Rabu, 30 Januari 2013

# esai # makalah

Bicara Pendidikan di Buku Pelajaran Bahasa Karangan Sainul Hermawan



Ayo, Belajar !
(Bicara Pendidikan di Buku Pelajaran Bahasa Karangan Sainul Hermawan)
(Buku Pelajaran Bahasa Karangan Sainul Hermawan dalam Perspektif Pendidikan)
Oleh Nailiya Nikmah, M.Pd.



A. Sebuah Pengantar
Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Pepatah ini sudah tak asing lagi tetapi benarkah ketidakasingan terhadap pepatah ini menjamin dalamnya pemaknaan terhadap pepatah tersebut? Pelajaran Bahasa (PB) karangan Sainul Hermawan mencoba menuliskan jawabannya. PB seperti sebuah komplek sekolah yang menyediakan beragam jenjang, kelas dan bahkan bidang-bidang spesialis yang ingin ditekuni oleh murid. “Cantik” berjenjang sekolah dasar diwakili oleh Nauka murid kelas 3. “ Pelajaran Bahasa” berjenjang sekolah menengah pertama diwakili oleh Iyus, “Parang” dan “Nanang dan Galuh” mewakili jenjang sekolah menengah atas, “Asty Amelia” mewakili perguruan tinggi. PB juga menghadirkan sekolah yang tidak formal. PB juga menyuguhkan pelajaran di luar dinding-dinding bangunan bernama sekolah.
“Sarak” yang berarti cerai merupakan sebuah cerpen yang memberikan pelajaran pernikahan. Pelajaran tentang posisi perempuan yang berstatus istri dihadapan laki-laki yang menikahinya. “Lelaki yang maha esa” memberikan pelajaran tentang sikap seorang anak terhadap orang tuanya dan sebaliknya. “Asty Amelia” berisi pelajaran tentang teknologi bernama internet. “Sakadup”, “Mariana yang Bimbang”, “Lima Liang Banua”, “Kuburan”, “Pangeran Facebook”, “Radius Satu: Tanatos!” merupakan kelas-kelas khusus yang memberi ruang pendidikan politik. Menariknya, ‘sekolah’ yang dibangun oleh Sainul adalah sekolah yang bervisi politik dan moral.
Lantas, sejak kapan dan sampai kapan para murid sebaiknya menikmati pendidikan?  “Kuburan” pun menjawab bahwa pendidikan itu sejak lahir sampai mati. Belajar itu tidak hanya dari orang yang masih hidup tapi juga dari orang yang sudah mati!

B. Pendidikan Berbasis Karakter dalam PB
Pendidikan adalah “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik (KBBI, 2003:263).  
Sejak anak-anak memasuki usia sekolah, para orang tua mencarikan sekolah yang bagus untuk anaknya. Tidak cukup dengan memasukkan ke sekolah yang bagus, para orang tua pun membelikan anak-anaknya perlengkapan dan fasilitas penunjang belajar bahkan mendaftarkan anak-anaknya les macam-macam. Kalau perlu memanggil pengajar ke rumah. Betapa inginnya orang tua melihat anak-anaknya sukses dalam pendidikan.  Sayangnya, kadang-kadang orang tua terlalu sempit memaknai kata sukses untuk anak-anaknya. Sukses adalah angka 8 dan 9. Sukses adalah menjadi juara kelas. Sukses adalah lulus ujian nasional. Tak jadi soal, bagaimana cara anak mendapatkannya dan bagaimana anak mengurai makna hasil yang diperolehnya.
Tidak sedikit orang tua memahami belajar dalam pengertian yang cenderung sempit. Belajar hanya jika anaknya duduk manis sambil membaca buku teks, menghitung, menulis ‘pelajaran’ di buku. Jadi, jika anaknya berlari-lari di halaman  rumah sambil menghitung anak bebek yang mengikuti induknya, anak sedang bermain bukan belajar. Belajar adalah melakukan sesuatu untuk bisa lulus ujian nasional.
Ujian nasional (UN) setiap tahunnya menghadirkan beragam fenomena. PB dengan jeli memotret sisi  memprihatinkan tentang UN dalam Parang (23-29). Cerpen ini menggambarkan kerabunan orang tua tentang pendidikan yang sejati. Dalam benak orang tua, yang penting anaknya lulus UN bagaimanapun caranya.  
Saya tidak mau tahu bagaimana caranya, anak saya harus lulus! Kalau sampai dia gagal, pian bukan hanya akan berpisah dengan anak saya dan kawan-kawannya, tapi kepala pian itu bisa pisah dari badan.” (hlm 24)
Jika UN tiba guru-guru dan murid-murid yang masih idealis akan mengalami ‘demam kelas’, sedangkan yang tidak jujur malah berlenggang santai seolah tidak terjadi apa-apa. Malam menjelang UN beredar sms yang berisi kunci jawaban. Guru dan murid sama kelakuannya. Murid yang menolak meneruskan sms akan dimusuhi oleh murid lainnya, dicap belagu, sok pintar. Guru yang menolak meneruskan sms akan dipisuhi oleh guru-guru lain, dianggap sok jujur, sok suci, dan sok-sok lainnya. Tidak takut ketahuan kepsek? Tentu saja tidak. Kan, kepsek yang nyuruh? Apakah kepsek tidak takut sama kepala dinas? Tentu saja tidak. Kan kepala dinas yang nyuruh? Lalu apa sebenarnya ini? Jawabannya ada pada kutipan di bawah:
Dia cuma bisa berandai-andai jika tak ada passing grade, vonis lulus pusat, tekanan politik dan parang, dia merasa lebih bahagia jadi kepala sekolah (hlm 27.)
Parang adalah simbol kekuasaan dan kekuatan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Parang adalah sebuah benda yang bisa melukai, tapi sebenarnya parang pun memudahkan kita dalam beberapa pekerjaan. Seperti pisau bermata dua. Mata pisau pertama bisa kita pakai memotong sayuran, mata pisau berikutnya bisa saja melukai muka kita sendiri hingga berdarah. Seperti itulah karakter. Abdullah Munir dalam pengantar bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter (2010) menyebutkan bahwa setiap karakter memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Anak yang memiliki keyakinan yang tinggi akan memiliki dua kemungkinan yang berbeda dan berlawanan. Kemungkinan pertama, akan jadi anak yang pemberani, kemungkinan kedua akan jadi anak yang sembrono karena terlalu yakin sehingga kurang perhitungan.
Murid yang berkarakter positif menghadapi apapun termasuk UN secara positif pula. Masalahnya penerapan pendidikan berbasis karakter memerlukan ruang yang jika kurikulum sekarang masih dipakai mungkin tidak muat. Orang tua yang sudah terbuka matanya terhadap pendidikan karakter diharapkan memulainya dari rumah. Lihatlah cerpen “Cantik” (15-22). Mama Nauka sudah memulainya. Nauka diarahkan, dibentuk untuk jadi cantik yang sejati.
Penjelasan tentang cantik secara ramah, santun, serta memberi ruang berpendapat untuk Nauka adalah salah satu contoh bekal minimal yang harus disiapkan orang tua untuk pendidikan karakter. Orang tua harus meyediakan waktu rutin setiap hari sekitar setengah sampai satu jam untuk berdialog dengan anaknya. Waktu untuk memberikan pemahaman, melatihkan tindakan, dan melakukan muhasabah (Munir, 2010:15).
Bekal utama berikutnya adalah visi. Orang tua harus memiliki visi yang jelas untuk anaknya. Abah Galuh dalam “Nanang dan Galuh” bervisi meningkatkan derajat hidup. Visi yang membuat Galuh menikah dengan lelaki lain yang akhirnya memiliki dua anak tanpa memiliki cinta. Visi yang membuat jiwanya labil sehingga memotivasinya mencari Nanang di facebook setelah tujuh belas tahun berlalu. Untunglah Nanang adalah lelaki yang sejak awal sudah memiliki visi yang jelas, yaitu “Aku ingin memegang tanganmu saat Allah mengizinkan aku menetapkan akad nikah” sehingga ketika Galuh menawarkan pesonanya lagi, Nanang has signed out sambil sebelumnya menulis, “…. Tanda kasih kita di sekolah itu sudah sirna.”

C. Pendidikan Seumur Hidup
Mulyasa (2004:5) menyebutkan bahwa Unesco (1994) mengemukakan dua prinsip pendidikan. Pertama, pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be). Kedua, belajar seumur hidup (life long learning).
Cerpen “Pelajaran Bahasa” sebagai sampel memperlihatkan beberapa prinsip ini.
Sudah biasa, Pak Izul menugaskan setiap muridnya membawa satu kata yang ingin diketahuinya lebih jauh (hlm 2).
Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Pak Izul memberi motivasi pada muridnya untuk belajar mencari tahu apa yang ingin diketahui; belajar mengetahui apa yang ingin dipelajari. Hal ini sesuai dengan pilar pertama, yaitu belajar mengetahui. Pelajaran dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan anak. Belajar terpusat pada murid bukan pada guru.
Dia suka belajar bahasa karena dia senang mengutak-atik kata sejak kecil (hlm 1).
Pilar kedua, belajar melakukan tersirat dari kutipan tersebut. Iyus senang mengutak-atik kata sejak kecil. Iyus sudah belajar melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pelajaran bahasa.
Pilar ketiga adalah belajar hidup dalam kebersamaan. Hal ini secara tersirat ada dalam cerpen “Pelajaran Bahasa”, baik dari proses belajar-mengajar Iyus dan teman-temannya maupun dari pengalaman-pengalaman Iyus dan teman-teman di luar kelas.
Pilar keempat, belajar menjadi diri sendiri. Dalam cerpen “Pelajaran Bahasa” tergambar murid-murid percaya diri memberi jawaban dan mengemukakan pendapat. Tak semua murid berani mengacungkan tangan. Ada yang karena takut, malu, atau memang tak tahu mau berkata apa. Sikap guru pun mempengaruhi sikap murid-muridnya. Guru yang terbuka dan menyenangkan seperti Pak Izul tentu akan selalu memancing murid terus belajar, berani bicara, berani berpendapat. Kelas pun hidup dengan diskusi bukan ribut dengan kata ‘setuju’, ‘iya,Pak’, ‘sama dengan si A’. Sebenarnya pilar ini secara global diwakili oleh cerpen “Cantik.”
Prinsip Kedua, yaitu belajar seumur hidup. Agaknya inilah yang ingin disampaikan Sainul dalam sekolahnya yang bernama PB. Belajar tak mengenal kata tamat. Belajar pun tak terbatas pada hal-hal yang tertulis di buku pelajaran sekolah. Belajar tak mengenal batas waktu dan materi. Hasil pendidikan sejati tak bisa diperoleh dengan cara instan. Sekali lagi, pendidikan tidak terbatas pada kata ‘lulus’ dan ‘nilai’.
Akhirnya, sampai disini dulu pelajaran ini. Semoga peserta diskusi tidak bernasib seperti kutipan ini:Mereka hasil dari perkuliahan yang hanaya obral nilai. Daripada pusing-pusing, ya cetak saja mereka seperti roti. Mereka kan cuma ingin jadi sarjana? Sangat jarang yang memang ingin jadi manusia berilmu. (“Sakadup”, hlm 37).

                                                                                             Flamboyan, 17 Desember 2010


 Disampaikan pada Diskusi Interdisipliner Buku antologi cerpen Sainul Hermawan, Perpus Unlam Banjarmasin, Senin 20 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar