Tampilkan postingan dengan label Nai Pembicara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nai Pembicara. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 Desember 2019

Pengenalan Budaya Lokal

21.04 0 Comments

Pengenalan Budaya Lokal


Ini adalah rangkuman materi yang pernah aku sampaikan dalam sebuah acara di sebuah kampus bertajuk pengenalan budaya lokal.

Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta budhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk budi daya yang berarti daya dari budi. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan itu adalah segala hasil dari cipta, karsa dan rasa (Notowidagdo, 1997).
Culture (bahasa Inggris) yang artinya sama dengan kebudayaan, berasal dari kata Latin colere  yang berarti mengolah, mengerjakan terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti kata tersebut berkembang arti culture menjadi segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Beberapa antropolog mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut:
E.B. Tylor (Inggris)
Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
R. Linton
Kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu.
Sementara Ernest membagi dalam 5 (lima) Aspek, yaitu: Kehidupan spiritual; Bahasa dan kesusastraan; Kesenian; sejarah dan Ilmu pengetahuan.
Culture Universal
1)      Bahasa (lisan maupun tertulis)
2)      Sistem teknologi (peralatan dan perlengkapan hidup manusia)
3)      Sistem mata pencarian (termasuk sistem ekonomi)
4)      Organisasi sosial (sistem kemasyarakatan)
5)      Sistem pengetahuan
6)      Kesenian (seni rupa, seni musik, seni sastra, dll)
7)      Religi
(dikutip dari Koentjaraningrat oleh Notowidagdo, 1997)
Mengenal Budaya Banjar
Berdasarkan teori-teori sebelumnya terkait unsur budaya atau kebudayaan, dibahas tentang budaya lokal khususnya Budaya Banjar. Banjarmasin adalah Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Kota yang dikenal dengan sebutan kota seribu sungai. Kondisi geografis tersebut mempengaruhi unsur-unsur budaya lainnya seperti mata pencaharian, teknologi dan kesenian. Mata pencaharian orang Banjar pada awalnya adalah bertani, mencari ikan di sungai dan berjualan di pasar terapung.

Kain khas Banjar
Kain khas Banjar adalah sasirangan. Kain sasirangan semula dimanfaatkan untuk pengobatan. Kain sasirangan dipercaya memiliki kekuatan magis. Zaman dahulu, bahan pewarna kain sasirangan berasal dari bahan alami yaitu berasal dari tumbuh-tumbuhan atau tanaman.
Bahasa Banjar
Bahasa Banjar atau yang dikenal dengan sebutan Basa Banjar secara umum terbagi dua, yaitu Basa Banjar Hulu dan Basa Banjar Kuala.
Kesenian
Setiap daerah memiliki ciri dan keunikan seninya masing-masing. Mulai dari seni tari, seni musik hingga yang lainnya. Beberapa tarian Banjar misalnya Tari Baksa Kembang, Tari Radap Rahayu. Alat musik Banjar misalnya panting dan kuriding. Seni pertunjukan tradisional misalnya mamanda, balamut, madihin. Adapun seni beladiri tradisionalnya adalah kuntau atau bakuntau.
Permainan tradisional
                Salah satu permainan tradisional Banjar adalah balogo.
Pamali
Pamali merupakan larangan atau pantangan yang tidak boleh dilanggar. Ada sebagian yang bisa dijelaskan secara logika, ada yang tidak bisa dijelaskan. Secara etika, terdapat pamali yang justru mengatur kehidupan masyarakat untuk menjadi lebih baik. Berbagai penelitian dan kajian ilmiah telah dilakukan terkait pamali Banjar. Beberapa contoh pamali:
1)      Jangan duduk di depan pintu saat senja
2)      Jangan becermin berdua
3)      Jangan menyapu di malam hari
4)      Ibu hamil dilarang berkata-kata buruk
5)      Jangan berfoto dalam jumlah ganjil
6)      Jangan membuka payung dalam rumah
7)      Jangan menggunting kuku di malam hari
o
dDisampaikan pada Acara Pengenalan Budaya Lokal, Banjarmasin, Sabtu 14 Desember 2019

Selasa, 05 April 2016

Sastra sebagai Penguat Identitas Nasional dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

15.08 0 Comments


Sastra sebagai Penguat Identitas Nasional
dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
Oleh Nailiya Nikmah, M.Pd.
Penulis berkerudung coklat paling ujung, saat membawakan makalah ini.(Foto Dok Panitia)


ASEAN telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan menuju pada tahapan baru yang lebih integratif dan berwawasan ke depan, yaitu Masyarakat ASEAN. Masyarakat ASEAN adalah kesatuan bangsa Asia Tenggara yang berpandangan keluar, hidup damai, stabil dan makmur, serta terikat bersama dalam kemitraan pembangunan yang dinamis dan saling peduli. Pembentukan Masyarakat ASEAN dilatarbelakangi antara lain oleh adanya pengaruh negatif krisis ekonomi yang menimpa negara-negara ASEAN pada 1997. Hal itu mendorong ASEAN berinisiatif untuk menciptakan kawasan yang memiliki daya tahan ekonomi.
Masyarakat Ekonomi ASEAN dibentuk untuk mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN, yakni tercapainya wilayah ASEAN yang aman dengan tingkat dinamika pembangunan yang lebih tinggi dan terintegrasi, pengentasan masyarakat ASEAN dari kemiskinan, serta pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kemakmuran yang merata dan berkelanjutan. Untuk itu, MEA memiliki empat karakteristik utama, yaitu pasar tunggal dan basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, serta kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global.
Dalam upaya menciptakan sebuah kawasan yang kompetitif, ASEAN telah menetapkan beberapa sektor kerja sama yang perlu ditingkatkan antara lain: perlindungan konsumen, hak kekayaan intelektual (HKI), pengembangan infrastruktur dan e-commerce. Kebijakan HKI salah satunya dapat  menjadi pendorong yang kuat bagi kreativitas budaya, intelektual dan seni beserta aspek komersilnya.
Sebagai salah satu negara ASEAN, Indonesia sudah semestinya melakukan berbagai persiapan menuju MEA. Hal ini merupakan suatu upaya mengingat MEA akan menghadirkan berbagai tantangan selain peluang-peluang positif bagi masyarakat Indonesia. Salah satu tantangan tersebut menyangkut persoalan identitas nasional bangsa Indonesia.
Identitas nasional adalah suatu jati diri yang khas yang dimiliki oleh suatu bangsa dan tidak dimiliki oleh bangsa lain. Dalam hubungan antarbangsa, identitas menjadi penting karena menyangkut keberlanjutan eksistensi sebuah bangsa terutama dalam konteks global. Identitas nasional merupakan kumpulan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya. Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Unsur-unsur pembentuk identitas nasional meliputi suku bangsa, agama, budaya dan bahasa.
Sebagai salah satu unsur pembentuk identitas nasional, bahasa Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan dalam menghadapi MEA. Persaingan bahasa terus menjadi pembahasan yang menarik untuk diperbincangkan. Bila sebelumnya beberapa pakar bahasa di Indonesia menyebutkan bahwa bahasa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi salah satu bahasa Internasional yang berpengaruh, dalam situasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) potensi bahasa Indonesia juga turut diteliti serta dicanangkan untuk menjadi bahasa ASEAN.
 Terdapat empat argumentasi yang mendukung hal ini, yaitu bahasa Indonesia itu sudah banyak dipelajari pada banyak negara, mudah dikuasai, laju perkembangannya fantastis, dan sebagaian kosa kata Indonesia juga ada di dalam bahasa negara-negara ASEAN lainnya. (Lihat http://www.goodnewsfromindonesia.org/2016/01/10/inilah-alasan-mengapa-bahasa-indonesia-bisa-menjadi-bahasa-asean).
Bahasa Indonesia merupakan salah satu identitas instrumental yang diatur dalam undang-undang. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, salah satu fungsi bahasa Indonesia adalah sebagai lambang identitas nasional. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera dan lambang negara. Dalam hal ini bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya dengan baik.
Bahasa Indonesia memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemanfaatannya dalam menjembatani komunikasi antarwarga, antardaerah dan antarbudaya menjadikannya sangat penting di samping penggunaan bahasa daerah yang ada di Indonesia. Di tengah-tengah ratusan bahasa dan budaya daerah yang ada, bahasa Indonesia menjadi unsur istimewa yang tidak bisa dilepaskan dari keseharian masyarakat Indonesia. Ini menjadikan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat perhubungan antarwarga, antardaerah sekaligus antarbudaya yang paling memungkinkan.
Selain sebagai alat perhubungan, bahasa Indonesia merupakan alat penyatuan berbagai suku, bahasa dan budaya yang ada di Indonesia. Sebagai bangsa yang terdiri atas sekian ratus suku, Indonesia serta merta terdiri atas lebih dari sekian ratus bahasa daerah sekaligus budaya daerahnya masing-masing. Keragaman suku, bahasa dan budaya ini merupakan tantangan tersendiri bagi integrasi bangsa Indonesia. Keberadaan bahasa Indonesia terbukti mendukung upaya integrasi bangsa yang terus-menerus. Eksistensi bahasa Indonesia sebagai satu hal yang menguatkan identitas nasional membuat masyarakat saling menghargai perbedaan suku, bahasa dan budaya yang ada serta tetap merasa satu dalam NKRI. Ketika memahami hal ini, akan muncul pemahaman berikutnya bahwa bahasa Indonesia tidak saja berperan sebagai alat untuk berkomunikasi tapi juga sebagai alat untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang majemuk. Bahasa Indonesia dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan dengan tidak mematikan peranan bahasa daerah. Sebaliknya, bahasa daerah justru memperkaya bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia sudah membuktikan eksistensinya secara internal bagi masyarakat Indonesia. Kini, di era MEA, bahasa Indonesia diuji eksistensinya secara eksternal. Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia kini akan berhadapan dengan bahasa lainnya di kawasan Asia Tenggara bahkan di kawasan lainnya secara internasional.
Pakar bahasa dari Institut Teknologi Bandung menegaskan bahawa Bahasa Indonesia perlu internasionalisasi agar bisa menjadi bahasa ASEAN. Dibanding negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak. Ini menunjukkan bahasa Indonesia memiliki jumlah penutur yang mayoritas pula. Prof. Mahsun mengatakan, saat ini bahasa Indonesia terancam tergeser oleh bahasa Inggris dalam pelaksanaan MEA. Menurutnya, jika bahasa Indonesia tidak digunakan dalam MEA, Indonesia akan kehilangan identitasnya padahal era MEA merupakan era persaingan dan hanya bangsa yang memiliki identitas kuat yang bisa memenangkan persaingan.
Pembicaraan tentang bahasa suatu negara tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang menyangkut bidang kesusastraan. Begitu juga dengan bahasa Indonesia, sastra merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pembelajaran, karya sastra merupakan unsur penting yang mendukung keterampilan berbahasa seseorang. Bicara tentang karya sastra berarti bicara tentang unsur-unsur intrinsik sekaligus unsur ekstrinsik yang membangunnya. Itu artinya, pembacaan terhadap sebuah karya sastra merupakan penafsiran-penafsiran terhadap bahasa sekaligus nilai-nilai budaya yang melingkupinya. Nilai-nilai budaya inilah yang menjadi pembentuk identitas nasional.
Berikut ini dapat penulis paparkan beberapa hal penting yang berhubungan dengan sastra sebagai penguat identitas nasional di era MEA. Pertama, pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam karya sastra. Yang disebut sastra Indonesia adalah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yaitu ketika bahasa Indonesia pertama kali diumumkan sebagai bahasa persatuan pada momen Sumpah Pemuda 1928. Sejak itulah segala macam kegiatan komunikasi dan berkarya sastra ditulis dalam bahasa Indonesia (Rani, 1996:40). Roman yang dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra Indonesia oleh para ahli adalah roman Azab dan Sengsara karangan Merary Siregar. Selanjutnya, bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa semakin kuat tercermin melalui kemunculan karya sastra Indonesia modern yang berkembang pesat setelah kemerdekaan.
Dalam bukunya, Segenggam Gumam, Helvy Tiana Rosa menyebutkan adanya semacam pengakuan bahwa Indonesia adalah negeri dengan perkembangan sastra terpesat dari negara serumpun lainnya (2003:128). Hal ini kemudian disusul dengan ‘ketakutan’ negeri-negeri jiran terhadap hegemoni bahasa Indonesia, dikaitkan dengan era teknologi informasi. Bahasa Indonesia dengan penutur sekitar 200 juta orang, dianggap telah memengaruhi kemurnian bahasa Melayu.  
Kedua, penggalian nilai-nilai di balik karya sastra. Karya sastra yang baik adalah karya yang mampu memberikan pencerahan kepada pembacanya. Setiap karya sastra membawa amanat bagi kehidupan. Tinggal sedalam apa penggalian terhadap amanat tersebut diupayakan. Penggalian nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dapat membantu mengenalkan sekaligus mempertahankan hal-hal positif dari nilai-nilai karya sastra itu sendiri. Sastra sebagai bagian dari kebudayaan didukung oleh unsur kebudayaan lainnya, yaitu bahasa dan seni. Setiap bahasa memiliki tradisi sastranya dalam kadar yang berbeda-beda. Sastra sebuah bangsa mencerminkan tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa. Bahasa yang dapat dipelajari melalui karya sastra sarat dengan kandungan pemikiran dan ideologi. Kedua unsur ini kemudian dianggap sebagai jati diri suatu bangsa.
Sutardji Calzoum Bachri menyatakan bahwa dengan karyanya seorang pengarang menorehkan identitas dirinya. Ketika pengarang menorehkan identitas dirinya ia juga telah menorehkan identitas bangsanya. Jadi, sastra memberi ruang yang di dalamnya persoalan-persoalan kebangsaan dapat ditemukan. Penggalian karya-karya sastra yang mengeksplorasi budaya lokal misalnya, dapat menuntun kita pada konteks sosial dan zaman yang terepresentasi dalam karya tersebut.
Ketiga, pentingnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap perlindungan hak cipta khususnya karya sastra. Pembajakan, penjiplakan, plagiat, merupakan persoalan-persoalan yang masih menghantui dunia karya sastra Indonesia. Tindakan-tindakan yang mencerminkan sikap tidak menghargai karya orang lain tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat bangsa Indonesia sendiri tapi juga dilakukan oleh masyarakat asing. Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan perhatiannya terhadap dunia sastra untuk meningkatkan industri kreatif sastra di Indonesia.
Keempat, perlunya peran serta masyarakat Indonesia dalam segala kegiatan dan kelompok sastra  ASEAN. Beberapa negara anggota ASEAN telah ada yang melakukan kerja sama di bidang seni sastra bahkan ada yang terjalin jauh sebelum era Masyarakat ASEAN. Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya telah sering bekerja sama dalam kegiatan dan kelompok-kelompok sastra. Sekadar menyebut beberapa, ada Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) dan Pertemuan Sastrawan Malaysia (PSM), Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), ASEAN Literary Festival dan lain-lain.
Pada agenda-agenda besar yang dapat mengangkat nama negara seperti ini hendaknya pemerintah memberikan kontribusi yang serius. Selama ini momen sastra di kawasan negara ASEAN dimaksudkan sebagai upaya untuk menyejajarkan sastra negara-negara kawasan ASEAN dengan sastra dunia. Selain itu, terdapat harapan saling mengenal produk dan nilai-nilai sastra  antarnegara ASEAN. Bagi Indonesia sendiri, momen-momen seperti ini dapat mengenalkan sekaligus menguatkan sastra Indonesia di mata negara-negara peserta lainnya yang secara langsung juga memperkuat posisi bahasa Indonesia di mata dunia. Peserta yang diutus menjadi delegasi pun hendaknya dapat menjaga citra bangsa di hadapan negara-negara lain dan dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas diri dan negeri.
Demikianlah, karya sastra Indonesia yang bermutu diharapkan dapat menguatkan identitas nasional di era masyarakat ekonomi ASEAN. Sebaliknya, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar secara konsisten dapat meningkatkan perkembangan sastra di negeri ini.[]


Referensi
Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI. 2015. Ayo Kenali ASEAN.
-------. 2015. ASEAN Selayang Pandang Edisi Ke-21.
Rosa, Helvy Tiana. 2003. Segenggam Gumam. Bandung: Syamil.
Sunarti, Sastri. 2014. Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Identitas Bangsa. Tabloid Sastra. https://tabloidsastra.wordpress.com/2015/02/16/bahasa-dan-sastra-indonesia-sebagai-identitas-bangsa/


*Makalah ini disampaikan dalam Seminar Bahasa dan Sastra, Himbi Sastra, K
FKIP Unlam, Banjarmasin, 2 April 2015

Rabu, 30 Januari 2013

(Analisis Sudut Pandang dalam Novel Pengikat Surga Karya Hisani Bent Soe)

04.38 0 Comments


Ketika Asma Curhat*
(Analisis Sudut Pandang dalam Novel Pengikat Surga Karya Hisani Bent Soe)
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Karya sastra diciptakan dengan daya kreativitas dan imajinasi. Kreativitas itu merupakan upaya pengarang melahirkan pengalaman batin dalam karyanya sekaligus  memilih unsur-unsur terbaik dari pengalaman hidup manusia yang dihayatinya.  Pengalaman-pengalaman tersebut diramu dengan imajinasi pengarang. Novel merupakan salah satu jenis karya sastra. Novel secara fisik memberi ruang yang luas kepada pengarang untuk menuangkan sebanyak-banyaknya pengalaman hidup yang diramunya dengan kreasi dan imajinasi.
Seperti karya sastra lainnya, novel dibangun oleh unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Salah satu unsur tersebut adalah tokoh. Ada empat cara utama untuk menampilkan tokoh dalam fiksi, yaitu dengan cara memberitahu pembaca, meminta tokoh bercerita, menyuruh tokoh lain bercerita, dan menggunakan tindakan tokoh. Selain itu ada cara lain, dengan bahasa tubuh, emosi dan dialog (Silvester dan Alexander,2004:32)
Ketika memperoleh ide suatu cerita, pikirkan siapa yang menceritakannya. Di sinilah sudut pandang masuk. Beberapa jenis sudut pandang, yaitu (1) sudut pandang orang pertama yang terdiri dari (a) protagonis org pertama – aku adalah tokoh utama yg menceritakan kisahnya sendiri; (b) saksi orang pertama - cerita tokoh utama diceritakan oleh tokoh lain; (c) pencerita-kembali orang pertama—cerita diceritakan oleh orang yang telah mendengar cerita itu dari orang lain, (2) sudut pandang orang kedua, (3) sudut pandang orang ketiga.
Novel berlatar sejarah bukan sesuatu yang asing sebenarnya. Yang terkesan baru, mungkin adalah novel berlatar sejarah Islam. Sebagai sebuah novel sejarah Islam –          (: sejarah kenabian) pengarang novel Pengikat Surga (PS) cukup berani mengambil sudut pandang orang pertama, yaitu sudut pandang tokoh utama dalam novel ini. Ini dapat dikatakan unik sekaligus juga berisiko. Tokoh utama dalam novel ini adalah Asma. Asma bukan sembarang Asma. Dia adalah Asma Bint Abu Bakar, putri tercinta sang pembenar, putri seorang sahabat dekat Rasulullah.
Asma dilahirkan 17 tahun sebelum Muhammad Saw. diutus menjadi Nabi (Quthb,1995:15). Dia menyaksikan pengutusan Muhammad sebagai Nabi, mengetahui detil-detilnya karena ia terlibat di dalamnya. Asma adalah anggota keluarga Abu Bakar yang sekian lama menjadi tempat singgah yang aman bagi Rasulullah. Rasulullah hampir setiap hari mengunjungi rumah Abu Bakar.
Di kemudian hari semua terpesona dengan sejarah yang diukirnya melalui sabuknya pada peristiwa hijrah Rasulullah yang ditemani ayahanda tercinta. Pada hari keberangkatan dari Gua Tsur menuju Yastrib, Asma lah yang membuatkan bekal perjalanan. Dia lupa membawa tali untuk mengikatkan makanan dan minuman pada tunggangan. Dengan kecerdasannya, ia melepas sabuknya dan membelahnya jadi dua. Rasul bersabda, “Allah telah menggantikan sabukmu ini dengan dua sabuk di surga.” Peristiwa ini selalu dikenang oleh kaum muslim sepanjang masa. Sebuah gelaran ia dapat dari peristiwa ini. Ya, dialah Asma Dzaatu Nathaqain.
Bukit batu terjal menuju Tsur telah terlihat. Mendakinya tak mungkin dengan menenteng makanan. Makanan ini harus kuikat kebadanku agar aku lincah bergerak. Tak ada kain yang dapat kugunakan untuk mengikat makanan ini. Aku luput memikirkan untuk menyiapkannya. Aku meraba sabuk yang menahan perutku … Aku memotong sabukku memanjang menjadi dua…. (hlm 223)
Tidak hanya itu keistimewaan Asma. Dia adalah tokoh perempuan yang pernah menghadapi “dua setan” dengan ketabahan hati, yaitu Abu Jahal dan Al Hajjaj ibn Yusuf Al-Tsaqafi. Dalam Novel Pengikat Surga baru satu setan yang diceritakan (hlm 224).
Keunikan pemilihan sudut pandang pada novel ini sudah terlihat sejak paragraf pertama.
Kami berlarian saling kejar mengejar menuju bukit Shafa. Minggu ini kali ketiga kami melakukannya. Skornya 2-1 untuk aku. Dan kali ini, ia, Ruqayyah, sahabatku, mengatakan ia akan menyamakan kedudukan. …(hlm 1)
Novel ini dimulai dengan adegan kejar-kejaran dua sahabat, perempuan! Bukit Shafa, Ruqayyah, dua kata yang sudah memperlihatkan pada pembaca betapa istimewanya cerita yang akan dituturkan pengarang. Otak pembaca disirami keindahan imajinasi membayangkan dua perempuan berkejaran menuju bukit Shafa dalam rangka bermain, disamping itu otak pembaca juga “terjaga” untuk selalu “waspada” dan bertanya-tanya, ada apa selanjutnya. Kenapa Ruqayyah yang dipilih sebagai pendamping tokoh utama di permulaan novel ini? Tentu ini bukan pilihan iseng. Semua terjawab ketika membaca teks selanjutnya, Teks selanjutnya pun menimbulkan pertanyaan yang dijawab di teks berikutnya lagi. Begitu seterusnya
Novel ini dari awal sudah mengingatkan pembaca bahwa novel ini dijaga staminanya oleh pengarang. Oleh sebab itu, pembaca pun harus menjaga staminanya untuk bisa menikmati novel ini hingga tetes terakhir. Sebuah novel sejarah sangat rentan menebarkan virus bosan dan ngantuk pada pembacanya. PS pun tak mustahil akan menyebarkan virus tersebut padahal membaca novel ini sampai tamat adalah sesuatu yang sangat bermanfaat bagi pembaca. Hisani Bent Soe sepertinya sangat menyadari kelemahan sebuah novel sejarah. Untuk itulah ia memilih sudut pandang yang unik dan cukup berisiko ini. Sebuah sudut pandang yang sifatnya menyuarakan semua hal tentang tokoh utama bahkan sampai hal-hal yang tersembunyi di hati sang tokoh. Pengarang sangat berani mengupas semua hal tentang Asma, bahkan sampai hal-hal kecil yang mungkin selama ini luput dari bahasan para sejarawan. Hal kecil yang justru membuat novelnya semakin indah.
Tiba-tiba saja Mush’ab dan AzZubayr datang ke rumahku. Lamunanku buyar. Aku gugup demi melihat kehadiran mereka berdua. Ayah mempersilakan mereka duduk dan membincang alokasi-alokasi keuangan yang harus dilakukan dengan cermat. Sesekali Az Zubayr menatapku. Tak sanggup menahan gugup, aku berlalu saja ke kamarku. (hlm 101)
Aku memperhatikan semua kesibukan persiapan hijrah. Jika berpapasan dengan Az Zubayr mata kami saling menatap. Mataku berkata padanya temuilah ayahku. Tetapi aku memahami situasi ini … sesuatu yang dinamakan kerinduan, kerinduan untukmu Az Zubayr!!! (hlm 125)
Hal kecil lainnya ada pada kutipan teks berikut:
Aku meraba sabuk yang menahan perutku. Bayiku bereaksi tanda persetujuan. …(hlm 223)
Kutipan tersebut mengisahkan bagian dari peristiwa Asma sampai bergelar Si Dua Sabuk. Berapa banyak yang tahu bahwa saat itu Asma sedang hamil?
Gaya bertutur pengarang dalam PS persis gaya seorang perempuan yang sedang curhat. Entah dengan seseorang, atau mungkin curhat di buku diary. Pilihan pengarang terhadap Asma sebagai tokoh utama novel ini sangat tepat mengingat Asma adalah anak Abu Bakar – orang terdekat Rasul. Asma juga saudara seayah Aisyah – istri Rasul. Dan yang lebih penting lagi, Asma hidup sejak Muhammad belum diangkat menjadi Rasulullah. Dari segi politis, Asma mengetahui banyak hal sehingga ketika Asma yang dipilih oleh pengarang untuk jadi tokoh utama, pilihan tersebut sangat tepat. Melalui curhatan Asma, pembaca bisa belajar banyak hal tentang sirah. Pembaca juga disuguhi pengetahuan seputar turunnya ayat Quran secara berurutan tanpa menyadarinya.
Disamping keunikan dan kelebihan-kelebihan di atas, PS dengan sudut pandang orang pertama juga memiliki risiko dan kelemahan. Pada suatu adegan atau peristiwa yang saat itu Asma tidak ada atau tidak melihat, sudah pasti tak bisa diceritakan dengan gaya yang serupa. Yang bisa diceritakan “aku” adalah yang dilihat, dialami, dan dirasakan “aku”. Kelemahan ini diantisipasi dengan cantik oleh pengarang. Pengarang menggunakan teknik Asma bertutur berdasarkan cerita tokoh lain kepadanya. Ini bukan pekerjaan gampang. Pengarang harus jeli dan cermat, tokoh mana yang dalam faktanya benar-benar menyaksikan peristiwa tersebut dan berkesempatan menceritakaannya kembali sehingga sampai ceritanya ke tokoh utama. Misalnya, kejadian di Gua Tsur. Saat itu hanya ada Rasul dan Abu Bakar. Bagaimana cerita tersebut bisa menjadi curhatan Asma?
Aku ingat bagaimana Ayah menceritakan pada kami, tentang yang terjadi sewaktu hijrahnya bersamaRasulullah.
“Aku berjalan kadang di depannya, kadang di belakangnya. Aku takut sesuatu menyergap Rasulullah. Lalu kami mencapai Gua Hira…. (hlm 363-364)
Sekali lagi, pemilihan Asma sebagai tokoh utama dalam PS sangat tepat. Asma mendapat cerita tersebut langsung dari tokoh ayah. Contoh lain adalah pada saat pengarang ingin menjelaskan peristiwa Isra Mi’raj. Dipilihlah dialog antara Asma dengan sang sahabat, Ummu Kultsum.
“Apa yang Rasulullah ceritakan padamu tentang Israa Mi’raj?”
“Jibril datang di pembuka malam. Membawa ayahku ke beranda Masjid Al Haram. Dan di sana ada buraq”…(hlm 178)
PS memadukan keakuratan sejarah kenabian dengan romantika seorang perempuan bernama Asma. Hanya saja pengarang perlu menyiapkan jawaban ketika ada yang iseng bertanya, bukankah novel adalah karya fiksi, lantas pada bagian manakah di  PS yang merupakan fiksi? Bisa saja pada bagian geretek hati Asma lah fiksi nya muncul, ketika Asma merindukan Az Zubayr, ketika Asma cemburu pada Atikah Bint Zayd, atau pada bagian lain? Apapun itu, PS sangat lezat dinikmati hingga hidangan penutup. Ending novel ini pun benar-benar mengejutkan. Novel ini ditutup dengan sebuah kalimat yang sangat mengguncang.
 “Aku menceraikanmu”



*Disampaikan pada Bedah Novel "Pengikat Surga" karangan Hisani Bent Soe, 
Banjarmasin 11 Juli 2010 -- Olah gawe FLP Banjarmasin

Bicara Pendidikan di Buku Pelajaran Bahasa Karangan Sainul Hermawan

04.34 0 Comments


Ayo, Belajar !
(Bicara Pendidikan di Buku Pelajaran Bahasa Karangan Sainul Hermawan)
(Buku Pelajaran Bahasa Karangan Sainul Hermawan dalam Perspektif Pendidikan)
Oleh Nailiya Nikmah, M.Pd.



A. Sebuah Pengantar
Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Pepatah ini sudah tak asing lagi tetapi benarkah ketidakasingan terhadap pepatah ini menjamin dalamnya pemaknaan terhadap pepatah tersebut? Pelajaran Bahasa (PB) karangan Sainul Hermawan mencoba menuliskan jawabannya. PB seperti sebuah komplek sekolah yang menyediakan beragam jenjang, kelas dan bahkan bidang-bidang spesialis yang ingin ditekuni oleh murid. “Cantik” berjenjang sekolah dasar diwakili oleh Nauka murid kelas 3. “ Pelajaran Bahasa” berjenjang sekolah menengah pertama diwakili oleh Iyus, “Parang” dan “Nanang dan Galuh” mewakili jenjang sekolah menengah atas, “Asty Amelia” mewakili perguruan tinggi. PB juga menghadirkan sekolah yang tidak formal. PB juga menyuguhkan pelajaran di luar dinding-dinding bangunan bernama sekolah.
“Sarak” yang berarti cerai merupakan sebuah cerpen yang memberikan pelajaran pernikahan. Pelajaran tentang posisi perempuan yang berstatus istri dihadapan laki-laki yang menikahinya. “Lelaki yang maha esa” memberikan pelajaran tentang sikap seorang anak terhadap orang tuanya dan sebaliknya. “Asty Amelia” berisi pelajaran tentang teknologi bernama internet. “Sakadup”, “Mariana yang Bimbang”, “Lima Liang Banua”, “Kuburan”, “Pangeran Facebook”, “Radius Satu: Tanatos!” merupakan kelas-kelas khusus yang memberi ruang pendidikan politik. Menariknya, ‘sekolah’ yang dibangun oleh Sainul adalah sekolah yang bervisi politik dan moral.
Lantas, sejak kapan dan sampai kapan para murid sebaiknya menikmati pendidikan?  “Kuburan” pun menjawab bahwa pendidikan itu sejak lahir sampai mati. Belajar itu tidak hanya dari orang yang masih hidup tapi juga dari orang yang sudah mati!

B. Pendidikan Berbasis Karakter dalam PB
Pendidikan adalah “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik (KBBI, 2003:263).  
Sejak anak-anak memasuki usia sekolah, para orang tua mencarikan sekolah yang bagus untuk anaknya. Tidak cukup dengan memasukkan ke sekolah yang bagus, para orang tua pun membelikan anak-anaknya perlengkapan dan fasilitas penunjang belajar bahkan mendaftarkan anak-anaknya les macam-macam. Kalau perlu memanggil pengajar ke rumah. Betapa inginnya orang tua melihat anak-anaknya sukses dalam pendidikan.  Sayangnya, kadang-kadang orang tua terlalu sempit memaknai kata sukses untuk anak-anaknya. Sukses adalah angka 8 dan 9. Sukses adalah menjadi juara kelas. Sukses adalah lulus ujian nasional. Tak jadi soal, bagaimana cara anak mendapatkannya dan bagaimana anak mengurai makna hasil yang diperolehnya.
Tidak sedikit orang tua memahami belajar dalam pengertian yang cenderung sempit. Belajar hanya jika anaknya duduk manis sambil membaca buku teks, menghitung, menulis ‘pelajaran’ di buku. Jadi, jika anaknya berlari-lari di halaman  rumah sambil menghitung anak bebek yang mengikuti induknya, anak sedang bermain bukan belajar. Belajar adalah melakukan sesuatu untuk bisa lulus ujian nasional.
Ujian nasional (UN) setiap tahunnya menghadirkan beragam fenomena. PB dengan jeli memotret sisi  memprihatinkan tentang UN dalam Parang (23-29). Cerpen ini menggambarkan kerabunan orang tua tentang pendidikan yang sejati. Dalam benak orang tua, yang penting anaknya lulus UN bagaimanapun caranya.  
Saya tidak mau tahu bagaimana caranya, anak saya harus lulus! Kalau sampai dia gagal, pian bukan hanya akan berpisah dengan anak saya dan kawan-kawannya, tapi kepala pian itu bisa pisah dari badan.” (hlm 24)
Jika UN tiba guru-guru dan murid-murid yang masih idealis akan mengalami ‘demam kelas’, sedangkan yang tidak jujur malah berlenggang santai seolah tidak terjadi apa-apa. Malam menjelang UN beredar sms yang berisi kunci jawaban. Guru dan murid sama kelakuannya. Murid yang menolak meneruskan sms akan dimusuhi oleh murid lainnya, dicap belagu, sok pintar. Guru yang menolak meneruskan sms akan dipisuhi oleh guru-guru lain, dianggap sok jujur, sok suci, dan sok-sok lainnya. Tidak takut ketahuan kepsek? Tentu saja tidak. Kan, kepsek yang nyuruh? Apakah kepsek tidak takut sama kepala dinas? Tentu saja tidak. Kan kepala dinas yang nyuruh? Lalu apa sebenarnya ini? Jawabannya ada pada kutipan di bawah:
Dia cuma bisa berandai-andai jika tak ada passing grade, vonis lulus pusat, tekanan politik dan parang, dia merasa lebih bahagia jadi kepala sekolah (hlm 27.)
Parang adalah simbol kekuasaan dan kekuatan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Parang adalah sebuah benda yang bisa melukai, tapi sebenarnya parang pun memudahkan kita dalam beberapa pekerjaan. Seperti pisau bermata dua. Mata pisau pertama bisa kita pakai memotong sayuran, mata pisau berikutnya bisa saja melukai muka kita sendiri hingga berdarah. Seperti itulah karakter. Abdullah Munir dalam pengantar bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter (2010) menyebutkan bahwa setiap karakter memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Anak yang memiliki keyakinan yang tinggi akan memiliki dua kemungkinan yang berbeda dan berlawanan. Kemungkinan pertama, akan jadi anak yang pemberani, kemungkinan kedua akan jadi anak yang sembrono karena terlalu yakin sehingga kurang perhitungan.
Murid yang berkarakter positif menghadapi apapun termasuk UN secara positif pula. Masalahnya penerapan pendidikan berbasis karakter memerlukan ruang yang jika kurikulum sekarang masih dipakai mungkin tidak muat. Orang tua yang sudah terbuka matanya terhadap pendidikan karakter diharapkan memulainya dari rumah. Lihatlah cerpen “Cantik” (15-22). Mama Nauka sudah memulainya. Nauka diarahkan, dibentuk untuk jadi cantik yang sejati.
Penjelasan tentang cantik secara ramah, santun, serta memberi ruang berpendapat untuk Nauka adalah salah satu contoh bekal minimal yang harus disiapkan orang tua untuk pendidikan karakter. Orang tua harus meyediakan waktu rutin setiap hari sekitar setengah sampai satu jam untuk berdialog dengan anaknya. Waktu untuk memberikan pemahaman, melatihkan tindakan, dan melakukan muhasabah (Munir, 2010:15).
Bekal utama berikutnya adalah visi. Orang tua harus memiliki visi yang jelas untuk anaknya. Abah Galuh dalam “Nanang dan Galuh” bervisi meningkatkan derajat hidup. Visi yang membuat Galuh menikah dengan lelaki lain yang akhirnya memiliki dua anak tanpa memiliki cinta. Visi yang membuat jiwanya labil sehingga memotivasinya mencari Nanang di facebook setelah tujuh belas tahun berlalu. Untunglah Nanang adalah lelaki yang sejak awal sudah memiliki visi yang jelas, yaitu “Aku ingin memegang tanganmu saat Allah mengizinkan aku menetapkan akad nikah” sehingga ketika Galuh menawarkan pesonanya lagi, Nanang has signed out sambil sebelumnya menulis, “…. Tanda kasih kita di sekolah itu sudah sirna.”

C. Pendidikan Seumur Hidup
Mulyasa (2004:5) menyebutkan bahwa Unesco (1994) mengemukakan dua prinsip pendidikan. Pertama, pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be). Kedua, belajar seumur hidup (life long learning).
Cerpen “Pelajaran Bahasa” sebagai sampel memperlihatkan beberapa prinsip ini.
Sudah biasa, Pak Izul menugaskan setiap muridnya membawa satu kata yang ingin diketahuinya lebih jauh (hlm 2).
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Pak Izul memberi motivasi pada muridnya untuk belajar mencari tahu apa yang ingin diketahui; belajar mengetahui apa yang ingin dipelajari. Hal ini sesuai dengan pilar pertama, yaitu belajar mengetahui. Pelajaran dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan anak. Belajar terpusat pada murid bukan pada guru.
Dia suka belajar bahasa karena dia senang mengutak-atik kata sejak kecil (hlm 1).
Pilar kedua, belajar melakukan tersirat dari kutipan tersebut. Iyus senang mengutak-atik kata sejak kecil. Iyus sudah belajar melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pelajaran bahasa.
Pilar ketiga adalah belajar hidup dalam kebersamaan. Hal ini secara tersirat ada dalam cerpen “Pelajaran Bahasa”, baik dari proses belajar-mengajar Iyus dan teman-temannya maupun dari pengalaman-pengalaman Iyus dan teman-teman di luar kelas.
Pilar keempat, belajar menjadi diri sendiri. Dalam cerpen “Pelajaran Bahasa” tergambar murid-murid percaya diri memberi jawaban dan mengemukakan pendapat. Tak semua murid berani mengacungkan tangan. Ada yang karena takut, malu, atau memang tak tahu mau berkata apa. Sikap guru pun mempengaruhi sikap murid-muridnya. Guru yang terbuka dan menyenangkan seperti Pak Izul tentu akan selalu memancing murid terus belajar, berani bicara, berani berpendapat. Kelas pun hidup dengan diskusi bukan ribut dengan kata ‘setuju’, ‘iya,Pak’, ‘sama dengan si A’. Sebenarnya pilar ini secara global diwakili oleh cerpen “Cantik.”
Prinsip Kedua, yaitu belajar seumur hidup. Agaknya inilah yang ingin disampaikan Sainul dalam sekolahnya yang bernama PB. Belajar tak mengenal kata tamat. Belajar pun tak terbatas pada hal-hal yang tertulis di buku pelajaran sekolah. Belajar tak mengenal batas waktu dan materi. Hasil pendidikan sejati tak bisa diperoleh dengan cara instan. Sekali lagi, pendidikan tidak terbatas pada kata ‘lulus’ dan ‘nilai’.
Akhirnya, sampai disini dulu pelajaran ini. Semoga peserta diskusi tidak bernasib seperti kutipan ini:Mereka hasil dari perkuliahan yang hanaya obral nilai. Daripada pusing-pusing, ya cetak saja mereka seperti roti. Mereka kan cuma ingin jadi sarjana? Sangat jarang yang memang ingin jadi manusia berilmu. (“Sakadup”, hlm 37).

                                                                                             Flamboyan, 17 Desember 2010


 Disampaikan pada Diskusi Interdisipliner Buku antologi cerpen Sainul Hermawan, Perpus Unlam Banjarmasin, Senin 20 Desember 2010

Entrepreneurship dalam Karya Religi Berkonteks Lokal

04.28 0 Comments


Entrepreneurship dalam Karya Religi Berkonteks Lokal
(Sebuah Pembacaan Novel Bulan Sabit di Langit Burniau)
Oleh Nailiya Nikmah, S.Pd., M.Pd.

Merantau atau pergi ke suatu tempat/negeri yang lain untuk mencari “sesuatu” kadang menjadi pilihan wajib bagi orang-orang yang berpikiran kreatif. Tak jarang, manusia menemukan titik cerahnya setelah ia pergi ke tempat lain.  Dalam jagat kisah, Malin Kundang – terlepas dari label anak durhaka yang ia terima – pun telah membuktikan hal ini. Kisah yang melegenda ini secara tersirat menyampaikan bahwa orang Minang adatnya merantau. Konsep merantau pun ada dalam budaya masyarakat Banjar. Adanya istilah madam cukuplah menjadi salah satu pembukti hal ini. Dalam Kamus Banjar Indonesia terdapat istilah madam ‘merantau’; bamadaman ‘bepergian’(Hapip, 2001:114).
“Sesuatu” yang dicari di perantauan tak harus berupa harta benda atau materi yang terlihat. Ilmu pun adalah “sesuatu” yang bisa diperoleh dengan cara pergi ke negeri seberang. Inilah yang dilakukan Rasyid, tokoh utama dalam novel Bulan Sabit di Langit Burniau karangan Hafiez ‘Aliyatul Anwar. Rasyid pemuda asli Martapura diberangkatkan oleh Haji Syamsuddin ke Tanah Jawa untuk menutut ilmu.
Di kota Apel, Rasyid tak hanya berkesempatan menuntut ilmu. Persis seperti apa yang ditengarai oleh salah satu tokoh dalam novel ini, yaitu Pak Haji, Rasyid memiliki jiwa entrepreneur. Jadi – meminjam istilah Ahmad Tohari – Rasyid ini adalah cerita yang mengeksplorasi santri salaf metropolis dan musafir yang sadar entrepreneurship.  
Menurut Suharyadi, dkk (2008: 9-10), semangat kewirausahaan dibangun berdasarkan asas pokok sebagai berikut : a.       kemauan kuat untuk berkarya (terutama dalam bidang ekonomi) dan semangat mandiri; b. mampu membuat keputusan yang tepat dan berani mengambil risiko; c.        kreatif dan inovatif; d.            tekun, teliti dan produktif; serta e.        berkarya dengan semangat kebersamaan dan etika bisnis yang sehat. Jika kita cermat membaca BSdLB kita akan menemukan hal-hal tersebut.
Ambillah satu contoh berikut, Ia berniat jika nanti memang uang itu tak ia gunakan, ia akan kembalikan uang itu kepada Pak Haji. Ia tak nyaman jika harus terus bergantung hidup kepada orang lain yang bukan siapa-siapa baginya (hlm 19). 
Di Malang, ia bekerja menjadi tukang ketik di sebuah rental. Ia juga bekerja di Dinoyo Printing, di bagian penyablonan (hlm 19). Rasyid tidak menggunakan uang kiriman Pak Haji jika tidak mendesak, ia bahkan berniat mengembalikan uang Pak Haji. Secara keseluruhan saya melihat novel ini sebagai novel religi berjiwa entrepreneurship.
Pada bagian pertama diceritakan kilas balik riwayat keberadaan Rasyid di kota Malang. Ibu Rasid meninggal setelah melahirkan Rasyid dan saudara kembarnya. Tak berapa lama, ayahnya meninggalkannya pergi bersama saudara kembarnya itu. Rasyid dititipkan kepada Julak Basun. Kehidupan Rasyid bersama Julak Basun adalah episode yang penuh perjuangan. Sejak kecil, Rasyid bangun sebelum fajar. Ia dan Julak Basun membuat kue kemudian menjajakannya dan menitipkannya ke warung-warung. Sepertinya Julak Basun lah yang menanamkan “bakat” entrepreneur dalam diri Rasyid. Saat Rasid 14 tahun, Julak Basun meninggal. Ia diasuh oleh Kakek Abdul Ja’far – ayah dari ibu Rasyid. Pengasuhan Kakek Ja’far merupakan penyeimbang didikan Julak Basun. Kakek Ja’far mendidik Rasyid agar tahu diri sebagai hamba Allah. Kakeknya pula yang membuat Rasyid mondok di Darul Hijrah asuhan Kiai Muhammad Karim Mubarak. Pondok yang membuat ia berkesempatan nyantri ke Hadramaut (hlm 12-13).
Selepas mondok, atas petuah Kakeknya, Rasyid tak lantas berbelok menjadi ulama. Ia tetap mantap di jalur “pengusaha”. Rasyid pun bekerja di toko intan milik saudagar kaya, Haji Syamsuddin yang tak lain adalah teman kakeknya. Sifat-sifat baik Rasyid membuat Haji Syamsuddin terpesona. Ia tidak hanya menguliahkan Rasyid tapi juga ingin menikahkan Rasyid dengan putrinya yang cantik (hlm 6).
Di bagian kedua diceritakan pertemuan Rasyid dengan Zahra setelah sebuah insiden “kebetulan”. Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Pada bagian selanjutnya akan terlihat bahwa insiden ini adalah sebuah tanda bagi kehidupan Rasyid di masa depan. Bagian ketiga menggambarkan secara bertahap keistimewaan Zahra. Perangainya yang ramah, tutur kata lembut, santun, sopan, gaya berpakaiannya bear-benar berbeda dari yang lain, muslimah dan cantik buuuaaanget…apalagi ia putri seorang Kiai (hlm 50).
Bagian keempat memuat dua hal yang kontras. Rasyid menerima lamaran Kiai Syamsuddin untuk Amelia sedangkan di pihak lain, Zahra telah jatuh hati dengan Rasyid, pemuda Banjar yang telah menolongnya. Konflik cinta segitiga pun mulai terlihat di bagian kelima dan keenam, antara Rasyid, Zahra dan Amelia. Di bagian ini ketiganya, dikisahkan sama-sama pulang kampung. Uniknya, Zahra bertemu dengan Amelia di ruang tunggu keberangkatan. Kepulangan Rasyid adalah kepulangan Kakeknya ke alam baka. Pada bagian tujuh dan delapan diceritakan kepergian sang kakek untuk selamanya.
Bagian sembilan masih mengisahkan kepedihan Rasyid ditinggal Kakeknya. Di bagian Zahra, dikisahkan rencana reuni pondok. Di bagian ini lah Rasyid bertemu lagi dengan Zahra, kali ini Rasyid bisa dengan lengkap mengetahui identitas Zahra yang ternyata adalah putri Kiai nya. Zahra yang jatuh cinta pada Rasyid sejak pandangan pertama, tak bisa menerima pinangan orang lain. Ia telah berharap Rasyid lah jodohnya. Bagian 10 dan 11 memuat kesalahpahaman Zahra terhadap pinangan lelaki lain yang berujung penolakannya pada pinangan tersebut. Rasyid sendiri seandainya belum dijodohkan dengan Amelia pun sebenarnya tertarik dengan Zahra (hlm 162).  
Di bagian 12 dan 13, keinginan Rasyid untuk bisa bertemu dengan Amelia menjadi kenyataan. Ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Amelia ketika gadis itu membeli beras di kios Acilnya. Pernikahan dipercepat karena Haji Samsuddin tak berumur panjang. Sebelum meninggal, Haji Samsuddin menikahkan Rasyid dan Amelia.
Sayang, kebahagiaan keduanya tak berlangsung lama. Di bagian 14, 15 dan 16, Rasyid mengalami kecelakaan. Kapal yang ia tumpangi dari Jawa ke Banjarmasin mendapat musibah. Rasyid menghilang tak diketahui rimbanya. Rasyid termasuk dalam daftar orang hilang (hlm 217). Amelia sangat terpukul, apalagi ia dalam kondisi hamil. Akhirnya, Zaki, anak mereka terlahir tanpa mengenal ayah kandungnya.
Sepeninggal Rasyid, Amelia menikah lagi dengan Mujahid. Masalah pun muncul, ternyata Rasyid tidak meninggal dalam kecelakaan itu. Pada bagian 17 dan 18 Rasyid muncul dan menceritakan kejadian yang menimpa dirinya sampai ia bisa kembali lagi. Ternyata Rasyid sempat kehilangan memori. Di bagian 19 dituliskan Amelia menemukan kembali cintanya yang hilang. Hal ini membuat Amelia tak mampu menahan gejolak jiwanya. Ia menemui Rasyid untuk mengungkapkan isi hatinya. Tapi keimanan Rasyid membuat Rasyid mampu menahan dirinya. Ia berusaha tidak menghiraukan ekspresi muka mantan istrinya supaya tidak ikut terbawa perasaan (hlm 252).
Rasyid menegaskan pada Amelia bahwa mereka bukan suami istri lagi. Yang mestinya Amelia lakukan adalah memuliakan suaminya suaminya sekarang, yaitu Mujahid. Mereka harus menerima kenyataan ini sebagai sebuah ketetapan dari Allah.  Pertemuan Amelia dengan Rasyid ternyata diintip oleh Mujahid. Setelah Amelia pergi, Mujahid pun menemui Rasyid. Tak sedikitpun Mujahid menunjukkan sikap marah. Mereka berbicara antara sesama lelaki yang mencintai Amelia. Mujahid menghormati Rasyid sebagai orang yang dicintai amelia. Sikap ikhlas Mujahid membuat Rasyid bangga terhadap orang yang akhirnya ia panggil Dangsanak. Rasyid pun merasa bahwa Mujahid adalah orang yang pantas menjadi suami Amelia. Ia yakin, Mujahid bisa membahagiakan Amelia. Hal ini membuat Rasyid lega. Ia dan Mujahid sepakat untuk sementara antara Rasyid dan Amelia tidak usah bertemu.
Bagian 20 adalah bagian yang di dalamnya terdapat sebuah kisah lama, legenda urang banua Banjar, manakib Syaikh Muhammad Arsyad AlBanjary, Datuk Kelampayan. Kisah tersebut digunakan oleh Mujahid untuk membujuk hati Amelia yang sedang “galau” karena kemunculan Rasyid. Hingga akhirnya hati Amelia pun sadar dan kembali ke bilik hati Mujahid, suaminya yang sekarang. Masalahnya sekarang adalah bagaimana dengan si kecil Zaki? Ya, Zaki anak Amelia dengan Rasyid. Di Bagian 21 Rasyid dipertemukan dengan Zaki oleh neneknya, yaitu ibu dari Amelia. Pada saat itu, sang nenek juga menawari Rasyid menjadi konsultan bisnis rumah makannya. Pada saat yang hampir bersamaan Rasyid juga ditawari menjadi manajer tambak oleh Kiai Karim. Di bagian 22 dan 23 pertemuan Rasyid dan Zahra mendominasi alur. Hingga di bagian 24 Kiai Karim meminta Rasyid menikahi Zahra.
Novel BSdLB tergolong novel religi karena jika kita membacanya dengan seksama akan terasa sekali nuansa religi tersebut. Unsur religius tersebut tidak hanya karena novel tersebut berlatar Martapura yang sudah dikenal sebagai kota santri tapi secara keseluruhan, tokoh-tokoh yang terdapat dalam BSdLB berkarakter kuat sebagai muslim dan muslimah yang taat. Tokoh utamanya, Rasyid adalah pemuda soleh yang begitu sering mendapat ‘kebetulan’yang menguntungkan. Sebagai seorang lelaki, Rasyid merupakan tokoh yang nyaris sempurna dalam novel ini. Tokoh-tokoh lain pun mirip dengan Rasyid. Terutama Mujahid, rival Rasyid dalam persoalan Amelia. Mujahid tidak kalah soleh dibanding Rasyid. Tokoh-tokoh perempuannya pun solehah-solehah dan cantik-cantik dengan hati lembut seperti salju.
Hampir tidak ada konflik yang tajam dalam novel ini, kecuali ketika Rasyid hilang dalam sebuah kecelakaan kapal dan konflik Amelia dengan Mujahid pasca kemunculan Rasyid. Uniknya, konflik tersebut justru lebih mengarah pada konflik batin Amelia. Kisah Syarifah akhirnya menempatkan Mujahid pada posisi pemenang di hati Amelia. Lantas, bagaimanakah dengan Rasyid? tidak salah lagi, yang menjadi pendamping Rasyid adalah Zahra. Novel ini mengingatkan kita pada gaya karya-karya Kang Abik (Habiburrahman Elshirazy). Karya yang tidak memunculkan konflik antara tokoh antagonis dan protagonis seperti konflik cerita pada umumnya. BSdLB persis seperti karya-karya Kang Abik yang menghadirkan dunia malaikat ke dalam cerita. Di satu sisi, hal ini bisa menjadi kelemahan jika pengarangnya tidak menyadarinya. Di sisi lain, hal ini mungkin menjadi kekuatan jika memang pengarangnya memilih dengan sadar alur yang ia pilih untuk ditempuh para tokohnya.
Maka, Rasyid telah membuktikan bahwa sesuai dengan janji-Nya, perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik.


*disampaikan pada Bedah Novel Bulan Sabit di Langit Burniau, MAN 2 Model Banjarmasin, 27 April 2012