Apakah yang paling berharga dalam hidup ini selain
mempercayai hal-hal yang sudah semestinya kita percayai? Bahkan di saat seluruh
orang tidak lagi berkenan mempercayainya, bukan alasan untuk kita meraguinya. Penggambaran
semacam itulah salah satu dari banyak hal yang dapat ditangkap dari pementasan
Pengumbar Tersipu III alias Pementasan Pengurus Baru Teater Wasi Putih
Politeknik Negeri Banjarmasin Jilid III dengan judul Jukung Tanpa Pewaris karya
M. Irwan Aprialdy, Sabtu 29 Sepetember 2018 di Halaman Gedung E Kampus Poliban.
Sebuah pementasan yang cukup berimbang antara kekuatan naskah dengan
penggarapan naskahnya yang mengangkat tradisi sebagai tema utama.
Bicara tradisi, ada nilai-nilai yang menaungi di
atasnya. Nilai kekeluargaan atau kekerabatan merupakan nilai utama yang
di-eksplore dalam cerita. Jukung, uma,
sungai, tanggui, pasar terapung, alam roh merupakan hal-hal yang dapat kita
tangkap sebagai ikon Banjar. Begitu juga dengan isue “ikatan darah” yang
diungkap dalam alurnya. Tidak salah lagi, konsep ikatan darah dalam penceritaan
tersebut mau tidak mau menjadi salah satu hal yang akan merujuk kepada tradisi Banjar.
Konsep “bubuhan” begitu lekat dalam keseharian Orang Banjar. Seringkali kita
harus memberi jejak pada kepercayaan kita terhadap suatu hal dengan “Dia
bubuhan si anu” atau “bubuhan anu”. Pada umumnya, seseorang yang mendapat
sebutan “bubuhan si anu” akan memiliki karakter seperti si anu. Setidaknya itulah
hal yang dipercayai urang Banjar. Bubuhan alim ulama misalnya – cenderung akan memiliki
karakter alim ulama juga.
Akan tetapi, hal tersebut ditabrak oleh ketiga
anak kandung Uma Bainah. Ketiganya memiliki kecanduan akut terhadap hal yang berbeda.
Ada yang kecanduan harta, kecanduan kehormatan dan kecanduan obat. Ketiganya tidak
seidealis Uma Bainah dalam banyak hal terutama dalam hal memelihara tradisi
keluarga terkait jukung warisan. Jukung yang mestinya sudah bisa disebut
sebagai barang antik ternyata memiliki
sebuah” kutukan” agar tetap dijalankan oleh keturunan pemilik sebelumnya. Jukung
yang dikisahkan sudah ada sejak zaman Belanda dan melindungi serta menghidupi
juriat keluarga tersebut hingga sampai ke generasi uma Bainah. Konon, jika
tidak dijalankan ia akan berakibat fatal.
Perihal jukung peninggalan uma yang sebenarnya
sudah dipersoalkan sebelum sang uma meninggal menjadi pusat penceritaan yang
sangat lengkap. Jukung kepunyaan keluarga ini bukan sekadar jukung biasa melainkan
sebuah tradisi yang diwariskan turun-temurun tanpa pernah terputus sebelumnya. Dalam
cerita ini, dituturkan betapa sebuah tradisi dirawat dan dijaga dengan sebuah
alasan “ikatan darah”. Sebuah isue pemertahanan
tradisi yang nyaris nonsense untuk
sebuah jukung di era canggih seperti sekarang. Jangankan dalam kehidupan nyata,
dalam cerita pun hal tersebut disangsikan oleh para tokoh. Bahkan tokoh Taufik
dalam cerita ini menyebutnya sebagai sebuah kesialan.
Bisa jadi jukung dalam cerita tersebut adalah
simbol pentingnya sebuah kepercayaan terhadap ikatan kekerabatan. Kepercayaan yang
lambat laun akan digerus oleh banyak hal – yang dalam hal ini seringkali kita menuduh
kemajuan zaman dan teknologi sebagai penyebab utamanya. Kita sering lupa, jika
benar kemajuan teknologi merupakan perusak yang paling niscaya mengapa masih
ada orang-orang seperti Sari yang juga merupakan user tetap dari teknologi
seperti orang-orang lainnya (:tiga bersaudara kandung anak Uma Bainah) tetap
teguh memegang tradisi yang bahkan bukan menjadi tanggung jawab utamanya.
Sepanjang pementasan, para pemain seperti berlomba
memperlihatkan kekuatan masing-masing. Nyaris tidak ada tokoh yang lemah dalam
pengkarakteran. Semua pemain mendapat porsi yang hampir seimbang. Pementasan ini
bahkan melibatkan para penonton menjadi bagian pementasan secara bolak-balik pada bagian tertentu. Peran penonton menjadi bagian penting yang turut membangun suasana yang sudah coba dibangun sejak awal pementasan. Konsep anja membantu memberi warna terhadap upaya terbangunnya suasana yang diharapkan oleh pengonsep. Sebagai sebuah pementasan outdoor, pementasan ini terbilang berhasil menjaga suasana yang diharapkan dari awal hingga akhir pementasan. Bagimanapun tidak mudah "menjaga" penonton yang majemuk untuk bisa fokus pada sebuah pementasan. Dekor panggung, lighting, hingga musik/back sound yang mengiringi menyatu sebagai sebuah unsur penting yang mencerminkan keseriusan penggarapan. Penonton "dipaksa" untuk menuruti konsep penggarapan tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai penonton yang merdeka.
Kesetaraan karakter seluruh pemain membuat seluruh tokoh terlihat penting. Kalaupun
terpaksa harus dipilih, maka karakter Sari menjadi yang paling menonjol dalam
hal ini. Sari menjadi satu-satunya kunci
penghubung kemajuan zaman dan teknologi dengan kepercayaan terhadap tradisi. Ajaibnya,
Sari bukan bubuhan asli Uma Bainah. Sari bukan anak kandung Uma Bainah. Jelas Sari
tidak akan pernah bisa mewarisi jukung Uma Bainah. Pertanyaannya, mengapa Sari
yang bukan anak kandung Uma Bainah begitu peduli terhadap Uma Bainah dan
jukungnya? Begitulah hidup memberikan motif lain dalam riwayatnya. Di tengah
pentingnya memelihara ikatan kekeluargaan (pertalian darah), melakukan hal-hal
baik kepada orang lain seringkali menjadi sesuatu yang penting untuk kehidupan.
Sari tidak mencintai Uma Bainah dengan cinta buta.
Sari mempelajari banyak hal sebelumnya dari Uma Bainah hingga akhirnya ia yang
terbebani oleh amanah. Orang-orang seperti Sari tidak banyak dalam realita tapi
tidak banyak bukan berarti tidak ada, bukan? Sayangnya di akhir cerita Sari pun
terpaksa pergi meninggalkan semuanya setelah dia pikir dia telah menyelesaikan
semua hal yang diamanahkan kepadanya.
Coba tengok
sekelilingmu, barangkali ada Sari-Sari lain yang masih teguh meyakini dan memegang
tradisi - bahkan tradisi yang tidak masuk akal sekalipun. Barangkali, salah satu
Sari itu adalah kamu sendiri. Who knows? [] Nai
Usai pementasan, 01.00 30
Sept 2018: di sela riset, angket, deadline paper, prosiding, BKD, ultah fbb,
international conference, semnastik, dll.
Selamat untuk semuanya:
awesome!
Salam tradisi untuk Amin: selamat
menemukan karaktermu.
Wah Eny jadi pengen nonton langsung mbaa 😍 pasti keren bgt yaaa
BalasHapusKok seru banget ya baca ini, jadi pengen liat langsung. Hihi
BalasHapusJadi penasaran sama pementasannya. Btw, anja tu apa Mba Nai?
BalasHapusWah ulun belum pernah nonton teater. Ini kisahnya menarin banar nah
BalasHapusSeperti biasa twp selalu menampilkan teater yang kereeeeennnnnn banar 😍 pasti banyak pesan yang diambil dari setiap kali pementasan 😍😍
BalasHapusInk penontonnya bebas ya bu? Kok ulun ga diajak suami ya.. Haha. Ceritanya menarik banget, banyak nilai klasik positif yg bs diambil kayaknya. Adu duh, udh brp lama ga nonton teater..
BalasHapus