Senin, 20 Oktober 2014

# esai # Lemari Buku Nai

Hujan dan Kenangan Tiga Lelaki (Celotehku Tentang Buku Nun, Kota (di) Tanah Rawa



HUJAN DAN KENANGAN TIGA LELAKI
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Terbitnya buku Kumpulan Puisi Nun, Kota (Di) Tanah Rawa (Juni 2014) yang memuat puisi-puisi tiga lelaki asal Kalimantan, yaitu Sandi Firly, Hajriansyah dan M. Nahdiansyah Abdi menambah deretan buku kumpulan puisi yang ditulis oleh para penyair asal banua.  Buku tersebut memiliki sampul yang didominasi warna kuning, warna yang erat dengan kesakralan budaya Kalimantan Selatan. Separuh buku ini berisi kata pengantar yang ditulis oleh penyair Micky Hidayat. Lumayan banyak untuk sebuah kata pengantar. Hal ini menyiratkan betapa terbitnya buku kumpulan puisi tersebut adalah sesuatu yang dipandang sangat berharga oleh Micky Hidayat.
Buku tersebut pernah pula diulas oleh Sumasno Hadi dari sudut pandang filsafat yang dimuat secara bersambung di harian Media Kalimantan. Sumasno Hadi membagi-bagi pokok pembahasannya berdasarkan tiga nama penyairnya, sama seperti yang dilakukan oleh Micky Hidayat dalam pengantarnya terhadap buku ini. Pembagian seperti ini menyiratkan bahwa ketiga penyair tersebut adalah tiga pribadi yang sudah memiliki “posisi” masing-masing di mata publik sehingga agak sulit bagi pembaca untuk memandang puisi-puisi tersebut secara independen sebagai sebuah puisi (tanpa melihat siapa penulisnya). Sulit untuk membaca “Hujan Bulan November” misalnya, tanpa mengaitkannya dengan posisi Sandi sebagai seorang penulis prosa. Begitu juga dengan puisi-puisi dua penyair lainnya.
Hal tersebut sejalan dengan dengan pendapat Maman S. Mahayana yang menyebutkan bahwa memberi kebebasan seluas-luasnya kepada pembaca tidak berarti mematikan pengarang. Secara faktual, benar teks sudah terlepas dari diri pengarangnya. Tetapi secara kultural, teks itu tetap menyimpan ruh kultural pengarangnya.
Puisi merupakan genre sastra yang paling unik. Entah itu puisi lama, entah itu puisi baru (modern). Terlebih puisi modern yang tidak terikat dengan baris dan larik seperti yang terdapat pada puisi lama. Kata-kata menjadi permainan indah di tangan para penyair. Hal yang rumit bisa menjadi sederhana dalam sebuah puisi. Sebaliknya hal yang sederhana bisa menjadi ‘wah’ dalam sebuah puisi. Hujan salah satunya. Fenomena alam ini bagi sebagian orang adalah hal yang biasa namun bagi sebagian yang lain ia merupakan fenomena alam yang spesial.
Dalam kumpulan puisi NK(d)TR, hujan adalah salah satu hal yang istimewa. Setidaknya, ia menjadi istimewa karena tiap penyair menyertakan puisi tentang hujan dalam kompilasi tersebut. Baik yang menggunakannya sebagai judul puisi maupun yang menggunakannya sebagai bagian dari isi puisi. Hujan Bulan November ditulis oleh Sandi (hlm 54), Rumput bulan April; Kenangan ditulis oleh Hajri (hlm 78), UntukMu ditulis oleh M. Nahdiansyah Abdi (hlm 92). Berikut puisinya,


Hujan Bulan November
Puisi Sandi Firly

Hujan kali ini mengingatkan aku
pada basah rambutmu
tanah yang menguap sehangat pipimu
juga kopi sore hari
senyummu, selalu seperti gerimis ini,
rinai dan kupetik menjadi kembang gula

Kucari denting langkahmu pada aspal
yang mengkilap sehabis hujan
itu seperti baru saja terjadi
kaki kecilmu berlari jauh
memecahkan genangan air
di kolam hatiku

Pandangi hujan kali ini
dan rasakan deru angin rindu
yang kukirim dari lembah tersunyi
tempat yang dulu pernah kita singgahi 

November 2008


Rumput Bulan April; Kenangan
Puisi Hajriansyah

Hujan april tak semeriah kejutanmu
Daun dan kembang menari di jendelaku
Kita berdua berhadapan, tapi tak saling
berpandangan

Ya, bukankah kita telah sama lelah
Menguraikan kenangan jadi rumputan
UntukMu
Puisi M. Nahdiansyah Abdi

Hujan membekas di hatiku
penuh rasa iba dan dingin
Buru-buru puisi ini kubikin
hidup menderaku sambil membanyol

18022001

Mari kita bicara keunikan tiga puisi ini. Pertama,  ketiga puisi ini memiliki bait berurutan dari angka terbanyak hingga tersedikit yaitu, 3, 2, dan 1. Puisi Sandi 3 bait, puisi Hajri 2 bait dan puisi Nahdi 1 bait. Bisa jadi ini ada hubungannya dengan “posisi” mereka di luar perpuisian. Sandi sebagai seorang novelis (yang cenderung menulis lebih banyak kata), Hajri seorang cerpenis dan Dian seorang esais.
Kedua, kecuali puisi Nahdi, puisi ini mengaitkan hujan dengan bulan tertentu. Sandi mengaitkannya dengan November sedangkan Hajri dengan April. Dalam konteks pembagian musim di Indonesia, tidak ada yang istimewa dengan hujan bulan November karena pada bulan tersebut memang musim hujan. Inilah pertanyaan awal ketika memasuki gerbang puisi hujan Sandi. Ada hal spesial apa di hujan bulan November?
Sementara Hajri memilih hujan di bulan April sebagai baris pertama puisinya. /Hujan april tak semeriah kejutanmu/…. Pemilihan lirik tersebut sebagai baris awal puisi ini mengundang tanya di benak pembaca. Haruskah hujan April meriah? Meriah apa yang dimaksud oleh penyair? Bulan April termasuk bulan yang bukan musim hujan di Indonesia. Artinya, memang hujan di bulan ini adalah sesuatu yang jarang terjadi. Lalu ada apa dengan kejutan di bulan April? Mungkinkah yang dimaksud penyair adalah kejutan semacam April Mop? Jika ya, maka hujan tersebut memang sangat tidak seru.
Berbeda dengan Sandi dan Hajri, Nahdi tidak menyebutkan secara tersurat hujan di bulan apa yang sedang ia tuliskan dalam puisinya. Akan tetapi, pembaca masih dapat menafsirkan dari catatan kecil di bawah puisi. Berdasarkan catatan kecil tersebut dapat diketahui puisi ini ditulis pada 18 Februari. 4 hari setelah orang-orang merayakan hari kasih sayang. Hari yang didominasi warna pink dan bentuk-bentuk hati. Hanya saja, sama dengan April Mop, hari yang satu inipun bukan budaya yang melekat pada Hajri dan Nahdi sebagai masyarakat Kalimantan Selatan yang kental nilai-nilai islaminya. Barangkali inilah pengaruh interaksi keduanya dengan budaya-budaya luar.
Ketiga,  puisi-puisi tersebut bicara tentang penyikapan mereka (para lelaki) terhadap kenangan dan hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi. Hal ini dapat ditelusuri dari pembacaan ketiganya.
Benarkah hujan di bulan November tidak istimewa?
/Hujan kali ini mengingatkan aku pada basah rambutmu/…. Demikian tulis Sandi. Inilah jawaban pertama tentang istimewanya hujan bulan November. Begitu banyak kenangan aku lirik yang terjadi ketika hujan. November kerap disambangi hujan. Alangkah perih yang dirasakan aku lirik karena pada bulan itu ia kerap pula disambangi kenangan tentang seseorang yang sekarang sudah tidak lagi bersamanya. Begitu lekat kenangan yang ia miliki sehingga seakan-akan semua itu baru saja terjadi.
Hujan membangkitkan kenangan dan kenangan yang pertama kali diingat aku lirik adalah fisik orang yang dirinduinya dalam hal ini rambut. Berturut-turut kemudian pipi, bibir (yang diungkapkan dengan ‘senyum’) dan kaki. Ini mengingatkan kita pada pandangan bahwa laki-laki lebih banyak menilai perempuan dari fisiknya.
…//Pandangi hujan kali ini/ dan rasakan deru angin rindu /yang kukirim dari lembah tersunyi/. Kutipan ini memperlihatkan bahwa aku lirik mencoba berkomunikasi kembali dengan seseorang yang dirindukannya. Ia berharap kesunyian yang ia rasakan juga dapat dirasakan oleh seseorang itu. Sandi berupaya membangun monumen kenangan. Kenangan yang tidak bisa dilupakan, kenangan yang menurut aku lirik harus juga dipahat oleh seseorang yang sudah berlari jauh.
Pandangan Hajri jauh berbeda tentang kenangan dalam puisi Rumput bulan April; Kenangan. Keadaan yang datar, monoton, menjadi sesuatu yang ingin disampaikan dalam puisi ini. //Ya, bukankah kita telah sama lelah/ Menguraikan kenangan jadi rumputan//. Baris terakhir puisi Hajri memperjelas situasi. Jika Sandi sangat asyik dengan kenangannya, Hajri justru merasa lelah dalam kenangan. Hajri menyampaikan kejujurannya tentang yang ia rasakan. Ia berharap sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan.
…//Daun dan kembang menari di jendelaku/…. Hujan yang jatuh menimpa tetanaman membuat daun dan kembangnya terlihat seperti menari. Daun dan kembang selalu berpasangan. Puisi ini bicara tentang ‘keharusan’ berpasangan. Bahwa sebuah hubungan harus tetap dipertahankan, seburuk apapun keadaannya. Tidak sedikit pasangan yang mengalami hal seperti ini.
 …/Kita berdua berhadapan, tapi tak saling/ berpandangan//. Dalam teori komunikasi, kontak mata merupakan hal yang penting untuk tercapainya komunikasi yang efektif. Bahkan, kontak mata juga menjadi indikasi kejujuran karena salah satu ciri orang berbohong adalah menghindari kontak mata dengan lawan bicara. Kutipan tersebut menyiratkan tentang pasangan yang bersama tapi dalam kebersamaannya tidak terjalin komunikasi yang efektif. Bisa jadi karena masing-masing menyimpan kebohongan. Ini adalah tentang harapan untuk bisa memaknai kembali arti kebersamaan. Sebab apalah artinya bersama tanpa komunikasi yang baik.
Nahdi memiliki pula kenangan dalam hujan. Ia begitu hemat dengan 1 bait untuk bicara kenangan dan hujan. /Hujan membekas di hatiku/, /penuh rasa iba dan dingin/, /Buru-buru puisi ini kubikin/, /hidup menderaku sambil membanyol.
Bagi Nahdi, hujan membekas di hatinya. Hujan yang membekas dalam hati adalah kenangan. Aku lirikpun menjadi melankolis, penuh rasa iba dan dingin. Perasaan-perasaan sendu, haru-biru yang oleh orang zaman sekarang disebut ‘galau’ dialami aku lirik. Akan tetapi, berbeda dengan Sandi dan Hajri, entah mengapa, Nahdi tampak ‘jual mahal’. Ia seperti merasa perlu buru-buru mengalihkan kesenduannya. Nahdi seakan-akan mencoba menyampaikan aku tidak cengeng seperti yang kaukira. Aku bisa cepat melupakanmu. Ini terlihat dari kata ‘buru-buru’. Sayang sekali, Nahdi gagal menunjukkan ‘kekuatannya’. Pengalihan yang ia lakukan justru makin memperjelas betapa ia masih merasakan kesenduan itu. … /Buru-buru puisi ini kubikin/…. Nahdi menuliskan kenangannya menjadi puisi. Tidakkah menuliskan kenangan menjadi puisi adalah mengabadikan kenangan itu sendiri? Bisa jadi, Nahdi sengaja menipu pembaca. Bisa jadi pula, Nahdi yang tertipu oleh kenangannya sendiri. Deraan hidup yang dijalani Nahdi, baik suka maupun duka, baik serius maupun lelucon, semuanya sejatinya takkan mampu membuat Nahdi menghapus hujan(:kenangan) dalam hatinya.  
Satu hal yang menjadi misteri dalam puisi ini (jika ini bukan kesalahan teknis) adalah penggunaan huruf m besar pada judul UntukMu. Apakah Mu di sini dimaksudkan Nahdi merujuk pada Tuhan karena menurut ejaan yang benar, UntukMu yang merujuk pada Tuhan seharusnya ditulis Untuk-Mu. Seandainya Mu di sini dimaksudkan sebagai Tuhan, maka inilah bentuk komunikasi Nahdi pada penciptanya. Inilah pengaduan singkat Nahdi kepada Tuhannya, bahwa ia makhluk yang lemah. Yang salah satu kelemahannya itu muncul ketika  menghadapi ‘kenangan’.[] Menanti hujan di Flamboyan, Oktober 2014


*Dimuat di Media Kalimantan, 19 Oktober 2014


1 komentar:

  1. Detail sekali kak nay.. Keren.. :)
    (kalo ulun kada ngerti puisinya kalo kd baca tafsirannya.. 😂)
    *belajar sastra lawan kak nay aja nah.. :D

    BalasHapus