Sabtu, 24 Oktober 2015
Episode Durian
Oleh Nailiya Nikmah JKF*
Musim hujan telah
tiba.Setelah sekian lama udara panas bercokol di kota Banjarmasin, kini hawa
dingin mulai menyapa. Aku merapatkan jaket. Sebuah gerak spontan ketika
tiba-tiba aku merasa dingin mulai menyusup ke tulang. Aku mengayuh sepeda agak
cepat. Beberapa pasang mata menatapku, tepatnya menatap sepeda bututku. Aku
punya alasan sendiri kenapa di era serba canggih ini aku masih setia
bersepeda.Tak ada yang tahu alasan itu selain aku. Sudahlah, tak perlu
membicarakan perihal sepeda ini.
Aku membaui aspal
yang dibelai hujan sore ini. Ah, tak murni baunya. Ada bau lain yang mengusik. Bau
harum dengan aroma khas yang tak dapat
kulukiskan dengan kata-kata. Otakku langsung menampilkan format buah
dengan banyak duri dan muncullah kata durian. Ya, durian! Sekarang sudah musim
durian lagi. Aku mengayuh sepeda sambil bersenandung lirih,
Aku yang lemah tanpamu
Aku yang rentan karena
Cinta yang tlah hilang darimu
Yang mampu menyanjungku...*)
Durian...
aku bergumam dalam hati. Durian membuatku teringat pada Iwar. Buah berdaging
lembut dan manis itu nyaris membuatku menceraikan Iwar, istriku yang putih
bersayap. Aku menyebutnya putih bersayap karena ia seperti bidadari. sejak
pertama melihatnya di resepsi perkawinan sepupu, aku sudah jatuh cinta pada
Iwar. Tangannya begitu terampil meracik ketupat. waktu itu ia kebagian menjaga
stand ketupat tumis. senyum tulusnya terpamer indah ketika aku minta diambilkan
sepiring penuh ketupat tumis buatan ibunya itu. kata indah adikku, semua
makanan yang ditata prasmanan itu dibuat oleh Acil Imah, ibunya Iwar. aku yakin
dimakanan itu ada jejak jari putih Iwar yang selalu turun tangan membantu
pegawai ibunya.
Rupanya
Iwar pun sudah terkena panah asmara ketika kami berkenalan di acara itu. Aku
masih ingat Iwar dengan malu-malu menangkupkan kedua tengannya di depan dada ketika aku
akan akan menjabat tangannya. ”Namaku
Wardani, kak. Semua orang memanggilku Iwar” ucapnya bersahabat.
Nama
yang singkat tetapi indah ditelingaku. Entahlah, mungkin karena si empunya
berwajah indah.Tidak seperti adikku, bernama Indah tapi orangnya tidak indah. Astaghfirullah
kok jadi menjelekkan adik sendiri? Inilah cinta. Kalau mata ketutupan cinta, ya
begini ini. Adik sendiri malah jadi tidak jelas keberadaannya. Kupikir tidak
hanya aku yang jadi kacau begini kalau lagi jatuh cinta.
Aku
pun dengan lantang menyebut namaku “Namaku Gusti Hermansyah, ortu sih ngasihnya
itu, tapi teman-teman memanggilku Aman. Makanya kalau jalan denganku pasti
aman...”candaku. Kulihat ia tersenyum dan Subhanallah ada lekuk kecil di kedua
pipinya. Kata Indah itu namanya lesung pipit. Aku tak perduli apa namanya. Tapi
yang jelas aku ingin selau melihat lekuk kecil dikedua pipinya itu.
Darimu kutemukan hidupku...*)
Sejak itu semua menjadi
aneh. Di kamarku kulihat ada Iwar. Di meja makan, di ruang tamu, bahkan di
kamar mandiku! Dimana-mana ada Iwar. Bahkan dalam tidurku aku melihat Iwar
dengan lekuk kecil pipinya kearah ku. Ia berbaju pengantin warna putih dan
bersayap! Esoknya aku seperti anak kecil merengek minta di belikan maina baru
kepada ibunya. Aku ingin bidadari bersayap itu. Aku ingin memiliki Iwar. Tidak
main-main, aku ingin menikahinya. Maka seisi rumah kalang kabut menanggapi
permintaanku.
“Kamu
jangan mengada-ada, Man. Baru dua semester kuliah sudah minta kawin” komentar
Abah.
“iya,
Man. Lagian kenapa juga harus Iwar bungas
itu yang kau pilih? Mama tak tahu berapa nanti jujuran yang diminta keluarganya. Untuk ukuran Iwar dan keluarganya
pastilah diatas harga pasaran, Man” sahut mama.
“Harga
pasaran apa sih,Ma? Memangnya Aman mau beli barang?” Aku melotot.
“Eh,
si kakak, dikasih tahu nggak mau mendengarkan. ”Si Iwar tuh banyak
kelebihannya. Ibarat mangga tuh kada
bapira, kada masam, kada pangar, pokoknya sip” sahut Indah. ”Dia anak orang
kaya, cantik, solehah, pintar lagi” sambungnya.
“Oya?
tambah semangat nih” tukasku. Semua kepala menggeleng.
“Man,jangan
menyupanakan keluarga.Kalau kita
ditolak,mau ditaruh dimana muka kita?” usik mama.
“Ma,
apa salahnya kita usaha dulu. Lagi pula Aman pikir kita tidak terlalu miskin
kalau memang kekayaan yang jadi ukuran mereka. Coba Mama perhatikan Aman, Aman
gagah, penampilan menarik, otak encer, keturunan baik-baik, punya bisnis
kecil-kecilan, pokoknya nggak memalukan deh...” promosiku disambut timpukan
tisu oleh Indah.
“Ada
satu yang belum kamu miliki , Man...” lirih Mama.
“O,
ya? Apa itu ?” sahutku heran karena merasa aku sudah terlalu sempurna untuk
sekedar melamar Iwar.
“Iwar itu masih keturunan
almarhum Haji Rusdi. Ulama berpengaruh di hulu sungai. Tidak ada keturunan Haji
Rusdi yang tidak alim. Semua pintar ngaji, soleh dan solehah. Iwar tidak pantas
denganmu, Man. Terlalu jauh ...” jawab Mama.
“Aman juga bisa ngaji kok,
Ma! Ya...memang sih tartilnya masih belum sempurna. Tapi Aman janji akan
belajar ngaji lagi supaya bacaanya sebagus Iwar” Harapku.
“Man...Abah dan Mama tidak
melarang kamu berteman dengan Iwar. Tapi tolong... untuk yang lebih dari itu
nanti dulu... kita belum siap.” Abah
menengahi.
Aku tidak puas dengan
jawaban Abah. Hari itu aku bolos kuliah. Aku mencari info sebanyak-banyaknya
tentang Iwar. Ternyata selama SD sampai SMA Iwar hidup bersama neneknya di
Amuntai. Lulus SMA baru ia tinggal bersama orang tuanya yang kaya raya itu.
Iwar kuliah di IAIN. Konon suara Iwar sangat merdu bila sedang mengumandangkan
ayat-ayat suci. Aku tak peduli dengan semua itu. Aku hanya peduli pada satu
hal, bahwa Iwar adalah bidadari putih bersayap yang turun ke bumi untukku. Aku
harus segera melamar Iwar. Bukan apa-apa,sejak dulu aku sudah bertekad tidak
akan pacaran dan apabila tertarik atau jatuh hati dengan seseorang, maka akan
langsung kulamar. Aku tidak main-main.
Begini-begini aku sudah
sering ikut seminar tentang menikah dini dan bahayanya pacaran. Buku-buku
bertema pernikahan pun sudah pernah kubaca. Tapi aku tidak menyangka juga akan
bertemu dengan soulmate secepat itu.
Aku tak berani menemui
Iwar. Bukan karena aku merasa tidak pantas dengannya, bukan pula karena takut
dengan ibunya atau ayahnya. Aku hanya tak sanggup melihat senyum bulannya yang
selalu terbit setiap waktu. Aku ingin memiliki senyum itu. Ingin meletakkannya
di kamarku, menyelipkannya di sakuku, memformatnya jadi wallpaper di hpku, ah
tidak... aku ingin menempatkannya di hatiku agar tidak ada orang lain yang turut
menikmatinya. Hampir sebulan aku seperti orang sakit. Makan tak enak, tidur tak
nyenyak, biasa... gejala penyakit kasmaran pada umumnya. Tapi baru saat itu aku
benar-benar paham bagaimana rasanya merindu. Aku pun mendadak puitis. Berlembar
surat cinta untuk Iwar teronggok di laci meja belajar, sebagian di tempat
sampah. Bahkan aku pernah kehilangan sebuah surat yang lupa kusimpan di laci.
Anehnya suatu hari aku
mendapat titipan surat dari Iwar melalui Indah. Isinya benar-benar
mengagetkanku. Singkat, jelas, padat, menarik, dan perlu !
Maka Abah, Mama, aku dan
Indah mendatangi rumah Iwar. Prosesnya begitu mudah. Tak ada jujuran yang
mahal-mahal, tak ada tawar-menawar, tak ada persyaratan ini itu. Yang ada hanya
cinta. Cinta dimana-mana. Jadilah Iwar bidadariku. Hak milik pribadi. Iwar
istri yang sempurna. Pandai membagi waktu antara kuliah dan keluarga. Hari-hari
bersama Iwar selalu menjadi episode indah yang penuh kejutan dan cinta.
Bagiku ... kaulah cinta sejati *)
Sampai tragedi itu
terjadi... baru empat bulan pasca
pernikahan. Waktu itu musim durian seperti sekarang. Berlatar senja dan
gerimis. Aku baru pulang mengantar dari mengantar orderan spanduk anak hukum.
Bisnis cetak dan sablon yang kukelola amatiran dapat untung yang lebih dari
biasanya. Aku memutuskan membeli durian tiga biji. Kubayangkan Iwar akan
tersenyum senang melihatku membawa buah mahal itu. Ya... setidaknya setelah
menikah semua jadi barang mewah dan mahal bagi kami. Tak apa menyenangkan istri
sekali-sekali. Lagi pula aku sudah kangen ingin makan durian. Durian adalah
buah favoritku. Kelelahanku langsung pamit setelah kelebat sayap putih Iwar
melambai di khayalku.
“Assalamu’alaikum,
War...Iwar...lihat aku bawa apa...nih untukmu” teriakku tak sabar menanti
sambutan hangatnya.
“Wa’alaikum salam, kak ...
bawa apa..” kulihat Iwar melakukan gerak penajaman penciuman. Durian tak dapat
disembunyikan. Baunya pasti akan menyapa lebih dulu.
“kak Aman bawa
..du..rian..??” tanyanya. Kulihat senyum bulannya yang selalu terbit tiba-tiba
enggan hadir. Mukanya memucat.
“Ada apa, War ?? kamu sakit
?? kita ke dokter ??” Aku cemas sekali. Tak pernah terlintas bagaimana jadinya
kalau bidadariku terkulai lemas tak bertenaga.
Iwar menggeleng. Gugup ia
menjawab “ah, tidak, Iwar tidak sakit. Kecapekan saja barangkali”
“Ya sudah, kamu istirahat.
Tapi sekarang kita makan durian dulu, ya ?” sahutku lega.
“Maaf, kak, Iwar ke kamar
dulu. Ada yang mau dikerjakan” pamitnya buru-buru.
“War! Tolong duriannya di
bukakan ya...!! Aku mau mandi!” Aku bergegas mengambil handuk. Rasanya segar
sekali. Iwar menyiapkan air hangat untukku mandi. Aku jadi merasa tersanjung.
Keluar dari kamar mandi aku tak mendapati Iwar di dapur. Padahal aku sudah tak
sabar ingin mencomot durian dan melumatnya. Durianku masih utuh.
“War! Iwar!” agak kesal aku
mencarinya.
Di kamar tidak ada, di
ruang belajarnya juga tidak ada. Penasaran aku lari kedepan. Kulihat Iwar duduk
di kursi pelataran kami. “kamu
ngapain disini?” selidikku.
“Maaf, kak. Tadi Iwar agak
pusing. Mau nyari angin segar.” Jawaban Iwar bagai tamparan keras di pipiku.
Entah setan apa yang membisikku. Bagiku Iwar menjawab “Maaf, kak Iwar sudah
bosan di rumah terus. Iwar ingin beraktivitas di luar.”
“Durian, kenapa belum
dibuka juga?” kucoba menyimpan kekesalan. ”
“Maaf, kak, Iwar tidak bisa
membukakan duriannya.” Agak takut ia menjawab.
“Nanti kuajari. Ayo, kita
ke dapur. Kamu harus bisa, durian buah kesukaanku. Ayo !”
“Tapi ... Iwar tidak suka
durian..” kalimat itu seperti bantahan bagiku.
“kalau kamu tidak terlalu
suka, tak apa mencicipi saja. Asyik dong, aku bisa puas makan duriannya”
godaku.
“Tapi Iwar benar-benar
tidak suka ...” ucapnya lagi.
“ Ya, sudah, kamu tidak
usah ikut makan. Kamu membukakannya, lalu menemani aku makan durian di dapur. ”
Aku nyaris kehilangan makna sabar.
“Iwar tidak bisa...,
maaf...” matanya berkaca-kaca. Mungkin ia sudah menangkap kemarahanku.
“Mau kamu apa sih ?! sudah
berani membantah ? Aku sudah capek-capek kerja, kupikir kamu senang kubelikan
durian. Oke! Kamu mungkin sudah bosan makan durian! Di rumahmu tiga biji durian
ini tidak ada harganya kan ! Tapi tolong hargai aku. Suamimu ini baru baru kali
ini bisa membelikanmu sesuatu. Maaf, War aku baru bisa membelikanmu durian
bukan permata. Maaf!” Teriakku lantang.
“Iwar tidak bermaksud
seperti itu, kak...” Ia menangis. Sesungguhnya aku gugup juga melihat butiran
kristal meleleh di pipinya. Aku ingin merengkuhnya. Tapi egoku sedang berdiri
pongah.” Sejak kecil... Iwar tidak suka makan durian..., Iwar...”
“Sejak kecil, sejak kecil!
Itu masa lalu! Sekarang kamu hidup denganku. Aku suka durian, kamu istriku, seharusnya
kamu juga suka durian. Banyak hal bisa diubah!” potongku.
“Iwar tidak tahan mencium
baunya...” ucapnya sesegukan.
“O, ya??? Jadi seumur hidup
aku tidak boleh lagi makan durian karena kamu tidak tahan mencium baunya?!” Aku
melotot seperti kucing jantan siap menerkam kucing jantan lainnya saat berebut
ikan. Iwar menunduk. Kulihat ia berulang kali menyeka air matanya. Pasti esok
mata indahnya jadi sembab dan tak bagus. Peduli adul ! aku lagi marah. Marah pada Iwar. Aku memohon
ampun pada-Nya karena saat ini aku merasa menyesal telah menikah dan memilih
hidup bersama Iwar. Bidadariku ternyata memiliki cela. Ia memiliki sifat
pembenci. Celakanya ia membenci sesuatu yang paling aku suka. Durianku,
cintaku. Seumur hidup belum pernah ada yang berani melarangku makan durian.
Selamanya akan tetap begitu.
Tak ada yang bisa
mengubahnya, termasuk Iwar. Iwar yang baru hitungan bulan mendampingiku. Hidup
durian! Kulihat para durian bertepuk tangan menyambut pidatoku. Apakah ini
pertanda aku dan Iwar tidak cocok ? Apa aku harus berpisah saja dengannya ? Aku
bergidik ngeri sambil buru-buru mendelete
pikiran buruk itu. Iblis, pasti iblis sedang terkikik kegirangan. Aku tidak
sadar sedang melakukan hal yang kontras dengan apa yang baru saja kuucapkan.
Aku tak ingin Iwar mengubah kesenanganku, tapi aku justru memaksa Iwar
mengikuti kesenanganku.
Iwar melesat ke dapur. Aku
umpama suara guntur yang menguntit di belakang kilat. Iwar lah kilatnya. Ia
mengambil pisau tajam di rak piring. Aku kaget. Kutepis prasangka buruk sambil
menghimpun kekuatan. Iwar dengan tangkas membelah sebiji durian, mencomot
isinya dan memasukkannya ke mulut. Aku ternganga. Tiba-tiba Iwar berlari lagi.
Langkah seribunya hampir menabrakku. Ia ke kamar mandi dan mengunci pintunya
dari dalam. Aku menggedor-gedor pintu. Kudengar suara orang muntah dari dalam
kamar mandi. Iwar muntah-muntah! Aku panik, seperti Jerry tokoh tikus dalam
kartun favorit indah yang sedang mencari jalan keluar dari kejaran Tom si kucing.
Tapi aku tak secerdik dan selincah Jerry. Aku mematung sekian menit sampai
pintu kamar mandi terbuka. Iwar kuyu.
Ia pasti sudah mengeluarkan seluruh isi perutnya. Pasti menyakitkan. Aku merasa
bersalah. Tak ada sepotong kata pun yang keluar dari mulutnya. Iwar ke kamar.
Lagi-lagi aku mengekor. Untuk ke sekian kalinya aku terperangah, Iwar mengganti
dasternya dengan gamis coklat dan memadukannya dengan kerudung putih tulang.
“Mau kemana War?” tanyaku lebih
mirip memelas.
Dia tetap bisu. Di depan
pintu ia mengambil tangan kananku dan menciumnya.
“Selamat makan durian, kak.
Maaf, Iwar pergi dulu.” Aku tak dapat mencegahnya. Mukaku tak cukup tebal untuk
sekedar menanyakan ke mana tujuannya. Aku yakin , Iwar masih bidadari yang
manis. Supra fit merah melaju bersama pemiliknya, meninggalkan aku dengan
sejuta rasa bersalah.
Setelah isya aku mendapat
telpon dari Iwar. Aku lega. Setidaknya kini aku tahu posisi Iwar.” Kak, Iwar
menginap di rumah Mama dulu, ya? Kebetulan Abah dan Indah lagi ke Jakarta. Iwar
menemani Mama. Kak Aman jaga rumah kita saja. Makan malam sudah ada di meja
makan. Besok pagi-pagi sekali ada yang ngantar nasi kuning buat sarapan.”
Itulah Iwar. Ia tak seperti perempuan pada umumnya. Kalau ngambek sama suami
ngadu ke orang tua. Iwar malah pulang ke mertua. Tidak mengadu. Tapi sekedar
menyunyikan diri dan menyepikan kerumitan yang baru saja terjadi. Aku menarik
nafas lega.
Malam seperti penjara tanpa
Iwar. Ke pelataran, sepi. Ke dapur, sunyi. Ke kamar, nyeri. Aku tak berselera
lagi makan durian. Durian tragedi, siapa yang mau makan? Aku keluar bersepeda
menyusuri jalan bercahaya setelah memberikan durian-durian tragedi ke tetangga
sebelah. Jalan-jalan berhias petromaks memaksaku mampir.
“Durian, Mas?” Tanya
pedagang durian.
“Ya,” aku malas menawar.
Aku memakannya sambil lesehan di samping anak penjualnya. Bocah laki-laki kurus
tujuh tahunan itu menatapku tak berkedip.
“Mau?” aku tak yakin ia
sudah pernah makan durian dagangan ayahnya. Buktinya ia mengangguk dan cepat
mencomot durianku.
“Bapak baik sekali. Pasti
senang jadi anak Bapak” ucapnya.
“Ah, kamu bisa saja. Saya
belum punya anak.” Aku agak tak biasa dipanggil Bapak.
“kalau begitu, pasti istri
Bapak bahagia punya suami sebaik Bapak” ralatnya. Istri... bahagia...? aku
tersedak. Segera kusudahi pesta durianku dengan bocah kurus itu.
“Mau ke mana, Pak?”
tahannya.
“Pulang! Sisanya kamu
habiskan saja!” Aku segera mengayuh pedal Phoniex bututku melaju membelah malam
yang mulai semakin kelam. Aku ingin tidur dan bermimpi tentang Iwar.
***
Sepulang kuliah hari itu
aku tak kemana-mana. Tidak ada niat ke rumah Mama. Nanti suasana malah kacau.
Di pelataran kudapati sebiji durian besar menggiurkan. Sepucuk surat sengaja
diletakkan di bawahnya. Tergesa kubaca,
Kak,
maafkan senmua kesalahan Iwar. Durian ini sebagai tanda perdamaian dari Iwar.
Dimakan, ya! Kalau sudah selesai makannya jangan lupa gosok gigi dan tolong
jemput Iwar di rumah Mama. Nanti malam kita bicarakan baik-baik soal perbedaan
selera kita. Tadi Iwar naik angkot, kunci supra fit Iwar titip di tetangga
depan.
Ah,
Iwar tak ada yang perlu di maafkan. Aku lah yang meniup di atas bara. Iwar
masih bidadariku. Bidadari putih bersayap dengan lekuk kecil di pipi dan senyum
bulan yang selalu terbit. Mengingat
senyum Iwar membuatku mempercepat laju sepedaku. Aku tak takut pada
langit yang mulai gerimis lagi. Aku ingin segera sampai di rumah. Membuka
lembaran album kenangan saat indah bersama Iwar. Iwar sekarang pasti sedang
tersenyum di atas sana. Besok Mama
nengadakan acara haulan. Setahun kepergian
Iwar. Angkot yang ia naiki dikemudikan sopir mabuk. Entah bagaimana kejadian
persisnya, yang jelas aku mendapati Iwar sudah tak bernyawa di rumah sakit
Islam. Maafkan aku durian... sejak
kepergian Iwar aku tak tahan
mencium bau durian lagi. Selain itu aku juga tak sanggup memakai supra fit atau
sepeda motor apapun lagi karena semua itu hanya mengingatkanku pada Iwar
menjelang kepergiannya. Iwar dengan supra fit merah adalah gambaran terakhir
yang terekam dengan jelas di memoriku. Aku semakin mempercepat laju sepeda.
Kepalaku pusing,aku tidak tahan lagi,aku ingin muntah...
Bila yang tertulis untukku adalah
yang terbaik untukmu
Kan kujadikan kau kenangan yang
terindah dalam hidupku
Namun takkan mudah bagiku
meninggalkan jejak hidupmu
Yang tlah terukir abadi sebagai
kenangan yang terindah...*)
*) Lirik lagu kenangan terindah/samsons
Ket Bhs Banjar:
Bungas = cantik
Jujuran = mahar
Kada masam,kada bapira,kada pangar = tidak
ada keburukan/cacat
Kuyu = pucat, lesu
Manyupanakan = mempermalukan
Pelataran = teras
Haulan = selamatan tahunan memperingati
kematian.
Cerpen ini pernah dimuat di harian Radar Banjarmasin kolom Cakrawala, Februari 2007, terdapat dalam buku antologi cerpen Nailiya Nikmah JKF "Rindu Rumpun Ilalang" dan antologi cerpen 9 pengarang perempuan Kalsel "Nyanyian Tanpa Nyanyian"
sastra
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar