Senin, 04 Agustus 2025

ARTJOG 2025: Gagap-Gempita Motif Amalan Benchmarking-ku

04.28 0 Comments

 

 



Jogja kota penuh cerita. Kali ini dari ruang sepiku, aku tulis sebuah catatan singkat yang merupakan bidikan-bidikan jiwaku saat mengunjungi Artjog 2025, sekadar oleh-oleh yang akan jadi artefak di sini, di Tatirahku.

Jika kau baca judul tulisan ini, bukan typo. Aku memang sengaja menulis Gagap-Gempita bukan gegap gempita sebagaimana seharusnya. Sebagai Ketua Banjarmasin Artweeks (BAW) 1 di kota Banjarmasin beberapa tahun lalu, sebuah kebahagiaan hari ini aku bisa menginjakkan jiwa di sini, di Artjog yang merupakan referensi utama BAW. 

Ada rasa yang tak dapat kulukiskan. Rasanya seperti mimpi melihat simbol Artjog secara langsung bukan via media lagi. Aku berjalan ragu, gagap melihat semuanya. Jika selama ini aku mengunjungi agenda seni -murni sebagai pengunjung/penikmat, kali ini aku datang dengan misi benchmarking.

Hal pertama yang kutandai adalah banyaknya motor di area parkir, artinya pengunjungnya banyak. Untuk bisa akses semua hal, kita harus membeli tiket terlebih dahulu. Rp80.000,00 angka yang lumayan fantastis jika diterapkan di Banjarmasin Artweeks, pikirku (yang setelah aku berkeliling, harga tersebut tidak ada artimya). Setelah membayar, pengunjung diberi gelang bertulis Artjog 2025 - visitor. Tidak kutemukan buku tamu. Di beberapa titik, terdapat beberapa panitia yang sesekali mengarahkan pengunjung.



Banyak ruang di sini. Banyak karya yang semuanya tentu saja tidak main-main. Astaga, rasanya waktu begitu singkat. Mungkin perlu seharian penuh untuk bisa membaca dan merasakan makna semua tampilan. Beragam lukisan, instalasi, karya seni rupa, tidak hanya sajian visual tapi juga audio. Tak muat ruang jiwa ini menampung semua itu sekaligus. Setiap karya disediakan tempelan deskripsinya di dinding yang memuat penjelasan singkat tentang pemilik karya dan karya itu sendiri. Cukup membantu pengunjung yang awam tentang karya seni.

Ada penampilan khusus dari Reza Rahadian, aktor serba bisa yang sudah tidak asing lagi di jagad perfilman Indonesia. Pengunjung tidak diperbolehkan memoto maupun merekam saat pertunjukan di layar diputar. Aku rasa, itu adalah penampilan Reza yang sangat keren. Di dinding tertera isi hati Reza. Aku terharu. kuabadikan di foto bawah ini:



Dari Artjog 2025 aku petik bahwa seni itu sangat universal. Seni tidak hanya menjanjikan penghiburan bagi jiwa tapi juga pengajaran, agar amalan yang dilakukan selaras dengan dunia dan kebutuhannya. Seni bukan pilihan kedua atau ketiga atau keempat atau kesekian dalam kehidupan. Sama seperti perut kita yang perlu diisi makanan, jiwa dan bahkan otak kita perlu diberi asupan seni.

Sebuah agenda seni, apapun itu, harus dirancang dengan serius. Diperhatikan semua aspek termasuk keamanan dan keselamatannya. 


Ia juga harus memperhatikan aspek keadilan dan kesetaraan. Semua pengunjung mendapat hak yang sama untuk bisa menikmati seni dalam kadar renungnya masing-masing. Artjog kids menjadi salah satu item yang mendukung pernyataanku ini.


Benchmarking ini kulengkapi dengan menelusuri website-nya. Dari sana kutemukan penjelasan terkait tema Artjog 2025, yaitu Amalan. Kukutipkan untuk kalian:

Amalan sebagai ‘motif’ di dunia seni bisa dikenali baik melalui otonomi maupun heteronomi. Keduanya tidak kedap, bukan arena yang bulat sempurna. Akan tetapi di dalam dunia seni yang berpegang pada nilai-nilai estetik yang bersifat intrinsik, motif ini seringkali tidak diperhitungkan oleh para seniman. Di sisi lain, ketika fungsi seni dipertanyakan di dalam realitas yang sungguh heteronom, strukturnya cenderung telah dibayangkan mirip tindakan. Dunia yang heteronom selalu membuyarkan batas-batas seni yang otonom.


Makna amalan dalam ARTJOG tahun ini tidak terikat pada definisi kamus yang menekankan ‘klise’ pahala. Amalan di dunia seni terbentuk baik secara intrinsik maupun ekstrinsik, dalam dan luar bahasa. Amalan adalah laku praksis sebagai subjek, baik subjek estetik, sosial, politikal, tekstual, agamis, atau sebutlah apa saja. Relasi seniman dengan dunia adalah kelindan persepsi yang menubuh, begitu pula sebaliknya. 

Dengan itulah kebaikan hidup bersama dapat mulai diperbincangkan dan karya seni dipandang sebagai ‘hadiah’ bagi dunia, di luar kalkulasi laba rugi yang kerap tak bisa ditakar nilainya. Demikian tulis Tim Kurator ARTJOG, Hendro Wiyanto, Bambang ‘Toko’ Witjaksono, Ignatia Nilu.

Arah keluar area ini, kupatri memori nada-nada pertunjukan musik band yang memiliki pangsa pasar tersendiri.

Di dinding ada tulisan tonggak-ziarah 1. Aku terenyuh. Betapa mereka sangat menghargai para perintis. Entah apakah ini kunjungan pertama sekaligus terakhirku. Sebelum pulang, kusempatkan membeli cinderamata, tas dagadu-ala Artjog.


Keluar dari Artjog, seketika riuh isi kepalaku, menyaingi riuhnya kota Jogja dalam perjalanan pulang malam itu. Jiwaku seperti teko yang kepenuhan. Banyunya limpuar, limpas. Aku ingin menuangkannya tapi tidak tahu ke gelas yang mana.

Terima kasih Artjog, terima kasih Jogja. Terima kasih yang setia menemaniku sepanjang malam itu.[]



Rabu, 12 Maret 2025

MENGETUK PINTU ISTANA; HARI INI, AKU DAN KAWANKU

06.12 0 Comments



MENGETUK PINTU ISTANA; HARI INI, AKU DAN KAWANKU

Puisi Nailiya Nikmah

 

Ruang-ruang kelas menjadi saksi bisu

perjuangan mendidik anak negeri

berangkat pagi pulang senja hari

mengajar, meneliti dan mengabdi

dari kelas ke kelas; dari lab ke lab; dari bengkel ke bengkel

dari studio ke studio

dari aplikasi satu ke berbagai aplikasi lainnya

Kopi, buku, jurnal, masyarakat; deru nafas kami

 

Kadang tidak tidur mengerjakan proposal

mengharap hibah yang tak boleh diambil penelitinya sebagai upah

mengejar berderet angka kredit agar meningkat kepangkatan

berharap meningkat pula kesejahteraan

Sungguh kami tak berharap UKT mencekik leher para orang tua untuk membayar kami

Karena kami pun adalah bagian dari orang tua itu

 

Dan inilah kami para dosen

berdatangan dari seluruh penjuru negeri Indonesia

melintasi darat, laut dan udara

meninggalkan rumah-rumah kami yang hangat

Dihantarkan doa dan harapan seluruh kawan

Mengetuk pintu istana

Mengadukan jeritan hati kami

 

Kami tidak gila materi

tapi kami butuh amunisi

Kami bukan pengemis

meski datang dengan tangan di bawah

Kami bukan tak pandai bersyukur

meski datang dengan tuntutan

Kami hanya ingin keadilan dan hak kami ditunaikan

 

Sebuah tunjangan kinerja dosen,

Ya,

Tu-kin.

 

Jakarta, Aksi Dosen, 3 Februari 2025