Sabtu, 11 Oktober 2014

# Buku Harianku

Di Balik Penulisan Novel Sekaca Cempaka



Di Balik SC
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Novel Sekaca Cempaka kutulis berdasar banyak kisah nyata di samping imajinasiku tentunya. Sudah lama aku ingin menulis novel. Beberapa ide sempat kutulis beberapa halaman, kutinggalkan. Kutulis, kutinggalkan. Selalu begitu. Sampai muncul ide SC ini, aku merasa harus menuntaskannya. Ada banyak rindu yang memenuhi hati. Aku ingin mengabadikannya dalam bentuk sebuah novel.
Aku membiarkan rindu ini mengalir tapi tidak untuk novelnya. Novel ini harus ada muaranya. Novelku harus selesai, kali ini. Aku tidak ingin main-main. Aku ingin total dalam berkarya. Akupun riset ke kampungku, Hulu Sungaiku. Separuh jiwaku di sana. Sepenggal kisahku di sana. Aku harus ke sana. Di kunjunganku yang pertama, sialnya aku tak mendapatkan yang kucari. Aku membutuhkan sesuatu, semacam deadline agar novelku selesai. Sebenarnya ada sih, aku sudah janji pada seseorang akan menghadiahkan novelku di hari ulang tahunnya. Lebai juga ya. Kayak sangkuriang saja. Berani menjanjikan sesuatu yang sulit. Dan lebainya lagi, di halaman ke-20, file-ku terkena virus. Hilang. Jadilah aku ngetik dari awal.
Aruh Sastra ke-13 akan digelar di Banjarbaru. Aruh Sastra itu adalah ajang sastra paling keren di Kalimantan Selatan, bahkan mungkin di dunia, hehe…. Baru kali itu ada cabang lomba menulis novel. Biasanya lomba nulis puisi dan atau cerpen saja. Sebagai penganut aliran “tidak ada yang kebetulan”, aku makin memantapkan niatku untuk menulis novel. Ini yang kubutuhkan sudah ada. Aku butuh deadline, bukan? Inilah deadlinenya. Akupun mengajukan proposal alias izin nulis novel kepada suami dan anak-anakku. Bagaimanapun, aktivitas menulis novel pasti akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas pengabdianku pada mereka. Kusampaikan visi misiku, teknis, rencana, hingga deadline lomba. Seperti biasa mereka selalu mendukungku. Sangat mendukung. Saking mendukungnya, dulu di awal rencanaku ingin punya novel, pernah pada suatu hujan yang deras, kami berempat naik motor saja ke Hulu Sungai (waktu itu belum punya mobil).
Separuh dari batas halaman minimal sudah kuketik. Tiba-tiba aku didera keraguan. Banyak hal yang menyurutkan langkahku. Di tengah malam aku terkaget-kaget, suamiku membangunkanku. “Ayo, ketik novelmu. Lanjutkan, lanjutkan!” Aku yakin, tidak ada suami lain macam dia di dunia ini. Membangunkan istrinya tengah malam “hanya” untuk menulis novel! Aku juga mengontak beberapa kawan di Hulu Sungai untuk memperoleh beberapa informasi penting sehubungan isi novelku.
Lalu, datanglah cobaan itu. Salah satu anakku sakit parah. Aku tambah ragu menyelesaikan novelku. Sempat terpikir, mungkin ini bukan deadlineku yang sebenarnya. Lagi-lagi suamiku menyuruhku menyelesaikannya. Masalahnya, lanjut atau tidaknya kisahku bergantung pada beberapa hal yang untuk mendapatkannya aku harus riset lapangan, tidak bisa tidak. Aku harus kembali ke Hulu Sungai. Bagaimana aku bisa meninggalkan anakku yang sakit? Kata “operasi” mungkin cukup untuk menggambarkan seberapa parah penyakit anakku.
Saat itu menjelang Ramadhan 2013. “Pergilah, biar anak-anak denganku. Setelah kaudapat yang kaucari, pulanglah. Setelah itu baru kita pikirkan rencana operasi anak kita” itulah keputusan suamiku. Yang kami khawatirkan, setelah operasi, aku tidak akan bisa kemana-mana lagi. Dengan berat hati aku berangkat. Aku tidak membawa baju ganti. Niatnya semalam-malamnya, aku pulang hari itu juga.
Setelah sholat subuh suamiku mengantarku ke Pal 7. Tempat angkutan umum biasa mangkal. Hari masih gelap. Kami pilih-pilih angkutan. Karena aku berangkat sendiri, aku tidak bisa sembarangan milih angkutan. Mobil colt berplat kuning tujuan Hulu Sungai menjadi buruan kami. Selain aku, ada seorang ibu paruh baya yang juga menunggu angkutan tapi dia mau ke Martapura saja. Entah mengapa hari itu agak sulit mencari angkutan.  Ada satu mobil dengan tiga penumpang laki-laki semua yang tampangnya seperti orang habis mabuk. Tentu saja aku tidak berani naik. Ibu itupun melarangku naik. Syukurlah tidak lama ada mobil tujuan Hulu Sungai yang penumpangnya lebih meyakinkan. Di Banjarbaru beberapa penumpang lain menambah ramai mobil tersebut. Di persimpangan, ternyata kami harus ganti mobil sebab mobil yang kami tumpangi ternyata ke Barabai. Aku agak cemas karena sudah lama tidak bepergian sendiri.
“Ganti mobil, lah Ding. Tu ada yang ke Amuntai” Kata Dek Sopir. Ia, Dek Sopir, sebab aku yakin sopir itu jauh lebih muda daripada aku. Mungkin tampangku yang imut membuat ia mengira aku lebih muda daripada dia.
Di angkutan yang kedua itu ada seorang penumpang yang mengajakku ngobrol, “Sekolah di mana, Ding?” tanyanya.
Ya ampun, dia pikir aku anak Madrasah apa? Aku pandangi baju yang kukenakan, rok hitam, kerudung hitam, baju kemeja batik hijau, memang salahku juga, aku seperti anak sekolahan.
“Ulun sudah tidak sekolah,” jawabku.
“Oh…sudah kuliah kah?” tanyanya lagi.
Aku benar-benar malas melanjutkan pembicaraan. Aku takut kalau-kalau dia bermaksud jahat. Aku hanya menggeleng, berharap dia tidak lagi menanyaiku. Nomor hp temanku berkali-kali kuhubungi. Aku sms dia apakah aku berada di jalan yang benar. Angkutan yang kutumpangi ini angkutan dalam kota, alur yang dia pilih bukan alur yang biasa aku tempuh.
Aku lega sekali ketika sampai di terminal Palampitan. Ojek ramai menawarkan diri. “Tidak, ulun sudah dijemput,” tolakku. Untunglah sahabat baikku bersedia menjemputku. Dia berjanji akan membantuku selama riset.
“Oh, dia sudah dijemput kakaknya, tuh,” Kata Pak sopir.
Aku garuk-garuk kepala. Masa sahabatku dia bilang kakakku.
Ternyata informan yang aku perlukan saat itu sedang berada di Martapura! Malam baru datang. Terpaksa aku harus menginap. Lagi-lagi aku harus berterima kasih pada sahabatku ini. Aku tidak berani menginap di hotel sendirian. Jadilah aku menginap di rumahnya. Hikmah lainnya, aku lebih banyak waktu. Aku berbincang dengan para pengarang bunga, aku juga akhirnya jadi mendatangi Hapingin. Negeri bunga-bunga. Di bawah gerimis, berkali-kali aku merapalkan puisi cinta.
Begitulah, esok siangnya aku baru pulang membawa sehelai puisi yang menyusup dalam perjalananku. Puisi yang begitu harum. Seharum negeri bungaku, Hapingin. Tentu saja membawa serta tekad yang berkibar “novelku harus selesai.”

Ini adalah foto aku dan sahabatku bersama dua orang informanku, pengarang bunga dari Bayur. Di atas meja tampak kuntum-kuntum bunga kenanga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar