Kamis, 20 Maret 2014
Kisah Topi di Hari Senin
(Catatan Nailiya Nikmah JKF)
Senin itu
giliranku mengantar anak-anak ke sekolah sebelum menuju tempat kerja. Karena
awal bulan, tugas mengantar hari itu ditambah dengan tugas membayar SPP
anak-anak di loket pembayaran SPP sekolah yang merangkap dengan koperasi
sekolah. Sebelum giliranku, ada dua Bapak yang sedang melakukan pembayaran di
loket. Pas tiba giliranku, tiba-tiba ada anak laki-laki menyela transaksi kami.
Aku mengenalinya sebagai teman sekelas anak keduaku. Rupanya dia ingin membeli
topi.
Aku teringat
anak keduaku, aku cemas dan bertanya-tanya dalam hati, apakah tadi dia sudah
membawa topinya. Di rumah ada tiga topi seragam sekolah (belum termasuk yang
hilang). Tentu saja kami tidak membelinya tiga sekaligus. Topi seragam tersebut
menjadi tiga gara-gara topi tidak ditemukan di saat diperlukan. Macam-macam
penyebabnya, bisa karena lupa di mana meletakkan, terselip dalam lipatan baju
yang tidak karuan lagi bentuknya, dan kadang ketinggalan di sekolah.
Hari Senin adalah hari pencarian topi karena
pada hari Seninlah topi wajib dipakai. Anakku termasuk yang tidak terlalu suka
pakai topi. Di sekolah mereka, murid laki-laki wajib memakai topi saat upacara
bendera tapi tidak bagi murid perempuan karena
mereka berkerudung. Kadang benda yang satu itulah sumber kehebohan di
rumah kami. Apalagi kalau bukan pencarian topi yang hilang di saat jam sudah
menunjukkan pukul tujuh pagi.
Aku masih di
loket pembayaran ketika para murid sudah dipanggil untuk segera berbaris dalam
rangka persiapan upacara bendera. Dari jauh kulihat anak laki-lakiku sedang
berbaris bersama teman sekelasnya. Kulihat tidak ada topi di kepalanya. Aku pun
jadi cemas. Tidak lama mataku melihat tangannya sedang memain-mainkan topinya.
Aku lega meski sedikit heran kenapa dia tidak segera memasang topinya dengan
baik. Ia malah memasukkan topinya ke dada, ke dalam kemeja putihnya. Aku jadi
risau karena teringat sesuatu.
Beberapa pekan
sebelumnya, anakku bercerita, ia tidak memakai topi sewaktu upacara padahal ia
membawa topi. Waktu kutanya apa sebabnya, dia hanya menjawab bahwa topinya
dipakai teman selama upacara. Aku kaget. Dari jawaban-jawaban yang ia berikan
selama interogasi terselubungku, aku simpulkan dia melakukan itu karena kasihan
dengan temannya yang kepanasan sewaktu upacara bendera. Aku puji dia karena
baik hati tapi aku tanya lagi, bagaimana pas razia kelengkapan setelah upacara.
Dia jawab, topinya sudah dikembalikan oleh temannya kepada anakku sehingga dia
tidak dihukum.
Aku tidak bisa
membiarkan hal sepele ini terjadi pada anakku karena aku pernah memiliki kisah
yang cukup menyebalkan tentang selembar topi di hari Senin. Aku masih ingat,
Senin itu masih pekan-pekan pertamaku di sebuah sekolah dasar negeri biasa.
Sejak kelas satu SD, aku sudah tidak diantar jemput apalagi ditunggui (karena jaraknya
cukup dekat dari rumah Nenek, saat itu kami masih tinggal di rumah Nenek).
Ayahku pegawai kantoran yang disiplin, ibuku guru di sebuah SD inti yang
berdedikasi tinggi terhadap tugasnya. Tidak ada waktu untuk aku merengek-rengek
di pagi hari sekalipun itu pagi Senin. Setelah mendapat uang saku secukupnya,
aku berangkat sekolah bersama seorang anak tetanggaku yang sekelas denganku.
Entah bagaimana ceritanya (aku lupa), setelah waktu istirahat, aku terlibat
perseteruan dengan seorang anak laki-laki. Dia bersikeras bahwa topi kami
tertukar dan topi yang ada di tanganku adalah topinya. Sementara dia tidak
memegang topi satupun. Artinya, dia ingin mengatakan bahwa topiku hilang. Tentu
saja aku tidak mau menyerahkan topi yang ada di tanganku. Bagiku lebih baik aku
berseteru dengannya daripada aku harus kehilangan topiku. Aku tidak tahu apa
sebabnya sampai ia menganggap topi yang ada di tanganku adalah topinya. Saat
itu tak terpikir sedikitpun olehku untuk mengalah dan membiarkan topi itu
diambilnya lalu pulang ke rumah sambil merengek minta topi baru pada orang
tuaku. Tidak, aku tidak akan melibatkan orang tuaku dalam perkara topi. Aku
berangkat memakai topi, pulangpun harus memakai topi.
Aku baru saja
berganti pakaian ketika nenekku bilang ada teman yang mencariku di luar. Aku
heran. Rasanya aku belum memiliki teman dekat apalagi yang mau main ke rumahku
secepat ini. Aku bergegas ke luar. Di pintu depan yang terbuka lebar, kulihat
sosok seorang anak laki-laki seusiaku bersama dua anak perempuan yang badannya
lebih tinggi daripada kami. Astaga! Aku memekik. Dia anak laki-laki itu. Anak
laki-laki yang tadi berebut topi denganku di kelas. Ternyata dua anak perempuan
yang berbadan lebih besar itu kakak-kakaknya, yang satu kelas 5, satunya lagi
kelas 6. Akupun memutar ke dalam kamar, tidak jadi menemui mereka tapi tentu
saja mereka sudah melihatku. Aku memegangi topiku seperti layaknya melindungi
benda mahal yang tiada tara nilainya. Tidak
terpikir sedikitpun untuk minta bantuan pada nenek, atau pada anggota rumah
lainnya.
Tidak lama
berselang, nenekku masuk ke kamar sambil berkata, “Dia anak orang kaya di
kampung ini. Oiya, kata kakak-kakaknya, kamu membawa topinya. Benar begitu?”
Dengarlah,
nenekku pun seperti tidak mungkin akan menolongku. Apakah aku harus menunggu
kedatangan orang tuaku agar bisa membelaku? Bagaimana kalau merekapun bersikap
seperti nenek? Ini tidak boleh dibiarkan. Topi ini milikku, aku akan
mempertahankannya sampai kapanpun (lebay juga aku waktu itu yaaJ).
Oh, iya tadi nenek bilang dia anak orang kaya? Bukankah itu artinya dia bisa
membeli topi baru dengan mudah? Aku menegakkan kepala lalu berkata, “Tidak Nek.
Ini topiku.”
“Lalu, mana topi
anak itu?” tanya nenek.
“Aku tidak
tahu.” Hanya itu jawabanku.
“Kalau begitu,
kaukatakan sendiri pada mereka” kata nenek mantap.
Mendengar nada
suara nenek yang mantap, akupun keluar menemui mereka. Mereka akhirnya pulang
tanpa membawa topiku.
Lamunanku buyar
oleh kedatangan seorang anak laki-laki bersama ibunya. Kulihat ia memakai topi
tapi mengapa wajahnya seperti menyimpan persoalan? Tentu persoalannya lebih
dari sekadar topi. “Kami kehilangan rompi,” Kata sang Ibu kepada penjaga
koperasi. Ah, rompi. Anak-anakku masing-masing punya dua rompi seragam.
Sejarahnya tak jauh beda dengan topi.
“Maaf, Bu tapi kita
sedang kehabisan stok rompi ukuran L.” Jawab penjaga koperasi yang disambut
wajah mendung sang anak. Inilah beberapa persoalan di pagi hari yang kadang
membuat orang tua (terutama ibu yang pekerja) sedikit kalang kabut.
Persoalan
tersebut muncul karena anak-anak pada umumnya (terutama anak laki-laki) masih
sulit memanajemen dirinya dalam hal penyimpanan barang-barang pribadi. Sepulang
sekolah, mereka ingin memuaskan hati bermain saja. Ah, benar. Selain itu masih
banyak persoalan lain yang membuat heboh pagi hari. Ikat pinggang, kaos kaki,
kaos dalam, pensil, penggaris, buku paket, krayon, bahkan si kecil karet
penghapus! Tentu saja untuk hari Senin,
topi yang paling populer.
Aku tersenyum
mengingat kisah topiku. Setelah transaksi selesai, aku menuju tempat parkir.
Sebelumnya aku lihat anakku berbaris rapi mengikuti upacara bendera dengan topi
seragam bertengger di kepalanya. Selamat mengikuti upacara bendera, Nak.
Kenang-kenanglah jasa para pahlawan yang membuatmu bisa menikmati kibaran merah
putih di halaman sekolah. Bersama topi seragam tentunya.
Di tengah
perjalanan dari sekolah menuju tempat kerja, aku melihat selembar topi seragam
sekolah yang masih terlihat baru, tergeletak di tengah jalan raya dilindas
roda-roda kendaraan. Aku jadi sedih membayangkan ada satu anak hari itu sedang
gundah hatinya karena telah kehilangan topi di pagi Senin….
***
Dua hari
kemudian, aku baru menyadari di tali jemuran tergantung dua buah celana olah
raga. Artinya, anak laki-lakiku pada hari olah raga membawa pulang dua celana
(salah satu pasti punya temannya) tanpa bajunya. Ini berarti pula, ada anak
lain yang membawa pulang dua baju olah raga (salah satunya pasti punya anakku)
tanpa celana. Aku teringat ibu dan anak yang mencari rompi baru di koperasi
sekolah tapi bayangan itu segera kutepis. Tidak mungkin aku membeli baju olah
raga yang baru. Anakku harus mengembalikan celana yang bukan miliknya dan ia
pun harus mendapatkan kembali baju olah raganya. Aku segera menghubungi gurunya
untuk meminta bantuan agar tidak terjadi salah paham antara anakku dengan
temannya. Celana yang bukan punya anakku diserahkannya pada gurunya. Kata
anakku, sang guru sudah mengumumkannya di kelas. (Sekadar informasi, karena
menerapkan pemisahan murid berdasar jenis kelamin, kelas anak laki-lakiku tentu
saja berisi murid laki-laki semua). Anehnya, sampai satu pekan tidak ada anak
yang menyadari bahwa ia kehiangan celana olah raga. Sampai tiba hari olah raga
kembali, anakku berangkat sekolah tanpa baju olah raga. Hanya saja, hari itu
aku tidak cemas. Aku percaya guru anakku pasti bisa menyelesaikan masalah ini.
Sorenya, ketika
pulang sekolah, anakku menyerahkan selembar baju olah raga yang wanginya asing
di penciuman kamiJ
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar