Tampilkan postingan dengan label Cerpenku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpenku. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Januari 2018

Senyum Ibu

22.17 0 Comments
Senyum Ibu
Cerpen Nailiya Nikmah JKF

Ini yang ke lima kali aku mengganti bajuku. Rahmi mengajakku makan siang di sebuah restoran, dia akan menjemputku. Dia baru saja memenangi lomba foto. Aku akui jepretan Rahmi selalu keren.  Foto bidikan Rahmi seperti memiliki jiwa, menyentuh hati siapa saja yang memandangnya. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali dia menang lomba tapi kali ini dia merasa harus merayakannya denganku. Menurutnya, ide foto tersebut berasal dariku padahal aku tak merasa memberinya ide. Dia juga mengajak kedua orangtua dan kakaknya. Untuk itulah, pertama kali sepanjang hidupku, aku mau direpotkan dengan urusan baju. Tolong, ya Firda, tampil yang agak manis dikit, pintanya. Ah, sudah lama aku tak dipanggil ‘Firda’.
Aku tak tahu apakah kemeja kotak-kotak merah hitam yang lengannya kugulung sampai siku dengan celana kain hitam akan membuatku’ tampil yang agak manis dikit’ seperti permintaan Rahmi. Biasanya aku memakai celana jeans dan kaos oblong, lalu melengkapinya dengan jaket lusuh dan topi. Aku sungguh terkejut ketika mendapati Rahmi dengan sebuah bungkusan di depan kamarku.
“Hm, lumayan tapi untuk bawahnya kamu ganti dengan ini,” ia menyorongkan kantong plastik hitam entah apa isinya.
Aku bergegas membukanya lalu melotot setelah mengibaskan isinya, “Rahmi, kau memaksaku pakai rok!” aku memekik. Rok hitam berlipit-lipit warna hitam semata kaki seperti tersenyum menggodaku.
“Ayolah, sekali ini saja. Oh, iya bisakah kau memakai anting yang biasa saja di kedua telingamu?” Rahmi menunjuk telinga kananku yang dihiasi sederet anting berbagai bentuk.
Aku nyaris berkata tidak punya sampai Rahmi mengeluarkan sepasang anting mutiara putih, tentu saja imitasi. Ia juga menjepitkan sebuah pita model serupa di pinggir belahan rambut pendekku. Tidak cukup sampai di situ, Rahmi membedaki wajahku dan memerahi bibirku tipis-tipis. Aku merasa akan menjadi badut sebelum aku memandang bayanganku sendiri di depan cermin.
“Sekarang, berhentilah bersedih. Senyumlah… Senyum perempuan,” kata Rahmi. Ia beberapa kali menjepretku sementara aku masih terpana di depan cermin mengagumi bayang yang dipantulkannya. Aku seperti melihat seseorang. Seseorang yang sangat kukenal. Aku mencoba mengingat dan aku hampir menangis ketika berhasil mengingatnya. Wajah itu, wajah ibuku!
Aku mencoba tersenyum. Oh, inikah jawaban salah satu pertanyaanku tentang senyum Ibu? Pertanyaan-pertanyaan yang membuat Rahmi menemukan ide dan memenangi lomba foto. Aku membendung airmata yang hampir keluar.
***
Pernahkah Ibu Tersenyum?
“Ayo semua ikuti Ibu guru, kita senyum sama-sama. Siapa yang tidak senyum kita gelitiki rame-rame” seperti biasa Bu Tia selalu mengawali pagi dengan mengajak aku dan teman-teman tersenyum. Hampir semua anak di TKku menyebut Bu Tia dengan sebutan Bu Senyum. Para orang tua murid juga.
Kata Bu Tia, dengan tersenyum kita akan lebih sehat. Semua kesakitan dan kesedihan akan berlalu ketika kita tersenyum. Aku percaya dengan yang dikatakannya. Buktinya setelah aku mengikuti perintahnya, aku sudah lupa kalau beberapa jam sebelumnya aku berpikir bahwa aku anak paling malang sedunia. Aku sudah lupa bagaimana sakitnya cubitan Ibu karena aku ngompol lagi di kasurnya yang tipis. Aku sudah lupa bagaimana sedihnya diejek Kikan karena hari itu aku tidak membawa pensil warna lagi. Aku sudah lupa bagaimana risaunya memiliki enam kakak perempuan yang sama galaknya dengan ibuku.
Pertama kali dapat pelajaran tentang senyum, pulang sekolah aku berloncat-loncat mencari ibuku. Aku ingat, ibuku berkali-kali pernah bilang, “Ibu sedih, tau, gara-gara kamu” atau “Jangan membuat ibu sakit hati lagi. Cukup sudah semuanya!”. Seingatku Ibu belum pernah tersenyum, pantas ibu selalu sedih dan risau. Aku menemukan Ibu sedang meracik bawang di dapur. Kotak-kotak berserakan. Ibu sedang menyiapkan nasi kotak pesanan pelanggan. Sebenarnya aku tahu, aku harus menunggu sampai pekerjaan Ibu selesai tapi aku juga tahu pekerjaan Ibu tak pernah benar-benar selesai. Bahkan ketika waktunya tidurpun Ibu masih bekerja di dapur. Aku tidak yakin ibu punya waktu khusus untukku.
“Ibu! Ibu pernah tersenyum, tidaak?” aku bertanya manja.
Kulihat mata ibu yang berair karena bawang melotot setajam pisau yang dipegangnya. Udara di dapur yang panas karena beberapa kompor menyala bersamaan terasa tambah panas setelah ibu berteriak, “Bocah nakal, datang-datang nanya yang tidak-tidak. Keluar sana, ganti baju, cuci piring!”
Setelah itu aku memang segera ganti baju karena aku gerah dengan rok ungu di bawah lutut yang wajib kupakai ke sekolah, menggantinya dengan kaos dan celana pendek. Ibu tak pernah peduli tentang rok atau celana yang kupakai. Ibu hanya ingin aku mencuci piring. Sayangnya, aku tidak mencuci piring. Aku tak mau mencuci piring. Mencuci piring adalah pekerjaan kakak-kakakku yang cerewet. Lebih baik aku main bola dengan teman-teman sekomplek. Seperti biasa, aku mendapat hukuman dari Ibu.
Malamnya, sebelum tidur sempat-sempatnya aku menanyakan hal yang sama pada Ibu. Lagi-lagi Ibu melotot dan membentakku. Malah ditambah dengan cubitan di lengan kananku. Sejak malam itu sampai aku berpisah dengan Bu Tia, aku tak pernah bertanya lagi pada Ibu.

Seperti apakah senyum Ibu?
Di antara enam kakakku, hanya Rastri yang agak mudah diajak bicara. Mungkin karena usianya hanya terpaut satu tahun denganku. Itupun kalau lagi angin baik. Seperti sore itu, kulihat Rastri sedang menyiram mawarnya. Dia bersenandung sambil senyum-senyum sendiri.
“Ras, senyum tulus itu seperti apa, sih?” tanyaku hati-hati takut salah ngomong.
“Senyum tulus? Ya…senyum yang tidak dibuat-buat, apa adanya, nggak pakai maksud apa-apa. Begitu barangkali,” lalu ia tersenyum.
Kupandangi senyumnya. Seperti itukah senyum tulus? “Memangnya, senyum macam-macam ya, Ras? Apa saja?” tanyaku.
Rastri berhenti menyiram. Ia menegakkan tubuhnya. Dahinya berlipat-lipat sebentar, “Ada berapa, ya? Senyum simpul, senyum manis, senyum kecut, senyum sinis, senyum hambar, senyum menggoda, senyum terpaksa, senyum pura-pura…Ah, entahlah, aku tak yakin,” jawabnya. “Kenapa sih nanya tentang senyum?” Kali ini kulihat senyumnya berubah, tidak seperti yang pertama tadi. Ia seperti menggodaku.
“Ras, pernah lihat Ibu senyum nggak? Seperti apakah senyum Ibu?” tanyaku lagi.
Rastri menggeleng, “Aku tidak ingat, Fir. Memang kenapa?” Berikutnya aku yang menggeleng.
“Apakah Ibu tak mau tersenyum karena Ayah sudah tiada?” gumamku. Aku masih ingin berbincang dengan Rastri, sayang Adi telah menjemputku. Kami mau latihan futsal di SMP teman Adi.
***
“Berapa kali Ibu bilang. Berhenti main band. Berhenti bergaul dengan anak-anak tidak beres itu!” Ibu melemparkan buku raport ke wajahku. Sakit tapi hatiku lebih sakit. Aku ingin sekali menangis tapi tak pernah bisa.
“Tahun depan kamu ujian akhir. Kalau nilaimu masih seperti ini, kamu tidak usah kuliah,” ancaman Ibu membuatku takut. Aku ingin sekali kuliah. Kuliah di teknik. Aku suka mesin. Listrik juga bagus.
Menjelang ujian akhir aku mati-matian belajar. Aku ikut bimbingan belajar. Sebuah keberuntungan besar bagiku, Yati kakak sulungku mau membiayai. Di tempat kursus bimbingan belajar itulah aku bertemu Sonya. Tingginya sama denganku, matanya sipit, alisnya seperti diukir, bibirnya merah muda, kulitnya putih bersih, rambutnya sepinggang merah kecoklatan, suaranya lembut, kalau dia tersenyum hatiku tidak karuan.
Sonya membuatku terdampar di sebuah pulau yang paling asing. Kulihat burung-burung pemangsa siap menerkamku. Anehnya, di pulau itu aku juga melihat beratus-ratus bunga aneka warna yang harumnya menusuk hidungku. Sonya yang lembut, Sonya yang ‘perempuan’ membuatku menemukan sesuatu yang selama ini tersembunyi di dalam diriku. Aku berpikir aku adalah sejiwa laki-laki yang terperangkap dalam tubuh perempuan. Ah, mungkin ini adalah pemikiran klise dari orang senasibku. Dan semua itu hanya berawal dari senyum Sonya yang indah. Seiring tumbuhnya rasa itu, samar-samar kudengar tanya seorang anak TK, Ibu pernah tersenyum tidaak.

Mengapa Ibu Tak Pernah Tersenyum Lagi?
“Anak tak tahu untung! Kurang ajar! Kucincang kamu!” Ibu memukulku bertubi-tubi dengan gagang sapu ijuk.
“Ampun, Bu…, ampun…” aku memohon pada Ibu. Ibuku tak mau mendengarkan. Sama seperti yang sudah-sudah, mana pernah Ibu mau mendengarkanku. Kali inipun tidak. Aku ingin menjelaskan, aku tidak mengapa-apakan Sonya. Aku hanya men-ci-um. Ya, aku tidak tahan melihat pipinya yang kemerahan saat tersenyum. Lalu aku menciumnya. Sonya dan Mentor di tempat kursus bilang aku hendak memperkosa Sonya. Aku dikeluarkan dari bimbel.
Ibu mendorongku ke kamar mandi. Ia mengguyurku dengan air berember-ember. Kakak-kakakku menonton dengan tatapan jijik, kecuali Rastri. Hanya Rastri yang menonton sambil menangis. Aku tersengal-sengal. Mataku sakit, hidungku sakit, kepalaku sakit, tubuhku sakit, dan hari itu aku pun tahu satu hal, jiwaku sakit. Sebelum aku kehilangan kesadaran, aku mendengar suara Bu Tia, senyum akan membuat rasa sedih dan sakit hilang… Berjam-jam – aku lupa persisnya –  aku dikurung dalam kamar mandi. Rastri bilang aku pingsan ketika ia membuka pintu kamar mandi setelah diizinkan Ibu. Aku membantah. Kukatakan aku hanya tertidur. Dalam tidur aku melihat Ibu tersenyum tapi senyumnya menakutkan seperti monster.
Sejak itu aku jarang berbicara dengan Ibu meski dalam hati aku masih sering bertanya, apakah Ibu pernah tersenyum. Sejak itu pula Ibu memanggilku ‘Firdon’. Panggilan yang mengejek tapi sama sekali tidak menyakitkan bagiku. Aku malah senang dipanggil Firdon. Kakak-kakak, teman main, semua ikut-ikutan Ibu. Hanya Rastri yang tidak.
Gara-gara kasus itu aku kacau balau. Nilaiku jelek dan aku nyaris gagal kuliah karena Ibu tak mau membiayaiku. Lagi-lagi Rastri dewi penolongku. Ia merelakan seluruh tabungannya untuk biaya pendaftaran kuliah dan SPP semester pertamaku. Seterusnya aku membiayai kuliahku sendiri. Aku mengamen di warung-warung dekat kampus, menjadi tukang ketik di rental komputer, menjaga warnet, sesekali mengemis. Yang terakhir ini sangat jarang kulakukan, itupun kalau terpaksa dan aku hampir selalu gagal karena aktingku kurang meyakinkan. Rata-rata temanku tahu siapa aku. Aku tak pernah menyembunyikan identitasku. Yang tidak tulus perlahan-lahan mundur dan menjauh, yang tulus – ini sangat sedikit – akan selamanya menjadi temanku. Rahmi di antara yang sedikit ini.
Waktu itu Rahmi sedang asyik menikmati semangkok mie ayam. Sejak pagi aku belum makan. Aku memetik gitar sambil menyanyikan lagu Opick. Entah mengapa melihat Rahmi aku jadi ingin menyanyi lagu Opick, mungkin karena ia berkerudung lebar dan bergaun panjang. Hujan kau ingatkan aku pada satu rindu… Lagu itu tentang Ibu! Aku menyanyi sambil memikirkan Ibu. Aku ingat Sonya, ingat Rastri, kejadian di kamar mandi, senyum Bu Tia. Ketika lagu itu berakhir, aku seperti tidak menyadari kalau lagu itu sudah berakhir. Aku bahkan tidak menyangka bahwa aku yang menyanyikannya. Rahmi bertepuk tangan pelan. Ia mengeluarkan selembar lima ribuan dari dompetnya.
“Aku mau request lagu, boleh?”tanyanya sambil menatap wajahku.
Aku diam. Sebenarnya berapa lagupun aku mau menyanyi tapi saat itu aku sangat lapar.
“Kutambah, “ ia mengeluarkan selembar lima ribuan lagi.
“Tidak, tidak usah, aku mau. Mau lagu apa?”tanyaku buru-buru. Ia menyebut sebuah judul lagu. Aku menggeleng. Aku tak tahu lagunya.
“Kalau begitu, terserah kau saja,” putusnya.
Aku menyanyikan ulang lagu Opick. Kulihat ia berdiri. Kupikir mau pergi. Ternyata ia mengeluarkan kamera dari dalam tasnya. Sesaat kemudian ia memotretku dari berbagai sudut. Mulanya aku merasa malu. Lama-lama aku membayangkan diriku seorang artis. Selesai aku menyanyi, Rahmi mengulurkan tangan, menjabat tanganku, menyebut namanya dan mentraktirku semangkok mie ayam.
Selanjutnya seperti air mengalir, Rahmi menjadi sahabatku dan aku menjadi sahabat Rahmi. Siasat persahabatan selalu sama, aku sudah sering mempelajarinya dari gelantungan awan yang ditiup angin. Kejujuran adalah taktik paling rahasia dalam persahabatan. Rahmi satu-satunya teman yang kuceritakan riwayat hidupku dengan lengkap. Termasuk tentang Sonya. Rahmi sama sekali tidak berubah. Ia malah menawarkan diri menjadi pengobatku. Ia mengajakku ke lingkungannya. Lingkungan para malaikat, aku menyebutnya. Rahmi tersenyum sambil menggeleng, “Kami bukan malaikat. Kami sama sepertimu, tercipta dari saripati tanah…” lalu ia mendongengiku tentang jutaan sperma yang berebut menuju sel telur dan kejadian dalam rahim. Dongeng yang sepertinya belum pernah kudengar.
***
“Apakah semua perempuan mempunyai satu jenis senyum yang sama untuk anak-anaknya?”tanyaku suatu hari pada Rahmi. Waktu itu aku menemaninya berburu daun kering. Rahmi ingin mengoleksi foto berbagai jenis daun yang sudah kering.
Rahmi terdiam. Kamera tergantung di lehernya. Ia menghela nafas. Beberapa detik kemudian alisnya bertaut, matanya setengah terpejam. “Pertanyaanmu! Pertanyaanmu indah sekali, Fir. Terima kasih, terima kasih,” Rahmi memelukku erat lalu menarik tanganku menerabas ilalang. Setelah itu Rahmi berburu senyum perempuan.
“Coba kau tanya kakak pertamamu. Mungkin dia mengetahui sesuatu, sesuatu yang merahasiakan senyum ibumu.” Rahmi memberiku saran.
Bersama Rahmi, aku mendatangi rumah Kak Yati. Ia menikah ketika aku semester dua.
“Aku tak tahu mengapa kau sangat ingin tahu tentang senyum Ibu,” desahnya.
“Aku juga tak tahu, Kak. Tapi aku berfirasat, itu ada hubungannya denganku,”timpalku.
“Ayah sangat ingin punya anak laki-laki. Sayang takdir sudah menulis bahwa semua yang keluar dari rahim Ibu adalah perempuan,” ungkap Kak Yati. Aku melihat beban yang sangat berat di wajahnya.
“Tapi mengapa Ibu hanya membenciku? Bukankah kalian semua perempuan sama sepertiku?”tanyaku.
“Setelah Rastri lahir, Ayah memaksa Ibu hamil lagi. Lalu Ibu hamil lagi. Bidan, tukang urut, semua tempat Ibu memeriksakan kehamilannya meramalkan adik kami tersebut kelak adalah laki-laki. Ibu pun bahagia. Ayah sumringah. Kami bersuka cita. Semua persiapan diarahkan ke satu titik ’anak laki-laki’ yang lucu.”
“Tapi kenapa dengan anak laki-laki? Kenapa juga dengan anak perempuan?” aku melolong. Aku pikir aku sudah tahu kelanjutannya. Ada nyeri di ujung lorong hatiku. Aku mengajak Rahmi pamit. Aku sudah tahu, tidak lama setelah itu, Ayah meninggal karena sakit yang tidak sembuh-sembuh. Ibu sudah pernah menceritakannya sewaktu aku kecil. Tangan Kak Yati menahanku. Ia masih ingin membagi rahasia.
 Jauh di luar dugaanku, ternyata aku belum cukup tahu semuanya. Lorong itu belum berujung. Penjelasan Kak Yati selanjutnya membuatku terperosok ke jurang yang sangat dalam dan penuh duri.
Sejak kamu keluar dari rahim Ibu, sejak dukun beranak itu bilang, ‘perempuan’, sejak itulah senyum Ibu hilang. Sejak itu pula seorang istri kehilangan suami dan tujuh anak perempuan kehilangan Ayah. Ayah tidak meninggal. Ayah meninggalkan kita, menikah dengan perempuan lain untuk mencari anak laki-laki.[]


Pernah dimuat di Media Kalimantan, kemudian disunting sebelum diterbitkan dalam Antologi Mandi Bungas.
6

Sabtu, 24 Oktober 2015

Episode Durian

15.32 0 Comments


        Episode Durian
Oleh Nailiya Nikmah JKF*

Musim hujan telah tiba.Setelah sekian lama udara panas bercokol di kota Banjarmasin, kini hawa dingin mulai menyapa. Aku merapatkan jaket. Sebuah gerak spontan ketika tiba-tiba aku merasa dingin mulai menyusup ke tulang. Aku mengayuh sepeda agak cepat. Beberapa pasang mata menatapku, tepatnya menatap sepeda bututku. Aku punya alasan sendiri kenapa di era serba canggih ini aku masih setia bersepeda.Tak ada yang tahu alasan itu selain aku. Sudahlah, tak perlu membicarakan perihal sepeda ini.
Aku membaui aspal yang dibelai hujan sore ini. Ah, tak murni baunya. Ada bau lain yang mengusik. Bau harum dengan aroma khas yang tak dapat  kulukiskan dengan kata-kata. Otakku langsung menampilkan format buah dengan banyak duri dan muncullah kata durian. Ya, durian! Sekarang sudah musim durian lagi. Aku mengayuh sepeda sambil bersenandung lirih,
           
Aku yang lemah tanpamu
Aku yang rentan karena
Cinta yang tlah hilang darimu
Yang mampu menyanjungku...*)

            Durian... aku bergumam dalam hati. Durian membuatku teringat pada Iwar. Buah berdaging lembut dan manis itu nyaris membuatku menceraikan Iwar, istriku yang putih bersayap. Aku menyebutnya putih bersayap karena ia seperti bidadari. sejak pertama melihatnya di resepsi perkawinan sepupu, aku sudah jatuh cinta pada Iwar. Tangannya begitu terampil meracik ketupat. waktu itu ia kebagian menjaga stand ketupat tumis. senyum tulusnya terpamer indah ketika aku minta diambilkan sepiring penuh ketupat tumis buatan ibunya itu. kata indah adikku, semua makanan yang ditata prasmanan itu dibuat oleh Acil Imah, ibunya Iwar. aku yakin dimakanan itu ada jejak jari putih Iwar yang selalu turun tangan membantu pegawai ibunya.
            Rupanya Iwar pun sudah terkena panah asmara ketika kami berkenalan di acara itu. Aku masih ingat Iwar dengan malu-malu menangkupkan kedua tengannya di depan dada ketika aku akan  akan menjabat tangannya. ”Namaku Wardani, kak. Semua orang memanggilku Iwar” ucapnya bersahabat.
            Nama yang singkat tetapi indah ditelingaku. Entahlah, mungkin karena si empunya berwajah indah.Tidak seperti adikku, bernama Indah tapi orangnya tidak indah. Astaghfirullah kok jadi menjelekkan adik sendiri? Inilah cinta. Kalau mata ketutupan cinta, ya begini ini. Adik sendiri malah jadi tidak jelas keberadaannya. Kupikir tidak hanya aku yang jadi kacau begini kalau lagi jatuh cinta.

            Aku pun dengan lantang menyebut namaku “Namaku Gusti Hermansyah, ortu sih ngasihnya itu, tapi teman-teman memanggilku Aman. Makanya kalau jalan denganku pasti aman...”candaku. Kulihat ia tersenyum dan Subhanallah ada lekuk kecil di kedua pipinya. Kata Indah itu namanya lesung pipit. Aku tak perduli apa namanya. Tapi yang jelas aku ingin selau melihat lekuk kecil dikedua pipinya itu.

            Darimu kutemukan hidupku...*)

            Sejak itu semua menjadi aneh. Di kamarku kulihat ada Iwar. Di meja makan, di ruang tamu, bahkan di kamar mandiku! Dimana-mana ada Iwar. Bahkan dalam tidurku aku melihat Iwar dengan lekuk kecil pipinya kearah ku. Ia berbaju pengantin warna putih dan bersayap! Esoknya aku seperti anak kecil merengek minta di belikan maina baru kepada ibunya. Aku ingin bidadari bersayap itu. Aku ingin memiliki Iwar. Tidak main-main, aku ingin menikahinya. Maka seisi rumah kalang kabut menanggapi permintaanku.
            “Kamu jangan mengada-ada, Man. Baru dua semester kuliah sudah minta kawin” komentar Abah.
            “iya, Man. Lagian kenapa juga harus Iwar bungas itu yang kau pilih? Mama tak tahu berapa nanti jujuran yang diminta keluarganya. Untuk ukuran Iwar dan keluarganya pastilah diatas harga pasaran, Man” sahut mama.
            “Harga pasaran apa sih,Ma? Memangnya Aman mau beli barang?” Aku melotot.
            “Eh, si kakak, dikasih tahu nggak mau mendengarkan. ”Si Iwar tuh banyak kelebihannya. Ibarat mangga tuh kada bapira, kada masam, kada pangar, pokoknya sip” sahut Indah. ”Dia anak orang kaya, cantik, solehah, pintar lagi” sambungnya. 
            “Oya? tambah semangat nih” tukasku. Semua kepala menggeleng.
            “Man,jangan menyupanakan keluarga.Kalau kita ditolak,mau ditaruh dimana muka kita?” usik mama.
            “Ma, apa salahnya kita usaha dulu. Lagi pula Aman pikir kita tidak terlalu miskin kalau memang kekayaan yang jadi ukuran mereka. Coba Mama perhatikan Aman, Aman gagah, penampilan menarik, otak encer, keturunan baik-baik, punya bisnis kecil-kecilan, pokoknya nggak memalukan deh...” promosiku disambut timpukan tisu oleh Indah.
            “Ada satu yang belum kamu miliki , Man...” lirih Mama.
            “O, ya? Apa itu ?” sahutku heran karena merasa aku sudah terlalu sempurna untuk sekedar melamar Iwar.
“Iwar itu masih keturunan almarhum Haji Rusdi. Ulama berpengaruh di hulu sungai. Tidak ada keturunan Haji Rusdi yang tidak alim. Semua pintar ngaji, soleh dan solehah. Iwar tidak pantas denganmu, Man. Terlalu jauh ...” jawab Mama.
“Aman juga bisa ngaji kok, Ma! Ya...memang sih tartilnya masih belum sempurna. Tapi Aman janji akan belajar ngaji lagi supaya bacaanya sebagus Iwar” Harapku.
“Man...Abah dan Mama tidak melarang kamu berteman dengan Iwar. Tapi tolong... untuk yang lebih dari itu nanti dulu...  kita belum siap.” Abah menengahi.
Aku tidak puas dengan jawaban Abah. Hari itu aku bolos kuliah. Aku mencari info sebanyak-banyaknya tentang Iwar. Ternyata selama SD sampai SMA Iwar hidup bersama neneknya di Amuntai. Lulus SMA baru ia tinggal bersama orang tuanya yang kaya raya itu. Iwar kuliah di IAIN. Konon suara Iwar sangat merdu bila sedang mengumandangkan ayat-ayat suci. Aku tak peduli dengan semua itu. Aku hanya peduli pada satu hal, bahwa Iwar adalah bidadari putih bersayap yang turun ke bumi untukku. Aku harus segera melamar Iwar. Bukan apa-apa,sejak dulu aku sudah bertekad tidak akan pacaran dan apabila tertarik atau jatuh hati dengan seseorang, maka akan langsung kulamar. Aku tidak main-main.
Begini-begini aku sudah sering ikut seminar tentang menikah dini dan bahayanya pacaran. Buku-buku bertema pernikahan pun sudah pernah kubaca. Tapi aku tidak menyangka juga akan bertemu dengan soulmate secepat itu.
Aku tak berani menemui Iwar. Bukan karena aku merasa tidak pantas dengannya, bukan pula karena takut dengan ibunya atau ayahnya. Aku hanya tak sanggup melihat senyum bulannya yang selalu terbit setiap waktu. Aku ingin memiliki senyum itu. Ingin meletakkannya di kamarku, menyelipkannya di sakuku, memformatnya jadi wallpaper di hpku, ah tidak... aku ingin menempatkannya di hatiku agar tidak ada orang lain yang turut menikmatinya. Hampir sebulan aku seperti orang sakit. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, biasa... gejala penyakit kasmaran pada umumnya. Tapi baru saat itu aku benar-benar paham bagaimana rasanya merindu. Aku pun mendadak puitis. Berlembar surat cinta untuk Iwar teronggok di laci meja belajar, sebagian di tempat sampah. Bahkan aku pernah kehilangan sebuah surat yang lupa kusimpan di laci.
Anehnya suatu hari aku mendapat titipan surat dari Iwar melalui Indah. Isinya benar-benar mengagetkanku. Singkat, jelas, padat, menarik, dan perlu !
Maka Abah, Mama, aku dan Indah mendatangi rumah Iwar. Prosesnya begitu mudah. Tak ada jujuran yang mahal-mahal, tak ada tawar-menawar, tak ada persyaratan ini itu. Yang ada hanya cinta. Cinta dimana-mana. Jadilah Iwar bidadariku. Hak milik pribadi. Iwar istri yang sempurna. Pandai membagi waktu antara kuliah dan keluarga. Hari-hari bersama Iwar selalu menjadi episode indah yang penuh kejutan dan cinta.
Bagiku ... kaulah cinta sejati *)
Sampai tragedi itu terjadi... baru empat  bulan pasca pernikahan. Waktu itu musim durian seperti sekarang. Berlatar senja dan gerimis. Aku baru pulang mengantar dari mengantar orderan spanduk anak hukum. Bisnis cetak dan sablon yang kukelola amatiran dapat untung yang lebih dari biasanya. Aku memutuskan membeli durian tiga biji. Kubayangkan Iwar akan tersenyum senang melihatku membawa buah mahal itu. Ya... setidaknya setelah menikah semua jadi barang mewah dan mahal bagi kami. Tak apa menyenangkan istri sekali-sekali. Lagi pula aku sudah kangen ingin makan durian. Durian adalah buah favoritku. Kelelahanku langsung pamit setelah kelebat sayap putih Iwar melambai di khayalku.
“Assalamu’alaikum, War...Iwar...lihat aku bawa apa...nih untukmu” teriakku tak sabar menanti sambutan hangatnya.
“Wa’alaikum salam, kak ... bawa apa..” kulihat Iwar melakukan gerak penajaman penciuman. Durian tak dapat disembunyikan. Baunya pasti akan menyapa lebih dulu.
“kak Aman bawa ..du..rian..??” tanyanya. Kulihat senyum bulannya yang selalu terbit tiba-tiba enggan hadir. Mukanya memucat.
“Ada apa, War ?? kamu sakit ?? kita ke dokter ??” Aku cemas sekali. Tak pernah terlintas bagaimana jadinya kalau bidadariku terkulai lemas tak bertenaga.
Iwar menggeleng. Gugup ia menjawab “ah, tidak, Iwar tidak sakit. Kecapekan saja barangkali”
“Ya sudah, kamu istirahat. Tapi sekarang kita makan durian dulu, ya ?” sahutku lega.
“Maaf, kak, Iwar ke kamar dulu. Ada yang mau dikerjakan” pamitnya buru-buru.
“War! Tolong duriannya di bukakan ya...!! Aku mau mandi!” Aku bergegas mengambil handuk. Rasanya segar sekali. Iwar menyiapkan air hangat untukku mandi. Aku jadi merasa tersanjung. Keluar dari kamar mandi aku tak mendapati Iwar di dapur. Padahal aku sudah tak sabar ingin mencomot durian dan melumatnya. Durianku masih utuh.
“War! Iwar!” agak kesal aku mencarinya.
Di kamar tidak ada, di ruang belajarnya juga tidak ada. Penasaran aku lari kedepan. Kulihat Iwar duduk di kursi pelataran kami. “kamu ngapain disini?” selidikku.
“Maaf, kak. Tadi Iwar agak pusing. Mau nyari angin segar.” Jawaban Iwar bagai tamparan keras di pipiku. Entah setan apa yang membisikku. Bagiku Iwar menjawab “Maaf, kak Iwar sudah bosan di rumah terus. Iwar ingin beraktivitas di luar.”
“Durian, kenapa belum dibuka juga?” kucoba menyimpan kekesalan. ”
“Maaf, kak, Iwar tidak bisa membukakan duriannya.” Agak takut ia menjawab.
“Nanti kuajari. Ayo, kita ke dapur. Kamu harus bisa, durian buah kesukaanku. Ayo !”
“Tapi ... Iwar tidak suka durian..” kalimat itu seperti bantahan bagiku.
“kalau kamu tidak terlalu suka, tak apa mencicipi saja. Asyik dong, aku bisa puas makan duriannya” godaku.
“Tapi Iwar benar-benar tidak suka ...”  ucapnya lagi.
“ Ya, sudah, kamu tidak usah ikut makan. Kamu membukakannya, lalu menemani aku makan durian di dapur. ” Aku nyaris kehilangan makna sabar.
“Iwar tidak bisa..., maaf...” matanya berkaca-kaca. Mungkin ia sudah menangkap kemarahanku.
“Mau kamu apa sih ?! sudah berani membantah ? Aku sudah capek-capek kerja, kupikir kamu senang kubelikan durian. Oke! Kamu mungkin sudah bosan makan durian! Di rumahmu tiga biji durian ini tidak ada harganya kan ! Tapi tolong hargai aku. Suamimu ini baru baru kali ini bisa membelikanmu sesuatu. Maaf, War aku baru bisa membelikanmu durian bukan permata. Maaf!” Teriakku lantang.
“Iwar tidak bermaksud seperti itu, kak...” Ia menangis. Sesungguhnya aku gugup juga melihat butiran kristal meleleh di pipinya. Aku ingin merengkuhnya. Tapi egoku sedang berdiri pongah.” Sejak kecil... Iwar tidak suka makan durian..., Iwar...”
“Sejak kecil, sejak kecil! Itu masa lalu! Sekarang kamu hidup denganku. Aku suka durian, kamu istriku, seharusnya kamu juga suka durian. Banyak hal bisa diubah!” potongku.
“Iwar tidak tahan mencium baunya...” ucapnya sesegukan.
“O, ya??? Jadi seumur hidup aku tidak boleh lagi makan durian karena kamu tidak tahan mencium baunya?!” Aku melotot seperti kucing jantan siap menerkam kucing jantan lainnya saat berebut ikan. Iwar menunduk. Kulihat ia berulang kali menyeka air matanya. Pasti esok mata indahnya jadi sembab dan tak bagus. Peduli adul !  aku lagi marah. Marah pada Iwar. Aku memohon ampun pada-Nya karena saat ini aku merasa menyesal telah menikah dan memilih hidup bersama Iwar. Bidadariku ternyata memiliki cela. Ia memiliki sifat pembenci. Celakanya ia membenci sesuatu yang paling aku suka. Durianku, cintaku. Seumur hidup belum pernah ada yang berani melarangku makan durian. Selamanya akan tetap begitu.
Tak ada yang bisa mengubahnya, termasuk Iwar. Iwar yang baru hitungan bulan mendampingiku. Hidup durian! Kulihat para durian bertepuk tangan menyambut pidatoku. Apakah ini pertanda aku dan Iwar tidak cocok ? Apa aku harus berpisah saja dengannya ? Aku bergidik ngeri sambil buru-buru mendelete pikiran buruk itu. Iblis, pasti iblis sedang terkikik kegirangan. Aku tidak sadar sedang melakukan hal yang kontras dengan apa yang baru saja kuucapkan. Aku tak ingin Iwar mengubah kesenanganku, tapi aku justru memaksa Iwar mengikuti kesenanganku.
Iwar melesat ke dapur. Aku umpama suara guntur yang menguntit di belakang kilat. Iwar lah kilatnya. Ia mengambil pisau tajam di rak piring. Aku kaget. Kutepis prasangka buruk sambil menghimpun kekuatan. Iwar dengan tangkas membelah sebiji durian, mencomot isinya dan memasukkannya ke mulut. Aku ternganga. Tiba-tiba Iwar berlari lagi. Langkah seribunya hampir menabrakku. Ia ke kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Aku menggedor-gedor pintu. Kudengar suara orang muntah dari dalam kamar mandi. Iwar muntah-muntah! Aku panik, seperti Jerry tokoh tikus dalam kartun favorit indah yang sedang mencari jalan keluar dari kejaran Tom si kucing. Tapi aku tak secerdik dan selincah Jerry. Aku mematung sekian menit sampai pintu kamar mandi terbuka. Iwar kuyu. Ia pasti sudah mengeluarkan seluruh isi perutnya. Pasti menyakitkan. Aku merasa bersalah. Tak ada sepotong kata pun yang keluar dari mulutnya. Iwar ke kamar. Lagi-lagi aku mengekor. Untuk ke sekian kalinya aku terperangah, Iwar mengganti dasternya dengan gamis coklat dan memadukannya dengan kerudung putih tulang.
“Mau kemana War?” tanyaku lebih mirip memelas.
Dia tetap bisu. Di depan pintu ia mengambil tangan kananku dan menciumnya.
“Selamat makan durian, kak. Maaf, Iwar pergi dulu.” Aku tak dapat mencegahnya. Mukaku tak cukup tebal untuk sekedar menanyakan ke mana tujuannya. Aku yakin , Iwar masih bidadari yang manis. Supra fit merah melaju bersama pemiliknya, meninggalkan aku dengan sejuta rasa bersalah.
Setelah isya aku mendapat telpon dari Iwar. Aku lega. Setidaknya kini aku tahu posisi Iwar.” Kak, Iwar menginap di rumah Mama dulu, ya? Kebetulan Abah dan Indah lagi ke Jakarta. Iwar menemani Mama. Kak Aman jaga rumah kita saja. Makan malam sudah ada di meja makan. Besok pagi-pagi sekali ada yang ngantar nasi kuning buat sarapan.” Itulah Iwar. Ia tak seperti perempuan pada umumnya. Kalau ngambek sama suami ngadu ke orang tua. Iwar malah pulang ke mertua. Tidak mengadu. Tapi sekedar menyunyikan diri dan menyepikan kerumitan yang baru saja terjadi. Aku menarik nafas lega.
Malam seperti penjara tanpa Iwar. Ke pelataran, sepi. Ke dapur, sunyi. Ke kamar, nyeri. Aku tak berselera lagi makan durian. Durian tragedi, siapa yang mau makan? Aku keluar bersepeda menyusuri jalan bercahaya setelah memberikan durian-durian tragedi ke tetangga sebelah. Jalan-jalan berhias petromaks memaksaku mampir.
“Durian, Mas?” Tanya pedagang durian.
“Ya,” aku malas menawar. Aku memakannya sambil lesehan di samping anak penjualnya. Bocah laki-laki kurus tujuh tahunan itu menatapku tak berkedip.
“Mau?” aku tak yakin ia sudah pernah makan durian dagangan ayahnya. Buktinya ia mengangguk dan cepat mencomot durianku.
“Bapak baik sekali. Pasti senang jadi anak Bapak” ucapnya.
“Ah, kamu bisa saja. Saya belum punya anak.” Aku agak tak biasa dipanggil Bapak.
“kalau begitu, pasti istri Bapak bahagia punya suami sebaik Bapak” ralatnya. Istri... bahagia...? aku tersedak. Segera kusudahi pesta durianku dengan bocah kurus itu.
“Mau ke mana, Pak?” tahannya.
“Pulang! Sisanya kamu habiskan saja!” Aku segera mengayuh pedal Phoniex bututku melaju membelah malam yang mulai semakin kelam. Aku ingin tidur dan bermimpi tentang Iwar.

                                                            ***
Sepulang kuliah hari itu aku tak kemana-mana. Tidak ada niat ke rumah Mama. Nanti suasana malah kacau. Di pelataran kudapati sebiji durian besar menggiurkan. Sepucuk surat sengaja diletakkan di bawahnya. Tergesa kubaca,
            Kak, maafkan senmua kesalahan Iwar. Durian ini sebagai tanda perdamaian dari Iwar. Dimakan, ya! Kalau sudah selesai makannya jangan lupa gosok gigi dan tolong jemput Iwar di rumah Mama. Nanti malam kita bicarakan baik-baik soal perbedaan selera kita. Tadi Iwar naik angkot, kunci supra fit Iwar titip di tetangga depan.
            Ah, Iwar tak ada yang perlu di maafkan. Aku lah yang meniup di atas bara. Iwar masih bidadariku. Bidadari putih bersayap dengan lekuk kecil di pipi dan senyum bulan yang selalu terbit. Mengingat  senyum Iwar membuatku mempercepat laju sepedaku. Aku tak takut pada langit yang mulai gerimis lagi. Aku ingin segera sampai di rumah. Membuka lembaran album kenangan saat indah bersama Iwar. Iwar sekarang pasti sedang tersenyum di atas sana.  Besok Mama nengadakan acara haulan. Setahun kepergian Iwar. Angkot yang ia naiki dikemudikan sopir mabuk. Entah bagaimana kejadian persisnya, yang jelas aku mendapati Iwar sudah tak bernyawa di rumah sakit Islam. Maafkan aku durian... sejak  kepergian Iwar aku  tak tahan mencium bau durian lagi. Selain itu aku juga tak sanggup memakai supra fit atau sepeda motor apapun lagi karena semua itu hanya mengingatkanku pada Iwar menjelang kepergiannya. Iwar dengan supra fit merah adalah gambaran terakhir yang terekam dengan jelas di memoriku. Aku semakin mempercepat laju sepeda. Kepalaku pusing,aku tidak tahan lagi,aku ingin muntah...
            Bila yang tertulis untukku adalah yang terbaik untukmu
            Kan kujadikan kau kenangan yang terindah dalam hidupku
            Namun takkan mudah bagiku meninggalkan jejak hidupmu
            Yang tlah terukir abadi sebagai kenangan yang terindah...*)

*) Lirik lagu kenangan terindah/samsons
Ket Bhs Banjar:
Bungas = cantik
Jujuran = mahar
Kada masam,kada bapira,kada pangar = tidak ada keburukan/cacat
Kuyu = pucat, lesu
Manyupanakan = mempermalukan
Pelataran = teras
Haulan = selamatan tahunan memperingati kematian.














Cerpen ini pernah dimuat di harian Radar Banjarmasin kolom Cakrawala, Februari 2007, terdapat dalam buku antologi cerpen  Nailiya Nikmah JKF "Rindu Rumpun Ilalang" dan antologi cerpen 9 pengarang perempuan Kalsel "Nyanyian Tanpa Nyanyian"






















Sabtu, 29 Desember 2012

Rindu Rumpun Ilalang

14.18 0 Comments


RINDU RUMPUN ILALANG
Oleh  Nailiya Nikmah JKF

“Ayolah...kita bermain di padang ilalang. Sebentar...aja.”
Aku suka ilalang. Tidak semata-mata karena kesederhanaan yang ditampilkannya seperti awenku Bakumpai tapi juga karena hal-hal misterius yang selalu menjelma di sela-sela rimbunnya. Setiap aku menatap rumpunnya yang bergoyang ditiup angin, akan terbit rasa rinduku. Rindu yang tak terbatas dan tak terbalas pada yang tak tertentu. Rindu yang tak dapat kupahami, yang selalu berubah-ubah bentuk.

Ketika aku masih berseragam putih merah, menatap rumpun ilalang di belakang rumah kami membuatku rindu Ibu. Uma yaku hantarawang kan langit. Iye melay si awan.* Begitulah kata Ayah dan Neneng. Mulanya aku percaya. Kupikir, kalau sudah lelah di atas langit, Ibu pasti akan pulang dan mencariku. Seiring berjalannya waktu, aku jadi mengerti kemana Ibu sebenarnya. Saat pertama kalin memahami makna kepergian Ibu sebenarnya, aku menangis seperti langitg menumpahkan hujan. Aku memeluk nisan bertuliskan nama Ibu. Aku merasa tak ada lagi harapan bertemu Ibu. Aku menyesali perjalanan waktu. Kadang aku berpura-pura belum mengerti dan memaksakan diriku untuk tetap menganggap Ibu ada di atas langit, dan kalau sudah lelah Ibu pun akan pulang. Tapi usaha itu sia-sia. Waktu sudah mengatakan yang sebenarnya.

Lambat laun kesedihanku berkurang. Ketika aku SMP, mentap rumpun ilalang membuatku tersipu-sipu dan tersenyum sendiri. Aku tidak tahu mengapa di sela-sela rimbunnya kutemukan wajah Aldi. Aldi adalah ketua kelasku. Aldi adalah teman laki-laki pertama yang memujiku. Dia bilang aku manis. Saat itu kunyatakan padanya bukankah Lala lebih cantik? Lala adalah anak tercantik disekolahku. “Cantik dan manis itu tidak sama. Manis itu tidak membosankan “kurang lebih begitu yang dikatakan Aldi. Lalu aku merasa rumpun ilalang menarik tanganku dan mengajakku menari. Hanya itu, tak ada sesuatu yang berlebih . sesederhana para ilalang, sesederhana itulah kerinduanku.

Aku terlanjur mencintai ilalang dibelakang rumah kami. Sampai-sampai ketika ayah memaksaku melanjutkan sekolah ke Marabahan, aku sempat berontak. Aku ingin di Tabukan. Neneng sama saja, ia bilang sekolah di Marabahan lebih bagus. Aku tak ingin jauh dari makam ibu- alasan ini dipatahkan Ayah. Kata Ayah Tabukan-Marabahan tidak terlalu jauh. Tapi aku tak ingin berpisah dengan ilalangku. Kusaksikan rumpun ilalangku menunduk sedih. Dan betapa kecewanya aku, sesampainya di Marabahan ternyata Ayah sudah menyiapkan Ibu baru untukku.

Kekecewaanku tak bertahan lama. Ibu baruku yang juga awen Bakumpai dan masih ada ikatan kerabat dengan Neneng sangat pandai mengambil hatiku (aku agak heran juga, mengapa Ayah yang berdarah Jawa tidak mencari istri sesukunya). Selain itu, aku menemukan rumpun ilalang yang baru! Ketika menatap rumpun ilalang itu, seperti biasanya terbitlah rasa rinduku. Pertama kali yang kurindukan adalah rimbun ilalang di Tabukan!

Kesibukan di bangku SMA membuatku jarang menatap ilalang berlama-lama. Aku anggota Pramuka, PMR, KIR, OSIS, pokoknya semua organisasi aku ikuti. Ayah sampai memperingatkanku agar tidak melupakan belajar. Peringatan Ayah kujawab dengan prestasi. Aku selalu juara kelas. Lalu tibalah hari itu. Hari prmbagian jurusan di kelas tiga. Aku dipanggil ke ruang BP.
“Kema, apa benar kamu memilih jurusan IPS?”Tanya bu Ida.
“Ya, Bu.”Jawabku.
“Kamu yakin?Tatapanya mencoba mencari kepastian.
“Sangat yakin”
“Ibu tidak ingin kamu salah pilih dan menyasal di kemudian hari,Nak”Guru BP ku meredakan nada bicaranya.
“Kema sudah memikirkannya sejak kelas satu,Bu” Ujarku menutup sidang tak resmi bdi ruang BP.
Berdengunglah seisi sekolahku. Ayah dipanggil ke sekolah. Semua orang seakan-akan tak rela aku masuk jurusan IPS. Aku heran, apakah pemisahan IPA-IPS sama dengan pemisahan pintar dan tak pintar? Kudengar di kota lain malah ada jurusan Bahasa. Berhubung tidak ada, ya sudah kupilih IPS. Yang jelas aku tak minat di IPA.
“Kema sayang, mengapa harus memilih IPS? Kamu mampu di IPA, Nak” bujuk Ayah.
“Kenapa  harus IPA, Yah?” balasku. Ayah tak menyahut. Perundingan berakhir dengan kemenanganku.
“Tapi, Kema... kalau kau di IPA, kita akan tetap bersama. Aku ingin kita sekelas. Dayat rekan sekelompokku setiap kali praktikum ikut-ikutan membujuk.
“Memang kenapa kita harus harus sekelas?” Tanyaku polos.
“Aku hanya ingin kita sekela. Itu saja”. Dayat ghelagapan. Ia seperti penjahat tertangkap yang menyembunyikan barang bukti.
Aku tak puas. Kutatap matanya. Ia melengos. Benar kata pepatah, mata adalah jendela hati. Kalau ingin kejujuran lawan bicara, tataplah matanya.
“Tak ada alasan yang logis kan?” ucapku senang karena mematahkan argumen Dayat.
Cinta kadang-kadang tak ada logika**” gumam Dayat.
“Apa? Kau bilang apa, tadi?” tanyaku.
“Cinta!” Dayat balik menatapku tajam. “Yaku mancintai ikaw! Bawi”***

Detik berikutnya aku yang tak berani menatap matanya. Dayat? Cinta? Kenapa kata-kata itu begitu tiba-tiba datangnya? Tiba-tiba aku ingin mengulang seluruh praktikum di laboratorium. Tiba-tiba aku ingin Ibu BP memanggilku dan melakukan sidang ulang. Tiba-tiba aku ingin Ayah mendebatku lagi. Aku berlari menerjang rumpun ilalang. Aku ingin ada yang menjelaskan ketiba-tibaan ini. Aku menatap rumpun ilalang. Oh, sungguh kacau rindu yang diterbitkannya. Mula-mula terselip wajah Dayat, lalu ini’ Aldi, lalu...apa-apaan ini, aku merindukan para perempuan Bakumpai uang sedang berdendang menumbuk padi dengan halu di Tabukan. Terakhir ada awan putih di langit. Itu pasti Ibu! Kutanya ilalang itu. Mereka tak memberiku jawaban lain. Ilalang itu membiarkanku pada pilihan pertamaku.

                                      ***

           Keindahan rumpun ilalang terakhir kunikmati seminggu menjelang pernikahanku. Di sela rimbunnya tak ada lagi wajah Aldi, Dayat atau siapa pun. Ya..sejak mengikuti kajian intensif di kampusku, aku menatap rumpun ilalang sambil menyebut asma-Nya dan aku tak pernah lagi menemukan wajah-wajah nonmahram terselip di sela rumpun ilalangku. Biasanya yang kurindukan adalah Ibu, Ayah, Neneng dan sahabat-sahabatku di kelompok kajian pekanan. Di sela rimbunnya waktu itu, kutemukan wajah calon suamiku, memperkuat hasil istikharahku. Sejak itu ilalang-ilalang itu berganti sosok anak-anakku yang lincah dan aktif.
              “Ayolah ...kita bermain di padang ilalang. Sebentar...aja.”
Lalu hari ini, anak-anakku merengekkan ilalang. Sama seperti aku dulu, mereka tak kalah gilanya daripadsa aku dalam urusan ilalang. Sebenarnya aku agak takut dan ragu. Hampir lima tahun aku tak lagi menatap rimbunan ilalang sekhusyuk dulu. Apakah ilalang itu marah padaku? Apakah mereka juga semakin tua sepertiku? Aku memberanikan diri membawa anak-anakku ke sebuah padang ilalang. Kedua balitaku berteriak kegirangan. Kupejamkan mataku beberapa saat. Pelan-pelan kubuka kedua mataku...Oh, tidak! Di sela rimbunnya kutemukan wajah seorang laki-laki. Bukan, ia bukan ayahku. Suamiku pun bukan. Aku tak percaya. Wajah itu...
“...merupakan gambaran hidup dan kehidupan... di dalamnya ada realitas...substansinya harus kita pahami...”

Aku terngiang-ngiang kalimat-kalimatnya yang dulu pernah menghipnotisku. Meski terpotong-potong, kenangan yang ditampilkannya menerbitkan kerinduan yang sangat besar. Ini pasti gara-gara perbincanganku dengan Mitha seminggu lalu. Mitha begitu antusias bercerita tentang dia padaku.
“Dia sekarang sudah berubah. Tidak seperti dulu lagi. Kamu pasti terpesona” ucap Mitha sungguh-sungguh.
“Kenapa terpesona?” tanyaku.
“Penampilannya sekarang seperti idolamu dulu” jawab Mitha.
“Idolaku? Siapa?”
“Osama bin Laden!” Mitha terbahak lalu berlari meninggalkanku yang mulai tertusuk rindu.

Tergesa ku kemasi anak-anak. Aku ingin segera pulang. Kerinduan ini menakutkanku. Tapi sayang, kerinduan yang diterbitkan ilalang itu terbawa sampai ke kamarku dan menjadi topik perbincanganku dengan suami setiap mamal.
“Apakah kau pernah bertemu dengannya baru-baru ini??” aku menanyakan lelaki itu pada suamiku. Lelaki yang juga pernah dikenal olehnya.
“Kenapa kayu menanyakannya terus?” Tanya suamiku.
“Aku... merindukannya”lirihku.
Mata suamiku membesar. Tapi hanya beberapa detik. “Kalau begitu, kau temui saja dia!”
“Tidak mungkin. Tidak ada alasan yang sangat penting untuk bertemu dengannya”keluhku.
Setelah itu ia tersenyum. “Nanti kalau aku bertemu dengannya, akan kuceritakan bagaimana keadaannya sekarang. Yang jelas, dia sudah berubah”
Begitulah berbulan-bulan aku ditikam kerinduan yang terbatas. Maka, belangsarlah aku ketika mendapat pesan singkat di ponselku. Pengirimnya tak jelas siapa. Sepertinya pesan yang diteruskan dari pengirim lain. “EsokSeminarPmbcrxDF” DF adalah inisial laki-laki itu. Aku penasaran, apa yang akan dipaparkannya tentang sastra setelah perubahan habis-habisan yang ia lakoni?
“Pokoknya, besok aku ke kampus. Wajib” begitulah gayaku kalau meminta izin pada suami. Untunglah suamiku tidak terlalu sulit dimintai izin. Ia sangat memahami kecenderunganku pada dunia sastra. Aku sibuk menata hati. Ada gemuruh yang tak bisa kusunyikan. Ketika menapaki anak tangga gedung tempat seminar berlangsung aku nyaris terjatuh saking gugupnya. Di anak tangga terakhir, sebelum sampai di pintu masuk, aku menarik nafas. Aku tak ingin kelihatan kacau di hadapannya. Nanti kalau bertanya apa ya? Gumamku dalam hati.

Betapa terkejutnya aku ketika tak menemukan sosoknya di forum itu. Sepertinya ia sengaja tak ingin menghadiri acara. Aku menelan kecewa. Tapi kekecewaan ini tak sama dengan kekecewaan ketika aku kehilangan Aldi dan Dayat. Bukan, ini bukan pencarian yang berakar dari romantisme konyol karena untuk urusan romantisme aku sudah ada ikatan perjanjian dengan-Nya. Laki-laki itu adalah orang yang sangat kuhormati. Orang yang pernah memberiku pengajaran dan pendidikan tentang sastra. Orang yang pernah meminjamiku buku langka-yang rela mengopikannya karena kerapiannya mengarsip pustaka. Dia adalah dosenku.
Aku manuruni anak tangga dengan hampa. Kuterabas rumpun ilalang. Kupejamkan mataku lalu perlahan-lahan kubuka. Kulihat rindu itu masih terselip di sela rimbunnya.

                                                                          (Assalamu’alaikum yaa Ustadz)

*Ibuku pergi di langit, ia tinggal di langit. (Bahasa Bakumpai)
**Cuplikan lagu Agnes Monica
***Aku mencintaimu, Gadis!

Cerpen ini terdapat dalam buku antologi cerpenku "Rindu Rumpun Ilalang" Terbitan KSI Banjarmasin, 2010

Rumah di Bawah Pelangi

14.10 0 Comments


RUMAH DI BAWAH PELANGI*
Cerpen Nailiya Nikmah JKF

Imah berdecak kagum menatap rumah mungil bercat biru muda itu. Daun pintu dan jendela-jendelanya berwarna merah muda. Mirip rumah-rumahan barbie milik Sasha. Hanya saja rumah yang di hadapannya ini tidak bertingkat dan modelnya sangat sederhana. Pekarangannya cukup luas. Tak ada pagar pembatas. Yang membuat rumah itu istimewa adalah lengkungan indah warna-warni di atasnya. Ya, ada pelangi di atas rumah mungil itu. Kapan pun Imah datang, di langit di atas rumah itu selalu ada pelangi. Kurang lebih lima belas menit ia menikmati pemandangan tersebut. Setelah itu, seperti hari-hari sebelumnya, ia pun menghidupkan motornya dan melaju menuju rumahnya sendiri.
Imah tak sengaja menemukan rumah itu. Suatu sore Sasha mengamuk tidak mau berangkat ke tempat les piano. Biasanya tiap Senin dan Jumat sore Sasha ke les piano diantar papanya tapi sore itu Sasha mogok. Entah apa sebabnya, ia baru mau berangkat setelah dipaksa Imah dan Imah sendiri yang harus mengantarnya. Karena merasa sudah terlambat, padahal guru les piano sangat disiplin, Imah pun tergesa-gesa. Ia lupa membawa dompet. Ia juga lupa memakai helm. Di tengah perjalanan, dari jauh Imah melihat ada keramaian di depannya. Seseorang meneriakinya, “muter, muter, razia, razia!”
Imah tiba-tiba sadar ia tidak memakai helm, ia pun panik. Tak sengaja matanya tertuju pada belokan sempit di sebelah kirinya. Ia lihat beberapa pengendara membelok ke sana. Tanpa pikir panjang Imah mengikuti para pengendara yang sama paniknya dengan dirinya. Rupanya belokan tersebut adalah jalan tembus ke Jalan utama yang akan ditujunya. Nah, dalam jalan tembus itulah Imah menemukan rumah berpelangi tersebut. Sebenarnya bukan Imah yag menemukan pertama kali. Sasha lah yang pertama menemukannya. Sasha berteriak, “Ma, berhenti Ma, Sasha mau lihat pelangi! Ada pelangi, Ma!”
Imah gusar mendengar celoteh Sasha. “Sha, kita sedang kabur dari polisi, nih. Kamu jangan macam-macam. Lagipula kamu sudah telat les pianonya!” teriak Imah.
“Sebentar saja, Ma. Pelanginya aneh. Masa pelanginya cuma di atas rumah biru itu?” Suara Sasha mulai menjadi rengekan.
“Balik lagi dong Ma ke rumah yang sudah kita lewati tadiii” Sasha merengek lagi. Imah hafal betul, kalau sudah nada rengekan yang seperti itu, Sasha pasti akan mengamuk kalau tidak dituruti. Imah pun membalikkan arah motornya.
Bukan hanya Sasha yang melongo, Imah pun ternganga melihat rumah di bawah pelangi tersebut. Anehnya pemakai jalan yang lain tak ada yang tertarik melihat pemandangan langka itu. Bahkan sepertinya mereka tidak melihatnya. Imah merasakan kedamaian yang luar biasa saat memandanginya. Mungkin yang ia rasakan dirasakan pula oleh Sasha. Sejak itulah, Imah setiap hari menyempatkan diri melewati jalan itu hanya untuk melihat rumah di bawah pelangi.
Ini pekan keempat Imah menjadi pengagum rumah orang. Selama ini, Imah menganggap rumahnya adalah rumah terindah di kotanya, eits rumah terindah di dunia malah. Rumah yang dibeli suaminya itu menurutnya sangat spesial. Selain bahan dan arsitektur rumah yang elegan, rumah tersebut ada kolam renangnya, ada tiruan air terjun Niagaranya, ada hutan kecilnya – yang ditanami tetumbuhan hutan pada umumnya lengkap dengan danau buatan,  ada ruang pameran karya seni, tak lupa mushola kecil untuk beribadah.  Memiliki rumah mewah dan suami yang punya banyak duit membuat Imah merasa menjadi orang yang paling beruntung. Apalagi setelah kelahiran Sasha, putri tunggalnya yang bermata kejora. Ia merasa sangat lengkap, kecuali satu hal. Sampai saat ini ia tak berani menyetir mobil sendiri. Ia harus puas dengan hanya mengendarai motor kerennya. Setelah menemukan rumah berpelangi itu, Imah merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya.
Pekan keempat mengagumi rumah itu, Imah menginginkan rumah tersebut. Sebenarnya bukan rumahnya, melainkan pelanginya. Imah ingin pelangi itu bisa dipindah ke langit di atas rumahnya. Sang suami tertawa waktu mendengar keinginan Imah, “Hahaha, pelangi itu tidak bisa dibeli, Imah. Pelangi itu tak bisa dimiliki. Ia milik semua orang. Ada-ada saja kamu,”
“Tapi rumah biru itu memiliki pelangi sendiri, Bang,” Imah menyahut.
Suaminya berhenti tertawa. Laki-laki berambut keriting itu menyentuh dahi istrinya. Imah menepis tangan suaminya, “Apa-apaan sih, Bang!”
 “Hm, kupikir kau demam atau sakit tapi…tidak,” suami Imah menggeleng-geleng.
Imah hampir putus asa meyakinkan suaminya. Tiba-tiba ia berteriak, “Aha, Sasha, Sasha, Bang!”
“Kenapa dengan Sasha, Ma?”
“Dia yang pertama kali melihatnya. Kalau Abang tak percaya, coba tanyakan pada Sasha,” Imah bersemangat.
Setelah menjemput Sasha yang sedang bermain di rumah sebelah, mereka bertiga pergi ke rumah pelangi. Sebelum berangkat, Imah hampir meledak melihat tangan Sasha belepotan warna-warni bekas krayon. Imah sudah berulang kali melarang Sasha bermain-main dengan alat warna. Ia tak ngin Sasha jadi pelukis. Ia ingin Sasha jadi pemain piano yang hebat. Imah membersihkan tangan Sasha. “Tanganmu ini untuk main piano, Sha!”
Sesampainya di sana giliran suami Imah yang melongo. Ia berkali-kali mengucek-ngucek matanya, mencubit lengannya dan menepuk-nepuk pipinya sendiri.
“Jadi, kita mau membeli rumah ini, Ma? Pa?” tanya Sasha.
“Tidak, sayang. Kita mau membeli pelanginya saja” suara suami Imah membuat Imah riang.
Mereka disambut hangat oleh pemilik rumah. Sepasang suami istri yang ramah. Sasha senang sekali disuguhi semangkuk es krim rasa vanilla dengan butiran coklat chip di atasnya. Imah dan suaminya disuguhi teh hangat beraroma cengkeh dan mint, teman yang pas untuk kue brownis kukus buatan istri pemilik rumah.
“Jadi, apakah kami bisa membeli pelangi punya Bapak dan Ibu?” tanya suami Imah setelah mengelap bibirnya dengan tisu.
Imah sangat senang, kini justru suaminya yang terlihat lebih bersemangat. Suami dan istri pemilik rumah saling berpandangan lalu tersenyum mesra. Sang suami memberi isyarat agar istrinya yang berbicara.
“Begini Pak, Bu, pelangi yang di atas rumah kami tak bisa dibeli, tak bisa dipindah-pindahkan. Kami merawatnya sejak kecil. Kalau Bapak dan Ibu mau, kami mempunyai bibitnya. Ya… Bapak, Ibu harus sabar merawatnya, menyirami, memberi pupuk, nanti lama-lama dia akan tumbuh besar sepeti pelangi di rumah kami ini” Perempuan itu tersenyum, terlihat lekuk kecil di kedua pipinya.
Imah dan suaminya mengangguk dan berkata bersamaan, “Mau, mau.” Mereka semua tertawa. Sasha kebingungan melihat semua orang tertawa, gadis kelas satu SD itu dari tadi asyik dengan es krimnya. Bibir dan pipinya belepotan es krim. Ia pikir orang-orang menertawakannya. Ia buru-buru menyeka pipinya dengan tangan. Bukannya membersihkan, Sasha malah menambah kotor mukanya karena tangannya sudah berlumuran es krim. Imah segera mengelap muka Sasha dengan tisu.
“Mungkin dia perlu cuci muka dengan air, mari saya antar dia ke belakang” Istri pemilik rumah menggandeng Sasha. Ia membawa Sasha menuju ruang makan, di sudutnya ada tempat untuk cuci tangan. Ada sabun dan kain lap di sana. Agak ke kiri, Sasha mendapati sebuah lukisan tergantung di dindingnya. Lukisan bunga matahari yang sangat indah. Warnanya kuning keemasan. Sasha menatapnya. Ia berjinjit, lalu tangan mungilnya mencoba menyentuh lukisan itu.
“Hm, cuci tangan dulu, Sayang…” kata istri pemilik rumah.
Sasha segera mencuci dan mengeringkan tangannya. Ia kembali ke lukisan bunga matahari. Karena tubuhnya masih kecil, ia hanya bisa menyentuh bagian bawah lukisan. Istri pemilik rumah menggendongnya. “Kau suka lukisan, Nak?” tanyanya lembut.
“Ya, aku suka melukis, di kamarku banyak lukisan, lukisanku sendiri. Ada mawar, melati, anggrek, raflesia arnoldi. Aku juga suka melukis binatang. Ada kelinci, kucing, hamster, burung kakatua, panda…” celoteh Sasha. Sasha sangat senang. Belum pernah ia seriang ini berbicara dengan orang asing.
“Kalau rumah, kebun, taman, kau pernah melukisnya?” tanya istri pemilik rumah sambil membelai kepala Sasha.
“Ada sih, tapi tidak terlalu bagus” jawab Sasha takut.
“Tak apa Sayang, kalau latihan dan belajar, lama-lama nanti juga bagus hasilnya” Istri pemilik rumah tersenyum.
Sasha lega. Ia sangat takut jawabannya mengecewakan istri pemilik rumah. Ia takut istri pemilik rumah berubah sangar seperti guru les pianonya kalau lagi kesel karena ia salah memainkan nada. Sebenarnya Sasha sudah tidak tahan lagi dengan les pianonya. Ia lebih senang melukis tapi sayang mamanya tak membolehkannya ikut sanggar melukis di taman budaya dekat rumahnya.
Begitulah, keesokan paginya, sesuai instruksi pemilik rumah pelangi, Imah dan suaminya menabur bibit pelangi. Hampir saja terjadi pertengkaran seru antara Imah dan suaminya soal di mana mereka akan menabur bibit pelangi. Imah ingin menaburnya dekat air terjun. Suaminya ingin menaburnya dekat hutan mini mereka. Akhirnya Imah mengalah karena ia sudah tak sabar lagi menabur bibit pelangi. Imah dan suaminya bergantian menyiram dan memberi pupuk. Mereka sabar menanti lengkungan pelangi di atas langit di hutan mini.
Hingga suatu pagi Sasha menjerit, “Mama…Papa! Lihat! Banyak awan gelap di atas langit!”
Imah dan suaminya bingung, bibit pelangi tumbuh menjadi awan gelap. Sungguh aneh padahal mereka sudah rajin merawatnya. Mereka bertiga mendatangi pemilik rumah pelangi lagi.
“Dengan apa kalian menyirami dan memupukinya?” tanya suami pemilik rumah.
“Tentu saja dengan air dan pupuk, pupuk yang paling bagus” jawab suami Imah.
Sepasang suami istri pemilik rumah tersenyum. “Pantas saja” sahut sang Suami.
“Seharusnya, kalian menyiramnya dengan kebahagiaan dan memupukinya dengan ketulusan” jelas sang istri.
“Kebahagiaan dan ketulusan? Maksudnya?”tanya Imah.
“Penghuni rumah harus lah merasa bahagia sepanjang hari dan melakukan semua perbuatan dengan tulus, tidak karena terpaksa. Ingat, semua perbuatan.” Suami pemilik rumah menjelaskan panjang lebar.
“Apa kamu tidak bahagia, Ma?” tanya suami Imah seolah menyalahkan Imah.
“Ah, selama ini aku bahagia, sangat bahagia malah. Dan aku, tidak pernah terpaksa melakukan segalanya. Aku memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengantar Sasha, semua kulakukan tidak karena terpaksa,” Imah agak kesal, “jangan-jangan kau yang tidak bahagia, Bang?” selidik Imah.
“Jangan menuduhku, Ma. Aku lelaki paling bahagia di dunia ini” bantah suaminya.
“Tunggu, masih ada satu orang yang belum ditanya” kata istri pemilik rumah.
“Tidak, Bu. Tidak ada orang lain lagi di rumah kami. Kami cuma ber..tiga,”suara Imah mendadak datar dan kaku.
“Bertiga? Ada Sasha, kan? Hei, ke mana Sasha tadi?” Suami pemilik rumah bertanya.
“Dia pasti di dalam, ayo…” Istri pemilik rumah menggiring semuanya ke ruang makan. Di sana terlihat Sasha sedang duduk di lantai dengan peralatan gambarnya. Sesekali kepalanya mendongak ke atas, ke lukisan bunga matahari.
“Saya tahu sekarang… Hm, kalau kalian masih menginginkan pelangi itu, hentikan les piano Sasha. Masukkan ia ke sanggar lukis” kata istri pemilik rumah tegas.

Epilog
Belasan tahun kemudian, di salah satu hari Senin di bulan Desember, seluruh media memberitakan: pameran tunggal pelukis muda berbakat, Rumaisa. Telah terjual dengan harga fantastis, lukisan berjudul Rumah di Bawah Pelangi.


*Cerpen ini terdapat dalam buku Kiat Menulis dan Cerpen Pilihan