Sastra sebagai Penguat Identitas
Nasional
dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
Oleh Nailiya Nikmah, M.Pd.
|
Penulis berkerudung coklat paling ujung, saat membawakan makalah ini. | | (Foto Dok Panitia) |
ASEAN
telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan menuju pada
tahapan baru yang lebih integratif dan berwawasan ke depan, yaitu Masyarakat
ASEAN. Masyarakat ASEAN adalah kesatuan bangsa Asia Tenggara yang berpandangan
keluar, hidup damai, stabil dan makmur, serta terikat bersama dalam kemitraan
pembangunan yang dinamis dan saling peduli. Pembentukan Masyarakat ASEAN
dilatarbelakangi antara lain oleh adanya pengaruh negatif krisis ekonomi yang
menimpa negara-negara ASEAN pada 1997. Hal itu mendorong ASEAN berinisiatif
untuk menciptakan kawasan yang memiliki daya tahan ekonomi.
Masyarakat
Ekonomi ASEAN dibentuk untuk mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN, yakni
tercapainya wilayah ASEAN yang aman dengan tingkat dinamika pembangunan yang
lebih tinggi dan terintegrasi, pengentasan masyarakat ASEAN dari kemiskinan,
serta pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kemakmuran yang merata dan berkelanjutan.
Untuk itu, MEA memiliki empat karakteristik utama, yaitu pasar tunggal dan
basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan
pembangunan ekonomi yang merata, serta kawasan yang terintegrasi penuh dengan
ekonomi global.
Dalam
upaya menciptakan sebuah kawasan yang kompetitif, ASEAN telah menetapkan
beberapa sektor kerja sama yang perlu ditingkatkan antara lain: perlindungan
konsumen, hak kekayaan intelektual (HKI), pengembangan infrastruktur dan e-commerce. Kebijakan HKI salah satunya
dapat menjadi pendorong yang kuat bagi
kreativitas budaya, intelektual dan seni beserta aspek komersilnya.
Sebagai
salah satu negara ASEAN, Indonesia
sudah semestinya melakukan berbagai persiapan menuju MEA. Hal ini merupakan
suatu upaya mengingat MEA akan menghadirkan berbagai tantangan selain
peluang-peluang positif bagi masyarakat Indonesia. Salah satu tantangan
tersebut menyangkut persoalan identitas nasional bangsa Indonesia.
Identitas
nasional adalah suatu jati diri yang khas yang dimiliki oleh suatu bangsa dan
tidak dimiliki oleh bangsa lain. Dalam hubungan antarbangsa, identitas menjadi
penting karena menyangkut keberlanjutan eksistensi sebuah bangsa terutama dalam
konteks global. Identitas nasional merupakan kumpulan nilai-nilai budaya yang
tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang
dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia
menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika
sebagai dasar dan arah pengembangannya. Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa
yang majemuk. Unsur-unsur pembentuk identitas nasional meliputi suku bangsa,
agama, budaya dan bahasa.
Sebagai
salah satu unsur pembentuk identitas nasional, bahasa Indonesia memiliki
peluang sekaligus tantangan dalam menghadapi MEA. Persaingan bahasa terus
menjadi pembahasan yang menarik untuk diperbincangkan. Bila sebelumnya beberapa
pakar bahasa di Indonesia menyebutkan bahwa bahasa Indonesia memiliki potensi
untuk menjadi salah satu bahasa Internasional yang berpengaruh, dalam situasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) potensi bahasa Indonesia juga turut diteliti
serta dicanangkan untuk menjadi bahasa ASEAN.
Bahasa
Indonesia merupakan salah satu identitas instrumental yang diatur dalam
undang-undang. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, salah satu fungsi
bahasa Indonesia adalah sebagai lambang identitas nasional. Sebagai lambang
identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera dan
lambang negara. Dalam hal ini bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya
apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya dengan baik.
Bahasa
Indonesia memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pemanfaatannya dalam menjembatani komunikasi antarwarga, antardaerah
dan antarbudaya menjadikannya sangat penting di samping penggunaan bahasa
daerah yang ada di Indonesia.
Di tengah-tengah ratusan bahasa dan budaya daerah yang ada, bahasa Indonesia
menjadi unsur istimewa yang tidak bisa dilepaskan dari keseharian masyarakat Indonesia.
Ini menjadikan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat perhubungan
antarwarga, antardaerah sekaligus antarbudaya yang paling memungkinkan.
Selain
sebagai alat perhubungan, bahasa Indonesia merupakan alat penyatuan berbagai
suku, bahasa dan budaya yang ada di Indonesia. Sebagai bangsa yang
terdiri atas sekian ratus suku, Indonesia
serta merta terdiri atas lebih dari sekian ratus bahasa daerah sekaligus budaya
daerahnya masing-masing. Keragaman suku, bahasa dan budaya ini merupakan
tantangan tersendiri bagi integrasi bangsa Indonesia. Keberadaan bahasa Indonesia
terbukti mendukung upaya integrasi bangsa yang terus-menerus. Eksistensi bahasa
Indonesia
sebagai satu hal yang menguatkan identitas nasional membuat masyarakat saling
menghargai perbedaan suku, bahasa dan budaya yang ada serta tetap merasa satu
dalam NKRI. Ketika memahami hal ini, akan muncul pemahaman berikutnya bahwa bahasa
Indonesia tidak saja berperan sebagai alat untuk berkomunikasi tapi juga sebagai
alat untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang majemuk. Bahasa
Indonesia dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan dengan tidak mematikan
peranan bahasa daerah. Sebaliknya, bahasa daerah justru memperkaya bahasa Indonesia.
Bahasa
Indonesia sudah membuktikan eksistensinya secara internal bagi masyarakat Indonesia.
Kini, di era MEA, bahasa Indonesia diuji eksistensinya secara eksternal. Bahasa
Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia kini akan berhadapan
dengan bahasa lainnya di kawasan Asia Tenggara bahkan di kawasan lainnya secara
internasional.
Pakar
bahasa dari Institut Teknologi Bandung menegaskan bahawa Bahasa Indonesia perlu
internasionalisasi agar bisa menjadi bahasa ASEAN. Dibanding negara-negara
ASEAN lainnya, Indonesia
merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak. Ini menunjukkan bahasa
Indonesia memiliki jumlah penutur yang mayoritas pula. Prof. Mahsun mengatakan,
saat ini bahasa Indonesia terancam tergeser oleh bahasa Inggris dalam
pelaksanaan MEA. Menurutnya, jika bahasa Indonesia tidak digunakan dalam MEA, Indonesia
akan kehilangan identitasnya padahal era MEA merupakan era persaingan dan hanya
bangsa yang memiliki identitas kuat yang bisa memenangkan persaingan.
Pembicaraan
tentang bahasa suatu negara tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang menyangkut
bidang kesusastraan. Begitu juga dengan bahasa Indonesia,
sastra merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari upaya pemertahanan dan
pengembangan bahasa Indonesia.
Dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pembelajaran, karya sastra merupakan
unsur penting yang mendukung keterampilan berbahasa seseorang. Bicara tentang
karya sastra berarti bicara tentang unsur-unsur intrinsik sekaligus unsur
ekstrinsik yang membangunnya. Itu artinya, pembacaan terhadap sebuah karya
sastra merupakan penafsiran-penafsiran terhadap bahasa sekaligus nilai-nilai
budaya yang melingkupinya. Nilai-nilai budaya inilah yang menjadi pembentuk
identitas nasional.
Berikut
ini dapat penulis paparkan beberapa hal penting yang berhubungan dengan sastra
sebagai penguat identitas nasional di era MEA. Pertama, pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
dalam karya sastra. Yang disebut sastra Indonesia
adalah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yaitu ketika bahasa
Indonesia pertama kali diumumkan sebagai bahasa persatuan pada momen Sumpah Pemuda
1928. Sejak itulah segala macam kegiatan komunikasi dan berkarya sastra ditulis
dalam bahasa Indonesia
(Rani, 1996:40). Roman yang dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra Indonesia
oleh para ahli adalah roman Azab dan Sengsara karangan Merary Siregar.
Selanjutnya, bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa semakin kuat tercermin
melalui kemunculan karya sastra Indonesia
modern yang berkembang pesat setelah kemerdekaan.
Dalam
bukunya, Segenggam Gumam, Helvy Tiana
Rosa menyebutkan adanya semacam pengakuan bahwa Indonesia adalah negeri dengan
perkembangan sastra terpesat dari negara serumpun lainnya (2003:128). Hal ini
kemudian disusul dengan ‘ketakutan’ negeri-negeri jiran terhadap hegemoni
bahasa Indonesia,
dikaitkan dengan era teknologi informasi. Bahasa Indonesia dengan penutur
sekitar 200 juta orang, dianggap telah memengaruhi kemurnian bahasa Melayu.
Kedua, penggalian nilai-nilai di balik
karya sastra. Karya sastra yang baik adalah karya yang mampu memberikan
pencerahan kepada pembacanya. Setiap karya sastra membawa amanat bagi
kehidupan. Tinggal sedalam apa penggalian terhadap amanat tersebut diupayakan. Penggalian
nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dapat membantu mengenalkan
sekaligus mempertahankan hal-hal positif dari nilai-nilai karya sastra itu
sendiri. Sastra sebagai bagian dari kebudayaan didukung oleh unsur kebudayaan
lainnya, yaitu bahasa dan seni. Setiap bahasa memiliki tradisi sastranya dalam
kadar yang berbeda-beda. Sastra sebuah bangsa mencerminkan tinggi rendahnya peradaban
suatu bangsa. Bahasa yang dapat dipelajari melalui karya sastra sarat dengan
kandungan pemikiran dan ideologi. Kedua unsur ini kemudian dianggap sebagai
jati diri suatu bangsa.
Sutardji
Calzoum Bachri menyatakan bahwa dengan karyanya seorang pengarang menorehkan
identitas dirinya. Ketika pengarang menorehkan identitas dirinya ia juga telah
menorehkan identitas bangsanya. Jadi, sastra memberi ruang yang di dalamnya
persoalan-persoalan kebangsaan dapat ditemukan. Penggalian karya-karya sastra
yang mengeksplorasi budaya lokal misalnya, dapat menuntun kita pada konteks
sosial dan zaman yang terepresentasi dalam karya tersebut.
Ketiga, pentingnya perhatian pemerintah
dan masyarakat terhadap perlindungan hak cipta khususnya karya sastra. Pembajakan,
penjiplakan, plagiat, merupakan persoalan-persoalan yang masih menghantui dunia
karya sastra Indonesia.
Tindakan-tindakan yang mencerminkan sikap tidak menghargai karya orang lain
tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat bangsa Indonesia sendiri tapi juga dilakukan
oleh masyarakat asing. Pemerintah Indonesia
perlu meningkatkan perhatiannya terhadap dunia sastra untuk meningkatkan
industri kreatif sastra di Indonesia.
Keempat, perlunya peran serta
masyarakat Indonesia
dalam segala kegiatan dan kelompok sastra ASEAN. Beberapa negara anggota ASEAN telah ada
yang melakukan kerja sama di bidang seni sastra bahkan ada yang terjalin jauh
sebelum era Masyarakat ASEAN. Indonesia
dan negara-negara ASEAN lainnya telah sering bekerja sama dalam kegiatan dan
kelompok-kelompok sastra. Sekadar menyebut beberapa, ada Pertemuan Sastrawan
Nusantara (PSN) dan Pertemuan Sastrawan Malaysia (PSM), Majelis Sastra Asia
Tenggara (Mastera), ASEAN Literary Festival dan lain-lain.
Pada agenda-agenda besar yang dapat mengangkat nama negara seperti ini
hendaknya pemerintah memberikan kontribusi yang serius. Selama ini momen sastra
di kawasan negara ASEAN dimaksudkan sebagai upaya untuk menyejajarkan sastra
negara-negara kawasan ASEAN dengan sastra dunia. Selain itu, terdapat harapan
saling mengenal produk dan nilai-nilai sastra
antarnegara ASEAN. Bagi Indonesia
sendiri, momen-momen seperti ini dapat mengenalkan sekaligus menguatkan sastra Indonesia
di mata negara-negara peserta lainnya yang secara langsung juga memperkuat
posisi bahasa Indonesia di mata dunia. Peserta yang diutus menjadi delegasi pun
hendaknya dapat menjaga citra bangsa di hadapan negara-negara lain dan dapat
memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas diri dan negeri.
Demikianlah, karya sastra Indonesia
yang bermutu diharapkan dapat menguatkan identitas nasional di era masyarakat
ekonomi ASEAN. Sebaliknya, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar
secara konsisten dapat meningkatkan perkembangan sastra di negeri ini.[]
Referensi
Direktorat
Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI. 2015. Ayo Kenali ASEAN.
-------.
2015. ASEAN Selayang Pandang Edisi Ke-21.
Rosa,
Helvy Tiana. 2003. Segenggam Gumam. Bandung: Syamil.
*Makalah ini disampaikan dalam Seminar Bahasa dan Sastra, Himbi Sastra, K
FKIP Unlam, Banjarmasin, 2 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar