Rabu, 08 Juni 2016
Sedang
asyik-asyiknya melihat-lihat postingan teman-teman di instagram, aku terpana
melihat sebuah foto yang diunggah oleh salah seorang penulis idolaku, Helvy
Tiana Rosa. Foto itu merupakan gambar cover sebuah buku lama. Judul buku
tersebut adalah “Hingga Batu Bicara” (HBB). Postingan tersebut menginformasikan
bahwa buku HBB sedang dicari-cari untuk suatu keperluan penting. Dari beberapa
komentar di bawahnya aku simpulkan yang dicari adalah buku aslinya, bukan
kopian. Aku tertegun…rasanya aku sangat familiar dengan judulnya tapi apa iya
covernya yang itu? Dari postingan itu, HTR mengumumkan bahwa yang dapat
membantu akan mendapatkan buku KMGP yang ditandatangani para pemain filmnya sebagai
gantinya.
Aku ikut
mengomen. Kukatakan aku punya tapi beda cover. Mbak Helvy menjawab tidak
apa-apa. Semula aku pikir mbak Helvy yang sedang memerlukannya, ternyata orang
lain. Seseorang yang bernama Mira. Beberapa hari setelah itu, aku dihubunginya
lewat instagram. Dia menanyakan buku itu. Kami berkomunikasi lewat WA. Mira
sempat mengatakan tidak apa-apa kalau kopiannya.
Aku yakin sekali
aku pernah membeli buku tersebut belasan tahun silam. Aku pernah membacanya,
pernah memilikinya. Buku tersebut berisi kisah-kisah (Cerpen) tentang
Palestina, ditulis oleh tiga orang penulis mumpuni. Mereka adalah Maimon
Herawati, Izzatul Jannah dan tentu saja Helvy Tiana Rosa. Aku bergegas menuju
ruang baca keluarga yang merangkap ruang nonton TV, ruang makan dan ruang
bermain. Mataku menyusuri judul demi judul buku yang kususun rapi dalam lemari
kaca.
“Mencari apa,
Ma?” tanya sulungku.
“Buku…” gumamku.
“Ya iya lah
buku, masa mama nyari baju dalam lemari buku?” omelnya.
“Hm…”
“Novel ya, Ma?”
“Hingga Batu
Bicara,” ucapku.
Nisrina
ikut-ikutan mencari.
Tidak lama
kemudian aku berhasil menemukannya. Tentu saja aku yang akan duluan
menemukannya karena aku yang menyusunnya. Aku hampir selalu ingat di mana aku
menaruh buku A, B, C dst dan pada kumpulan apa buku tersebut kuletakkan.
Kecuali ada yang mengacaukan susunanku, aku hampir tak pernah melupakan susunan
koleksi bukuku dalam lemari. “Harta Karun Ibumu” demikian suamiku menyebutnya
kalau aku dan anak-anakku membahas soal buku-buku dalam lemariku.
Kuusap sampul
plastiknya yang mengusam. Di sana
tertera nama lengkapku yang dulu kutulis menggunakan spidol merah tua. Kubuka
lembar demi lembarnya. Kertasnya menguning. Lembarannya nyaris terlepas. Aku
tersenyum simpul melihat beberapa peringatan yang kutulis dengan tanganku, semacam
dilarang membaca sambil makan dll. Aku juga mendapati beberapa catatan kecil
menandai kalimat tertentu dalam buku HBB. Ciri khasku kalau membaca buku bagus.
Selalu ada coretan kecilnya.
Dulu semasa
kuliah, aku suka sekali meminjamkan buku-bukuku kepada teman-teman.
Hitung-hitung dakwah. Aku dan adikku sempat membuka perpustakaan kecil-kecilan
di rumah kami. Yang meminjamnya sebatas teman kuliah dan teman organisasi yang
suka main ke rumah. Rumah kami pernah jadi markas beberapa organisasi yang aku
dan adikku ikuti. Belakangan, aku agak enggan meminjamkan buku karena aku
terlalu menyayangi buku-bukuku. Ini juga gara-gara para peminjam buku kadang
tidak mengembalikan buku yang mereka pinjam.
Aku menimang-nimang
buku HBB. Hampir saja aku membacanya kembali tapi segera kuurungkan. Entahlah,
satu sisi hatiku mengatakan sebaiknya aku tidak usah membacanya kembali. Bisa
saja setelah membacanya aku akan berubah pikiran. Aku memang sudah lupa
bagaimana detil cerita tiap-tiap cerpennya tapi aku tidak pernah lupa betapa
airmataku pernah tumpah ketika membacanya, betapa semangat ini pernah tergugah
selesai membacanya. Sebagai seseorang yang gampang belajar dari buku, HBB
merupakan salah satu buku yang berperan penting dalam proses tarbiyahku.
“Mau diapakan?”
tanya suamiku.
“Seseorang
memerlukannya” lirihku.
“Maksudnya?”
Aku pun
menceritakannya.
“Dikopikan saja.
Buku itu kan
sangat berharga bagimu” saran suamiku yang lebih terdengar sebagai larangan.
“Dia perlu
aslinya. Lagipula… apa iya, anak-anakku akan bisa merawat dan terus menghargai
koleksiku ini?” jawabku. “Barangkali di tangannya, buku ini lebih bermanfaat.”
Aku tahu, aku
sedang berbohong. Seseorang itu sebenarnya membolehkan aku mengirim kopiannya
saja setelah tahu betapa berartinya buku itu bagiku. Tapi melihat
lembar-lembarnya yang mudah terlepas, aku tidak tega membayangkan buku ini akan
hancur kalau ditekan-tekan di mesin fotokopi.
“Tapi..Ma,
sayang kan
Ma?” anak-anakku ramai menimpali. Mereka, terutama dua orang yang sudah remaja
menatapku heran. Mereka tak percaya aku akan melepaskan buku dari dalam lemari
“Harta Karunku”.
“Iya! Mama
kalian sudah tidak ingin memiliki kenangannya!” Ucapan suamiku dengan nada yang
cukup tinggi menusuk hatiku. Aku tahu, dia sedang berusaha menahanku agar tidak
melepas buku itu. Aku tahu, dia orang yang paling tahu (setelah adikku)
bagaimana aku memperlakukan kenangan berbentuk buku. Aku yakin, dia hanya
sedang ingin memastikan keseriusanku melepas buku itu.
Aku tak ingin
berdebat karena aku tahu, aku mulai ragu….
Aku meletakkan
buku itu di suatu tempat. Kuniatkan untuk sesegeranya mengirimkan buku HBB
kepada Mira. Sayangnya, aku mendapat tugas mendadak dari kantor. Aku harus
berangkat ke kabupaten-kabupaten untuk sebuah keperluan institusi.
Dalam
perjalanan, Mira mengirim pesan melalui wa. Ia menanyakan kepastian buku HBB
dan menanyakan berapa jumlah uang yang harus dia transfer serta ke rekening
mana dia akan mentransfer. Aku merasa bersalah karena melambatkan mengirim
meski tidak sengaja. Setelah meminta maaf dan menjelaskan rencana pengiriman,
aku menyudahi percakapan kami di WA tanpa memberi jawaban berapa jumlah uang
yang harus Mira bayar dan berapa no rek ku. Segera kuhubungi suamiku dan
kuminta ia mengambil serta mengirimkan bukuku melalui pengiriman yang tercepat.
Aku juga meminta suamiku memasukkan satu buku kumcerku “Rindu Rumpun Ilalang”
dalam paket tersebut. Bukankah niat baik tidak boleh ditunda?
Dua hari
kemudian kuterima pesan dari Mira. Ia sangat senang dan terharu. Lagi-lagi aku
tidak menjawab berapa harga buku HBB yang sudah kukirimkan agar ia bisa segera
mentransfernya. Duhai, bisakah kausebutkan berapa harga sebuah buku bekas yang
penuh ibrah? Bisakah kausebutkan
berapa harga sebuah ghirah yang
menunas dari cerita-cerita fiksi? Bisakah kausebutkan berapa harga jalinan ukhuwah yang pernah tercipta melalui
perantaraan sebuah buku? Bisakah kausebutkan harga sebuah kenangan?
Sebagai penganut
aliran ‘tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini’, aku yakin ada sebuah hikmah
yang tersimpan di balik ini. Salah satunya misalnya, aku mendapatkan satu teman
lagi yang insya Allah akan selalu mengingatkan aku pada kebaikan. Ah, Engkau
menyusun kenangan baru tentang buku -HBB-lamaku. Terima kasih, Mira. Kutitipkan
kenanganku padamu. Semoga buku HBB lebih bermanfaat di tanganmu.[] Jelang Ramadhan, Akhir Mei 2016 – 3 Ramadhan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar