Jumat, 07 September 2018
# makalah
# sastra
Komunikasi Antarbudaya dan Relasi Antarpribadi dalam Cerpen “Dosen Pun Perlu Becermin” Karya Aboe Fadhil
by
Nailiya Nikmah
on
00.23
Ini adalah materi yang aku bawakan ketika diminta penguasa Kindai Seni Kreatif untuk menjadi "Jaksa Penuntut Umum" dalam ruang sidang majelis cerpen milik Aboe Fadhil. Sebelumnya, jika kau belum tahu apa itu Kindai Seni Kreatif segeralah cari tahu. Kalau perlu tanya google dulu...hehe. Baiklaah sekarang mari nikmati celotehanku:
Komunikasi dan
kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan Edward T.Hall
mengatakan “Komunikasi adalah kebudayan dan kebudayaan adalah komunikasi.”
Dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran
simbol-simbol komunikasi; sebaliknya, hanya dengan komunikasi pertukaran
simbol-simbol dapat dilakukan. Kebudayaan hanya bisa eksis jika ada komunikasi.
Proses komunikasi
antarbudaya berakar dari relasi sosial antarbudaya yang menghendaki adanya
interaksi sosial. Ini terjadi secara alamiah. Menurut Watzlawick, Beavin dan
Jackson, isi komunikasi tidaklah berada dalam sebuah tempat ataupun ruang yang
terisolasi. Isi dan makna adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dua hal
yang essensial dalam membentuk relasi. Dengan kata lain relasi antarmanusia
sangat mempengaruhi bagaimana isi dan makna sebuah pesan diiterpretasi
(Liliweri, 2009).
Dalam kerangka
mencermati kajian komunikasi antarbudaya dikenal beberapa asumsi, beberapa di
antaranya adalah:
1.
Komunikasi
antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar adanya perbedaan persepsi antara
komunikator dengan komunikan
2.
Dalam
komunikasi antarbudaya terdapat isi dan relasi antarpribadi
3.
Gaya
personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi
4.
Komunikasi
antarbudayabertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian
5.
Komunikais
berpusat pada kebudayaan
6.
Efektivitas
antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya
Relasi
antarmanusia sangat mempengaruhi bagaimana isi dan makna sebuah pesan
diinterpretasi. Dengan siapa seseorang berkomunikasi, apa hubungan seseorang
tersebut dengan orang yang menjadi rekan komunikasinya akan sangat mempengaruhi
interpretasinya terhadap pesan yang dikomunikasikan.
Mempelajari
hal-hal tersebut dari sebuah karya sastra berbentuk cerpen, bukan sesuatu yang
gampang tapi tentu saja bukan sesuatu yang mustahil. Melalui dialog-dialog yang
terdapat dalam sebuah cerpen, pembaca bisa menangkap siapa dan bagaimana
pengguna dialog tersebut berperan dalam cerita secara keseluruhan.
Dialog-dialog tersebut secara universal akan membawa pembaca kepada suatu
keadaan yang mirip dengan saat saat sedang becermin. Tentang bagaimana relasi
antarpribadi kita dengan seseorang, tentang bagaimana komunikasi antarbudaya
yang sedang terjadi pada masyarakat kita di era kekinian.
SSeberapa Penting Kita Becermin?
Cerpen yang ditulis
oleh Aboe Fadhil, “Dosen Pun Perlu Becermin” memuat realitas komunikasi
antarbudaya serta relasi antarpribadi sebagimana yang tertera dalam pendahuluan
tulisan ini. Cerpen ini berkisah tentang seorang dosen benama Pak Asmi,M.Pd. yang
memiliki karakter sebagaimana terdapat pada cuplikan berikut:
Ia tidak berani
mengetuk pintu, sebab ia tahu karakter sang dosen. Pak Asmi itu sangat tegas
dan konsisten dengan keputusannya, serta sangat objektif dalam memberikan
penilaian. Semester sebelumnya, dari 40 mahasiwa, hanya 4 orang yang mendapat
nilai A, 7 orang menerima nilai B, selebihnya memperoleh C dan D. Mahasiswa
yang terlambat, kalau pun diizinkan masuk, pasti disemprot dulu dengan
kata-kata yang pedas, dan di Daftar Hadir tetap dicatat absen, seperti yang
dialaminya dua minggu yang lalu. Tapi itu lebih mending daripada diusir dan
disuruh pulang, seperti yang dirasakannya minggu sebelumnya.
Cuplikan tersebut berasal dari satu paragraf dalam cerpen
DPPB. Sebagai sebuah paragraf secara umum, paragraf tersebut sebenarnya bukan
sebuah paragraf yang baik dilihat dari kriteria dan syarat paragraf. Salah satu
syarat paragraf yang baik adalah adanya unsur kesatuan, artinya dalam satu paragraf hanya boleh ada satu ide
pokok yang dijabarkan menjadi beberapa kalimat pembangun paragraf tersebut. Ini
cerpen, bukan karya ilmiah – barangkali ada yang berkometar seperti itu.
Baiklah, bagaimana kalau kriteria tersebut diabaikan saja kali ini. Ini
artinya, paragraf tersebut merupakan cermin sebuah kegamangan ketika seseorang
menginterpretasi lawan komunikasinya.
Tegas, konsisten, objektif dalam memberi nilai, adalah
hal-hal positif dalam paragraf ini sebagai penggambaran sang dosen yang
harusnya menjadi hal membanggakan bagi para mahasiswanya. Akan tetapi pada saat
yang bersamaan hal-hal positif tersebut disandingkan dengan disemprot dulu dengan kata-kata yang pedas, di daftar hadir tetap dicatat absen, serta diusir, disuruh pulang. Di
tengah-tengah kedua hal kontras tersebut, informasi tentang dari 40 mahasiwa, hanya 4 orang yang
mendapat nilai A, 7 orang menerima nilai B, selebihnya memperoleh C dan D
menjadi sebuah wacana yang interpretasinya bisa jadi sangat abu-abu. Akankah
ini menjadi penguat kararkter positif dari sang dosen atau justru sebaliknya
menjadi penambah point jeleknya si dosen. Informasi inipun terletak di
tengah-tengah. Ketika ini diinterpretasi oleh mahasiswa yang rajin belajar,
giat berjuang, lalu dapat nilai terbaik, maka informasi ini menjadi penguat
bahwa Bapak Asmi adalah dosen yang sangat objektif. Bapak Asmi memberi nilai
sesuai pekerjaan dan kualitas intelektual mahasiswanya. Akan tetapi ketika ini
lebih didekatkan kepada hal-hal negatif semacam disemprot, dianggap absen,
diusir dan disuruh pulang maka gambaran nilai-nilai tersebut dapat
diinterpretasikan sebagai sebuah kekejaman sang dosen atau paling tidak
ketegaan dosen.
...
Atau laporkan saja sama Dekan, atau kepada Rektor kalau perlu, bahwa dosen ini
terlalu otoriter, killer,” bisik egonya.
Kutipan tersebut mempertegas interpretasi mahasiswa
terhadap sikap objektif dosennya. Relasi antara sang mahasiswa dengan dosen
menjadi sebuah relasi antar pribadi yang tidak menyenangkan dan tidak
menguntungkan. Sikap tegas dan disiplin yang diterapkan oleh dosen menjadikan
dosen mendapat predikat dosen otoriter
dan dosen killer dari mahasiswanya.
Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan
bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian
tentang orang lain. Akan muncul pertanyaan-pertanyaan semisal “Bagaimana
perasaan dia terhadap saya? Bagaimana sikap dia terhadap saya? Apa yang akan
saya peroleh kalau berkomunikasi dengan dia?” Untuk menuntaskan
pertanyaan-pertanyaan ini, seseorang memaksa dirinya untuk berkomunikasi
sehingga akan menemukan suasana relasi yang lebih pasti.
Inilah yang terjadi pada tokoh Fadil dalam cerpen DPPB. Dari
awal cerpen ini dibuka hingga lebih dari pertengahannya, Fadil berkutat dengan
pertanyaan-pertanyaan yang menggambarkan ketidakpastian dirinya tentang relasi
sesungguhnya antara dia dengan sang dosen.
Dalam studi komunikasi, tingkat ketidakpastian itu akan
berkurang saat kita mampu meramalkan secara tepat proses komunikasi. Ini dapat
dilakukan melalui beberapa tahap. Di antaranya adalah tanggapan lanjutan atas
kesan yang muncul dari kontak awal serta tahapan membuka diri dan memahami
mengapa orang lain berbuat atau melakukan
sesuatu.
Yang dilakukan Siska dalam cuplikan berikut misalnya,
Tiba-tiba
Siska yang merasa harga dirinya dilecehkan, mengangkat wajah. Sambil menyeka
airmata dengan ujung kerudungnya, ia berkata tegas: “Bapak sendiri perlu
becermin!”
Bukan hanya karena perasaan harga diri yang dilecehkan
yang membuat Siska berani mengeluarkan kalimat Bapak sendiri perlu becermin. Siska mengeluarkan pernyataan
tersebut sebagai tanggapan lanjutan – yang tidak diceritakan oleh pengarang
pada bagian sebelumnya – bahwa di wajah sang dosen ada butiran nasi.
Sebuah tindakan yang diterima oleh sang dosen sebagai
sebuah pelajaran berharga. Betapa ia sebelumnya juga harus terburu-buru agar
tidak terlambat masuk ruangan. Tanggapan selanjutnya adalah dengan memberikan
sebuah soal kepada mahasiswanya.
Ini bagian drama dalam cerpen DPPB. Di dalamnya tersimpan
kekuatan sekaligus kelemahan cerpen ini. Dikatakan kekuatan karena ternyata
setelah Fadil menjawab soal dengan benar, sang dosen menjadi lebih kooperatif.
Ini makin menunjukkan bahwa tokoh dosen dalam cerpen ini sebenarnya adalah
dosen yang baik dan benar. Ia menghargai Fadil sebagai penjawab soal yang benar
walaupun seharusnya Fadil layak mendapat hukuman atas keterlambatannya. Momen
ini sebuah gambaran positif yang seharusnya membuat masyarakat (:mahasiswa) becermin,
agar lebih jelas terlihat siapa sebenarnya yang sedang keliru. Sisi
kelemahannya adalah hal tersebut terkesan dipaksakan untuk memenangkan
mahasiswa. Ini juga yang terlihat ketika Fadil mengajukan pertanyaan kepada Pak
Asmi yang tidak bisa dijawab oleh dosen tersbut meski ia sudah mebuka-buka
bukunya.
Seberapa penting dosen becermin? Tentu sangat penting
karena dosen adalah sosok yang menjadi contoh pertama yang dilihat oleh
mahasiswa di dalam kelas. Akan tetapi, hendaknya mahasiswa lebih sering becermin,
melakukan upaya-upaya mengurangi ambiguitas tentang relasinya dengan sang
dosen. Bagaimanapun, dosen adalah orang yang akan memberikan banyak manfaat
(ilmu dan lain-lain) bagi mahasiswa.
Teori atribusi dalam komunikasi menganjurkan agar kita
harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan meyelidiki motivasi atas suatu
perilaku atau tindakan dia. Pertanyaan yang relevan adalah “Apa yang mendorong
dia berkata, berpikir atau berbuat demikian?” Mahasiswa hendaknya bertanya pada
dirinya mengapa kami tidak boleh terlambat masuk kelas? Mengapa dosen memarahi
kami kalau kami terlambat?
Bagian
Akhir: Kepada Siapa Cerpen Ini Berpihak?
Dari judul sudah
jelas terlihat, cerpen ini tidak memihak dosen. Cerpen ini semacam sarana untuk
mengata-ngatai dosen, mengkritik dosen, merundung dosen. Realitanya, dosen
adalah manusia-manusia intelektual yang mempunyai tiga tugas utama atau yang
dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tiga dharma ini yang membedakan
dosen dengan profesi lain di muka planet bernama bumi. Terlebih sejak perguruan
tinggi berada di bawah kemenristekdikti, para dosen makin terlatih dan terdidik
menjadi masyarakat pembelajar yang tidak boleh menyerah begitu saja terhadap
keadaan. Pro kontra pasti ada. Akan tetapi terkadang kita tidak punya pilihan lain,
dalam lini apapun, kita bisa saja dihadapkan pada hanya dua pilihan, bergerak
atau tertinggal lalu mati.
DPPB menyimpulkan
satu hal bahwa dosen adalah manusia bukan dewa atau malaikat. Entah disadari
atau tidak, jika semula cerpen ini dimaksudkan untuk menasehati dosen, maka
yang tertangkap justru sebaliknya. Cerpen ini hendaknya menyadarkan mahasiswa
bahwa bagaimanapun kendali tetap berada di tangan dosen yang baik. Ia berhak
menjawab atau tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswanya. Jika
ia mau, bisa saja Pak Asmi melempar balik pertanyaan Fadil kepada seluruh
mahasiswanya tapi tidak. Ia tidak melakukan itu. Ia memilih menampung
pertanyaan itu untuk dijawab di lain waktu. Ia malah masih sempat memberi
nasehat sambil menunjukkan sikap ramah, “Kamu jangan telat lagi ya!” Betapa
baiknya sang dosen [] Nai
sastra
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar