Add caption |
Kamis, 20 Maret 2014
# esai
# Lemari Buku Nai
MENYUSURI JALAN PUISI (BERSAMA) IBRAMSYAH AMANDIT
by
Nailiya Nikmah
on
14.17
MENYUSURI JALAN PUISI (BERSAMA) IBRAMSYAH AMANDIT
Esai Nailiya Nikmah
JKF
Seberapa
besar cintamu pada puisi? Tunggu, jangan jawab pertanyaan tersebut sebelum
menjawab pertanyaan yang satu ini, seberapa jauh perjalanan puisimu? Jawaban
atas pertanyaan ini bukan semata tentang jarak dan waktu melainkan tentang
ketekunan. Sebagai pelajaran tentang
ketekunan dalam perjalanan puisi, tidak berlebihan kiranya jika kita menengok
perjalanan puisi sastrawan yang satu ini untuk mengaca diri sebelum melanjutkan
perjalanan puisi kita.
Iberamsyah
Amandit (IA) bin H. Lawier lahir di Desa Tabihi Kanan, Kelirahan Karang Jawa,
Kec Padang Batung, Kandangan, Kab HSS 9 Agustus 1943. Menempuh pendidikan
(1949-1950) di Sekolah Rakyat Desa Tabihi Kiri dan di Karang Jawa (1 tahun),
lalu ke SR 6 tahun di Tamban (lulus 1957); dilanjutkan ke Sekolah Menengah
Islam Pertama (SMIP) di Jalan Masjid Jami, Banjarmasin
(lulus 1961), Madrasah Menengah Tinggi – depan Masjid Agung – Yogyakarta
(lulus 1965) dan FKIS, Jurusan Ilmu Administrasi, IKIP Negeri Yogyakarta,
sampai tingkat sarjana muda (1971). Menulis puisi sejak 1970. Ia bergabung dan
lesehan mendengarkan pembacaan puisi oleh penulis-penulis Insani dan para
penyair Persada Studi Klub pimpinan “Presiden Malioboro”, Umbu Landu Paranggi.
IA
kembali ke Kalimantan Selatan (1972), terus menulis dan membacakan puisi di
acara Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni RRI Banjarmasin, asuhan Hijaz Yamani. Setiap
tahun ia mengikuti Aruh Sastra (:Aruh Sastra merupakan even sastra tahunan terbesar
yang diselenggarakan di Kalimantan Selatan). Ia juga menjadi peserta Temu
Sastrawan Nusantara Melayu Raya 5 Negara di Padang (2012); peserta Kongres
Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Cisarua Bogor (2012). Puisinya dipublikasikan Harian
Mercusuar (yogyakarta), Mingguan Sampe (Samarinda), Dinamika Berita,
Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Beberapa karyanya juga diterbitkan
dalam beberapa antologi. Atas dedikasinya, ia pernah mendapat beberapa
penghargaan dari pemerintah.
Desember 2010, IA mengalami stroke. Yang
membanggakan, stroke tidak membuatnya menghentikan perjalanan puisinya. Juni
2013, antologi puisinya yang berjudul Tikar Pandan terbit. Membaca antologi
yang diterbitkan oleh UPT Taman Budaya Kalsel, Dinas Pemuda Olahraga,
Kebudayaan dan Pariwisata Pemprov Kalsel kerja sama dengan Penerbit Pustaka
Banua, akan terbaca perjalanan puisinya di fase stroke.
Definisi
menurut WHO: stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun
global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat
gangguan aliran darah otak. Menurut Neil F Gordon: stroke adalah gangguan potensial yang fatal
pada suplai darah bagian otak. Tidak ada satupun bagian tubuh manusia yang
dapat bertahan bila terdapat gangguan suplai darah dalam waktu relatif lama
sebab darah sangat dibutuhkan dalam kehidupan terutama oksigen pengangkut bahan
makanan yang dibutuhkan pada otak dan otak dalah pusat kontrol sistem tubuh
termasuk perintah dari semua gerakan fisik (http://infostroke.wordpress.com/pengertian-stroke/
).
Diksi
seperti lumpuh, lemah, pincang, parau, sisa, compang-camping, lusuh, cacat, dan
frase fisik tak sempurna pada puisi
Lumpuh (2) begitu konkret menggambarkan keadaan IA pada fase stroke-nya. Menurut
ceritanya, IA pernah mengalami stroke dua kali. Dilihat dari judulnya, kiranya
puisi “Lumpuh (2)” hlm 6 adalah puisi yang menggambarkan keadaan ketika ia
mengalami stroke yang kedua. IA sangat memahami keadaan fisiknya. Ia
menyebutnya dengan orang berfisik tak sempurna. Akan tetapi, puisi ini bukan ungkapan
kecengengan atau kelemahan diri. IA mengungkapkan tantangan semangat kebaruan dan melangkahkan
kaki cacat. IA memilih untuk menyandingkan kata melangkahkan di depan frase
kaki cacat. Tangkaplah optimisme yang ia sampaikan. IA akan tetap melangkah
meski kakinya cacat dan tangan terkulai lemah.
Akan
tetapi, IA bukan malaikat. Jangan salahkan jika ia pun pernah bimbang (:galau).
Siapapun yang didera penyakit berat, akan mengalami saat-saat down. Puisi “Tunjukkan Penyair” hlm 5
mewakili kegalauannya. /Tunjukkan penyair;/ Apa kakiku diam atau derap
berjalan/ lewat terminal ke terminal/ mencari titik tuju akhir pemberhentian/
sebelum tamat perambah liar jalanan//…//Tunjukkan penyair;/ Apa kata-kataku
galau suara sia-sia/ Apa ucapanku pembawa sabda?/
IA
agak ragu untuk meneruskan perjalanannya. Ia mencoba mencari petunjuk tapi
petunjuk yang ia cari tak lain adalah dirinya sendiri. Bukan siapa-siapa
(termasuk dokter ) yang menetapkan ia
akan bisa terus berjalan atau tidak. Dia tahu, dia sendirilah yang memutuskan,
apakah perjalanan ini akan berlanjut atau berhenti. Sementara itu, ia yakin
kata tamat hanya ada di pemberhentian
yang sesungguhnya, yaitu ketika nafas pergi, yang tentu saja berada dalam
wilayah kekuasaan-Nya.
Kegalauan IA
fluktuatif. Kabar baiknya, kegalauan IA melingkar di seputar area eksistensinya
sebagai makhluk Tuhan. Setiap yang hidup pasti akan mati, demikian kalimat
dalam kitab-Nya. Maka konsep maut adalah sesuatu yang harus melekat dalam diri
setiap orang yang mengakui adanya Tuhan. Mengingatnya, akan berdampak positif
bagi kemanusiawian kita. “Sketsa” hlm 35 menggambarkan dzirul maut yang dilakoni oleh IA. Bukankah Chairil dan Burhanuddin
Soebly pun mengalaminya? Itulah hiburan di hati IA di tengah kegalauannya.
Pada
puisi “Aset” hlm 13, IA meraih kembali kesadaran dirinya. Ia kembali mengibarkan
harga dirinya. Ia berkata, …/Lupakanlah derita lumpuh/ … /Jangan berikan rasa
kasihanmu kepada penyair!/caci ia bila berhenti nulis puisi/ mustahil jadi
arwah pada jantung berdenyut/ tolol terlanjur wafat dalam diri padahal nafas
belum pergi// Hai, penyair lumpuh/ berteriaklah, berteriak!//.
Tidak
sedikit orang yang berputus asa ketika menghadapi penyakit berat, merasa tidak
mungkin sembuh lagi, menganggap diri sudah tak berarti seperti sudah mati. IA mengingatkan,
Mustahil jadi arwah pada jantung
berdenyut. Sakit tidak sama dengan mati. Orang yang berputus asa ketika sakit
adalah orang yang bodoh. Tolol terlanjur
wafat dalam diri padahal nafas belum pergi, demikian pesan IA. Ia juga
tidak suka dikasihani. IA melarang keras mengasihani penyair yang sedang
menderita lumpuh. Jangan berikan rasa
kasihanmu kepada penyair!. Penyair yang seharusnya dikasihani adalah penyair
yang berhenti menulis puisi karena penyair yang berhenti menulis puisi itulah
sebenarnya penyair yang lumpuh. Maka kepada penyair yang dalam keadaan seperti
itulah ia berkata, “Penyair lumpuh, berteriaklah!”.
Stroke
memang pernah membuatnya lumpuh tapi tidak membuat perjalanan puisinya
terhenti. Keadaannya tersebut malah membawanya pada perjalanan yang hakiki.
Tengoklah kisah perjalanannya tersebut dalam puisi berikut:
Jalan Puisi
Puisi perjalanan mikraj;
jalan naik menuju Allah
meniti asma, sifat, af’alullah
Lama diri bersimbah
panas serta berbasah-basah
tunduk tengadah pulang ke diri
nyatanya tak siapa pemilik apa
Puisi perjalanan mikraj;
jalan pupus di dalam Allah
hilang panas hilang basah
punah diri dalam Allah
suara jiwa mengkalamullah
Puisiku perjalanan mikraj;
jalan pulang dari Allah dengan Allah
ulat kepompong berubah polah
sukma terbang selendang kiswah
Puisiku perjalanan mikraj;
trun di pintu-pintu rumah
sudah bersayap puisi amanah
kata-kata rahmat – petuah
Tamban, 3/11/2012
Setelah
sekian lama ia bersusah payah, “berpanas dan berbasah”, terlepas dari ada
tidaknya pengaruh ajaran tasawuf yang pernah ia tekuni (IA menyimak ajaran
tasawuf 1983-1992(Amandit, 2013:164)), IA kini menemukan keindahannya. Ya, IA
telah sampai pada perjalanan puisinya yang paling indah. …//Puisiku perjalanan
mikraj;/jalan pulang dari Allah dengan Allah/ ulat kepompong berubah polah/
sukma terbang selendang kiswah/….
Ketika
puisi-puisi sudah menjadi amanah, ketika puisi-puisi sudah memiliki sayap,
ketika itulah ia telah menemukan tujuannya. “Jalan Puisi” menyampaikan isyarat
bahwa ia tak lagi berjalan “di bumi”. Sayap-sayap itu sudah membawanya terbang
“ke langit”. Jika ia konsisten dengan jalan ini, tentu tidak akan kita temui
lagi puisi-puisi “bumi”-nya. Kemungkinan, hanya puisi-puisi “langit” yang akan
dituliskannya dalam perjalanan puisinya ke depan. Yang jelas, ia masih akan
menekuni jalan puisinya. Jalan cinta para penyair. Mari kita buktikan…[]
Catatan: esai
ini pernah dimuat di harian Media Kalimantan, Minggu, …
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar