Minggu, 15 April 2018
# blog collab
# esai
Bumi dan Kekuasaan Perempuan dalam Novel Aroma Karsa Karya Dee Lestari
by
Nailiya Nikmah
on
10.25
Novelis cantik Dee Lestari (Dee) pada Maret 2018 kembali
menerbitkan novel terbarunya melalui penerbit Bentang Pustaka yang diberi judul
Aroma Karsa (AK). Dilihat dari jumlah halamannya (710 hlm) buku setebal hampir 4 cm tersebut tentu bukan termasuk kategori bahan bacaan ringan, setidaknya
tidak bagi saya dan kelompok ibu-ibu sibuk. Saya tidak yakin kelompok ibu-ibu
sibuk bisa menyelesaikannya dalam sekali baca. Saya membaca AK dalam tiga atau
empat fase pembacaan. Saya harus pandai membagi waktu agar bisa menamatkan AK
dengan terus berusaha menahan sense-nya setiap saya menutup halaman untuk
kemudian membacanya di fase berikutnya. Fase terakhir, saya menyediakan waktu
khusus alias begadang untuk menamatkannya.
Saya berusaha menyandera setiap adegan dalam AK
dan menampung segala aroma yang dideskripsikan di dalamnya. Selama proses
pembacaan tersebut saya tetiba merasa indera penciuman menjadi lebih sensitif,
lebih peka. Sesekali saya menciumi, membaui sekitar termasuk kulit tangan
sendiri, seakan-akan saya adalah Jati
Wesi atau Tanaya Suma, dua tokoh yag memiliki indera penciuman spesial dalam
AK. Diksi yang dipilih Dee dalam bangunan 61 bab tersebut seakan membuat aneka
aroma keluar dari novel dan mengajak pembaca menari-nari di antara aroma
tersebut.
Halaman-halaman pembuka AK membuat saya
membayangkan dua pengusaha perempuan terkenal yang fokus dalam bidang kosmetik
dan ramuan tradisional (jamu) di Indonesia. Kemudian saya menimbang-nimbang
mana di antara keduanya yang lebih mendekati gambaran dalam novel. Halaman
berikutnya saya menyadarkan diri, ini novel. Novel adalah karya fiksi. Sampai
kapanpun ia tidak akan menjadi nyata meski dibangun oleh banyak fakta dan data.
Jadi, realistis sajalah bahwa yang ada dalam cerita tersebut fiktif.
Terhitung sejak hlm 25, saya merasa (harus)
menjadi lebih peka terhadap diksi dan kalimat-kalimat yang mendeskripsikan kerja indera penciuman. Diikuti
halaman setelahnya, saya makin yakin tokoh dalam AK bukan tokoh biasa dalam hal
penciuman.
“...Jati meraih baju gantinya yang terjemur di
tembok. Pergerakan udara di sekitar mereka berdua mengantarkan bau amonia
berbaur sampo aroma apel yang sudah dibiarkan semalaman di rambut... Kibasan
udara kini mengantarkan jejak furaneol yang digeontori metanol ke hidungnya.” (Lestari,
2018:25).
Halaman-halaman selanjutnya menambah informasi
bahwa Jati Wesi, tokoh utama lelaki dalam AK tidak sekadar mampu membaui aroma
tatapi lebih dari itu, ia membuat formulasi, melakukan analisis, membuat
sintesis dan simpulan terhadap aneka aroma tersebut.
“Menjelang hujan turun, segala wewangian akan
tercium lebih tajam baginya. Tadi, wangi asiri dan sayatan rmput begitu pekat
sampai-sampai hidungnya gatal. Yang bakal hadir bukan hujan biasa, demikia Jati
menyimpulkan. Hidungnya mengendus kedatangan badai. Ingin jati menyampaikan itu
kepada Nurdin, tapi entah harus memulai dari mana.” (hlm 31).
Setelah rampung membacanya, saya menemukan
simpul-simpul yang menalikan beberapa kata kunci yaitu bumi (:alam),
perempuan dan kekuasaan perempuan yang sangat khas dalam novel ini. Siapa yang
mendominasi siapa atau apa, saling silang dalam alur kehendak para tokoh.
Paradigma yang dipakai dalam memahami hal-hal tersirat dan tersurat akan sangat
menentukan hal-hal yang selanjutnya bakal mengepung kita pasca membaca tuntas AK.
Saya menemukan beberapa kata kunci yang menuntun saya pada sebuah paradigma. Selanjutnya,
berdasar kata kunci yang saya temukan, saya menggunakan teori ekofeminisme
untuk menganalisis AK.
Kajian ulang terhadap paradigma sains yang
mendukung dominasi alam dan perempuan sekaligus adalah agenda awal feminis
new age. Kajian tersebut menumbuhkan keyakinan bahwa dominasi terhadap
perempuan berjalan sudah sangat lama-
bahkan sama tuanya dengan dominasi terhadap bumi (alam). Bumi-perempuan
sama-sama menjadi objek eksploitasi. Ini dapat dibuktikan misalnya dari mitos
atau legenda yang menyimbolkan bumi sebagai ibu (:perempuan). Kemudian
gerakan spiritual feminis lebih khusus digerakkan oleh spiritualitas
ekofeminisme yang mengintegrasikan kesadaran spiritual feminis dengan kesadaran
ekologis. Ekofeminisme ditafsirkan sebagai gerakan spiritual (spiritual
movement) oleh Starhawk – seorang tokoh spiritual ekofeminisme yang
tergabung dalam konteks gerakan new age. Hal ini disebabkan oleh sudah
tercakupnya transformasi nilai kultural dan ekologis di dalam penafsiran
tersebut. Ia pula yang mempopulerkan kata kunci “spiritualitas ekofeminis” yang
disandarkan pada bumi (earth-based) dan ekologi (ecology-based).
Starhawk memberikan informasi tentang seputar kebangkitan gerakan feminisme
yang melindungi kerusakan hutan dengan cara merangkul pohon yang akan
di-bulldozer, seperti gerakan Chipko Andolan di India. Masih banyak lagi contoh
gerakan spiritual ekofeminisme yang ramah dan sadar-ekologis seperti New Age,
Moral Majority dan Happiness of Womanhood di AS (Sukidi, 2001).
Analisis ini sangat relevan dengan peringatan Hari
Bumi sedunia yang dirayakan setiap 22 April. Merayakan hari Bumi tentu tidak hanya
dilakukan dengan kegiatan berupa seremonial saja, namun lebih ke peran serta
aktif masyarakat sesuai dengan kapasitas masing-masing dalam upaya pelestarian
lingkungan. Di Indonesia, upaya-upaya penyelamatan lingkungan terutama
disuarakan oleh para akktivis lingkungan dan masyarakat yang tinggal di area
yang mengalami kerusakan alam parah akibat eksploitasi. Sebut saja area
pertambangan batubara, perkebunan kelapa sawit, pertambangan intan, penambangan
batu alam di pegunungan, penambangan pasir, penebangan hutan secara liar sampai penyempitan area sungai. Baru-baru ini, di
provinsi saya tinggal, yaitu Kalimantan Selatan telah banyak masyarakat yang melakukan upaya
#savemeratus dengan sangat serius dan mengundang perhatian banyak pihak. Dalam
bidang sastra sendiri, ULM pernah mengadakan seminar prosiding bertema Ekologi
Sastra (2015).
Dalam kajiannya terhadap beberapa puisi
tentang kerusakan hutan di Kalimantan Selatan, Alfianti (2015) menyebutkan
bahwa “Yang bertanggung jawab atas kerusakan hutan juga adalah mereka yang
memiliki akses pada kekuasaan yang tak bisa dilawan begitu saja oleh
masyarakat.” Aroma serupa dengan pernyataan ini dapat saya endus pula dalam AK.
Sementara itu, peran perempuan terkait teori
kealaman oleh perempuan Indonesia dapat dilihat dari pelbagai lini kehidupan.
Dalam bidang ekonomi misalnya, perempuan Indonesia di Kalimantan Selatan begitu
lekat dengan sungai sebagai jalur mata pencaharian, kemudian sawah untuk
pertanian, perkebunan, perikanan hingga pertambangan. Di pasar terapung, kita
akan melihat setiap subuh para perempuanlah yang mengayuh ekonomi keluarga.
Begitu juga di sawah, di kebun dan di area lainnya. Perempuan Indonesia sudah
akrab dengan buminya dari masa ke masa.
Meskipun demikian, dalam hal lain, perempuan kerap
dijadikan simbol bagi bumi dan unsur alam lainnya. Saya ambil satu contoh,
intan sebagai hasil pendulangan sering disebut “galuh” oleh masyarakat
Kalimantan Selatan. Mereka percaya turun-temurun bahwa intan harus disebut
“galuh” karena alasan tertentu yang berhubungan dengan tradisi. Galuh adalah
panggilan atau sebutan untuk gadis atau perempuan Banjar. Ini kemudian
memposisikan perempuan menjadi pihak yang dikuasai (:oleh laki-laki)
sebagaimana alam yang dikuasai oleh manusia. Karren J warren dalam Maimunah
(2013:233) menyatakan bahwa opresi patriarki terhadap alam dan perempuan
disebabkan oleh pandangan bahwa alam/perempuan adalah sesuatu yang feminin,
tidak berdaya dan pantas untuk dikuasai. Politik othering ini didasarkan
pada cara berpikir maskulin bahwa alam = perempuan. Dari sisi linguistik sering
ditemui unsur-unsur yang meng’alam’kan perempuan atau mem’feminin’kan
perempuan, misalnya frase “pemerkosaan hutan” atau “penggarapan tanah”.
Salah satu pertanyaan saya dalam analisis sederhana
ini adalah “Adakah penyimbolan perempuan terhadap alam (:bumi) dalam AK? Jika
ada, bagaimanakah semua hal yang terkait dengannya direpresentasikan oleh
Pengarang?
Bumi (:Alam) memberi banyak tapi kehendak manusia tak berujung
Begitu banyak yang diberikan oleh alam akan tetapi
manusia selalu punya kehendak di atas kehendak. Selama lebih dari tiga
generasi, keluarga Prayagung menghabiskan usia dalam perburuan sumber puspa
karsa. Meski percikan kekuatannya sudah berhasil dimiliki, keluarga Prayagung
tidak berhenti melakukan perburuan terhadap hal yang turun-temurun diwariskan
melalui dua hal kontras, dongeng dan penelitian ilmiah.
Porsi pertama akan mengubah nasibmu
Porsi kedua akan mengubah nasib keturunanmu
Porsi ketiga akan mengubah dunia sebagaimana
keinginanmu. (Lestari,
2018:9)
Bermula dari temuannya dalam kotak besi berupa lontar-lontar,
tiga tube berisi cairan sari puspa karsa disertai selembar catatan lapuk berisi
tiga pesan tersebut, Janirah memulai langkah menuju hal-hal besar dalam
hidupnya. Janirah percaya ia bisa menjadi lebih daripada dirinya sebelumnya,
seorang abdi keraton yang bersahaja. Janirah bukan saja pencuri benda pusaka
melainkan pencuri nasib yang dengan tangannya sendiri hendak mengubah garis
hidupnya. Kematian bahkan tidak mampu menghentikan ambisi Janirah. Janirah
mewariskan kehendak terbesar sepanjang sejarah pesonanya kepada cucunya. Bumi
telah memberi Janirah (:manusia) aneka biji, rempah, bunga, tanaman yang menjadi bahan baku bisnis Kemara milik keluarga
Prayagung beserta sari puspa karsa curian yang mengantarkan mereka menjadi
pengusaha sukses dan terkenal seantero negeri. Janirah merupakan simbol yang
mewakili manusia – penghuni bumi yang tercipta dalam bentuk sempurna.
Pada halaman 605 diceritakan tentang dunia lain
yang tak kasat mata. Pandangan Ambrik mewakili orang Dwarapala terhadap dunia
manusia cukup untuk mendeskripsikan seperti apa penghuni bumi bernama manusia.
“... Kisah dunia manusia selalu bernada suram; manusia bergerak cepat dalam
ragam kendaraan gaduh; jalanan keras panas menyengat telapak, rumah-rumah kotak
bertumpang tindih, sesak oleh barang yang tak ia pahami; siang terasa lebih
panjang karena tak terputusnya penerangan, tak mengenal sunyi; ladang subur
sekaligus tempat bermain sempurna bagi sanghyang Batari Karsa. Terlalu banyak
orang muram, tegang, lelah, saling tak tegur sapa, jumlahnya banyak tapi
seperti terasing satu sama lain. Di dunia semacam itu, cukup satu percik untuk
Sanghyang Batari Karsa memuaskan laparnya.” (Lestari, 2018:605).
Selain Dwarapala, AK mengisahkan Alas Kalingga,
sebuah hutan yang tidak biasa. Yang dijaga oleh para Banaspati, yaitu anak
hutan. Kisah penjagaan Alas Kalingga ini patut ditiru oleh manusia dalam
kehidupan nyata sebagai bentuk kepedulian terhadap bumi. Sebagaimana selama ini
yang diperlihatkan oleh juru kunci pegunungan yang dapat memahami bahasa alam.
“...Mereka menyimpannya sebagai pengingat bahwa
Bumi bisa dikendalikan dengan aroma. Bukan cuma pedang atau bubuk mesiu.”
(Lestari, 2018:11).
Kutipan halaman 11 menggambarkan sebuah realitas
tentang penguasaan dan pengendalian bumi (:alam). AK menyampaikan bahkan tidak
perlu pedang dan bubuk mesiu untuk mengendalikan bumi. Cukup aroma. Terkesan
mistis dan tidak ilmiah. Akan tetapi Dee mengantisipasinya secara kontras
dengan menghadirka..n tokoh Raras yang menggunakan metode ilmiah dan ekspedisi
serius untuk membuktikan keberadaan aroma tersebut.
Raras mendengar Puspa Karsa pada masa kecilnya,
sekitar tahun 1960-an, saat Indonesia telah menjadi republik modern dan zaman
kerajaan tinggal menjadi hantu arkais. Bertahun-tahun ia menelan cerita tentang
Puspa Karsa tak lebih dari pengantar tidur layaknya Timun Mas dan Malin
Kundang. ... semua asumsinya terjungkir pada momen ia membuka kotak besi di
bank hari itu. Ia baru tersadar bahwa Eyang Putri tumbuh besar dalam lingkungan
kerajaan, dan selama itu pula neneknya menyampaikan petunjuk terbalut dongeng.”
(Lestari, 2018:11).
Selanjutnya, Raras menjadi pusaran perjuangan
perwujudan ambisi yang diwariskan oleh Janirah. Janirah mengkader Raras sejak
dini melalui dongeng masa kecil semacam Timun Mas dan Malin Kundang. Berbeda
dengan anak lain seusianya, Raras mendapat tambahan “dongeng”, yaitu Puspa
Karsa. Ketika waktu kematiannya telah tiba, Janirah tinggal meng-klik satu
tombol dalam benak Raras untuk dalam sekejap mengubah dongeng menjadi warisan
“kehendak”.
Puspa Karsa: Simbol Kekuasaan Perempuan
Secara keseluruhan, AK mengirimkan pesan tentang
kekuasaan perempuan yang disimbolkan melalui Puspa Karsa. Terdapat beberapa
unsur yang merepresentasikan hal tersebut. Inilah beberapa hal yang saya
temukan dalam AK:
1. Keturunan laki-laki tidak bisa diandalkan
Janirah menikah dengan seorang keturunan keluarga
ningrat Prayagung. Janirah dikaruniai anak laki-laki. Berikut gambaran anak
lelaki Janirah yang disuarakan oleh tokoh Raras,
“... Romo ibarat kutukan. Romo tidak kebagian
secuil pun keuletan Janirah Prayagung. Romo bertingkah persis ningrat-ningrat
kebesaran nama, tapi tak berguna. Kerjanya Cuma makan harta turun-temurun. Romo
senang membuat perusahaan baru dan macam-macam, sibuknya bukan main, tapi tak
ada satupun yang jalan. Romo kebanyakan perempuan simpanan. Romo terlalu lama
menghabiskan waktu di lapangan golf dan klub pria.” (Lestari, 2018:15).
Dengan deskripsi seperti itu, jelas anak kandung
Janirah tidak dapat melanjutkan bisnis dan kekuasaan Janirah. Janirah menitis
ke cucunya, yaitu Raras. Raras begitu sempurna menjadi replika Janirah. Ia
bahkan lebih banyak melakukan gebrakan dibanding Janirah pada masanya.
2. Dominasi Raras terhadap banyak lelaki.
Raras sebagai tokoh perempuan dalam AK memiliki
banyak kaki tangan maupun rekan kerja laki-laki. Dalam hidupnya, Raras selalu
berhasil membuat para lelaki melakukan banyak hal sesuai dengan keinginannya.
Ia bisa melakukan apapun untuk mencapai ambisinya mendapatkan sumber utama
Puspa Karsa. Perusahaan Kemara hingga urusan ekspedisi Puspa Karsa
memperlihatkan seluruh dominasi perempuan bernama Raras. Semua anggota tim
ekspedisi pencarian Puspa Karsa adalah laki-laki yang punya ilmu, posisi dan
keterampilan yang tidak main-main. Semuanya
berhasil dikuasai oleh Raras.
3. Empu Smarakandi
Jika di dunia manusia ada perempuan penguasa
bernama Raras, maka di dunia dewa dalam AK Alas Kalingga memiliki perempuan hebat
bergelar Empu Smarakandi. Selain kepemimpinannya, kepiawaian tokoh perempuan
yang satu ini juga terlihat dalam urusan pengobatan hingga urusan asmara. Empu
Smarakandi pula yang pertama kali menyadari puspa karsa telah menitis kepada
Suma. Ia merupakan simbol perempuan bijak dan kuat dalam AK. Sebagaimana
lazimnya kehidupan, selalu ada dua sisi berlawanan. Penokohan Empu Smarakandi
menepis anggapan bahwa perempuan hanya memiliki potensi untuk mengacaukan dunia
seperti yang dilakukan oleh Raras.
4. Ambrik: Istri sekaligus Ibu terbaik di Dwarapala
Sebagai perempuan yang telah dipilih oleh Batari
Karsa sebagai wadak penitisan, Ambrik memahami betul tugas dan perannya serta
konsekuensi apa yang harus ia lakukan sewaktu-waktu termasuk kepasrhannya
terhadap ritual Girah Rudira. Sebuah ritual yang akan memisahkan ia dengan
suami dan anaknya selama-lamanya. Untuk memahami perempuan pilihan bernama
Ambrik, kita bisa menyimak kutipan
berikut:
“Di dalam gubuk, Ambrik tahu persis apa yang harus
ia lakukan. Ia mengambil bedungan dari tangan Anung, lalu membaringkan bayi itu
di dipan., bersisian dengan bayi dari dekapannya. Ambrik meminumkan air dari
dalam kendi kecl kepada kedua bayi itu secara bergantian dengan telaten.”
(Lestari, 2018:607)
“Sekarang atau nanti, sama saja.” Ambrik mengelus
sekilas rambut suaminya. “Bantu aku.” (Lestari, 2018:608)
Kekuatan Puspa Karsa: Kekuasaan Perempuan
Puspa Karsa merupakan simbol kekuasaan dan
kekuatan perempuan. Dalam AK fisik aslinya digambarkan sebagai berikut:
“... organisme berbentuk bunga dengan ukuran
sekepala manusia. Tanpa batang dan daun, bunga itu langsung tersambung ke akar.
Fisiknya menyerupai anggrek yang memiliki tiga kelopak dan dua mahkota. Bagian
kolomnya berbentuk sedemikian rupa hingga menyerupai rengkorak. Terjulur
labelum panjang hingga ke lantai gua, bergerak-gerak seperti ular hidup. Warna
dan teksturnya soperti daging busuk. ... yang lain tidak melihatnya seperti
kita. Sanghyang Karsa sangat lihai membuat tipuan. Semua hewan jadi makanan
bagi wujud bunganya tapi temanmu tadi dan semua penduduk Dwarapala, jika
tertangkap, adalah makanan bagi rohnya. Kalau sanpai ia lepas dari wujud bunga
pergi ke duniamu, beliau tidak akan habis-habis memangsa atma manuia.(Lestari,2018:646-647).
Sementara itu kekuatannya sendiri dimulai dari
terbangunnya Sanghyang Batari Karsa dengan ditandai oleh bau atau aroma tajam
yang sulit didefinisikan oleh indra biasa. Seiring dengan itu, Talinganbuana,
semacam alarm yang dipasang Mahesa Guning akan berbunyi mengingatkan orang-orang
Dwarapala akan ancaman terhadap Alas Kalingga. Ancaman terhadap dunia manusia
pula. Seluruh makhluk berduyun-duyun menuju pusat aroma yang kemudian akan
menjadi mangsa Puspa Karsa.
Seperti inilah efek aroma puspa karsa
direpresentasikan melalui suara Lambang, salah satu tokoh AK yang menjadi
bagian tim ekspedisi pencarian puspa Karsa:
“Aroma aneh di udara kian menyerang. Lambang tak tahan lagi. Ia beusaha
menahan nafas dan malah semakin sesak. Anehnya bau tak lazim itu, yang bersabur
limbur antara buah, bunga, kayu, rempah, daging, keringat, lendir kelamin dan
entah apalagi. Terkadang begitu lezat hingga memancing liur dan membuat ia
ingin menghirup sedalam mungkin. ... yang paling menggetarkan dari bau itu
adalah kekuatannya. ... Lambang seperti dikuasai sesuatu dan tak berdaya
mengambil alih. ... Di atas sana, di rumah-rumah pohon, pecahlah suara-suara
tak terkendali. Laki-laki-perempuan. Jeritan melengking, tawa bengis, lolongan,
geraman, racauan. Lambang menyaksikan kengerian baru. Rumah-rumah bergetar
karena penghuninya menandak-nandak dan membetot-betot tali yang mengikat tangan
dan kaki mereka.” (Lestari, 2018:644).
“Ambrik sudah diincar untuk penitisan. Kalau
kalian kawin, punya anak, dan anak kalian perempuan, penitisan Sanghyang
Batari Karsa akan bersambung ke anakmu, kecuali Girah Rudira dilakuan.” (Lestari,
2018:614).
Jika penitisan terjadi, maka kembangnya akan
bertambah. Dunia pun semakin mudah berada di bawah kendalinya. Dee memilih
perempuan sebagai perwujudan penguasa dalam AK. Dewi Puspa yang kemudian
dikenal dengan Sanghyang Batari Karsa, menjelma dalam wujud bunga dan manusia
perempuan, yang hanya akan menitis kepada perempuan pilihannya. Dialah yang
dipanggil oleh Suma sebagai “Ibu”.
Epilog
Demikianlah, saya menemukan kekusaan perempuan
dalam novel yang menyimpan pesan “Selamatkan lingkungan dari ambisi manusia”
ini. Open ending yang dipilih Dee bagi saya memberikan peluang lebar
bagi pemerhati ekofeminisme untuk mengkaji lebih dalam lagi. Manusia
mestinya memahami betapa keserakahan dan ketidakarifan terhadap alam akan
membuat celaka bagi dirinya sendiri. Semoga pembaca menangkap makna atas frase genderang
perang yang dipilih Dee untuk menutup ceritanya. Akankah di dunia nyata
bermunculan Banaspati-Banaspati yang dapat menjaga Hutan Meratus misalnya? Mari
optimis. Mari melakukan sesuatu sebanyak yang bisa kita lakukan, sesuai peran
kita di bumi ini. Selamat Hari Bumi.[] Nai
Referensi
Alfianti, Dewi.
“Kerusakan Hutan sebagai Pengetahuan Bersama dalam Perspektif Sosiokognitif
Teun A. Van Dijk (Analisis Wacana Kritis Kumpulan
Puisi Konser Kecemasan karya Penyair Kalimantan Selatan)” dalam Prosiding
Ecology of Language and Literature, Seminar Proceedings Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin, Maret, 2015, 45-65.
Lestari, Dewi.
2018. Aroma Karsa. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Nikmah, Nailiya.
“Alam dan Femininitas dalam Kumpulan Puisi Mantra Rindu Karya Kalsum Belgis“
dalam
Prosiding Ecology of Language and
Literature, Seminar Proceedings Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin,
Maret, 2015, 185 -202.
Sukidi. 2001. “Spiritualitas
Feminis dalam Gerakan New Age” dalam Jurnal Perempuan No.20 Tahun 2001,
7-21. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Collab Female of Blogger Banjarmasin
Edisi April 2018 dengan tema “Hari Bumi” selanjutnya sedang dikaji ulang secara
serius untuk sebuah karya tulis ilmiah di bidang sastra oleh penulis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Oh Mbak Nai, dalam betul resensinya. Aku terpuaskan. Terima kasih telah mereview novel AK dengan cara yg berbeda. Aku belum baca novelnya dan yah jadi tergerak untuk membacanya setelah membaca ulasan ini. Dee selalu berhasil membuat novel dengan totalitas penggarapannya. Salut buat Dee dan Mbak Nai sekaligus. Semoga resensi ini bisa dikembangkan menjadi karya ilmiah yang keren.
BalasHapusSebenarnya ini bukan resensi..hihi..
HapusSebenarnya ini bukan resensi..hihi..
HapusEmang beda ya kalau yg resensi buku penulis juga. Dalem banget bu resensinya sy jd mupeng mau baca. Boleh minjem? Hihihi. Akhirnya setelah lama bnget baca postnya sy manggut2 baca kalimat terakhirnya "selanjutnya sedang dikaji ulang secara serius untuk sebuah karya tulis ilmiah di bidang sastra oleh penulis" waaah, sukses bu untuk karya tulis ilmiahnya. Slalu salut sam ibu nih.. :)
BalasHapusMba nai ini memang hebat sekali, resensi nya dalam banget pembahasan nya, jadi pengen baca deh padahal aya bukan hobi baca ��
BalasHapusBaru sekali ini sy membaca ulasan buku yg dikaitkan dengan tema dan hasilnya begitu dalam. Jadi ikut tergugah untuk membaca novelnya juga nih, Bu Nai. :D
BalasHapusMelihat jumlah halaman lumayan keder sih, tapi jadi semakin penasaran juga dengan tulisan Dee yang satu ini. :)
Wah mantap nih Mba resensinya keren banget, aku jadi penasaran sama isi bukunya. Hhahaha
BalasHapusBenar banget Mba endingnya itu, keserakahan manusia terhadap alam itu bakal menjadi boomerang buat dirinya sendiri. Hiks
Mbak, ini bukan resensi tapi analisis yang tajam menurut saya. Selamat ya. Oh ya saya minta izin mengutip untuk artikel ini (tentu menyertakan nama mbak dan sumber tulisan ini di daftar pustaka). Terima kasih sebelumnya.
BalasHapus