Sabtu, 29 Desember 2012

# Cerpenku

Dongeng dalam Becak



DONGENG DALAM BECAK*
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Sayangnya, aku selalu tak bisa lepas dari pekerjaan yang satu ini. Waktu kecil, aku harus menunggu lama agar bisa pamer baju baru pada teman-teman karena ayahku terlalu lama mengumpulkan duitnya. Ayahku baru bisa dapat duit kalau ada orang yang dapat musibah dengan kendaraannya, khususnya bagian ban. Ya, ayahku adalah seorang tukang tambal ban. Sebuah profesi yang membuatku ngetop semasa SD. Bagaimana tidak, aku menjadi terkenal dengan tambahan lain di belakang nama asliku. Namaku Hamdan. Teman-teman menjuluki Hamdan ATT. Bukan, bukan karena wajahku atau suaraku mirip penyanyi dangdut itu. ATT di belakang namaku adalah kependekan dari anak tukang tambal. Menurut teman-temanku, aku cocok sekali menyandang nama itu ditambah dengan kemiskinan yang begitu melekat di hidupku, jadilah aku Hamdan ATT, orang termiskin di dunia.
Aku harus menunggu sekian lama untuk bisa melihat angka-angka yang tertawa di raporku. Lagi-lagi karena masalah duit. Aku tak bisa mengambil rapor karena belum melunasi bermacam-macam pembayaran.
Aku harus menunggu lama agar bisa mengerjakan tugas dan belajar dengan tenang sampai dagangan gorenganku habis. Aku bahkan pernah harus menunggu lama agar bisa memejamkan mataku di malam hari karena perutku yang keroncongan minta diisi. Tapi sejujurnya masih ada saat-saat aku terbebas dari pekerjaan menunggu, yaitu ketika teman-temanku serentak berlarian sambil berteriak “Kelengan pagat! Kelengan pagat!” Aku orang paling cepat merespon teriakan itu. O,iya masih ada satu hal lagi yang membuatku pernah terbebas dari pekerjaan menunggu. Waktu itu aku habis menerima ijazah. “Bu, Hamdan setelah ini sekolah di mana?”
Mendengar tanyaku, tanpa basa-basi ibuku langsung menjawab,”Sekarang giliran adik-adikmu, Dan. Giliranmu itu, tuh...” Ibu menunjuk tempat mangkal operasi ayah. Tiga tahun kemudian, ketika teman-temanku merengek seragam abu-abu putih, Ibu menunjukan jarinya ke sebuah becak yang terparkir manis depan rumah kami.
Sebenarnya itu adalah mimpi buruk bagiku. Aku bisa malu berat kalau bertemu Wenny-gadis pujaanku. Wenny teman SD yang selalu berkepang dua itu begitu baik padaku. Ia satu-satunya teman yang selalu menanyakan apakah aku sudah mengerjakan PR atau belum. Ia juga pernah merelakan roti bekalnya untukku ketika ia memergokiku sedang memungut sisa nasi bungkus di tempat sampah kantin sekolah. Wenny pasti melanjutkan ke sekolah yang terbaik. Aku tidak tahu bagaimana menamai perasaanku waktu itu. Perasaan ingin terus sekolah-kalau bisa sekelas lagi dengan Wenny. Perasaan malu membayangkan Wenny melihatku sedang menarik becak. Yang jelas, perasaan-perasaan itu dikalahkan oleh tatapan adik-adikku yang tak mau menunggu. Mereka juga ingin sekolah. Becak itu mungkin merupakan mimpi buruk bagiku tapi bagi adik-adikku tentu becak itu adalah sebuah harapan.
Tak terasa tiga belas tahunan sudah aku menjadi tukang becak. Mulai dari menarik becak sewaan sampai akhirnya aku punya becak sendiri. Sejak jadi tukang becak, aku pun tak lepas dari menunggu. Menunggu kedatangan penumpang yang tak pasti sehari itu ada; menunggu penumpang yang minta dijemput, eh tidak tahunya lama sekali baru berangkat; menunggu penumpang yang minta mampir-mampir dulu sebelum sampai ke tujuan yang disepakati di awal. Enak benar sopir taksi, kudengar kalau menunggu lama seperti itu bisa dikenai hitungan oleh mesinnya. Kalau tidak salah namanya argo.
Hari ini, aku sedang menunggu. Anehnya, menunggu kali ini terasa berbeda dibanding pertungguanku yang sebelum-sebelumnya. Aku memang merasa jemu dan gelisah tapi ketika yang kutunggu sudah datang, aku malah tambah gelisah. Sebelum pertungguanku yang satu ini aku belum pernah merasa serumit ini untuk menjelaskan sesuatu, selain tentang perasaanku pada Wenny dulu.
Semua ini bermula ketika Abang Jacky memintaku menggantikan tugasnya. Jangan berprasangka yang wah dulu mendengar nama Bang Jacky. Namanya memang keren seperti orang sugih tapi ia beda tipis denganku. Ia seniorku dalam urusan perbecakan. Nama sebenarnya aku tidak tahu siapa. Mungkin Zaki, Muzakki, Yuzakki...entahlah sampai hari ini tidak ada yang tahu siapa nama aslinya.
“Dan, beberapa hari ini tolong gantikan tugas Abang ya. Istriku lagi sakit, aku khawatir meninggalkannya sendirian di rumah. Kemarin ia jatuh pingsan di kamar mandi” itulah prolog cerita pertungguanku yang beda ini.
Aku diminta menjemput seorang perempuan di rumah mewah di tepi jalan raya, lalu ke sebuah sekolah-menjemput anaknya, setelah itu balik lagi ke rumah semula. Enak juga Bang Jacky punya langganan seperti ini. Paling tidak dalam sehari sudah ada rezeki pasti yang sudah menunggu. Tidak sepertiku yang serba tak pasti. Tapi kalau kuingat penjelasan guru agama dulu, katanya rezeki manusia itu sudah pasti, sudah di atur oleh Allah. Manusia tinggal berusaha. Mungkin inilah masalahnya, usahaku yang belum pas.
Hari pertama aku menjalankan tugas aku bertanya-tanya. Penumpangku ini masih terlalu muda untuk punya anak. Terlalu muda? Ah mungkin tidak juga. Bukankah Fatma teman sekelasku dulu lulus SD langsung kawin? Aku tersenyum miris mengingat Fatma dikejar-kejar ibunya sehari sebelum pernikahannya. Fatma tidak mau kawin tapi kemiskinan memaksanya. Penumpangku ini tentu kawin muda bukan karena alasan ekonomi. Tidak ada tanda-tanda kemiskinan dipenampilannya. Jangan-jangan dia “kecelakaan”? aku menepis prasangka burukku. Tidak mungkin, dia berkerudung rapi dan selalu berbaju panjang. Tampang alim begitu sepertinya tidak mungkin bergaul bebas apalagi sampai kebablasan.
Hari kedua, aku mencuri-curi wajahnya. Mulanya sih sekedar mencoba mengenali lama-lama aku ketagihan. Wajahnya cantik bersinar. Persis bintang iklan produk pemutih wajah. Mataku dan matanya belum pernah bertemu. Mana berani aku menatapnya. Bisa-bisa aku dipecat. Lalu aku mulai menyimak setiap tuturnya dengan anaknya. Suaranya lembut.
 “Rini senang sekolah hari ini?” sapanya pada anak kecilnya.
“Senang, Bu...”anak itu menjawab dengan riang. Lalu ia berceloteh ke sana kemari tentang sekolahnya.
“Oh, iya tadi ada PR. Nanti Ibu bantu Rini ya...?”
“Tentu sayang. Tentu Ibu akan membantu Rini”
Percakapan mereka membuatku teringat masa lalu. “Kena aja belajarnya, Dan. Sawat godoh lawan jalabianya dingin. Kada nyaman lagi” Ibu selalu marah melihatku mengulang pelajaran sepulang sekolah. Gorenganku sampai pukul lima sore baru habis. Itu juga kalau lagi mujur. Setelah itu teman-teman mengajakku main sambil sesekali membantu ayah, habis magrib aku nonton tv di kelurahan. Usai Isya aku sudah kelelahan. Besok pagi saja belajarnya pikirku. Paginya rumah kami ribut. Ibu berteriak, ayah menyumpah, adik-adik menangis. Lama-lama aku jadi malas belajar.
Hari ketiga, penumpangku mendongeng. Perjalanan jadi tak terasa. Sumpah, baru kali ini aku mendengar dongeng Cinderella seindah dan seutuh itu. “Bekesah pang Ma...kakawalan di kelas bagus-bagus karangannya. Buhannya raja-raja mengarang, jarnya mun handak guring dikesahi kuitannya.” Aku pernah meminta.
Ibuku menjawab “Mama haur. Banyak gawian tahu lah! Kena, isuk-isuk aja bakesahnya”  Besoknya dan besoknya Ibuku tak pernah menepati janjinya. Sampai aku lupa, tepatnya sampai aku tak ingin memintanya lagi.
Malamnya aku tak sabar ingin segera siang dan menjemput penumpangku. Kira-kira besok apakah ia mendongeng lagi? Semoga besok ia mendongeng lagi. Apakah ia akan mendongeng kisah Timun Mas, Putri Salju, atau... Bawang Merah Bawang Putih seperti yang pernah diceritakan Wenny di depan kelas? Aku tertidur. Dalam tidur aku bermimpi jadi pangeran yang sedang berdansa dengan Cinderella.
Hari keempat, aku tambah terpesona dengan penumpangku. Kali ini ia mengajari anaknya menghafal ayat Quran. Kalau tidak salah namanya surat Al Fiil. Hafalan ayat tidak terasa menakutkan karena ia menambahnya dengan cerita indah tentang pasukan bergajah yang dilempari kerikil. Aku menyeka keringat dengan handuk kecil yang setia menggantung di leherku. Aku tersenyum sendiri teringat dulu aku berkeringat dingin ketika di panggil Bu Guru ke depan kelas untuk menyetorkan hafalan surat ini. Aku ketakutan. Aku sama sekali tidak hafal karena aku memang tak pernah menghafalnya. Aku jadi iri berat dengan Rini. Betapa beruntung anak kecil ini punya orang tua kaya raya dan baik seperti penumpangku. Aku menjelma anak kecil sedang naik becak bersama ibu sesempurna penumpangku.
Ini hari kelima. Aku kecewa berat ketika Bang Jacky datang mengambil alih lagi rezekinya. Ingin rasanya aku marah-marah pada Bang Jacky. Setelah mengenalkanku pada keindahan ini kenapa sekarang ia ingin merebutnya dariku? Lho, kenapa aku jadi begini rumit? Bukankah keinginan Bang Jacky sederhana saja. Ia hanya ingin mengambil lagi langganan penumpangnya. Kenapa aku jadi sakit hati?
“Kenapa, Dan? Ada yang tidak beres?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan.”Tak ada Bang.”
“Ya sudah, Abang narik dulu,” ia pamit.
“Bang...!” aku menahannya. Ingin sekali aku memberanikan diri untuk berkata biarkan aku yang menjemputnya. Duitnya buat Abang. Tapi lidahku kelu.
“Ada apa, Dan? Bayaranmu kurang?” desak Bang Jacky.
Lagi-lagi aku menggeleng.”Anu bang...nama Ibu itu siapa ya?”tanyaku asal.
“Oh...itu. namanya Rahimah. Dia pembantu Nyonya Lisda tapi sudah dianggap seperti adik sendiri oleh Nyonya” jawaban Bang Jacky membuat mulutku ternganga.
“Pembantu? Tapi..kok dipanggilnya Ibu?”tanyaku.
Bang Jacky tersenyum. “Makanya gaul dikit, Dan. Kalau sore ia ngajar ngaji di TPA kampung kita”
Aku masih menganga sampai Bang Jacky berteriak. “Woi! Mikir apa? Kamu naksir ya? Abang pergi dulu. Nanti kita ngobrol lagi”
Aku tak tahu bagaimana menamai perasaan ini. Ada sedikit harapan menari di benakku. Aku berharap suatu saat ada dongeng indah dalam becakku. Dongeng tentang aku dan Rahimah. Tapi sampai kapan aku menunggu dongeng itu datang?

(Kado spesial untuk teman-teman SD ku yangekarang mencoba mengukir pelangi dalam becaknya masing-masing)

*Pernah dimuat di Harian Radar Banjarmasin dan termasuk dalam buku Kalimantan dalam Prosa (Ed Korrie Layun Rampan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar