Sabtu, 29 Desember 2012
RUMAH DI BAWAH
PELANGI*
Cerpen Nailiya Nikmah
JKF
Imah
berdecak kagum menatap rumah mungil bercat biru muda itu. Daun pintu dan
jendela-jendelanya berwarna merah muda. Mirip rumah-rumahan barbie milik Sasha.
Hanya saja rumah yang di hadapannya ini tidak bertingkat dan modelnya sangat
sederhana. Pekarangannya cukup luas. Tak ada pagar pembatas. Yang membuat rumah
itu istimewa adalah lengkungan indah warna-warni di atasnya. Ya, ada pelangi di
atas rumah mungil itu. Kapan pun Imah datang, di langit di atas rumah itu
selalu ada pelangi. Kurang lebih lima
belas menit ia menikmati pemandangan tersebut. Setelah itu, seperti hari-hari
sebelumnya, ia pun menghidupkan motornya dan melaju menuju rumahnya sendiri.
Imah
tak sengaja menemukan rumah itu. Suatu sore Sasha mengamuk tidak mau berangkat
ke tempat les piano. Biasanya tiap Senin dan Jumat sore Sasha ke les piano
diantar papanya tapi sore itu Sasha mogok. Entah apa sebabnya, ia baru mau
berangkat setelah dipaksa Imah dan Imah sendiri yang harus mengantarnya. Karena
merasa sudah terlambat, padahal guru les piano sangat disiplin, Imah pun
tergesa-gesa. Ia lupa membawa dompet. Ia juga lupa memakai helm. Di tengah
perjalanan, dari jauh Imah melihat ada keramaian di depannya. Seseorang
meneriakinya, “muter, muter, razia, razia!”
Imah
tiba-tiba sadar ia tidak memakai helm, ia pun panik. Tak sengaja matanya
tertuju pada belokan sempit di sebelah kirinya. Ia lihat beberapa pengendara
membelok ke sana.
Tanpa pikir panjang Imah mengikuti para pengendara yang sama paniknya dengan
dirinya. Rupanya belokan tersebut adalah jalan tembus ke Jalan utama yang akan
ditujunya. Nah, dalam jalan tembus itulah Imah menemukan rumah berpelangi
tersebut. Sebenarnya bukan Imah yag menemukan pertama kali. Sasha lah yang
pertama menemukannya. Sasha berteriak, “Ma, berhenti Ma, Sasha mau lihat
pelangi! Ada
pelangi, Ma!”
Imah
gusar mendengar celoteh Sasha. “Sha, kita sedang kabur dari polisi, nih. Kamu jangan macam-macam. Lagipula
kamu sudah telat les pianonya!” teriak Imah.
“Sebentar
saja, Ma. Pelanginya aneh. Masa pelanginya cuma di atas rumah biru itu?” Suara
Sasha mulai menjadi rengekan.
“Balik
lagi dong Ma ke rumah yang sudah kita lewati tadiii” Sasha merengek lagi. Imah
hafal betul, kalau sudah nada rengekan yang seperti itu, Sasha pasti akan
mengamuk kalau tidak dituruti. Imah pun membalikkan arah motornya.
Bukan
hanya Sasha yang melongo, Imah pun ternganga melihat rumah di bawah pelangi
tersebut. Anehnya pemakai jalan yang lain tak ada yang tertarik melihat
pemandangan langka itu. Bahkan sepertinya mereka tidak melihatnya. Imah
merasakan kedamaian yang luar biasa saat memandanginya. Mungkin yang ia rasakan
dirasakan pula oleh Sasha. Sejak itulah, Imah setiap hari menyempatkan diri
melewati jalan itu hanya untuk melihat rumah di bawah pelangi.
Ini
pekan keempat Imah menjadi pengagum rumah orang. Selama ini, Imah menganggap
rumahnya adalah rumah terindah di kotanya, eits rumah terindah di dunia malah.
Rumah yang dibeli suaminya itu menurutnya sangat spesial. Selain bahan dan
arsitektur rumah yang elegan, rumah tersebut ada kolam renangnya, ada tiruan
air terjun Niagaranya, ada hutan kecilnya – yang ditanami tetumbuhan hutan pada
umumnya lengkap dengan danau buatan, ada
ruang pameran karya seni, tak lupa mushola kecil untuk beribadah. Memiliki rumah mewah dan suami yang punya
banyak duit membuat Imah merasa menjadi orang yang paling beruntung. Apalagi
setelah kelahiran Sasha, putri tunggalnya yang bermata kejora. Ia merasa sangat
lengkap, kecuali satu hal. Sampai saat ini ia tak berani menyetir mobil
sendiri. Ia harus puas dengan hanya mengendarai motor kerennya. Setelah
menemukan rumah berpelangi itu, Imah merasa ada sesuatu yang kurang dalam
hidupnya.
Pekan
keempat mengagumi rumah itu, Imah menginginkan rumah tersebut. Sebenarnya bukan
rumahnya, melainkan pelanginya. Imah ingin pelangi itu bisa dipindah ke langit
di atas rumahnya. Sang suami tertawa waktu mendengar keinginan Imah, “Hahaha,
pelangi itu tidak bisa dibeli, Imah. Pelangi itu tak bisa dimiliki. Ia milik
semua orang. Ada-ada saja kamu,”
“Tapi
rumah biru itu memiliki pelangi sendiri, Bang,” Imah menyahut.
Suaminya
berhenti tertawa. Laki-laki berambut keriting itu menyentuh dahi istrinya. Imah
menepis tangan suaminya, “Apa-apaan sih, Bang!”
“Hm, kupikir kau demam atau sakit tapi…tidak,”
suami Imah menggeleng-geleng.
Imah
hampir putus asa meyakinkan suaminya. Tiba-tiba ia berteriak, “Aha, Sasha,
Sasha, Bang!”
“Kenapa
dengan Sasha, Ma?”
“Dia
yang pertama kali melihatnya. Kalau Abang tak percaya, coba tanyakan pada
Sasha,” Imah bersemangat.
Setelah
menjemput Sasha yang sedang bermain di rumah sebelah, mereka bertiga pergi ke
rumah pelangi. Sebelum berangkat, Imah hampir meledak melihat tangan Sasha
belepotan warna-warni bekas krayon. Imah sudah berulang kali melarang Sasha
bermain-main dengan alat warna. Ia tak ngin Sasha jadi pelukis. Ia ingin Sasha
jadi pemain piano yang hebat. Imah membersihkan tangan Sasha. “Tanganmu ini
untuk main piano, Sha!”
Sesampainya
di sana giliran
suami Imah yang melongo. Ia berkali-kali mengucek-ngucek matanya, mencubit
lengannya dan menepuk-nepuk pipinya sendiri.
“Jadi,
kita mau membeli rumah ini, Ma? Pa?” tanya Sasha.
“Tidak,
sayang. Kita mau membeli pelanginya saja” suara suami Imah membuat Imah riang.
Mereka
disambut hangat oleh pemilik rumah. Sepasang suami istri yang ramah. Sasha
senang sekali disuguhi semangkuk es krim rasa vanilla dengan butiran coklat
chip di atasnya. Imah dan suaminya disuguhi teh hangat beraroma cengkeh dan
mint, teman yang pas untuk kue brownis kukus buatan istri pemilik rumah.
“Jadi,
apakah kami bisa membeli pelangi punya Bapak dan Ibu?” tanya suami Imah setelah
mengelap bibirnya dengan tisu.
Imah
sangat senang, kini justru suaminya yang terlihat lebih bersemangat. Suami dan istri
pemilik rumah saling berpandangan lalu tersenyum mesra. Sang suami memberi
isyarat agar istrinya yang berbicara.
“Begini
Pak, Bu, pelangi yang di atas rumah kami tak bisa dibeli, tak bisa
dipindah-pindahkan. Kami merawatnya sejak kecil. Kalau Bapak dan Ibu mau, kami
mempunyai bibitnya. Ya… Bapak, Ibu harus sabar merawatnya, menyirami, memberi
pupuk, nanti lama-lama dia akan tumbuh besar sepeti pelangi di rumah kami ini”
Perempuan itu tersenyum, terlihat lekuk kecil di kedua pipinya.
Imah
dan suaminya mengangguk dan berkata bersamaan, “Mau, mau.” Mereka semua tertawa.
Sasha kebingungan melihat semua orang tertawa, gadis kelas satu SD itu dari
tadi asyik dengan es krimnya. Bibir dan pipinya belepotan es krim. Ia pikir
orang-orang menertawakannya. Ia buru-buru menyeka pipinya dengan tangan.
Bukannya membersihkan, Sasha malah menambah kotor mukanya karena tangannya sudah
berlumuran es krim. Imah segera mengelap muka Sasha dengan tisu.
“Mungkin
dia perlu cuci muka dengan air, mari saya antar dia ke belakang” Istri pemilik
rumah menggandeng Sasha. Ia membawa Sasha menuju ruang makan, di sudutnya ada
tempat untuk cuci tangan. Ada sabun dan kain lap
di sana. Agak
ke kiri, Sasha mendapati sebuah lukisan tergantung di dindingnya. Lukisan bunga
matahari yang sangat indah. Warnanya kuning keemasan. Sasha menatapnya. Ia berjinjit,
lalu tangan mungilnya mencoba menyentuh lukisan itu.
“Hm,
cuci tangan dulu, Sayang…” kata istri pemilik rumah.
Sasha
segera mencuci dan mengeringkan tangannya. Ia kembali ke lukisan bunga
matahari. Karena tubuhnya masih kecil, ia hanya bisa menyentuh bagian bawah
lukisan. Istri pemilik rumah menggendongnya. “Kau suka lukisan, Nak?” tanyanya
lembut.
“Ya,
aku suka melukis, di kamarku banyak lukisan, lukisanku sendiri. Ada mawar, melati,
anggrek, raflesia arnoldi. Aku juga suka melukis binatang. Ada kelinci, kucing, hamster, burung kakatua,
panda…” celoteh Sasha. Sasha sangat senang. Belum pernah ia seriang ini
berbicara dengan orang asing.
“Kalau
rumah, kebun, taman, kau pernah melukisnya?” tanya istri pemilik rumah sambil
membelai kepala Sasha.
“Ada sih, tapi tidak
terlalu bagus” jawab Sasha takut.
“Tak
apa Sayang, kalau latihan dan belajar, lama-lama nanti juga bagus hasilnya”
Istri pemilik rumah tersenyum.
Sasha
lega. Ia sangat takut jawabannya mengecewakan istri pemilik rumah. Ia takut
istri pemilik rumah berubah sangar seperti guru les pianonya kalau lagi kesel
karena ia salah memainkan nada. Sebenarnya Sasha sudah tidak tahan lagi dengan
les pianonya. Ia lebih senang melukis tapi sayang mamanya tak membolehkannya
ikut sanggar melukis di taman budaya dekat rumahnya.
Begitulah,
keesokan paginya, sesuai instruksi pemilik rumah pelangi, Imah dan suaminya
menabur bibit pelangi. Hampir saja terjadi pertengkaran seru antara Imah dan
suaminya soal di mana mereka akan menabur bibit pelangi. Imah ingin menaburnya
dekat air terjun. Suaminya ingin menaburnya dekat hutan mini mereka. Akhirnya
Imah mengalah karena ia sudah tak sabar lagi menabur bibit pelangi. Imah dan
suaminya bergantian menyiram dan memberi pupuk. Mereka sabar menanti lengkungan
pelangi di atas langit di hutan mini.
Hingga
suatu pagi Sasha menjerit, “Mama…Papa! Lihat! Banyak awan gelap di atas
langit!”
Imah
dan suaminya bingung, bibit pelangi tumbuh menjadi awan gelap. Sungguh aneh
padahal mereka sudah rajin merawatnya. Mereka bertiga mendatangi pemilik rumah
pelangi lagi.
“Dengan
apa kalian menyirami dan memupukinya?” tanya suami pemilik rumah.
“Tentu
saja dengan air dan pupuk, pupuk yang paling bagus” jawab suami Imah.
Sepasang
suami istri pemilik rumah tersenyum. “Pantas saja” sahut sang Suami.
“Seharusnya,
kalian menyiramnya dengan kebahagiaan dan memupukinya dengan ketulusan” jelas
sang istri.
“Kebahagiaan
dan ketulusan? Maksudnya?”tanya Imah.
“Penghuni
rumah harus lah merasa bahagia sepanjang hari dan melakukan semua perbuatan
dengan tulus, tidak karena terpaksa. Ingat, semua perbuatan.” Suami pemilik
rumah menjelaskan panjang lebar.
“Apa
kamu tidak bahagia, Ma?” tanya suami Imah seolah menyalahkan Imah.
“Ah,
selama ini aku bahagia, sangat bahagia malah. Dan aku, tidak pernah terpaksa
melakukan segalanya. Aku memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengantar Sasha,
semua kulakukan tidak karena terpaksa,” Imah agak kesal, “jangan-jangan kau
yang tidak bahagia, Bang?” selidik Imah.
“Jangan
menuduhku, Ma. Aku lelaki paling bahagia di dunia ini” bantah suaminya.
“Tunggu,
masih ada satu orang yang belum ditanya” kata istri pemilik rumah.
“Tidak,
Bu. Tidak ada orang lain lagi di rumah kami. Kami cuma ber..tiga,”suara Imah
mendadak datar dan kaku.
“Bertiga?
Ada Sasha, kan? Hei, ke mana Sasha tadi?” Suami pemilik
rumah bertanya.
“Dia
pasti di dalam, ayo…” Istri pemilik rumah menggiring semuanya ke ruang makan.
Di sana
terlihat Sasha sedang duduk di lantai dengan peralatan gambarnya. Sesekali
kepalanya mendongak ke atas, ke lukisan bunga matahari.
“Saya
tahu sekarang… Hm, kalau kalian masih menginginkan pelangi itu, hentikan les
piano Sasha. Masukkan ia ke sanggar lukis” kata istri pemilik rumah tegas.
Epilog
Belasan tahun
kemudian, di salah satu hari Senin di bulan Desember, seluruh media
memberitakan: pameran tunggal pelukis muda berbakat, Rumaisa. Telah terjual
dengan harga fantastis, lukisan berjudul Rumah di Bawah Pelangi.
*Cerpen ini
terdapat dalam buku Kiat Menulis dan
Cerpen Pilihan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar