Rabu, 14 Mei 2014

# Kelas Fiksi

Sudut Pandang



SUDUT PANDANG

Kita sudah menemukan siapa tokoh-tokoh kita, kita sudah pula memberinya nama. Kita sudah tahu bagaimana mengekspresikan/menampilkan para tokoh. Masih ingat dengan materi minggu lalu, kan?
Sekarang, yang perlu kita pikirkan adalah yang mana di antara mereka yang akan mengisahkan kisahmu…
Banyak sudut pandang yang dapat dipilih oleh penulis. Masing-masing punya masalah, tanggung jawab dan efek yang berbeda-beda.

Macam-macam Sudut Pandang

v     Sudut pandang orang pertama
v     Sudut pandang orang kedua
v     Sudut pandang orang ketiga

Beberapa varian

Protagonis Orang Pertama: Seorang tokoh menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada mereka; “aku” adalah tokoh utama yang menceritakan kisahnya sendiri.

Saksi Orang Pertama: Cerita tokoh utama diceritakan oleh orang lain yang mengamati peristiwa-peristiwa.

Pencerita kembali Orang Pertama: Cerita diceritakan, buka oleh saksi atas peristiwa itu tapi oleh orang yang mendengar cerita itu dari orang lain.

Orang Kedua: narator menyebut protagonis sebagai “Anda”. Sudut pandang ini sangat jarang digunakan karena sulit. Pembaca mungkin merasa mereka adalah orang yang diajak bicara dan akan merasa sulit menerima bahwa mereka sedang melakukan hal-hal yang yang diinginkan narator untuk dilakukan.

Orang Ketiga Mahatahu: Narator tahu segala sesuatu; semua pemikiran, perasaan dan tindakan mungkin diceritakan kepada pembaca (atau mungkin disembunyikan).

Orang Ketiga Obyektif: Narator hanya dapat menceritakan kepada pembaca apa yang dilihat atau didengar.

Orang Ketiga Terbatas: Narator dapat melihat ke dalam pikiran satu tokoh.

Tentang “Perlihatkan, Jangan Ceritakan”

Ketahuilah, ada saat untuk memperlihatkan, ada saat untuk menceritakan.

Eksposisi: wacana yang menjelaskan, mendefinisikan, melukiskan atau mengomentari sesuatu. Digunakan untuk menyampaikan informasi yang perlu tapi tidak bisa disampaikan melalui adegan.

Narasi: laporan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dalam urutan kejadian. Merangkum peristiwa yang tidak dapat didramatisasi dalam adegan.

Dialog: percakapan dalam bentuk tertulis.

Kapan membuat dramatisasi?
Pada peristiwa paling penting; peristiwa yang merupakan kunci bagi pergerakan alur; dan peristiwa kunci bagi perkembangan tokoh

Novel Vs Cerpen dari segi struktur

Cerpen = insiden pemicu – aksi menaik – klimaks – aksi menurun – akhir cerita
Novel = insiden pemicu – aksi menaik – pembalikan – dan lain-lain – klimaks – aksi menurun – akhir cerita

Nah, sebagai Latihan, coba tebak sudut pandang apa yang digunakan pada paragraf -paragraf berikut!


Aku ketinggalan bus pagi itu karena aku tidak dapat meyakinkan diriku sendiri untuk bangun dari tempat tidur. Aku merasa terlalu enak di bawah selimut, dengan kucing melingkar di sampingku. Aku terpaksa berjalan kaki ke tempat kerja.

Dia ketinggalan bus. Dia mungkin harus berdebat dengan dirinya sendiri selama sejam ahwa dia mestinya bangun. Aku dapat membayangkan dia di sana, meringkuk di tempat tidur dengan kucing di sampingnya. Sekarang dia terpaksa berjalan kaki ke kantor.

Dia ketinggalan bus. Aku tidak tahu mengapa; mungkin tidak dapat bangun. Anda tau betapa hangat ketika Anda meringkuk di bawah selimut. Dia juga punya kucig, dan kucing menambah sulit untuk bangun di pagi hari. Maka dia ketinggalan bus dan harus berjalan kaki ke kantor.

Kau ketinggalan bus lagi karena kau tidak dapat meyakinkan dirimu sendiri untuk bangun. Selimut menjadi sarang yang enak bagimu, dan ada kucing, dengan bulu-bulunya yang hangat, meringkuk di sampingmu. Maka kau terpaksa berjalan kaki ke kantor.

Dia ketinggalan bus. Dia menghabiskan waktu hampir satu jam berdebat dengan dirinya sendiri tentang bangun. Kau harus bangun sekarang, ini saatnya bekerja. Tapi rasanya hangat sekali. Beberapa menit lagi. Kau akan terlambat. Aku tidak peduli. Ya kau tak peduli. Meringkuk besama kucing, sangat sulit untuk bergerak, sangat hangat dan enak. Dan dia pun ketinggalan bus dan menyumpah, dan mengatakan kepada dirinya sendiri betapa bodohnya ia. Kemudian ia mulai berjalan kaki ke kantor.

Dia tiba dengan terengah-engah di halte bus, ketika bus sudah pergi. Dia melihat jamnya dan bersumpah. “Keparat selimut hangat,” katanya. “Keparat kucing yang hangat dan mendengkur.” Dia melenguh dan berjalan kaki ke arah kantor.

Dia tiba dengan terengah-engah di halte bus dan hanya bisa melihat sekilas bagian punggung bus itu melasat pergi. Dia melihat jamnya. Pukul setengah sembilan. “Keparat selimut hangat itu,” katanya seraya membayangkan bagaimana rasanya meringkuk di balik selimut hangat di tempat tidur. Dia telah berbantah dengan diri sendiri selama satu jam tentang bagaimana dia harus bangun. Dia tinggal di tempat tidur lama sekali sehingga dia tidak punya waktu untuk mandi dan sekarang dia ketinggalan bus. Kucing hangat yang neringkuk di sampingnya itulah yang telah membuatnya sulit untuk bangun. “Keparat kucing hangat dan mendengkur itu,” katanya dan berjalan kaki menuju kantor.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar