Senin, 04 November 2013
# bahasa daerah Banjar
# makalah
KARYA SASTRA BERBAHASA BANJAR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PELESTARIAN BAHASA BANJAR
by
Nailiya Nikmah
on
12.50
KARYA SASTRA BERBAHASA BANJAR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PELESTARIAN
BAHASA BANJAR*
Oleh Nailiya Nikmah, S.Pd.,M.Pd
A.
Pendahuluan
Dalam catatan
perjalanan sejarah bangsa Indonesia
tercantum salah satu hal penting berkaitan dengan bahasa bangsa, yaitu bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928
sebagai bahasa persatuan menjadi salah satu pengikat keragaman suku bangsa
dalam semangat kebangsaan Indonesia. Tidak berlebihan jika ikrar yang
dicetuskan oleh para pemuda tersebut menjadi salah satu unsur terpenting bangsa
Indonesia
khususnya dalam hal persatuan dan kesatuan. Para pemuda pada tahun tersebut
menyatakan ikrar yang mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia,
dan menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia.
Semangat
Sumpah Pemuda melandasi pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945. Pasal tersebut mempertegas bahwa bahasa negara ialah
Bahasa Indonesia. Kemudian, tentang Bahasa Indonesia ini selanjutnya diatur
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan. Undang-undang tersebut juga mengatur tentang
bahasa daerah. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa bahasa daerah adalah
bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia
terdiri atas berbagai suku dengan bahasanya masing-masing. Dalam artikelnya,
Budiwiyanto menyebutkan berdasarkan laporan hasil penelitian Kekerabatan dan
Pemetaan Bahasa-Bahasa di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Bahasa pada tahun
2008, telah berhasil diidentifikasi sejumlah 442 bahasa. Hingga tahun 2011,
tercatat terjadi penambahan sejumlah 72 bahasa sehingga jumlah keseluruhannya
menjadi 514 bahasa. Jumlah tersebut masih dapat bertambah karena masih ada
beberapa daerah yang belum diteliti. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1285.
Selanjutnya,
pelestarian bahasa daerah tidak terlepas dari peran dan tanggung jawab
pemerintah daerah, dengan tetap mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2009, Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Serta Lagu
Kebangsaan. Upaya pelestarian ini idealnya diatur dalam peraturan daerah
(Perda) sebagai wujud apresiasi Pemda atas pelestarian budaya daerah.
Upaya
pelestarian bahasa daerah perlu dilakukan karena bahasa daerah mulai terkikis
oleh pengaruh globalisasi, serta kecenderungan penurunan penggunaan bahasa
daerah dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga maupun
lingkungan pergaulan masyarakat di luar keluarga. Jika diamati lebih jauh,
banyak kemungkinan penyebab terkikisnya bahasa daerah. Sebagai contoh yaitu
perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan
segala gaya
hidup yang mempengaruhinya termasuk bahasa. Kebutuhan berbahasa yang dapat
diterima dan dipahami oleh masyarakat yang didatangi membuat bahasa ibu (bahasa
daerah) perlahan-lahan tersaingi. Ekonomi juga turut mempengaruhi hal ini.
Kecenderungan orang yang pandai berbahasa asing dan atau bahasa Indonesia yang
lebih diutamakan untuk menempati sebuah posisi di dunia kerja membuat bahasa
daerah lambat laun akan memudar penggunaannya.
B.
Bahasa
Banjar sebagai Salah Satu Bahasa Daerah di Indonesia
Salah
satu bahasa daerah di Indonesia
yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan adalah bahasa Banjar. Abdul Djebar
Hapip dalam Kamus Banjar Indonesia
(2008) menjelaskan bahwa bahasa Banjar (BB) ialah bahasa yang dipergunakan oleh
suku Banjar. Secara geografis suku ini pada mulanya mendiami hampir seluruh
wilayah provinsi Kalimantan Selatan sekarang ini yang kemudian akibat
perpindahan atau percampuran penduduk dan kebudayaannya di dalam proses waktu
berabad-abad, maka suku Banjar dan BB tersebar meluas sampai ke daerah-daerah
pesisir Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, bahkan banyak didapatkan di
beberapa tempat di Pulau Sumatra yang kebetulan menjadi pemukiman orang-orang
perantau dari Banjar sejak lama seperti di Muara Tungkal, Sapat dan Tembilahan.
BB
bisa dibedakan antara dua dialek besar, yaitu dialek bahasa Banjar Kuala (BK)
dan dialek Bahasa Banjar Hulu Sungai (BH). Dialek BK umumnya dipakai oleh
penduduk “asli” sekitar kota Banjarmasin, Martapura dan Pelaihari, sedangkan
dialek BH adalah BB yang dipakai oleh penduduk di daerah hulu sungai umumnya,
yaitu daerah-daerah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah
dan Hulu Sungai Utara serta Tabalong. Pemakai BH ini jauh lebih luas dan masih
menunjukkan beberapa variasi subdialek lagi yang oleh Den Hamer disebut dengan
istilah dialek lokal, yaitu Amuntai, Alabio, Kalua, Kandangan, Tanjung, bahkan
ia cenderung berpendapat bahwa bahasa yang dipakai oleh “orang bukit” yaitu
penduduk pedalaman pegunungan Meratus merupakan salah satu subdialek BH pula.
Dan mungkin subdialek baik BK maupun BH itu masih banyak lagi.
C.
Peran Karya
Sastra sebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Bahasa Daerah
Karya
sastra bukan semata-mata penyajian peristiwa yang indah melainkan penyampaian
hakikat peristiwa tersebut. Dari sini akan ditemukan makna-makna peristiwa
setelah melalui penghayatan, pendalaman makna dan penafsiran. Karya sastra
memuat bahan perenungan yang melibatkan aspek moral, nurani, emosi dan etika.
Karya
sastra diciptakan dengan daya kreativitas dan imajinasi tapi kreativitas itu
tidak lantas menghilangkan unsur realita dalam prosesnya. Pengarang melahirkan
berbagai pengalaman dalam karyanya dengan
memilih unsur-unsur terbaik dari pengalaman hidupnya maupun pengalaman
manusia lain yang dihayatinya.
Pengalaman tersebut tidak hanya pengalaman lahir tetapi juga lebih pada
pengalaman batin.
Karya
sastra mengemukakan masalah-masalah manusia, masalah hidup dan kehidupan.
Pengarang yang kreatif selalu mampu mengolah permasalahan- permasalahan
tersebut menjadi suatu karya yang berharga, berguna bagi dirinya dan bagi orang
lain. Pengarang kreatif senantiasa berusaha mengemukakan wacana baru dalam
karyanya, apapun bentuk karya sastra yang ditulisnya agar para pembacanya tidak
hanya merasa terhibur tapi juga merasa tercerahkan jiwanya.
Berbicara
tentang karya sastra tidak bisa lepas dari bahasa
sebagai media dan unsur utamanya. Pada umumnya masyarakat terkini mengenal
karya sastra sebagai karya yang berbahasa Indonesia
padahal ada juga karya sastra yang bukan berbahasa Indonesia, melainkan berbahasa
daerah. Di Kalimantan Selatan misalnya terdapat bahasa daerah Banjar (yang
dominan) di samping bahasa daerah lainnya. Meskipun yang dimaksud dengan karya
sastra bertema lokalitas bukan semata
tentang hadirnya suatu bahasa dalam karya melainkan nuansa kehidupan lokal yang
menjadi ciri utama mesyarakatnya, kiranya bukan sesuatu yang berlebihan jika
mengemukakan unsur eksistensi bahasanya ke permukaan ranah sastra. Hal ini
diwujudkan dengan penggunaan bahasa daerah (:Banjar) sebagai bentuk penyampaian
ekspresi (Mungkin cerpen, mungkin puisi).
1.
Upaya Pelestarian Bahasa Banjar Melalui Puisi Berbahasa
Banjar
Puisi
sebagai salah satu bentuk karya sastra menggunakan bahasa sebagai medianya.
Akan tetapi bahasa yang digunakan dalam puisi “berbeda” dengan bahasa yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa puisi memiliki keunikan
tersendiri sebagai hasil kreativitas, ekspresi dan imajinasi penyair. Bahasa
puisi memiliki nilai estetika yang akan diperoleh oleh pembacanya melalui
pembacaan yang intens dan apresiasi yang tinggi. Tarsyad menyebutkan bahwa
bahasa puisi mengalami proses pemadatan makna dan kreativitas pemilihan diksi
penyairnya (2011:6).
Puisi berbahasa Indonesia relatif mudah dan banyak
ditemui. Hal ini sejalan dengan Sumpah Pemuda yang ketiga, menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Akan tetapi ada hal yang tidak boleh dilupakan
yaitu adanya bahasa-bahasa daerah yang merupakan unsur pembangun dan pemerkaya
bahasa Indonesia.
Sudah sewajarnya ada upaya untuk melestarikan bahasa daerah dari masyarakat
penuturnya. Salah satu upaya pelestarian tersebut bisa dilakukan melalui jalur
kesusastraan.
Salah satu bahasa daerah yang
dipakai dalam bahasa puisi adalah bahasa Banjar. Menemukan puisi berbahasa
Banjar dari jenis puisi lama mungkin relatif lebih mudah. Yang masih terbilang
langka adalah puisi baru/puisi modern yang menggunakan bahasa Banjar, baik
bahasa Banjar Hulu maupun bahasa Banjar Kuala.
Contoh puisi yang menggunakan bahasa
Banjar yang dapat kita apresiasi dan kritisi bersama adalah puisi-puisi
karangan penyair asal Kalimantan Selatan, Abdurrahman El Husaini. Ada dua buku
yang memuat kumpulan puisi berbahasa Banjar yang ia karang, yaitu Doa Banyu Mata (diterbitkan oleh Tahura
Media, Juni 2011) dan Jukung Waktu
(diterbitkan oleh Scripta Cendekia, Februari 2012).
Tasanda
jua Banyu Mata Ngini
Tasanda jua
banyu mata ngini paampihannya
Lawan
sungai-sungai nang ditabat
Lawan
pahumaan-pahumaan nang disaluh manjadi rumah-rumah ganal bagus
Lawan gunung
manggunung nang diruntuhakan
Lawan puhun
mamuhun nang ditabangi
Lawan
paparutan tanah nang dibungkari
Cuba
pian liati janak-janak
Cuba
pian janaki pitih-pitih
Amun kumarau
Kumarau
balalandangan
Amun musim ujan
Ba ah saalaman
Musim kada
kawa ditangguh lagi
Nang disangka
panas sakalinya ujan sing labatan
Nang disangka
ujan sakalinya panas manggantang
Mbah anu ujan
mbah anu panas
Mbah anu panas
mbah anu ujan
Tasanda jua
banyu mata ngini paampihannya
Lawan ingui
tangis kita barataan
(Puisi
Abdurrahman El Husaini dalam Doa Banyu
Mata, 2011:66).
Puisi tersebut berbicara tentang
kepedulian penyairnya terhadap lingkungan. Sungai, sawah, gunung, pohon, hutan,
tanah, mulai terancam keberadaannya karena ulah tangan manusia. Akibatnya musim
menjadi tidak menentu, tidak lagi bisa terbaca. Kadang-kadang hujan,
kadang-kadang panas. Hal ini menjadikan kesedihan yang mendalam bagi penyair.
Dalam puisi tersebut ia mewakilkannya dengan tergadainya airmata.
Ada beberapa kosakata yang mungkin
tidak terlalu dikenal lagi oleh masyarakat Banjar khususnya usia remaja ke
bawah dalam puisi tersebut misalnya “pitih”, “balalandangan” dan “ingui”. Dalam
Kamus Banjar Indonesia karangan Abdul
Djebar Hapip, dapat ditemukan kata “itih”, mungkin ini yang dimaksud oleh
penyair dengan “pitih”. Itih berarti teliti (2008:63). Sedangkan “landang”
berarti jauh, panjang, lama (2008:102). Adapun “ingui” (2008:6) dipadankan
dengan “iluy” yang berarti lagu; bailuy berlagu
(menangis).
ZIKIR
HATI
Zikir hati
Bajalulut
Bajarikit
Lawan gatah
Hidayah
Allah Taala
Siang malam
kada sing lingkahan
Malam
Sabtu 12 Ramadhan 1432 H
(puisi
Abdurrahman El Husaini dalam Jukung Waktu, 2012:65).
Puisi tersebut berbicara tentang
kereligiusan, kecintaan, kedekatan terhadap Allah. Beberapa kosakata yang cukup
khas dalam puisi tersebut adalah “bajalulut”, “bajarikit” dan “sing lingkahan”.
“ Jalulut” tidak ditemukan dalam kamus sedangkan “ Jarikit” berarti lekat,
lengket (Hapip, 2008:67). Adapun yang
dimaksud dengan “lingkah” dalam puisi tersebut masih menurut Kamus Banjar Indonesia
berarti terlepas atau hilang (2008:111).
2.
Upaya Pelestarian Bahasa Banjar Melalui Cerpen
Berbahasa Banjar
Poe dalam Afra (2007: 112) menyatakan bahwa cerpen adalah narasi yang
bisa dibaca dalam sekali duduk, dengan lama waktu setengah hingga dua jam.
Karena pendek, cerpen memiliki ruang yang padat. Meski kelihatannya pendek,
sebuah cerpen mampu menyampaikan hal-hal berharga yang bisa tersampaikan secara
implisit maupun eksplisit.
Unsur-unsur yang membangun sebuah cerpen secara intrinsik adalah tema,
plot (alur), setting, sudut pandang atau penokohan dan tokoh. Namun secara
ekstrinsik sebuah cerpen dipengaruhi pula oleh pandangan-pandangan dan latar
belakang kehidupan penulisnya.
Cerpen sebagai bagian dari kesuasteraan modern Indonesia
merupakan cermin kebudayaan bangsa Indonesia yang hidup dalam
keberagaman sistem budaya. Hal ini diwujudkan ke dalam aspek-aspek tematis dan
stilistis karya.
Sebagai karya fiksi, cerpen diciptakan dengan daya kreativitas dan
imajinasi. Kreativitas itu tidak saja dituntut dalam upaya pengarang melahirkan
pengalaman batin dalam karyanya, tetapi juga harus kreatif memilih unsur-unsur
terbaik dari pengalaman hidup manusia
yang dihayatinya. Penulis cerpen bersandar pada kreativitas. Kreativitas
memberi peluang yang sangat luas bagi keragaman muatan karya sastra. Dunia
fiksi jauh lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan daripada yang ada di
dunia nyata. Dalam proses kreativitasnya pengarang bisa saja menyiasati,
mengkreasi, memanipulasi berbagai masalah hidup dan kehidupan yang dialami dan
diamatinya.
Seperti halnya puisi, cerpen pun menggunakan bahasa sebagai media. Cerpen
berbahasa Banjar senasib dengan puisi berbahasa Banjar. Para penulis cerpen
Kalimantan Selatan lebih banyak menulis cerpen dalam bahasa Indonesia. Salah satu buku kumpulan
cerpen berbahasa Banjar yang dapat dibaca, diapresiasi dan dikritisi adalah
kumpulan kisdap Malam Kumpai Batu
(disusun oleh Sandi Firly dan diterbitkan oleh Media Tahura, April 2012).
Berikut kutipan cerpen “Malam Kumpai Batu” yang terdapat dalam buku
tersebut.
Tadapatnya kami tabarungan haja, wan pulang, kada disangka-sangka. Mulai
kapal At Taslim balayang matan Palabuhan Pasar Lima Banjar siang tadi, bujur
nah, aku kada tahu inya sakalinya umpat jua, jadi panumpang, di kapal ngini. Di
Murung Panti, waktu kapal singgah di pos panjagaan, aku handak bakunjang kaluar
kapal, ka warung palabuhan handak manukar roko. Sakilaran, bibinian ngitu
takurihing. Asa pinandu asa kada, kada kuherani ai inya. Kalu ai inya
takurihing gasan urang lain. Dua pulang, kau gair kalu aku dikira urang
lalakian liur baungan. …. (Kisdap Malam Kumpai Batu karangan M. Rifani
Djamhari, 2012:1).
Kutipan tersebut menggambarkan adanya perjalanan yang menggunakan kapal bernama
At Taslim. Pembaca memperoleh gambaran bahwa dulu, alat transportasi yang
diandalkan adalah kapal. Dari kutipan tersebut diperoleh pula ungkapan “liur
baungan” yang tidak mustahil suatu saat tidak terdengar lagi dalam percakapan
orang Banjar karena berganti ungkapan dari bahasa lain. Begitu juga dengan kata
“sakilaran” dan “takurihing”.
Cerpen “Malam Kumpai Batu” mengisahkan pertemuan kembali sepasang manusia
yang pernah memiliki hubungan khusus secra tidak sengaja dalam sebuah
perjalanan yang menggunakan alat transportasi air. Dalam cerpen ini pembaca
akan menemukan rute-rute perjalanan yang dilalui. Perjalanan tokoh aku dimulai
dari pelabuhan pasar lama Banjarmasin.
Dari cerpen ini pula, pembaca akan mengetahui rute Banjarmasin-Nagara
melewati Margasari Marabahan.
Cerpen selanjutnya yang bisa diamati adalah sebagai berikut,
Imah takulimpapak! Bakalincuat saitu saini. Hinaknya mahingal, kaya
urang ngangal, pual-pual lacit ka bantal, nang kaya hadangan disumbalih angkal.
Awaknya manggitir. Jimus paluh. Inya hanyar mailan tumatan mimpi nang kada sing
baikan. Bakalimpusut inya bapuat, duduk mancugut di tubir ranajng sambil
mangajang pinggang nang ngilu. Dilacungakanya hinak landang-landang. Rancak
Imah mangucak-ngucak bigi matanya, tagal hayabang mimpi nang saling kada baikan
tuti maguni haja maumpinak di panjanaknya. (Cerpen “Anja” karangan Aliman
Syahrani dalam buku kumpulan kisdap Banjar Malam
Kumpai Batu,2012:40).
Kutipan cerpen “Anja” tersebut menghadirkan bahasa Banjar Hulu dengan
subdialek Kandangan. Kata-kata “takulimpapak”, “bakalincuat”, “pual-pual”
termasuk kata-kata yang tidak mudah dipahami artinya oleh pembaca yang bukan
penutur bahasa Banjar Hulu (dalam kamus Banjar pun belum ada). “Takalimpapak”
artinya sangat terkejut, disertai gerakan seluruh tubuhsecara refleks.
“Bakalincuat” artinya bangkit dari berbaring atau duduk dengan segera, bisa
karena takut, marah, atau kaget. “Pual-pual” sama dengan “kepul”, seperti orang
mengeluaran asap rokok dari mulut. Mungkin masih ada beberapa kata lain yang
maknanya tidak langsung dipahami oleh pembaca karena kemungkinan kata tersebut
berasal dari dialek atau subdialek yang bukan dialek atau subdialek keseharian
pembaca.
Secara bentuk, kata-kata tersebut menunjukan bahwa bahasa Banjar memiliki
keunikan. Ada
kata (hanya satu kata) yang menjelaskan suatu keadaan yang tidak bisa
dipadankan dengan kata lain. Semacam keunikan yang terdapat pada kata “intil”
misalnya. “Intil” menurut Kamus Banjar Indonesia berarti letak sesuatu
yang hampir jatuh, atau mudah terlihat, mudah diambil orang (Hapip, 2008:62).
Ini memperlihatkan kekayaan bahasa Banjar dalam mengemukakan suatu konsep.
Jika dibaca secara utuh, cerpen
“Anja” memberi gambaran tentang salah satu kepercayaan masyarakat Loksado
terhadap arwah. Cerpen ini sangat kental nuansa lokalnya. Tidak hanya karena
bahasa yang dipakai adalah bahasa daerah (Banjar Hulu) tapi karena memang dalam
cerpen ini ditemukan unsur lokalitas yang khas dari masyarakat Loksado.
Kepercayaan tersebut mungkin lambat laun tidak akan terjalin lagi dalam
kehidupan masyarakat Banjar. Seiring perkembangan zaman, keterbukaan pemikiran
dan wawasan masyarakat, peningkatan intelektualitas, kepercayaan tersebut bisa
saja akan menghilang. Menghilangnya sebuah konsep akan diikuti dengan hilangnya
sebuah istilah.
Jika dibandingkan dengan cerpen “Julak Utam” karangan Dewi Alfianti,
masih dalam buku kumpulan kisdap Malam
Kumpai Batu, cerpen “Anja” sangat kental bahasa BH nya sedangkan “Julak
Utam” terasa lebih mengarah ke bahasa BK nya. Tentu secara ekstrinsik, sedikit
banyaknya latar belakang pengarangnya turut mempengaruhi hal ini. Aliman
Syahrani, pengarang cerpen “Anja”, lahir di Datar Balimbing Loksado kemudian
tinggal di Kabupaten Hulu Sungai Selatan di kota
Kandangan sedangkan Dewi Alfianti, pengarang cerpen “Julak Utam” lahir dan
tinggal di Banjarmasin.
Berikut kutipan cerpen “Julak Utam” dalam buku kumpulan kisdap Malam Kumpai Batu (2012):
Rambut basulah, muha pina membulat, dahi meneng, pas haja lawan potongan
muha bulat nang jua pina putih baminyak…(hlm 86).
Atau kutipan berikut,
Sidin datang, bubuhannya abut wan tumbur-tumburnya. Ada nang bukah-bukah, siapakah tu di bawah.
Iwan, nang manyetel lagu rok di higa kamarku mahamuk-hamuk lakas manggemeti
tip-nya…(hlm 87).
Kutipan tersebut memuat kata-kata yang dominan terdapat dalam tuturan
bahasa BK. Salah satu hal yang utama adalah dalam bahasa BH tidak terdapat
vokal “O” dan vokal “e”. Keduanya secara berturut-turut digantikan oleh vokal
“u” dan vokal “a” atau “i”. “manyetel”
dan “manggemeti” misalnya, dapat dikenali sebagai bagian dari bahasa BK.
Melalui cerpen berbahasa Banjar, pembaca tidak hanya memperoleh “Banjar”
sebagai tempatan atau lokalitas sebuah pengisahan tapi juga memperoleh
pengetahuan bahasa Banjar itu sendiri. Mungkin saja terdapat beberapa kosa kata
yang sudah tidak dijumpai lagi dalam penuturan sehari-hari, mungkin pula ada
kosa kata yang berasal dari sub-subdialek BB yang akan memperkaya khasanah BB.
Melalui cerpen, kosa kata dan pemahaman terhadap kosa kata tersebut kiranya dapat
dijaga kelestariannya.
D.
Penutup
Suatu bahasa sebagai salah satu identitas suatu masyarakat memiliki
kemungkinan akan hilang dari masyarakatnya, terpengaruh arus globalisasi, lalu
terbentuklah bahasa-bahasa baru. Sebagai
masyarakat yang lebih dekat dengan tradisi lisan, masyarakat Banjar memerlukan
pengembangan tradisi literasi sebagai salah satu upaya pelestarian bahasa.
Tradisi yang menyandingkan kegiatan baca dan tulis dalam suasana yang sehat dan
kreatif. Keberadaan cerpen dan puisi berbahasa Banjar merupakan salah satu
upaya pelestarian bahasa Banjar yang dapat diandalkan.
Meskipun cerpen dan puisi dihasilkan oleh individu-individu pengarang,
masyarakat memerlukan peran dan dukungan pemerintah serta berbagai pihak
terkait lainnnya untuk menopang upaya pelestarian ini. Pemerintah dapat
memfasilitasi penerbitan karya-karya bermutu, lebih daripada itu juga melakukan
upaya penyosialisasiannya kepada masyarakat pembaca misalnya dengan mengadakan
kegiatan rutin “pembacaan” karya sastra berbahasa Banjar.
Sastra Berbahasa Banjar dengan bentuk puisi dan cerpen dapat
diaplikasikan dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Ini disesuaikan dengan
kurikulum yang berlaku pada tiap tingkatan. Ini berarti, pada pembelajaran
puisi dan cerpen, siswa-siswa di Kalimantan Selatan tidak hanya mempelajari
puisi dan cerpen berbahasa Indonesia
tapi juga mempelajari puisi dan cerpen berbahasa Banjar. Sebenarnya selain
puisi dan cerpen, bentuk karya sastra lainnya yang dapat dipakai sebagai upaya
pelestarian bahasa Banjar adalah sastra berbentuk drama, baik yang tradisional
maupun yang modern.
Selain mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata pelajaran Muatan Lokal dapat
pula dipakai sebagai upaya pelestarian bahasa Banjar. Baik melalui pembelajaran
bahasa Banjarnya maupun melalui pembelajaran seni budayanya yang menggunakan
bahasa Banjar sebagai media.
E.
Daftar
Pustaka
Afra, Afifah. 2007. How To Be A Smart Writer. Surakarta: Indiva Media
Kreasi.
El Husaini, Abdurrahman. 2011. Doa Banyu Mata. Banjarmasin: Tahura Media.
------------. 2012.
Jukung Waktu. Banjarbaru: Scripta
Cendekia.
Firly, Sandi
(Ed). 2012. Malam Kumpai Batu. Banjarmasin: Tahura Media.
Hapip, Abdul Djebar. 2008. Kamus Banjar Indonesia. Banjarbaru:
CV
Rahmat Hafz Al Mubaroq.
Tarsyad,
Tarman Effendi. 2011. Kajian Stilistika
Puisi Sapardi Djoko Damono. Banjarmasin:
Tahura Media.
Biodata
Nailiya Nikmah JKF lahir di Banjarmasin,
9 Desember 1980. Aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Banjarmasin
dan Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Kalimantan Selatan. Sekarang menjabat
wakil sekretaris Dewan Kesenian Kota Banjarmasin. Ia bertugas sebagai pengajar
di Politeknik Negeri Banjarmasin.
Nailiya menulis cerpen, puisi, esai dan novel. Beberapa karyanya yang telah
dibukukan adalah Nyanyian Tanpa Nyanyian
(Antocer bersama-9 penulis perempuan Kal-Sel), Menulis itu Mudah (esai bersama), Konser Kecemasan (Kumpulan Puisi Lingkungan Hidup/Puisi bersama), Rindu Rumpun Ilalang (antocer sendiri), Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Pelangi di
Pelabuhan (kumcer bersama FLP), Antologi
Bersama-Puisi Religius Indonesia “Para Kekasih”, Ketika Api Bicara (antocer HSU), Senja di Teluk Wandoma (antocer nasional bersama), Malam Kumpai Batu (anto kisdap bersama),
Kiat Menulis dan Cerpen Pilihan (bersama
penulis HSU). Cerpennya “Mangadap Langit” terpilih sebagai juara harapan III
Lomba Menulis Cerpen Bahasa Banjar, Disbudpar. Novelnya Sekaca Cempaka terpilih sebagai unggulan dalam lomba menulis novel
dalam rangka Aruh Sastra Kalimantan Selatan 2013.
*Mengalami penyuntingan setelah disampaikan
dalam Dialog Bahasa Daerah Sekalimantan, Banjarbaru 23-24 Oktober 2013.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar