Tampilkan postingan dengan label Lemari Buku Nai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lemari Buku Nai. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 Juni 2020

Amsterdam dan Angin yang Mengirimkan Salam: Sebuah Catatan untuk Buku Cinta Jangan Selesai Karya Yose S. Beal

01.51 0 Comments

oleh Nailiya Nikmah



Aku merasa kautinggalkan
Harus berjalan sendirian membuatku ketakutan
Aku berlari di musim dingin tidak juga menghindari cintamu
Yang tiba-tiba tumbuh subur di setiap relung hatiku
Tetapi kedua kaki dan juga detak jantungku
Mengirimkan tanda untuk menguji kekuatanku
Meski hanya dalam hati bisakah kau mendengarnya?*


Pendahuluan

Jika ada yang bilang buku adalah jendela dunia dan mata adalah jendela hati, maka puisi adalah kedua-duanya. Ia jendela dunia sekaligus jendela hati. Setidaknya itulah yang tergambar dalam Puisi-puisi Yose S. Beal (YSB) di buku Cinta Jangan Selesai. Buku terbitan Garudhawaca, Yogyakarta 2020, berisi puisi YSB dan rekan-rekannya (lima penulis lainnya, yaitu iLuz, Nora Lelyana, Septi AS. Abdullah, Naidee, HE Benyamine).

Sebagai seorang pelari dalam makna denotatif, keberadaan puisi-puisi yang ia tulis adalah sebuah cara bagi YSB untuk mengomunikasikan segala macam pemikirannya yang silih berganti seiring dengan perjalanan (:pelarian) yang ia lakukan.  Pemikiran yang berlompatan terlihat dari susunan puisi dalam buku ini jika kita mengamati titi mangsa. Puisi-puisi dalam buku ini merupakan puisi yang intens dicipta dari rentang waktu 2015 hingga 2019. Buku atau kumpulan puisi ini mencoba mengomunikasikan segala sesuatu yang ia alami dan rasakan sejak 2007 ketika ia menjadi pembaca puisi jalanan.

Teori dan Pendekatan

Komunikasi adalah dasar kehidupan. Manusia melakukan komunikasi untuk memenuhi beragam keperluan. Kita bahkan melakukannya tanpa menggunakan teori atau metode tertentu. Itu sebabnya, komunikasi disebut ilmu sekaligus seni (Ruben, 2014).

 Teori sastra kontemporer yang berhubungan dengan hal ini adalah teori Formalisme Rusia-nya Roman Jakobson. Ketika menitikberatkan antara bunyi dan makna dalam sastra, Jakobson menyimpulkan bahwa bunyi dan makna diantarai oleh perbedaan, yang disebut sebagai ciri khusus. Dia memandang bahasa sebagai suatu sistem makna. Ciri khusus tersebut menjadi salah satu bagian yang tak terubahkan dalam sistem komunikasi itu sendiri. Inilah awal dari teori komunikasinya, bertitik tolak dari fenomenologi Husserl, dia tidak pernah menyimpang dalam mempertahankan model bahasa sebagai sarana pengiriman pesan dari pengirim ke penerima. Pengirim dan penerima merupakan entitas psikologis, membentuk bagian sistem yang paling penting. Mulanya yang menjadi kajian utama Jakobson adalah puisi dengan adanya fungsi puitik. Selanjutnya dikembangkannya sehingga ia menjadi seorang teoritikus pertama yang menjelaskan adanya komunikasi dalam teks sastra. Istilah fungsi mengacu penempatan suatu karya sastra dalam suatu modul komunikasi yang meliputi relasi antara pengarang, teks dan pembaca. (Syuropati dan Agustina Soebachman, 2012:17).

Dalam teori komunikasi pada bagian asas-asas komunikasi manusia terdapat beberapa aspek komunikasi yang tidak terlihat, di antaranya adalah referensi diri dan refleksivitas diri. Referensi diri mengandung makna bahwa komunikasi antarmanusia sangat mengacu pada kehidupan diri sendiri dan bersifat otobiografis. Apa yang kita lihat dan kita katakan tentang orang lain, pesan, dan acara di lingkungan akan selalu juga mengatakan banyak tentang kita seperti halnya tentang mereka. Pada aspek refleksivitas diri individu dimungkinkan untuk melihat diri mereka sebagai “diri”, sebagai bagian lingkungan atau sebagai bagian lingkungan atau sebagai bagian yang terpisah dari lingkungan. Dari refleksi diri, kita mampu untuk berpikir tentang pertemuan kita dan keberadaan kita, tentang komunikasi dan perilaku manusia (Ruben & Lea P. Stewart).

Pembahasan
Jiwa YSB seperti langit dipenuhi awan yang berisi benih-benih hujan. Puisi-puisinya dalam buku CJS adalah deraian hujan yang tak bisa dibendung-bendung. Banyak yang ingin ia sampaikan tapi tidak semua bisa diucapkan. Puisi-puisi adalah caranya mengomunikasikan semuanya. Ada banyak puisi di sini yang merekam dialog sebagai upaya penyampaian pesan-pesan untuk seseorang yang entah, yang menggunakan diksi kau.

1.    Puisi yang Berlari
Membaca karya-karya YSB dalam Cinta Jangan Selesai, kita akan menemukan spirit, semangat dan optimisme dalam menghadapi kehidupan. Pada sampul belakang, di bagian biodata penulis buku (YSB) ditemukan frase penulis yang pelari. Dia juga tertera di situ sebagai pembaca puisi jalanan. Informasi-informasi kecil yang sepertinya remeh ini dalam sebuah buku puisi tidak bisa diabaikan. Ini seolah menjadi semacam jembatan bagi pembaca untuk bisa terhubung dengan aku lirik; berusaha menemukan apa yang sebenarnya sedang berusaha dikomunikasikan oleh pengarang atau penulis tersebut. yang menghubungkan pengarang, puisi, dengan aku lirik.

 Sedikitnya ada 15 lokasi berbeda menjadi tempat persinggahan YSB dalam menuangkan gagasan. Buku ini sebuah personifikasi atas diri YSB. Aku lirik sebagai bagian dari teks sastra dalam buku CJS sesungguhnya tengah melakukan sprint di arena marathon. Ia berlari dengan kecepatan yang biasa dipakai oleh para sprinter tapi ia lupa ia tengah berada dalam arena marathon. Bahkan jika ia punya kekuatan super sekalipun ia akan kelelahan sebelum tiba di garis finish.

Aku lirik mulai berlari dari Surabaya dalam “Persemaian” (hlm 3) dimulai dari ingatan tentang kisah yang telah lama menjadi masa lalu tetapi menjadi dekat sedekat hari ini. Akan berapa lama lagi semua kenangan bertahan? Sebuah pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab menjadi pembuka buku ini. Selanjutnya semua kisah berlarian, berjatuhan seperti rinai hujan.

2.    Referensi Diri

CJS seperti menu lengkap dalam sebuah sajian. Di antara puisi-puisi tentang perasaan cinta dan semacamnya, terdapat beberapa puisi yang bertema nasionalis. “Inilah Wajahku”, “Janji Merdeka”, “Karnaval Proklamasi Ibu Pertiwi” dan “Negeri Tanpa Janji” di antaranya.

“Inilah wajahku” menjadi sebuah referensi diri dalam komunikasi yang sedang dilakukan YSB.  Apa yang YSB lihat dan ia katakan tentang negaranya (Indonesia) pada akhirnya  membuat aku lirik harus mengatakan bahwa itu memang wajah cintanya .../Indonesia adalah/ kaleng berisi sabu yang disimpan di bawah ijasah palsu/ tapi tak akan kutukar/ merah putihku dengan puluhan bintang/ karena itulah wajah cintaku//.

Lalu pada Pohon Hidup (hlm 97) .../cinta memerdekakan/ hidup harus ditunjukkan/.../Akuilah diri kita/ kau terima aku apa adanya/....merupakan bait yang memggambarkan sebuah referensi diri.


3.    Refleksivitas Diri

Aspek refleksivitas cukup banyak dalam CJS. Barangkali, inilah yang menjadi pilihan-pilihan manusia dalam aktivitas komunikasinya. Aku lirik dimungkinkan untuk melihat diri sebagai “diri”, sebagai bagian lingkungan maupun sebagai bagian yang terpisah dari lingkungan. Dari refleksi diri ini aku lirik mampu untuk berpikir tentang pertemuan-pertemuan yang ia alami dan keberadaan dirinya, serta tentang komunikasi dan perilaku manusia. Memilih diam dan kesedihan setelah diam menjadi pilihan dalam fase refleksivitas.

.../namun jika nanti ternyata dia mencariku/.../meski negeriku diam tak bersuara// (“Negeri Tanpa Janji”, hlm 99). Puisi ini bicara tentang seberapa berharga aku lirik bagi negeri ini, sebuah refleksivitas diri yang sangat elegan.

Tercantum pula dalam “Mari Kita” ...kita tak bersuara hanya ada suara hati/.... serta pada “Karnaval Prolamasi Ibu Pertiwi”(hlm 102), ...(Aku juga berteriak: merdeka!!!/ Meski hanya dalam hati,/ bisakah kau mendengarnya?)//. Hal yang serupa juga bisa ditemukan pada “Berjalan Di Desa Weesp” (hlm 152) ...Jika nanti sekali saat engkau tanyakan/ Jika nanti sekali saat kau ingin tahu/ Maka hanya jawaban jujur yang ada/ Meski itu tak bersuara dan tak kau dengar apa maknanya/ ....

4.    Melepaskan Diri dan Jalan Keluar

Apakah masalah terbesar manusia? Pengkhianatan, ketakutan, kesedihan, kesendirian, kegalauan, gagal move on, ketidakmapanan, kehilangan orang tercinta, kehilangan pekerjaan, kehilangan jati diri, ketidakwarasan, kehilangan kemerdekaan, ketidakbahagiaan? YSB pelari yang gesit dan energik ini pun tidak lepas dari semua itu. .../Mataku perih menangis kehilanganmu/...(“Mencari Apa”, hlm 21)

Sudah kuduga akan begini/ memang bebal membuat rasa sakit di hati/ sisa-sisa kisah jangan dikenangkan lagi/ bisakah berjalan sendiri?// (“Menunggu Armagedon”, hlm 40)

Waktu yang kami rampas diminta kembali oleh pemiliknya/.../senyuman kami yang terakhir kali saling tersungging begitu saja/ tiba-tiba menjadi begitu lapar sangat terasa// (“Duduk Berdua”, hlm 41).

Akan tetapi “Pintu Biru yang Ragu-ragu” mewakili kesedihan yang tidak membuatnya harus kehilangan sisi gentleman. Bacalah dengan lengkap puisi tersebut dan berhentilah pada bagian ini .../Sesungguhnya kamu di mana?/Tanganku mulai lemah membawa tas kain penuh cinta/ jadi benar semua ini telah menimpaku?/....

Liliweri (2009) menyebutkan bahwa kadang kita berkomunikasi untuk melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah yang sedang kita hadapi. Seberapa banyak di antaranya yang bisa kita selesaikan dengan memperbaiki komunikasi? Dalam “Ketika Kita Sendirian” (hlm 95), aku lirik menceritakan kembali dialog-dialognya dengan kau. /Aku merasa kau tinggalkan/ harus berjalan sendirian membuatku ketakutan/.../Ketika kau menjawab bahwa selama ini kau juga sendiran tiba-tiba aku punya keberanian/.../kini aku mengerti bahwa kita tidak pernah sendirian//. Aku membuka ruang komunikasi dengan si kau dalam kesendirian yang membuatnya ketakutan namun setelah itu ia mampu menyelesaikan masalah yang ia hadapi. Bahkan ketika hal paling buruk terjadi, dalam “ Lambaian Berpisah (hlm 6), aku lirik menemukan sebuah pencerahan yang ia komunikasikan kepada kita sebagai pembaca. Jangan risau jika kalian sendiri atau disendirikan/ karena saat sendiri atau bersama/keduanya sesungguhnya sama saja/....

5.    Relasi dan Pilihan Berharga

Dalam pengantarnya di buku ini, YSB menyatakan bahwa “Menulis adalah ekspresi perasaan, hakekatnya adalah wujud kebebasan.” Menulis dan berlari menjadi pilihan YSB mengomunikasikan seluruh jiwanya. Tidak salah lagi, CJS adalah dialog batinnya kepada orang-orang terdekat, kepada orang asing di luar sana, kepada kita semua. “Izinkan Aku berlari” (hlm 141) menjadi sebuah moment gunting pita yang meresmikan dua pilihan hidupnya. Pilihan hidup yang salah mempertemukannya dengan lima rekan spesialnya,  dalam buku Cinta Jangan Selesai ini.  

“Terbakar Tumbuh Kembali” (hlm 54) oleh HE Benyamin; “Kupu-kupu” (hlm 173) oleh iLuz; “Hidup adalah Pilihanku” (hlm 145) oleh R.A. Nora Lelyana; “Sebuah Kisah Akhir Jalan” (hlm 105) oleh Septi AS Abdullah; dan “Rubuhnya Aksara Angka 9 – 0” (hlm 32) oleh Naidee adalah harmoni, menjadi warna-warni yang bersinergi satu sama lain dalam CJS. Ada benang merah yang bisa ditemukan dari puisi-puisi tersebut yang akan membuat mereka saling mencerahkan satu sama lain.

Pencerahan demi pencerahan ditemukan oleh YSB setelah melewati masa-masa berlari. Bukan, ini bukan berarti ia berubah jadi malaikat yang tak beremosi. Ia masih memiliki rasa susah dan sedih .../ Saat itu hati susah dan airmata berlomba menguasai hari-hariku/.../ Ternyata aku masih bisa merasa susah saat kau tidak memililihku/.../Tapi aku sudah terlatih untuk tidak berkeluh kesah/ Di usiaku yang lewat senja sudah/.... (“Cerita Pohon Jambu, hlm 175) bentuk kontemplasi yang sempurna sebagai seorang manusia. Puisi ini menuturkan sebuah kejujuran bahwa sedih, susah, dan air mata tidak mengenal gender bahkan usia.

Air yang tergenang akan menjadi sarang penyakit, begitu kira-kira sebuah nasihat tentang betapa kita seharusnya bergerak, berubah, berkelana. Dalam “pelarian-pelariannya” YSB mendapatkan begitu banyak hal berharga. Yang paling berharga ia temukan dalam “pelarian”nya dari Amsterdam ke Praha, Cheko.
 .../Kemudian angin mengirimkan salamnya/ Bahwa keinginan itu, seperti air yang akan mencari jalannya/.../Orang besar bisa menerima kebahagiaan orang lain tetapi/ Tidak semua orang bisa menjadi orang besar// Bebas adalah tidak memelihara takut/ Perasaan takut, khawatir, harus dibuang/ Untuk menguji seseorang yang tulus atu tidak maka/ Kita harus yakin bahwa mereka menerima kita apa adanya//. (“Perjalanan Amsterdam ke Praha, Cheko”, hlm 169). Cuplikan bait ini adalah tujuh mutiara YSB. Mutiara yang ia ronce selama perjalanan 12 jam di atas bus menjadi sebuah gelang cantik or something. Tujuh hal penting yang mungkin baru terekstrak selama ia berlari di dataran Eropa, lebih tepatnya di Amsterdam.

Epilog
Apa yang terjadi di Amsterdam sebelum ia ke Praha, biarlah menjadi kisah lain di kemudian hari. Yang jelas, ketika angin mengirimkan salamnya, YSB kemudian menitip satu pesan singkat bagi pelari lain dalam kehidupan ini: Cinta Jangan Selesai! []Nai, Zona merah, Siang Malam Juni 2020 ditemani Suraj Huwa Madham dan Full Album Naff The Best of


Referensi
Liliweri, Alo. 2009. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya.Yogyakarta :Pustaka Pelajar.
Ruben, Brent D. 2014. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syuropati, Mohammad A. dan Agustina Soebachman. 2012. 7 Teori Sastra Kontemporer & 17 Tokohnya. Yogyakarta:In AzNa Books.

*Cuplikan beberapa puisi YSB dalam CJS


Disampaikan pada peluncuran dan bedah buku CJS, 27 Juni 2020.


Selasa, 03 Desember 2019

Bersenang- senang dengan Buku "Fun Research" Karya Bonnie Soeherman

22.11 0 Comments

Oleh Nailiya Nikmah

Salah Satu Koleksi Buku Nai


Hai, saya Nai. Basic utama keilmuan saya adalah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Dalam perjalanan karir mengajar, saya juga menjadi pengajar mata kuliah lain yang masih senada dan seirama seperti Komunikasi Bisnis; Kepribadian dan Kepemimpinan; Pendidikan Kewarganegaraan (:karena saya pernah mengikuti pelatihan doswar); serta Metodologi Penelitian (bertim dengan dosen core kelas yang saya ajar).

Sebagai pengajar, terutama pengajar mata kuliah Metodologi Penelitian, saya tidak pernah membatasi mahasiswa dalam memilih buku atau referensi seputar metode penelitian. Bahkan untuk sekadar mewajibkan mengopi modul perkuliahan yang saya susun pun saya tidak pernah. Bagi saya, memberikan rekomendasi (wajib) satu judul buku kepada mahasiswa bisa berakibat buruk, yaitu mereka hanya terfokus pada satu buku padahal ilmu tentang metode penelitian sangat luas. Saya juga menerapkan hal tersebut untuk diri saya sendiri. Saya membeli dan meminjam beberapa buku metode penelitian. Saya membaca semunya, mengamati, menganalisis, membandingkan, dan menerapkan beberapa.

Sekian tahun saya mempelajari ilmu tentang metode penelitian (:terima kasih kepada guru dan dosen di semua jenjang pendidikan saya), tidak ada bosannya memepelajari ilmu yang satu ini. Hingga saya menemukan formula sendiri dalam mengajarkannya.  Formula ini saya terapkan di mata kuliah Bahasa Indonesia pada Unit Menulis Karangan Ilmiah dan mata kuliah Metodologi Penelitian).

Suatu hari (2019) rekan mengajar saya menawari saya untuk menitip pembelian sebuah buku bertajuk penelitian kualitatif di luar Pulau kami. Saya mengiyakan. Saya jarang menolak buku (J). Pamali, hehe. Meski sempat juga berpikir, paling-paling buku tersebut sama saja dengan buku-buku metode penelitian yang sudah saya koleksi di perpus pribadi.

Ketika buku itu tiba di tangan saya, saya berubah pikiran,  judulnya menggelitik “Fun Research: Penelitian Kualitatif dengan Design Thinking”, buku ini diterbitkan oleh PT Elex Media Komputindo (masih satu naungan dengan penerbit novel saya Sekaca Cempaka). Buku bersampul kuning itu ditulis oleh Bonnie Soeherman. Pada halaman akhir buku kita bisa mengetahui penulis adalah seorang dosen dengan basic ilmu Akuntansi.

Halaman awal bertajuk Pengantar Sang Guru, pembaca disuguhi pengantar Prof. Basuki – pembimbing tesis penulis – yang membuat kita menemukan satu rahasia kecil semacam like father like son. Cuman kalau ini like coach like student.
Buku dengan isi 9 bab ini sebenarnya nyaris sama dengan semua buku yang pernah saya baca. Tapi tidak, gaya bahasa yang dipilih penulisnya membuat buku ini berbeda. Membaca halaman demi halaman buku tersebut memberikan sensasi ajaib. Asli, seperti tidak sedang membaca buku metodologi penelitian. Sebagai orang bahasa dan sastra, saya menemukan gaya maupun diksi yang tidak biasa untuk sebuah buku metode penelitian. Lebih mirip sebuah novel atau buku harian kalau menurut saya. Gaya bahasa yang dipakai oleh penulis membuat saya terjaga sepanjang pembacaan. Saya penasaran, kepo, terlonjak, bahagia, haru semua campur aduk. Belum pernah ada buku metode penelitian seperti ini.

Semua yang ditulis Bonnie Soeherman persis seperti apa yang selama ini saya yakini dan jalankan. Saya merasa bahagia, sebagai pengajar metodologi penelitian, baru kali ini saya merasa sangat percaya diri terhadap formula yang saya pakai sebagaimana saya sebut di paragraf sebelumnya. Saya merasa dikuatkan. Rasanya ingin bilang ke orang-orang, hei...aku benar, aku tidak salah, hehe.

Hingga halaman 159 - 160, saya tidak bisa menahan haru. Soeherman (2019)  menulis seperti ini:

Dalam kegalauan di toko buku, saya berjalan menyusuri lorong sepi yang berisi buku-buku filsafat dan sastra. Mata saya tertuju pada buku Paul Ricoer. Membacanya memberi banyak pencerahan dan pengaruh pada cara berpikir saya. ... Saya sungguh berterima kasih pada disiplin ilmu sastra. Ilmu sastra menawarkan berbagai teknik interpretasi wacana. Pelajaran yang belum saya temukan pada disiplin lain. Konsep interpretasi banyak berkembang dari penelitian sastra. Bakhtin (dalam Endraswara, 2011) mengatakan bahwa meneliti karya sastra sama saja dengan proses dialog dengan “manusia lain”. Walaupun keduanya seolah diam, mereka tetap sedang berdialog dalam kebisuan sehingga memerlukan interpretasi yang kuat.
Sepanjang yang saya ingat dan ketahui, inilah pertama kalinya ada orang dengan basic ilmu di luar bidang sastra menulis pernyataan semacam itu. Ingin rasanya membagikan paragraf tersebut ke orang-orang yang suka rasis dalam ilmu pengetahuan. Saya menyebutnya dengan istilah rasis, mungkin kurang tepat, tetapi itulah faktanya. Tidak sedikit orang-orang menganggap bidang ilmunya lebih unggul daripada bidang ilmu lain, khususnya ilmu bahasa dan sastra.

Jika suatu hari saya ditakdirkan bertemu beliau, saya ingin memberinya buku puisi saya hehe. Siapa tahu dia bisa menganalisis buku puisi saya melalui kacamata seorang akuntan. Akuntansi dalam Tetiba Mencintai, misalnya... siapa tahu?[]


Jumat, 29 November 2019

Kanaya: Menolak Sedih Walau Sedih

22.35 0 Comments
Esai Nailiya Nikmah JKF
Rini Intama dan Nailiya Nikmah JKF usai bincang Kanaya


Kanaya tiba di ruang sunyiku ketika ombak besar datang menggulung semua yang ada. Ia mengetuk dinding kaca dalam bilik jiwaku, ketika aku nyaris memutuskan untuk berhenti bernafas. Meski perih, berkali-kali aku meyakinkan diri: bukan, ini bukan saatnya mati. Dalam otakku berputar-putar satu-satunya diksi yang membuatku gagap sekaligus tegap: perempuan. Lalu satu-satu, barisan air mata kusibak dan kusisihkan. Bersama puisi, aku ingin mengembara malam-malam, menembus portal, mengunjungimu dan memintamu menghapus seluruh takdir buruk.
***
Pendahuluan
Setiap orang yang mempelajari teori sastra pada ujungnya akan memahami bahwa ada dua unsur dalam karya sastra, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Sejalan dengan sebuah rumusan bahwa untuk menganalisis sebuah karya sastra kita memerlukan kedua unsur tersebut. Bahwa karya sastra tidak bisa dipandang terpisah dari kreatornya, semua pun bisa memahaminya. Itu pula yang banyak  dilakukan para kritikus dan analis ketika mendekati sebuah karya, baik berupa puisi, cerpen, novel maupun naskah lainnya.
Mungkin itulah sebabnya titi mangsa dalam setiap puisi diistimewakan keberadaannya. Mungkin, itu pula yang kadang membuat sebuah novel perlu dituliskan embel-embel based on true story. Ketika semua hal nyata dan tidak nyata itu saling terkait, haruskah kita memaksa diri mengenang semua kejadian persis sebagaimana adanya? Padahal berapa banyak dari kita yang mampu mengingat semua peristiwa sama persis dengan alur sebenarnya lengkap dengan warna perasaan saat kita mengalaminya? Seorang penyair papan atas pernah berkata bahwa dia sudah lupa dengan hal yang melatarbelakangi sebuh puisi yang pernah ditulisnya sedemikian rupa. Dia lupa bagaimana puisinya bisa sedemikian.
Akan tetapi tidak untuk Kanaya. Tidak bagi Rini Intama. Setiap diksi yang ia hadirkan begitu kuat. Jalin-menjalin antar semua puisi. Kecil kemungkinan Intama melupakan semua hal yang ia tulis (semua hal yang melatari). Sebelum sampai pada titik ini, saya memutuskan mengabaikan unsur ekstrinsik, kecuali bahwa Kanaya ditulis oleh seorang perempuan. Saya tidak ingin mencari tahu siapa Rini Intama. Saya menahan jari-jari agar tidak mengetik nama penyairnya di mesin pencarian. Saya memilih bereksperimen. Bagaiamana kalau Kanaya didekati sebagai Kanaya saja? Bukan sebagai hasil cipta atau kreasi seorang Rini Intama?

Psikologi Sastra dan Perempuan yang Suka Berbohong
Pendekatan yang digunakan dalam esai ini adalah pendekatan psikologi sastra. To know a work of literature is to know the soul of the man who created it, and who created it in order that his soulhould be known (J. Middleton Murry).
Carlyle (1827) menulis kritik sastra tentang keterkaitan antara seorang penyair yang puisinya mencerminkan tingkah laku yang berhubungan secara psikologis. Telah sekian lama orang memandang karya-karya sastra banyak terkait dengan masalah biografi pengarang; karya sastra merupakan cerminan perasaan, dan lebih ekstrim lagi sastra merupakan ekspresi impuls seksual yang terpendam dari si pencipta. Menurut Abrams, sebelum telaah mendalam tentang hal tersebut, ada beberapa unsur yang peru diketahui.  Pertama, perlunya mengamati si pengarang untuk menjelaskan karyanya. Telaah dilakukan terhadap eksponen yang memisahkan dan menjelaskan kualitas khusus suatu karya sastra melalui referensi kuaitas nalar, kehidupan dan lingkungan si pengarang. Kedua, perlunya memahami si pengarang terlepas dari karyanya dengan cara mengamati biografi pengarang untuk merekonstruksi si pengarang dari sisi kehidupannya dan menggunakan karyanya sebagai rekaman kehidupan dan perwatakan. Ketiga, perlunya membaca suatu karya sastra untuk menemukan cerminan kepribadian si pengarang dalam karya tersebut. Fenomena sastra sebagai “cermin” pribadi telah lama berkembang meskipun demikian Endraswara menyatakan tidak selamanya pribadi pengarang selalu masuk ke dalam karya sastranya. (Minderop, 2013:61-62).

Pendekatan
Selanjutnya, berbekal satu informasi saja bahwa Kanaya ditulis oleh perempuan -belum tahu dia perempuan yang seperti apa- esai ini ditulis menggunakan pendekatan psikologi sastra dengan mengambil unsur ketiga dari paparan sebelumnya. Kanaya merupakan kumpulan puisi Rini Intama yang terbit 2019, diterbitkan oleh Tarebooks, Jakarta. 
Penyairnya perempuan, maka coba kita pelajari sebuah rumus perempuan. Perempuan adalah makhluk yang cenderung suka berbohong. Ketika perempuan mengatakan “Saya baik-baik saja” sebenarnya dia tidak baik-baik saja. Ketika dia mengatakan, “Tidak apa-apa” sebenarnya apa-apa. Ketika dia bilang “Saya tidak sedih” sebenarnya dia sedang menahan air matanya. Ketika dia bilang “Saya kuat kok” sejatinya dia sedang menggapai-gapai mencari pegangan, sandaran atau apa saja agar tidak terjatuh. Burukkah hal tersebut? saya kira tidak. Kebohongan tersebut membuat dia menjadi benar-benar seperti pada keadaan yang ia bohongkan. Barangkali inilah kekuatan kata-kata yang menjelma doa-doa hamba teraniaya. Semacam sebuah afirmasi dalam bidang psikologi.

Pembahasan
Kanaya begitu perempuan. Semua yang mengalun dari derai kawihnya adalah perempuan. Air mata sebagai duta kesedihan menjadi kontras di antara tembang-tembang berkekuatan super.
.../Lalu perempuan manakah tak melukis air mata?/.../tempat membiaknya luka/...(hlm 17)
Bait tersebut menggambarkan bahwa perempuan adalah pelukis air mata. Tidak ada pengecualian dalam kutipan tersebut. Hatta Kanaya menampilkan kekuatan-kekuatannya. Perempuan adalah “tukang nangis”, itu yang disampaikan dalam Kanaya.
.../Di tanah Priangan/ Air mata kita jatuh// (hlm 33), ini kutipan puisi berjudul “Kawih Ibu”. Diksi kita bermakna aku dan ibu. Dua orang perempuan sedang bertangis-tangisan pada saat yang sama, pada tempat dan kejadian yang sama. Tapi jangan ambil simpulan dulu, lihatlah bagaimana kekontrasan ada pada puisi-puisi setelahnya. Kanaya mencoba menolak, melawan kesedihannya. Hal yang paling lumrah dari banyak perempuan di dunia.
.../Tak perlu kita tangisi// Tentang sekar ibu/ Jika aku punya air mata/... (hlm 41).
.../Dan ruang-ruang yang gaduh/ tak perlu air mata/ sebab perempuan memanggul kecemasan/ menggenggam hidup dari bara api/ ...(hlm 43).
Kutipan tersebut masing-masing berasal dari puisi Sekar dan Pasar. Pada saat bersamaan, Kanaya menyampaikan ia tidak punya air mata; tak memerlukan air mata. Lihatlah, bagaimana cantiknya Kanaya bermain. Selain “tukang nangis”, perempuan “tukang bohong” dengan rapi terlukis dalam Kanaya. Inilah cara perempuan menolak sedih walau sebenarnya sedih. Memanggul kecemasan, menggenggam hidup dari bara api merupakan frase-frase yang mencerminkan kesulitan-kesulitan hidup para perempuan. Sesuatu yang dipanggul tentu saja adalah sesuatu yang berat, tidak ringan, bukan hal-hal receh. Kecemasan pada ujungnya adalah air mata. Adapun Bara api adalah sesuatu yang sangat potensial, potensial mendatangkan keburukan maupun kebaikan. Perempuan itu menyimpan banyak persoalan. Mereka berpotensi  melakukan perlawanan yang dahsyat, tapi jangan heran jika ujung-ujungnya dia menangis meraung-raung di kamar mandi; menghabiskan berlembar-lembar tissue. Pernah berkonflik dengan perempuan? Bagaimana the power of emak bekerja? Polanya selalu sama. Dia kukuh dan garang level 12 dari skala 1-10 tapi tidak lama kemudian, dia akan bersimbah air mata. Itu yang saya temukan dalam Kanaya. Terima kasih, Rini Intama. Terima kasih atas kejujuran yang paling jujur.

Penutup
Kanaya, kita tidak mencari pembenaran dalam puisi. Meski kadang terlihat rumit, puisi bukan matematika. Ia bukan rumus-rumus pasti yang dikungkung oleh hanya dua pilihan, benar-salah. Puisi adalah tempat jiwa kita berleha-leha. Ia lahan kita untuk merenung. Sesuatu yang kita gapai-gapai ketika jiwa terlunta-lunta setelah ayat-ayat Tuhan. Kanaya, mari kita saling menguatkan; menolak sedih walau sedih.[]

Disampaikan pada Malam Bincang Buku Kanaya karangan Rini Intama bersama Pemantik lainnya Di Kindai, 28 November 2019. Diabadikan di Flamboyan sehari setelahnya.

Minggu, 15 April 2018

Bumi dan Kekuasaan Perempuan dalam Novel Aroma Karsa Karya Dee Lestari

10.25 8 Comments

Novelis cantik Dee Lestari (Dee) pada Maret 2018 kembali menerbitkan novel terbarunya melalui penerbit Bentang Pustaka yang diberi judul Aroma Karsa (AK). Dilihat dari jumlah halamannya (710 hlm) buku setebal hampir 4 cm tersebut tentu bukan termasuk kategori bahan bacaan ringan, setidaknya tidak bagi saya dan kelompok ibu-ibu sibuk. Saya tidak yakin kelompok ibu-ibu sibuk bisa menyelesaikannya dalam sekali baca. Saya membaca AK dalam tiga atau empat fase pembacaan. Saya harus pandai membagi waktu agar bisa menamatkan AK dengan terus berusaha menahan sense-nya setiap saya menutup halaman untuk kemudian membacanya di fase berikutnya. Fase terakhir, saya menyediakan waktu khusus alias begadang untuk menamatkannya.
Saya berusaha menyandera setiap adegan dalam AK dan menampung segala aroma yang dideskripsikan di dalamnya. Selama proses pembacaan tersebut saya tetiba merasa indera penciuman menjadi lebih sensitif, lebih peka. Sesekali saya menciumi, membaui sekitar termasuk kulit tangan sendiri,  seakan-akan saya adalah Jati Wesi atau Tanaya Suma, dua tokoh yag memiliki indera penciuman spesial dalam AK. Diksi yang dipilih Dee dalam bangunan 61 bab tersebut seakan membuat aneka aroma keluar dari novel dan mengajak pembaca menari-nari di antara aroma tersebut.
Halaman-halaman pembuka AK membuat saya membayangkan dua pengusaha perempuan terkenal yang fokus dalam bidang kosmetik dan ramuan tradisional (jamu) di Indonesia. Kemudian saya menimbang-nimbang mana di antara keduanya yang lebih mendekati gambaran dalam novel. Halaman berikutnya saya menyadarkan diri, ini novel. Novel adalah karya fiksi. Sampai kapanpun ia tidak akan menjadi nyata meski dibangun oleh banyak fakta dan data. Jadi, realistis sajalah bahwa yang ada dalam cerita tersebut fiktif.
Terhitung sejak hlm 25, saya merasa (harus) menjadi lebih peka terhadap diksi dan kalimat-kalimat  yang mendeskripsikan kerja indera penciuman. Diikuti halaman setelahnya, saya makin yakin tokoh dalam AK bukan tokoh biasa dalam hal penciuman.

“...Jati meraih baju gantinya yang terjemur di tembok. Pergerakan udara di sekitar mereka berdua mengantarkan bau amonia berbaur sampo aroma apel yang sudah dibiarkan semalaman di rambut... Kibasan udara kini mengantarkan jejak furaneol yang digeontori metanol ke hidungnya.” (Lestari, 2018:25).

Halaman-halaman selanjutnya menambah informasi bahwa Jati Wesi, tokoh utama lelaki dalam AK tidak sekadar mampu membaui aroma tatapi lebih dari itu, ia membuat formulasi, melakukan analisis, membuat sintesis dan simpulan terhadap aneka aroma tersebut.

“Menjelang hujan turun, segala wewangian akan tercium lebih tajam baginya. Tadi, wangi asiri dan sayatan rmput begitu pekat sampai-sampai hidungnya gatal. Yang bakal hadir bukan hujan biasa, demikia Jati menyimpulkan. Hidungnya mengendus kedatangan badai. Ingin jati menyampaikan itu kepada Nurdin, tapi entah harus memulai dari mana.” (hlm 31).


Setelah rampung membacanya, saya menemukan simpul-simpul yang menalikan beberapa kata kunci yaitu bumi (:alam), perempuan dan kekuasaan perempuan yang sangat khas dalam novel ini. Siapa yang mendominasi siapa atau apa, saling silang dalam alur kehendak para tokoh. Paradigma yang dipakai dalam memahami hal-hal tersirat dan tersurat akan sangat menentukan hal-hal yang selanjutnya bakal mengepung kita pasca membaca tuntas AK. Saya menemukan beberapa kata kunci yang menuntun saya pada sebuah paradigma. Selanjutnya, berdasar kata kunci yang saya temukan, saya menggunakan teori ekofeminisme untuk menganalisis AK.
Kajian ulang terhadap paradigma sains yang mendukung dominasi alam dan perempuan sekaligus adalah agenda awal feminis new age. Kajian tersebut menumbuhkan keyakinan bahwa dominasi terhadap perempuan berjalan sudah sangat  lama- bahkan sama tuanya dengan dominasi terhadap bumi (alam). Bumi-perempuan sama-sama menjadi objek eksploitasi. Ini dapat dibuktikan misalnya dari mitos atau legenda yang menyimbolkan bumi sebagai ibu (:perempuan). Kemudian gerakan spiritual feminis lebih khusus digerakkan oleh spiritualitas ekofeminisme yang mengintegrasikan kesadaran spiritual feminis dengan kesadaran ekologis. Ekofeminisme ditafsirkan sebagai gerakan spiritual (spiritual movement) oleh Starhawk – seorang tokoh spiritual ekofeminisme yang tergabung dalam konteks gerakan new age. Hal ini disebabkan oleh sudah tercakupnya transformasi nilai kultural dan ekologis di dalam penafsiran tersebut. Ia pula yang mempopulerkan kata kunci “spiritualitas ekofeminis” yang disandarkan pada bumi (earth-based) dan ekologi (ecology-based). Starhawk memberikan informasi tentang seputar kebangkitan gerakan feminisme yang melindungi kerusakan hutan dengan cara merangkul pohon yang akan di-bulldozer, seperti gerakan Chipko Andolan di India. Masih banyak lagi contoh gerakan spiritual ekofeminisme yang ramah dan sadar-ekologis seperti New Age, Moral Majority dan Happiness of Womanhood di AS (Sukidi, 2001).
Analisis ini sangat relevan dengan peringatan Hari Bumi sedunia yang dirayakan setiap 22 April.  Merayakan hari Bumi tentu tidak hanya dilakukan dengan kegiatan berupa seremonial saja, namun lebih ke peran serta aktif masyarakat sesuai dengan kapasitas masing-masing dalam upaya pelestarian lingkungan. Di Indonesia, upaya-upaya penyelamatan lingkungan terutama disuarakan oleh para akktivis lingkungan dan masyarakat yang tinggal di area yang mengalami kerusakan alam parah akibat eksploitasi. Sebut saja area pertambangan batubara, perkebunan kelapa sawit, pertambangan intan, penambangan batu alam di pegunungan, penambangan pasir, penebangan hutan secara liar sampai penyempitan area sungai. Baru-baru ini, di provinsi saya tinggal, yaitu Kalimantan Selatan telah banyak masyarakat yang melakukan upaya #savemeratus dengan sangat serius dan mengundang perhatian banyak pihak. Dalam bidang sastra sendiri, ULM pernah mengadakan seminar prosiding bertema Ekologi Sastra (2015).
Dalam kajiannya terhadap beberapa puisi tentang kerusakan hutan di Kalimantan Selatan, Alfianti (2015) menyebutkan bahwa “Yang bertanggung jawab atas kerusakan hutan juga adalah mereka yang memiliki akses pada kekuasaan yang tak bisa dilawan begitu saja oleh masyarakat.” Aroma serupa dengan pernyataan ini dapat saya endus pula dalam AK.
Sementara itu, peran perempuan terkait teori kealaman oleh perempuan Indonesia dapat dilihat dari pelbagai lini kehidupan. Dalam bidang ekonomi misalnya, perempuan Indonesia di Kalimantan Selatan begitu lekat dengan sungai sebagai jalur mata pencaharian, kemudian sawah untuk pertanian, perkebunan, perikanan hingga pertambangan. Di pasar terapung, kita akan melihat setiap subuh para perempuanlah yang mengayuh ekonomi keluarga. Begitu juga di sawah, di kebun dan di area lainnya. Perempuan Indonesia sudah akrab dengan buminya dari masa ke masa.
Meskipun demikian, dalam hal lain, perempuan kerap dijadikan simbol bagi bumi dan unsur alam lainnya. Saya ambil satu contoh, intan sebagai hasil pendulangan sering disebut “galuh” oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Mereka percaya turun-temurun bahwa intan harus disebut “galuh” karena alasan tertentu yang berhubungan dengan tradisi. Galuh adalah panggilan atau sebutan untuk gadis atau perempuan Banjar. Ini kemudian memposisikan perempuan menjadi pihak yang dikuasai (:oleh laki-laki) sebagaimana alam yang dikuasai oleh manusia. Karren J warren dalam Maimunah (2013:233) menyatakan bahwa opresi patriarki terhadap alam dan perempuan disebabkan oleh pandangan bahwa alam/perempuan adalah sesuatu yang feminin, tidak berdaya dan pantas untuk dikuasai. Politik othering ini didasarkan pada cara berpikir maskulin bahwa alam = perempuan. Dari sisi linguistik sering ditemui unsur-unsur yang meng’alam’kan perempuan atau mem’feminin’kan perempuan, misalnya frase “pemerkosaan hutan” atau “penggarapan tanah”.
Salah satu pertanyaan saya dalam analisis sederhana ini adalah “Adakah penyimbolan perempuan terhadap alam (:bumi) dalam AK? Jika ada, bagaimanakah semua hal yang terkait dengannya direpresentasikan oleh Pengarang?

Bumi (:Alam) memberi banyak tapi kehendak manusia tak berujung
Begitu banyak yang diberikan oleh alam akan tetapi manusia selalu punya kehendak di atas kehendak. Selama lebih dari tiga generasi, keluarga Prayagung menghabiskan usia dalam perburuan sumber puspa karsa. Meski percikan kekuatannya sudah berhasil dimiliki, keluarga Prayagung tidak berhenti melakukan perburuan terhadap hal yang turun-temurun diwariskan melalui dua hal kontras, dongeng dan penelitian ilmiah.

Porsi pertama akan mengubah nasibmu
Porsi kedua akan mengubah nasib keturunanmu
Porsi ketiga akan mengubah dunia sebagaimana keinginanmu. (Lestari, 2018:9)

Bermula dari temuannya dalam kotak besi berupa lontar-lontar, tiga tube berisi cairan sari puspa karsa disertai selembar catatan lapuk berisi tiga pesan tersebut, Janirah memulai langkah menuju hal-hal besar dalam hidupnya. Janirah percaya ia bisa menjadi lebih daripada dirinya sebelumnya, seorang abdi keraton yang bersahaja. Janirah bukan saja pencuri benda pusaka melainkan pencuri nasib yang dengan tangannya sendiri hendak mengubah garis hidupnya. Kematian bahkan tidak mampu menghentikan ambisi Janirah. Janirah mewariskan kehendak terbesar sepanjang sejarah pesonanya kepada cucunya. Bumi telah memberi Janirah (:manusia) aneka biji, rempah, bunga, tanaman yang  menjadi bahan baku bisnis Kemara milik keluarga Prayagung beserta sari puspa karsa curian yang mengantarkan mereka menjadi pengusaha sukses dan terkenal seantero negeri. Janirah merupakan simbol yang mewakili manusia – penghuni bumi yang tercipta dalam bentuk sempurna.
Pada halaman 605 diceritakan tentang dunia lain yang tak kasat mata. Pandangan Ambrik mewakili orang Dwarapala terhadap dunia manusia cukup untuk mendeskripsikan seperti apa penghuni bumi bernama manusia. “... Kisah dunia manusia selalu bernada suram; manusia bergerak cepat dalam ragam kendaraan gaduh; jalanan keras panas menyengat telapak, rumah-rumah kotak bertumpang tindih, sesak oleh barang yang tak ia pahami; siang terasa lebih panjang karena tak terputusnya penerangan, tak mengenal sunyi; ladang subur sekaligus tempat bermain sempurna bagi sanghyang Batari Karsa. Terlalu banyak orang muram, tegang, lelah, saling tak tegur sapa, jumlahnya banyak tapi seperti terasing satu sama lain. Di dunia semacam itu, cukup satu percik untuk Sanghyang Batari Karsa memuaskan laparnya.” (Lestari, 2018:605).
Selain Dwarapala, AK mengisahkan Alas Kalingga, sebuah hutan yang tidak biasa. Yang dijaga oleh para Banaspati, yaitu anak hutan. Kisah penjagaan Alas Kalingga ini patut ditiru oleh manusia dalam kehidupan nyata sebagai bentuk kepedulian terhadap bumi. Sebagaimana selama ini yang diperlihatkan oleh juru kunci pegunungan yang dapat memahami bahasa alam.

“...Mereka menyimpannya sebagai pengingat bahwa Bumi bisa dikendalikan dengan aroma. Bukan cuma pedang atau bubuk mesiu.” (Lestari, 2018:11).

Kutipan halaman 11 menggambarkan sebuah realitas tentang penguasaan dan pengendalian bumi (:alam). AK menyampaikan bahkan tidak perlu pedang dan bubuk mesiu untuk mengendalikan bumi. Cukup aroma. Terkesan mistis dan tidak ilmiah. Akan tetapi Dee mengantisipasinya secara kontras dengan menghadirka..n tokoh Raras yang menggunakan metode ilmiah dan ekspedisi serius untuk membuktikan keberadaan aroma tersebut.

Raras mendengar Puspa Karsa pada masa kecilnya, sekitar tahun 1960-an, saat Indonesia telah menjadi republik modern dan zaman kerajaan tinggal menjadi hantu arkais. Bertahun-tahun ia menelan cerita tentang Puspa Karsa tak lebih dari pengantar tidur layaknya Timun Mas dan Malin Kundang. ... semua asumsinya terjungkir pada momen ia membuka kotak besi di bank hari itu. Ia baru tersadar bahwa Eyang Putri tumbuh besar dalam lingkungan kerajaan, dan selama itu pula neneknya menyampaikan petunjuk terbalut dongeng.” (Lestari, 2018:11).

Selanjutnya, Raras menjadi pusaran perjuangan perwujudan ambisi yang diwariskan oleh Janirah. Janirah mengkader Raras sejak dini melalui dongeng masa kecil semacam Timun Mas dan Malin Kundang. Berbeda dengan anak lain seusianya, Raras mendapat tambahan “dongeng”, yaitu Puspa Karsa. Ketika waktu kematiannya telah tiba, Janirah tinggal meng-klik satu tombol dalam benak Raras untuk dalam sekejap mengubah dongeng menjadi warisan “kehendak”.

Puspa Karsa: Simbol Kekuasaan Perempuan
Secara keseluruhan, AK mengirimkan pesan tentang kekuasaan perempuan yang disimbolkan melalui Puspa Karsa. Terdapat beberapa unsur yang merepresentasikan hal tersebut. Inilah beberapa hal yang saya temukan dalam AK:

1. Keturunan laki-laki tidak bisa diandalkan
Janirah menikah dengan seorang keturunan keluarga ningrat Prayagung. Janirah dikaruniai anak laki-laki. Berikut gambaran anak lelaki Janirah yang disuarakan oleh tokoh Raras,

“... Romo ibarat kutukan. Romo tidak kebagian secuil pun keuletan Janirah Prayagung. Romo bertingkah persis ningrat-ningrat kebesaran nama, tapi tak berguna. Kerjanya Cuma makan harta turun-temurun. Romo senang membuat perusahaan baru dan macam-macam, sibuknya bukan main, tapi tak ada satupun yang jalan. Romo kebanyakan perempuan simpanan. Romo terlalu lama menghabiskan waktu di lapangan golf dan klub pria.” (Lestari, 2018:15).

Dengan deskripsi seperti itu, jelas anak kandung Janirah tidak dapat melanjutkan bisnis dan kekuasaan Janirah. Janirah menitis ke cucunya, yaitu Raras. Raras begitu sempurna menjadi replika Janirah. Ia bahkan lebih banyak melakukan gebrakan dibanding Janirah pada masanya.

2. Dominasi Raras terhadap banyak lelaki.
Raras sebagai tokoh perempuan dalam AK memiliki banyak kaki tangan maupun rekan kerja laki-laki. Dalam hidupnya, Raras selalu berhasil membuat para lelaki melakukan banyak hal sesuai dengan keinginannya. Ia bisa melakukan apapun untuk mencapai ambisinya mendapatkan sumber utama Puspa Karsa. Perusahaan Kemara hingga urusan ekspedisi Puspa Karsa memperlihatkan seluruh dominasi perempuan bernama Raras. Semua anggota tim ekspedisi pencarian Puspa Karsa adalah laki-laki yang punya ilmu, posisi dan keterampilan yang tidak main-main. Semuanya  berhasil dikuasai oleh Raras.

3. Empu Smarakandi
Jika di dunia manusia ada perempuan penguasa bernama Raras, maka di dunia dewa dalam AK Alas Kalingga memiliki perempuan hebat bergelar Empu Smarakandi. Selain kepemimpinannya, kepiawaian tokoh perempuan yang satu ini juga terlihat dalam urusan pengobatan hingga urusan asmara. Empu Smarakandi pula yang pertama kali menyadari puspa karsa telah menitis kepada Suma. Ia merupakan simbol perempuan bijak dan kuat dalam AK. Sebagaimana lazimnya kehidupan, selalu ada dua sisi berlawanan. Penokohan Empu Smarakandi menepis anggapan bahwa perempuan hanya memiliki potensi untuk mengacaukan dunia seperti yang dilakukan oleh Raras.

4. Ambrik: Istri sekaligus Ibu terbaik di Dwarapala
Sebagai perempuan yang telah dipilih oleh Batari Karsa sebagai wadak penitisan, Ambrik memahami betul tugas dan perannya serta konsekuensi apa yang harus ia lakukan sewaktu-waktu termasuk kepasrhannya terhadap ritual Girah Rudira. Sebuah ritual yang akan memisahkan ia dengan suami dan anaknya selama-lamanya. Untuk memahami perempuan pilihan bernama Ambrik, kita  bisa menyimak kutipan berikut:

“Di dalam gubuk, Ambrik tahu persis apa yang harus ia lakukan. Ia mengambil bedungan dari tangan Anung, lalu membaringkan bayi itu di dipan., bersisian dengan bayi dari dekapannya. Ambrik meminumkan air dari dalam kendi kecl kepada kedua bayi itu secara bergantian dengan telaten.” (Lestari, 2018:607)

“Sekarang atau nanti, sama saja.” Ambrik mengelus sekilas rambut suaminya. “Bantu aku.” (Lestari, 2018:608)


Kekuatan Puspa Karsa: Kekuasaan Perempuan

Puspa Karsa merupakan simbol kekuasaan dan kekuatan perempuan. Dalam AK fisik aslinya digambarkan sebagai  berikut:

“... organisme berbentuk bunga dengan ukuran sekepala manusia. Tanpa batang dan daun, bunga itu langsung tersambung ke akar. Fisiknya menyerupai anggrek yang memiliki tiga kelopak dan dua mahkota. Bagian kolomnya berbentuk sedemikian rupa hingga menyerupai rengkorak. Terjulur labelum panjang hingga ke lantai gua, bergerak-gerak seperti ular hidup. Warna dan teksturnya soperti daging busuk. ... yang lain tidak melihatnya seperti kita. Sanghyang Karsa sangat lihai membuat tipuan. Semua hewan jadi makanan bagi wujud bunganya tapi temanmu tadi dan semua penduduk Dwarapala, jika tertangkap, adalah makanan bagi rohnya. Kalau sanpai ia lepas dari wujud bunga pergi ke duniamu, beliau tidak akan habis-habis memangsa atma manuia.(Lestari,2018:646-647).

Sementara itu kekuatannya sendiri dimulai dari terbangunnya Sanghyang Batari Karsa dengan ditandai oleh bau atau aroma tajam yang sulit didefinisikan oleh indra biasa. Seiring dengan itu, Talinganbuana, semacam alarm yang dipasang Mahesa Guning akan berbunyi mengingatkan orang-orang Dwarapala akan ancaman terhadap Alas Kalingga. Ancaman terhadap dunia manusia pula. Seluruh makhluk berduyun-duyun menuju pusat aroma yang kemudian akan menjadi mangsa Puspa Karsa.
Seperti inilah efek aroma puspa karsa direpresentasikan melalui suara Lambang, salah satu tokoh AK yang menjadi bagian tim ekspedisi pencarian puspa Karsa:

“Aroma aneh di udara kian menyerang. Lambang tak tahan lagi. Ia beusaha menahan nafas dan malah semakin sesak. Anehnya bau tak lazim itu, yang bersabur limbur antara buah, bunga, kayu, rempah, daging, keringat, lendir kelamin dan entah apalagi. Terkadang begitu lezat hingga memancing liur dan membuat ia ingin menghirup sedalam mungkin. ... yang paling menggetarkan dari bau itu adalah kekuatannya. ... Lambang seperti dikuasai sesuatu dan tak berdaya mengambil alih. ... Di atas sana, di rumah-rumah pohon, pecahlah suara-suara tak terkendali. Laki-laki-perempuan. Jeritan melengking, tawa bengis, lolongan, geraman, racauan. Lambang menyaksikan kengerian baru. Rumah-rumah bergetar karena penghuninya menandak-nandak dan membetot-betot tali yang mengikat tangan dan kaki mereka.” (Lestari, 2018:644).

“Ambrik sudah diincar untuk penitisan. Kalau kalian kawin, punya anak, dan anak kalian perempuan, penitisan Sanghyang Batari Karsa akan bersambung ke anakmu, kecuali Girah Rudira dilakuan.” (Lestari, 2018:614).
Jika penitisan terjadi, maka kembangnya akan bertambah. Dunia pun semakin mudah berada di bawah kendalinya. Dee memilih perempuan sebagai perwujudan penguasa dalam AK. Dewi Puspa yang kemudian dikenal dengan Sanghyang Batari Karsa, menjelma dalam wujud bunga dan manusia perempuan, yang hanya akan menitis kepada perempuan pilihannya. Dialah yang dipanggil oleh Suma sebagai “Ibu”.

Epilog
Demikianlah, saya menemukan kekusaan perempuan dalam novel yang menyimpan pesan “Selamatkan lingkungan dari ambisi manusia” ini. Open ending yang dipilih Dee bagi saya memberikan peluang lebar bagi pemerhati ekofeminisme untuk mengkaji lebih dalam lagi. Manusia mestinya memahami betapa keserakahan dan ketidakarifan terhadap alam akan membuat celaka bagi dirinya sendiri. Semoga pembaca menangkap makna atas frase genderang perang yang dipilih Dee untuk menutup ceritanya. Akankah di dunia nyata bermunculan Banaspati-Banaspati yang dapat menjaga Hutan Meratus misalnya? Mari optimis. Mari melakukan sesuatu sebanyak yang bisa kita lakukan, sesuai peran kita di bumi ini. Selamat Hari Bumi.[] Nai

Referensi
Alfianti, Dewi. “Kerusakan Hutan sebagai Pengetahuan Bersama dalam Perspektif Sosiokognitif
Teun A. Van Dijk (Analisis Wacana Kritis Kumpulan Puisi Konser Kecemasan karya Penyair Kalimantan Selatan)” dalam Prosiding Ecology of Language and Literature, Seminar Proceedings Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Maret, 2015, 45-65.
Lestari, Dewi. 2018. Aroma Karsa. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Nikmah, Nailiya. “Alam dan Femininitas dalam Kumpulan Puisi Mantra Rindu Karya Kalsum Belgis“ dalam
Prosiding Ecology of Language and Literature, Seminar Proceedings Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Maret, 2015, 185 -202.
Sukidi. 2001. “Spiritualitas Feminis dalam Gerakan New Age” dalam Jurnal Perempuan No.20 Tahun 2001,
7-21. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Collab Female of Blogger Banjarmasin Edisi April 2018 dengan tema “Hari Bumi” selanjutnya sedang dikaji ulang secara serius untuk sebuah karya tulis ilmiah di bidang sastra oleh penulis.