Ditetapkannya corona
sebagai pandemi oleh WHO, membuat berbagai kebijakan dikeluarkan oleh
pemerintah yang wilayahnya telah terdapat kasus covid-19. Berbagai spekulasi
dan persepsi bertebaran di media. Semua berusaha belajar dari China dan Italia.
Masyarakat mulai lebih melek setelah Arab Saudi (KSA) menutup akses umrah bagi
sebagian besar negara yang terdapat kasus covid-19. Indonesia yang semula nyaris membusungkan
dada karena nol kasus, nyatanya harus mengambil langkah juga setelah diumumkan
secara resmi oleh presiden tentang adanya pasien 01 dan 02.
Masyarakat yang lebih dulu
paham, mulai melakukan edukasi di media-media yang mereka punya. Hingga
sampailah Indonesia pada fase menerapkan 14 hari di rumah alias work from home (WFH) untuk menekan angka
penyebaran virus ini. Hal ini menimbulkan efek ke berbagai hal, di antaranya dalam
dunia pendidikan. Kampus-kampus mulai menerapkan pembelajaran jarak jauh,
melarang kegiatan yang menimbulkan potensi berkumpulnya orang-orang bahkan
menunda kegiatan penting yang sebelumnya sudah direncanakan hingga akhir Maret 2020.
Sebagai pengajar, aku turut
merasakan dampaknya. Kami harus kreatif melakukan pembelajaran dari jarak jauh.
Aku di rumahku. Mahasiswaku di rumahnya masing-masing. Berbagai aplikasi dan
platform yang ada aku coba. Sebenarnya aku sudah tidak asing dengan
pembelajaran elektronik (e-learning). Aku pernah menggunakan edmodo dan google
classroom serta sarana e-learning yang telah disediakan kampusku. Hanya saja beberapa aplikasi masih ada yang
aku belum terampil menggunakannya. Ini yang aku coba dalam situasi sekarang.
Hari pertama
Aku nekat menggunakan
aplikasi zoom meeting cloud, meski sebelumnya aku hanya pernah berperan sebagai
peserta sebuah teleconference dengan
aplikasi ini. Tepat pada hari dan jam perkuliahan aku mengunduh aplikasi
tersebut di laptop. Mahasiswaku juga sudah kuberitahu di grup WA. Aku membagi
password dan meeting ID agar mahasiswaku bisa bergabung.
Pengalaman pertama sungguh
lucu dan membuat aku ternganga. Aku bersiap seperti biasa. Mandi, berbaju
kerja, berias muka, memakai jam tangan, dan tetap berparfum. Bagiku itu penting
untuk membangun suasana kerja. Ya, aku kan mau mengajar. Hehe. Jam
perkuliahanku ada di jam pertama. Ternyata, mahasiswaku rata-rata baru bangun
tidur. Mereka masih awut-awutan. Aku yakin mereka belum mandi. Kumaafkan karena
ini hari pertama dan salahku juga tidak membuat aturan sebelumnya.
Pesanku, buatlah aturan dan
kesepakatan sebelumnya tentang ini. Penampilan harus tetap dijaga. Berpakaian
rapi dan sopan selayaknya peserta kuliah.
Hari Kedua
Aku sudah memberitahu
mahasiswaku agar berpakaian rapi dan sopan sebelum mengaktifkan kamera. Hari
ini lebih baik meski masih ada beberapa yang sepertinya cuma cuci muka. Ada
beberapa orang yang gagal join entah
apa masalahnya.
Di tengah PBM, aku
tiba-tiba kehilangan akses. Ya ampun, ternyata hp yang kupakai untuk teathring
kuota kehabisan batrai. Setelah kuisi baterai, aku gagal masuk room lagi.
Akhirnya PBM kulanjutkan di grup WA.
Pesanku di hari kedua: Cek
baterai selalu, jangan sampai putus di tengah jalan
Hari Ketiga
Persiapanku lebih matang.
Mahasiswaku juga telah melakukan simulasi sebelumnya. Malamnya aku juga sudah
membuat kelas-kelas di google classroom buat jaga-jaga. Materi sudah kukirim.
Penjelasan bisa lebih efektif dan selesai hampir tanpa gangguan berarti. Mahasiswa
komen berebut, ada suara lain yang masuk, dan semua terhenti atas kesadaran
mereka sendiri mematikan mikrofon.
Tiba-tiba aku kehilangan
akses padahal baterai masih ada, mahasiswaku ramai chat di grup wa, “Kami
keluar sendiri, Bu.”
Pesanku di hari ketiga: kenali, pelajari dan
teruslah berusaha menguasai aplikasi yang kamu pilih
Rupanya waktu yang disediakan
zoom sudah habis, alias 40 menit gratisan sudah berakhir. Untunglah materi
memang sudah selesai dan sudah sempat tanya jawab. Hari ini, aku tidak
memberikan tugas. Setahuku, dosen lain sudah banyak yang memberi mereka tugas.
Kasihan juga, kan?
Pekan Kedua
Aku mulai lebih memahami aplikasi tersebut (Begitu juga dengan mahasiswaku hehe- pastilah mereka ada yang iseng dan mengakal. Cari saja lelucon seputar ini. Banyak berhamburan di dunia maya). Ada banyak tools yang bisa digunakan. Aku bisa mengajar sambil menjalankan slide PPT; sambil menulis-nulis di layar; sambil mempelajari manajemen personalnya. Aku juga mulai menyadari ada beberapa bagian dari materi yang harus ku-setting ulang. Ada tugas-tugas yang harus direvisi; ada pencapaian-pencapaian yang akan diminimalkan.
Pesanku di pekan kedua: Jangan terlalu serius, kendorkan sedikit agar kita tetap waras
Pekan Ketiga
Aku mulai mengurangi power, menghemat energi. Ternyata WFH kami tidak cukup dua pekan. Akupun mulai yakin, WFH ini akan berlangsung masih sangat lama. Aku benar-benar serius memikirkan PBM dan ketercapaiannya. Sekali lagi, jangan terlalu memberatkan, baik diri sendiri maupun mahasiswa.
Pekan Keempat
Aku memberikan opsi-opsi kepada mahasiswaku. Mereka boleh me-request hendak PBM menggunakan aplikasi apapun. Masih ada kelas yang menyukai zoom; ada kelas yang minta menggunakan WA; ada yang meminta menggunakan google classroom. Apapun, akan kuterima, asal mereka tetap semangat belajar. Sayangnya, di tiap kelas ada saja yang absen. Bukan apa-apa, mereka ternyata pada pulang kampung alias mudik. Terus, di kampung tidak ada sinyal. Ya, gitu deh.
Pesanku di pekan keempat: Jika sudah pulang kampung, sudahlah, relakan saja mereka.
Oiya, sejak pekan kedua aku sudah mulai merekam sebagian pertemuan kami. Bukan apa-apa. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai sebuah kenangan, sebuah dokumen. Seperti halnya tulisan receh ini, aku hanya ingin meninggalkan jejak digital tentang secuil peranku dalam perjuangan manusia menghadapi covid-19.
Jika kamu membacanya, terima kasih telah singgah di rumahku.[]Nai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar