Minggu, 30 September 2018

# esai # sastra

Ketika Tradisi Menjadi Amanah: Catatan Kecil Pementasan Pengumbar Tersipu III





Apakah yang paling berharga dalam hidup ini selain mempercayai hal-hal yang sudah semestinya kita percayai? Bahkan di saat seluruh orang tidak lagi berkenan mempercayainya, bukan alasan untuk kita meraguinya. Penggambaran semacam itulah salah satu dari banyak hal yang dapat ditangkap dari pementasan Pengumbar Tersipu III alias Pementasan Pengurus Baru Teater Wasi Putih Politeknik Negeri Banjarmasin Jilid III dengan judul Jukung Tanpa Pewaris karya M. Irwan Aprialdy, Sabtu 29 Sepetember 2018 di Halaman Gedung E Kampus Poliban. Sebuah pementasan yang cukup berimbang antara kekuatan naskah dengan penggarapan naskahnya yang mengangkat tradisi sebagai tema utama.
Bicara tradisi, ada nilai-nilai yang menaungi di atasnya. Nilai kekeluargaan atau kekerabatan merupakan nilai utama yang di-eksplore dalam cerita. Jukung, uma, sungai, tanggui, pasar terapung, alam roh merupakan hal-hal yang dapat kita tangkap sebagai ikon Banjar. Begitu juga dengan isue “ikatan darah” yang diungkap dalam alurnya. Tidak salah lagi, konsep ikatan darah dalam penceritaan tersebut mau tidak mau menjadi salah satu hal yang akan merujuk kepada tradisi Banjar. Konsep “bubuhan” begitu lekat dalam keseharian Orang Banjar. Seringkali kita harus memberi jejak pada kepercayaan kita terhadap suatu hal dengan “Dia bubuhan si anu” atau “bubuhan anu”. Pada umumnya, seseorang yang mendapat sebutan “bubuhan si anu” akan memiliki karakter seperti si anu. Setidaknya itulah hal yang dipercayai urang Banjar. Bubuhan alim ulama misalnya – cenderung akan memiliki karakter alim ulama juga.
Akan tetapi, hal tersebut ditabrak oleh ketiga anak kandung Uma Bainah. Ketiganya memiliki kecanduan akut terhadap hal yang berbeda. Ada yang kecanduan harta, kecanduan kehormatan dan kecanduan obat. Ketiganya tidak seidealis Uma Bainah dalam banyak hal terutama dalam hal memelihara tradisi keluarga terkait jukung warisan. Jukung yang mestinya sudah bisa disebut sebagai barang  antik ternyata memiliki sebuah” kutukan” agar tetap dijalankan oleh keturunan pemilik sebelumnya. Jukung yang dikisahkan sudah ada sejak zaman Belanda dan melindungi serta menghidupi juriat keluarga tersebut hingga sampai ke generasi uma Bainah. Konon, jika tidak dijalankan ia akan berakibat fatal.
Perihal jukung peninggalan uma yang sebenarnya sudah dipersoalkan sebelum sang uma meninggal menjadi pusat penceritaan yang sangat lengkap. Jukung kepunyaan keluarga ini bukan sekadar jukung biasa melainkan sebuah tradisi yang diwariskan turun-temurun tanpa pernah terputus sebelumnya. Dalam cerita ini, dituturkan betapa sebuah tradisi dirawat dan dijaga dengan sebuah alasan “ikatan darah”. Sebuah isue pemertahanan tradisi yang nyaris nonsense untuk sebuah jukung di era canggih seperti sekarang. Jangankan dalam kehidupan nyata, dalam cerita pun hal tersebut disangsikan oleh para tokoh. Bahkan tokoh Taufik dalam cerita ini menyebutnya sebagai sebuah kesialan.



Bisa jadi jukung dalam cerita tersebut adalah simbol pentingnya sebuah kepercayaan terhadap ikatan kekerabatan. Kepercayaan yang lambat laun akan digerus oleh banyak hal –  yang dalam hal ini seringkali kita menuduh kemajuan zaman dan teknologi sebagai penyebab utamanya. Kita sering lupa, jika benar kemajuan teknologi merupakan perusak yang paling niscaya mengapa masih ada orang-orang seperti Sari yang juga merupakan user tetap dari teknologi seperti orang-orang lainnya (:tiga bersaudara kandung anak Uma Bainah) tetap teguh memegang tradisi yang bahkan bukan menjadi tanggung jawab utamanya.
Sepanjang pementasan, para pemain seperti berlomba memperlihatkan kekuatan masing-masing. Nyaris tidak ada tokoh yang lemah dalam pengkarakteran. Semua pemain mendapat porsi yang hampir seimbang. Pementasan ini bahkan melibatkan para penonton menjadi bagian pementasan secara bolak-balik pada bagian tertentu. Peran penonton menjadi bagian penting yang turut membangun suasana yang sudah coba dibangun sejak awal pementasan. Konsep anja membantu memberi warna terhadap upaya terbangunnya suasana yang diharapkan oleh pengonsep. Sebagai sebuah pementasan outdoor, pementasan ini terbilang berhasil menjaga suasana yang diharapkan dari awal hingga akhir pementasan. Bagimanapun tidak mudah "menjaga" penonton yang majemuk untuk bisa fokus pada sebuah pementasan. Dekor panggung, lighting, hingga musik/back sound yang mengiringi menyatu sebagai sebuah unsur penting yang mencerminkan keseriusan penggarapan. Penonton "dipaksa" untuk menuruti konsep penggarapan tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai penonton yang merdeka.

Kesetaraan karakter seluruh pemain membuat seluruh tokoh terlihat penting. Kalaupun terpaksa harus dipilih, maka karakter Sari menjadi yang paling menonjol dalam hal  ini. Sari menjadi satu-satunya kunci penghubung kemajuan zaman dan teknologi dengan kepercayaan terhadap tradisi. Ajaibnya, Sari bukan bubuhan asli Uma Bainah. Sari bukan anak kandung Uma Bainah. Jelas Sari tidak akan pernah bisa mewarisi jukung Uma Bainah. Pertanyaannya, mengapa Sari yang bukan anak kandung Uma Bainah begitu peduli terhadap Uma Bainah dan jukungnya? Begitulah hidup memberikan motif lain dalam riwayatnya. Di tengah pentingnya memelihara ikatan kekeluargaan (pertalian darah), melakukan hal-hal baik kepada orang lain seringkali menjadi sesuatu yang penting untuk kehidupan.
Sari tidak mencintai Uma Bainah dengan cinta buta. Sari mempelajari banyak hal sebelumnya dari Uma Bainah hingga akhirnya ia yang terbebani oleh amanah. Orang-orang seperti Sari tidak banyak dalam realita tapi tidak banyak bukan berarti tidak ada, bukan? Sayangnya di akhir cerita Sari pun terpaksa pergi meninggalkan semuanya setelah dia pikir dia telah menyelesaikan semua hal yang diamanahkan kepadanya.
 Coba tengok sekelilingmu, barangkali ada Sari-Sari lain yang masih teguh meyakini dan memegang tradisi - bahkan tradisi yang tidak masuk akal sekalipun. Barangkali, salah satu Sari itu adalah kamu sendiri. Who knows? [] Nai



Usai pementasan, 01.00 30 Sept 2018: di sela riset, angket, deadline paper, prosiding, BKD, ultah fbb, international conference, semnastik, dll.
Selamat untuk semuanya: awesome!
Salam tradisi untuk Amin: selamat menemukan karaktermu.


6 komentar:

  1. Wah Eny jadi pengen nonton langsung mbaa 😍 pasti keren bgt yaaa

    BalasHapus
  2. Kok seru banget ya baca ini, jadi pengen liat langsung. Hihi

    BalasHapus
  3. Jadi penasaran sama pementasannya. Btw, anja tu apa Mba Nai?

    BalasHapus
  4. Wah ulun belum pernah nonton teater. Ini kisahnya menarin banar nah

    BalasHapus
  5. Seperti biasa twp selalu menampilkan teater yang kereeeeennnnnn banar 😍 pasti banyak pesan yang diambil dari setiap kali pementasan 😍😍

    BalasHapus
  6. Ink penontonnya bebas ya bu? Kok ulun ga diajak suami ya.. Haha. Ceritanya menarik banget, banyak nilai klasik positif yg bs diambil kayaknya. Adu duh, udh brp lama ga nonton teater..

    BalasHapus