Senin, 01 April 2013

# esai # sastra

Esai: Kampanye ASI melalui Cerpen


KAMPANYE ASI MELALUI CERPEN, MENGAPA TIDAK?
(Kritik Cerpen Acil Katuy Karangan Dewi Alfianti)
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Pernahkah Anda melihat seorang perempuan sedang asyik menyusui anaknya? Apa yang terlintas di benak Anda kala melihat pemandangan tersebut? Risih, malu, senang, jengkel, atau biasa saja? Yang terlintas di benak Anda sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman Anda terhadap pemandangan tersebut. Jika Anda adalah orang yang tidak terlalu banyak pengalaman tentang menyusui, mungkin bagi Anda itu pemandangan biasa. Hal yang sangat wajar seorang ibu menyusui anaknya. Sama wajarnya dengan seekor kucing betina menyusui anaknya. Tahukah Anda? Menyusui adalah sebuah seni yang memadukan insting dan keterampilan. Insting dan keterampilan dua belah pihak, yaitu ibu dan anaknya. Menyusui adalah sebuah keterampilan yang dianugerahkan oleh Tuhan hanya kepada makhluk berjenis perempuan. Akan tetapi, sebagai sebuah keterampilan, ia tak serta-merta dapat mencapai tingkat mahir jika sebelumnya tak dilatih.
Di rumah-rumah sakit dan klinik-klinik bersalin saat ini telah populer istilah inisiasi dini menyusui, menyusul terkuaknya keistimewaan air susu ibu (ASI) dari berbagai sudut pandang. Sesegeranya setelah dilahirkan, bayi didekatkan ke puting susu ibunya agar ia bisa segera menyusu karena ASI yang pertama kali keluar mengandung zat terbaik bagi bayi. Zat bernama kolostrum yang selama zaman uma-abah kita dulu justru sengaja dibuang karena dianggap bisa membuat bayi sakit perut.
Kelihatannya urusan menyusui adalah urusan ibu dengan bayinya saja. Padahal, kesuksesan seorang ibu menyusui sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Seperti yang diiklankan di televisi dan radio “dukung ibu menyusui”. Dukungan yang pertama adalah dari suami, setelah itu ibu, ibu mertua, dan anggota keluarga lainnya. Dukungan tenaga medis yang membantu ibu sejak masa kehamilan hingga pasca melahirkan juga sangat penting. Bahkan kalau perlu, di era maraknya sarana jejaring sosial, ibu bergabung dengan klub atau grup menyusui. Karena kalau tidak mendapat dukungan yang cukup, ibu akan kerepotan selama menyusui.
Lihatlah Maskunah, tokoh dalam cerpen “Acil Katuy” (AK) karangan Dewi Alfianti yang dimuat di Media Kalimantan Edisi Minggu, 4 Maret 2012. Perempuan ini digambarkan telah memiliki kesadaran untuk memberikan ASI ekslusif selama enam bulan kepada bayinya. Pengetahuan Maskunah yang makan sekolahan kerap bertentangan dengan ibunya sendiri, yaitu Acil Katuy. Kasihan sekali Maskunah. Saat ia berjuang memberikan ASI ekslusif selama enam bulan untuk Fikri, ia harus berhadapan dengan tingkah ibunya yang keras kepala. Ibu yang masih memegang teguh aneka mitos dalam kehidupan.
Banyak mitos seputar kehamilan dan menyusui yang kadang tidak hanya membahayakan kesehatan ibu dan bayi tapi juga bisa mencemari akidah (seorang muslim). Cerpen AK memuat beberapa mitos tersebut. Fikri yang harus memakai gelang hitam agar terhindar dari gangguan jin dan dedemit; pemberian makanan tambahan saat Fikri belum enam bulan – yang tak sesuai dengan konsep ASI ekslusif; hingga masalah guam yang harus diobati dengan mengusapkan tangan orang yang pernah melihat buaya putih.
Bayi memang telah didesain oleh Tuhan untuk bisa menyusu tapi sama seperti ibunya, bayi pun harus belajar terlebih dahulu agar bisa terampil mengisap puting susu ibunya dengan benar. Benar tidaknya cara bayi menyusu mempengaruhi kuantitas asi. Makin sering bayi mengisap puting susu ibunya, makin banyak produksi asi. Untuk itu, bayi tak perlu diberi minuman dan makanan tambahan lainnya selama enam bulan. Selain untuk kelancaran produksi ASI, sebelum enam bulan bayi memang belum memerlukan makanan tambahan. Sementara itu untuk membantu meningkatkan kualitas ASI, ibu perlu banyak makan sayur, ikan, daging, buah dan makanan bergizi lainnya. Hal ini bertentangan dengan salah satu mitos yang pernah dilakoni oleh teman saya, sehabis melahirkan, ia dilarang ibunya makan banyak. Ia juga dilarang makan ikan dan daging karena nanti air kencing bayi jadi amis.
Acil Katuy tak bisa menerima pengetahuan yang jauh berbeda dengan kebiasaan yang telah dilakoninya dan diwarisi dari nenek moyangnya. Ketika Maskunah pergi bekerja, Acil Katuy diam-diam memberikan makanan tambahan kepada Fikri yang baru berusia tiga bulan. Maskunah sebenarnya tidak sendirian. Ada Maskunah-Maskunah lain di bumi ini, khususnya di Indonesia yang bernasib seperti Maskunah. Meski berperan sebagai wanita karir, Maskunah masih memiliki tekad memberikan ASI ekslusif untuk anaknya. Sayangnya, lingkungan – dalam hal ini ibunya sendiri kurang mendukung Maskunah.
Persoalan ASI sepertinya hanya sisipan dalam cerpen AK. Terlihat dari dipilihnya tokoh utama dalam cerpen ini, yaitu Acil Katuy. Mengapa bukan Maskunah? Persoalan harga diri Acil Katuy lah yang menjadi fokus cerita. Dewi sepertinya ragu-ragu mengangkat ASI sebagai isu utama dalam AK. AK menjadi cerpen bermuatan budaya menggosip para acil, perseteruan antartetangga, persoalan rumah warisan dan permasalahan ipar-maruai.
Mengapa persoalan harga diri Acil Katuy yang diutamakan Dewi? Pikiran semacam ini membuat saya sebagai pembaca hampir kecewa berat. Benarkah persoalan harga diri Acil Katuy yang jadi fokus Dewi? Dewi sepertinya rambang dalam memilih ide. AK menjadi bias antara persoalan-persoalan harga diri yang ditampilkan dalam wadah pergosipan dan persoalan ASI. Ataukah Dewi kurang percaya diri mengangkat isu ASI dalam cerpennya? Apakah Dewi takut mengampanyekan ASI melalui cerpen? Karya tidak terlahir dari ruang vakum, menurut Bakhtin, tapi tercipta dari sebuah dialog. Saya yakin, Dewi tidak hanya telah melakukan sebuah dialog untuk melahirkan AK tapi berpuluh-puluh bahkan mungkin beratus-ratus dialog.
Sebagai sesama perempuan, masih dalam suasana hari perempuan sedunia, saya berprasangka baik saja terhadap Dewi. Jangan-jangan persoalan ASI memang fokus utama cerpen AK. Jangan-jangan Dewi ingin menggambarkan bahwa di banua kita sudah ada perempuan cerdas di tengah-tengah kungkungan perempuan-perempuan beradat (:penggosip, pengelahian, keras kepala, anti pembaharuan). Jangan-jangan Dewi tengah berjuang menumbangkan mitos-mitos seputar menyusui yang sangat merugikan ibu dan bayi. Saya ingin mengakhiri kritik ini dengan sesuatu yang membahagiakan saya seperti bahagianya saya saat menyadari ada kampanye ASI dalam cerpen AK.
Setelah saya membaca ending-nya, saya pun tersenyum puas. Hanya saja, ia tidak tahu, Fikri tak lagi terkena guam. Warna lidahnya telah berangsur normal, Kunah telah membersihkan lidah anaknya itu, di hari Katuy pergi. Dewi telah menumbangkan salah satu mitos itu. Selamat, Dewi. Inilah saatnya, teman! Saatnya perempuan mengawani sastra untuk “kepentingan” kita (:perempuan).     
         Flamboyan, 8 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar