biasa

Lirikan matanya seolah menghina

 

Lidahnya bak seribu duri

Tiap percikan liur hanya menggores sembilu di hati

 

Dalam tes-tes atau wawancara psikologi, biasanya kata demi kata atau diksi/ pilihan kata yang diucapkan oleh klien merupakan petunjuk berharga yang tidak bisa diabaikan. Kadang-kadang kata diwakili oleh simbol-simbol, lambang, gambar, coretan-coretan tangan untuk kemudian diselami, dimaknai. Pendekatan semacam itulah yang harus dilakukan saat kita menyelami TtKS melalui pintu bernama insecure.

Meski tidak disebutkan siapa yang melakukannya, dapat dilihat dan didengar dengan jelas bahwa aku lirik dalam cuplikan bait-bait puisi  di atas mendapatkan perlakuan yang buruk. Ini bisa diketahui dari frase-frase seperti  dihujani cacian, lirikan menghina, lidah seribu duri, tiap percikan liur hanya menggores sembilu di hati. perlakuan-perlakuan yang ia terima inilah yang kemudian membuat aku lirik mengembangkan working model diri yang tidak berharga, tidak kompeten dan sebagainya seperti disebutkan oleh Aji dan  Zahrotul Uyun (2010). Aku sudah terlalu rapuh untuk dipatahkan. Bahkan terlalu retak untuk dipecahkan. Seperti itu yang muncul dalam perasaan aku lirik. Perasaan bahwa dirinya rapuh dan retak merupakan sebuah pernyataan alias dialog yang coba disampaikan sebagai salah satu bentuk insecure yang dialami.

Selanjutnya tengoklah Linda Pahlina dalam Puisinya “Segaris” hlm 37.

dalam garisku sebagai manusia

aku hanyalah orang yang penuh kegagalan

tanpa ada seorangpun yang sudi

menjadi tempat sekadar berbagi pelukan

saat hidup ini terasa menyakitkan

 

dalam garisku sebagai manusia

aku hanyalah orang yang kalah

yang menyerah, dipermainkan imajinasiku sendiri

....

                Sungguh sedih mendengar aku lirik bertutur sebagaimana dalam cuplikan bait puisi di atas. Akan tetapi, kejujurannya menyampaikan semua yang dirasakan merupakan sebuah kabar baik. Ini artinya, aku lirik mengenali perasaan-perasaan insecure yang ada pada dirinya. Aku lirik juga dengan lugas menyampaikan apa yang ia inginkan, apa yang ia harapkan dalam garis hidupnya sebagai seorang manusia. kutipan-kutipan ini selanjutnya menjadi petunjuk. .../aku lelah merasa terbuang/.../aku jatuh.../.../aku hanya ingin memanusiakan diriku/hingga disematkan kata pantas/diperlakukan sebagai manusia.//

                “Bunga Tak Bernama” ditulis oleh Firda Nabila Hidayati pada halaman 30, memperlihatkan insecure attachment yang diterima aku lirik, duri yang tumbuh bersamanya terus membisikkan bahwa dirinya tak lebih dari bunga buangan, bunga yang tak pernah diharapkan. Jika pada puisi sebelumnya tidak jelas siapa yang memberikan perlakuan-perakuan buruk terhadap aku lirik, pada puisi Firda ditulisnya bahwa duri yang tumbuh bersama sang bunga lah yang menumbuhkan perasaan insecure itu. Siapakah duri yang tumbuh bersama bunga? Orang-orang terdekat, orang-orang yang masih berada dalam satu lingkaran utama. Inilah salah satu contoh insecure attachment. Perlakuan-perlakuan tidak nyaman justru dilakukan oleh orang terdekat. Ini tidak bisa dipungkiri. Berita-berita di berbagai belahan bumi sudah banyak yang menginformasikan peristiwa-peristiwa menyakitkan seperti orang tua yang menganiaya anaknya - melakukan kekerasan fisik dan psikis, anak yang menjahati orang tuanya, kakak terhadap adik, adik terhadap kakak, paman, bibi, sepupu, sahabat dll. Pada puisi Ayu Anindya Sekarndari, “Asalkan Ibu Tetap di Sini” hlm 24 makin memperjelas pentingnya secure attachment bagi seseorang. Ibu sebagai individu pertama dan utama dalam kehidupan manusia dalam puisi tersebut dengan lugas dituturkan oleh aku lirik .../Asalkan ibu tetap di sini/ Hidupku akan selalu penuh makna//.

Selanjutnya Annida Fitriani di hlm 9 dalam puisinya "Dalam Ceruk Kesedihan" menulis /jiwa-jiwa yang rapuh/lirih kumembisik sebuah ratapan/tentang leburnya perasaan/....Cahaya Nor Hidayah dalam puisi “Ruang Jiwa”hlm 27 menyuguhkan tentang keadaan sunyi tanpa suara. Sepercik semangatpun hampir tak ada/ tampak kuat padahal tak tersisa apa-apa/.../ingin rasanya berdebat dengan jiwa/.... Sunyi, sepi berkaitan dengan insecure. Kemudian rasa insecure ini pada akhirnya, memicu seseorang untuk menciptakan ‘topeng’ agar sisi lain yang ingin kita sembunyikan itu tidak terlihat oleh orang lain. Tampak kuat padahal tak tersisa apa-apa.

                Lantas, bagaimanakah perasaan-perasaan tidak aman alias insecure tersebut sebaiknya disikapi? Antologi ini memaparkan dengan apik melalui beberapa puisi. Jika diamati maka polanya adalah pertama-tama ada rasa terluka, marah, benci, ingin melampiaskan semuanya, lalu tahap berikutnya melakukan perenungan, memilih untuk diam, hingga menemukan satu titik kembali pada hakikat sebagai manusia, makhluk yang tunduk pada ketetapan Tuhan. Seperti sambungan puisi insecure berikut ini

Ingin kumarah dan melepas amarah

Tapi lisan lebih memilih untuk tidak

Kadang semangatku membara

Dan tak heran  jika awan hitam bisa saja datang tiba-tiba

Pada akhirmya diri memilih tak peduli dan menutup telinga

Dan mencoba berdamai dengan realita

 

Ada fase untuk memilih, seperti kata Nur Anggia Febrina dalam “Memilih” (hlm 46). Dalam menjalani hidup kita akan selalu/memilih antara memacik nafsu atau/memeluk nurani/.... ada proses bagi makhluk yang berpikir. Selain itu, Anisa Nurul Fadilah memberikan sebuah altenatif paling keren melalaui puisi “Syukur” pada halaman 10. Perasaan-perasaan tidak nyaman dan tidak puas terhadap diri sendiri kadang juga disebabkan oleh kurang bersyukurnya kita terhadap kehidupan kita. .../Begitu bodohnya aku/tidak bisa bersyukur dengan apa yang kumiliki//.

Cahaya Nor Hidayah menulis di bait terakhir “Ruang jiwa” ah, tapi tenang saja/bukankah tuhan maha tahu/apa-apa yang tersembunyi di balik segalanya/dan takkan pernah mengacuhkan hamba yang datang/kepadanya//.

Sri Annisa dalam “Tangan-tangan Kecil Semesta” memberikan gambaran .../Aku berjalan merenungi semesta/Kita diberikan kehidupan yang berbeda, dengan/punggung yang beda juga kuatnya/.... Puisi Annisa sekaligus yang menjadi judul antologi ini dengan bijak menepuk pundak kita saat hati bersimpah duka. Kehidupan yang berbeda dengan punggung yang berbeda juga. Menerima kenyataan bahwa kita berbeda dari orang lain kadang perlu untuk menyadarkan kita agar tidak selalu menjadikan kehidupan orang lain sebagai tolak ukur. Kita perlu menyadari bahwa Tuhan tidak akan membebani di luar batas kemampuan kita; menyadari bahwa tidak akan tejadi apapun kepada kita selama tidak tertulis dalam takdir kita.

                Lantas, berterima kasihlah pada Dina Septiana Dewi yang dengan lugasnya pada hlm 29 menulis “Takdir Tuhan Pasti Baik”.

Ketika kau hampir menyerah pada tujuanmu

Jangan pernah kau berbalik arah

Apalagi berhenti untuk menggapainya

Ingatlah Tuhan selalu di sisimu

Mungkin apa yang kauminta sekian lama

Belum juga terwujud

Bukan karena Tuhan tak mendengar doamu

Tuhan lebih tahu apa yang kaubutuhkan

Karena takdir Tuhan pasti baik

 

***

 

 

Epilog

 

Saya akan kembali sekarang, melewati portal yang berbeda. Di penghujung esai ini, saya kutipkan sebuah puisi yang akan menghantarkan kita menuju jalan pulang. Ditulis oleh Anugrah Gio Pratama, begini bunyinya:

 

 

Di Pintu Sepi

 

Di pintu Sepi,

Pecahan pagi berguguran

 

Aku menyentuhnya

Lalu keributan mengungsi

Ke dalam dada

Lalu kesedihan tumpah

Di pelupuk mata

 

Tidak masalah jika saat ini kita merasa sedang insecure, tidak aman, tidak nyaman. Tidak masalah jika hari ini kita menangis atau bersedih dalam takaran yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh penduduk lain di muka bumi ini. Jika fase itu sedang kita jalani, itu artinya kita perlu jeda, perlu rehat. Jemputlah kata-kata sebanyak-banyaknya untuk memenuhi rongga dada. Kata-kata indah, positif, penuh harapan, penuh doa, agar besok jauh lebih baik daripada hari ini.