Sabtu, 17 November 2012

# Cerpenku

Fa: Lamut Cinta


Fa: Lamut Cinta
Cerpen Nailiya Nikmah JKF

Bismillahi ini mula kubilang kartas dan dawat jualan dagang kartasnya putih selain lapang pena manulis tangan bagoyang, tintanya titih di kartas lapang bukannya beta pandai mengarang hanya taingat di dalam badan hanya kurait diumpamakan tali dadayan umpama pendek kupanjangakan umpama tagumpal kita bujurakan. Wahai Saudara anak tuntunan baik laki-laki atau parampuan, jantan, betina, janda parawan, tua, muda, balu dan bujang, jikalau ada malam ini tasama ngaran, jangan jadi pikiran.[1]

“Beruntung ya jadi laki-laki,” celutuk Fa tiba-tiba.
“Maksudmu apa, say?” Wida menghentikan ketikannya. Keningnya berkerut. Tak biasanya rekan kerja sekaligus sahabatnya itu begitu iri dengan laki-laki.
“Kalau seorang laki-laki yang sudah beristri jatuh cinta lagi, sudah ada pintu darurat bernama poligami. Sebaliknya, kalau perempuan yang sudah bersuami jatuh cinta lagi, hanya bisa menahan hati” jawab Fa enteng. Seenteng angin sore itu yang masuk melalui jendela yang terbuka lebar. Karyawan lain sudah pulang semua. Tinggal Fa dan Wida di kantor karena harus menyelesaikan laporan penelitian. Fa dan Wida sama-sama penggemar sejuk AC alami. Jika mereka hanya tertinggal berdua di kantor, no AC.
Wida melotot. Ia segera menutup file setelah memastikan datanya tersimpan aman. “Pekerjaan kita kali ini benar-benar membuatmu lelah sepertinya, Fa. Fisik yang lelah kadang membuat pikiran kita terganggu, lho. Ayo, di-save dulu. Besok saja lagi.”
“Ah, siapa bilang? Aku masih fit kok. Nih, lihat” Fa berdiri sambil memutar tubuhnya 360 derajat.
“Berarti, otakmu yang lelah. Ada yang korslet barangkali sampai kamu menggugat hal yang satu itu,” Wida tergelak.
“Enak aja. Kamu yang korslet” Fa menimpuk Wida dengan kertas buram yang menggumpal di mejanya.
“Hati-hati bicara lho, Fa. Salah-salah kamu nanti dituduh aliran Islam liberal, kalau nggak, dibilang kafir.”
“Iya, iya, bos…. Maaf deh, ku delete ucapanku.” Fa mengemasi barangnya. Sebenarnya ia berharap Wida menusiknya agar ia bisa menumpahkan beban hatinya.
* * *
Sore mengantarkan resah ke lubuk hati Fa. Pelabuhan Lama, satu-satunya tempat yang disukainya, menjadi penjeda sebelum pulang, sebelum matahari terbenam sempurna. Angin mengibarkan kerudungnya. Fa memandang riak-riak kecil berwarna coklat muda yang terhampar di hadapannya. Tak dipedulikannya pengunjung lain yang lalu-lalang di sekitarnya. Ia ingin berceloteh pada sungai dan angin. Sesekali ditatapnya layar ponselnya. Fa membaca ulang beberapa pesan di kotak masuk dalam seminggu terakhir yang sengajanya tidak dihapus. Seminggu terakhir ini ia nyaris tak pernah tak menjeda perjalanannya dari kantor ke rumah dengan ritual seperti itu. Ritual membacakan sms untuk sungai dan angin. Sampai ia merasa yakin azan akan berkumandang untuk daerah Banjarmasin dan sekitarnya, barulah ia meninggalkan Pelabuhan Lama.
Di perjalanan pulang, sambil menyetir hanya ada satu nama yang berputar-putar di kepala Fa. Sebuah nama yang akan menghubungkannya dengan nama lain. Re. Ya, nama itu lah yang akhir-akhir ini memenuhi kotak masuk di ponselnya. Sebuah nama yang akan menghubungkannya pula dengan nama Salman dan Rijal menjadi sebuah rajutan syal yang kusut masai. Ia tak tahan lagi. Kali ini ia ingin berbagi. Di tekannya nomor kontak Wida. Fa mengalurkan ceritanya, membagikan kepingan-kepingan kisahnya yang belum diketahui Wida. Sudut matanya mengalirkan bening sesalan. Ia yakin, Wida di ujung ponselnya pun sedang menangis. Ia merasakan pelukan sahabat terbaiknya itu dari jauh.
* * *
Sapuluh parkara kubawahakan, satu per satu kukatakan, nanti maknanya kupacahakan: satu tali, dua lalaran, tiga tungkat, ampat ukuran, lima jarum, anam kulindan, tujuh kompas, delapan padoman, kasambilan teuri politik, yang kasapuluh dengan aturan.
Sapuluh tadi dengan aturan di mana tadi awal parmulaan ini maknanya kupacahakan. Satu tali tadi dua lalaran tiga taqdimtaqlim yang ditantukan. Malam ini kita balamutan carita bahari kubawaakan. Memang badanku sebagai palamutan tiada mamakai buku atau tulisan, tiada di kitab seperti Quran, tiada dijual dari pasaran, tiada batajwid seperti al-Quran…[2]

Fa membaca kitabnya pelan-pelan. Sesekali ia menyeka air mata yang menggantung di pipi dan sudut bibirnya. Saat seperti ini adalah saat terdekat Fa dengan Tuhannya.
Fa malu karena ia telah melanggar aturan. Aturan tertinggi dalam hidupnya yang juga menjadi aturan tertinggi Ibu Bapaknya, Kai Nininya, Datu-Datunya. Tak ada yang lebih melukai selain dikhianati. Tak ada yang lebih memalukan selain mengkhianati. Fa tidak kunjung mengerti kenapa ia sampai bisa jatuh hati dua kali dalam hidupnya. Pun ia tak pernah memahami kenapa matanya yang awas itu bisa dibutakan oleh pesona lain. Bahkan logikanya tak jua menemukan jawaban kenapa perempuan selengkap ia bisa merasa lebih lengkap oleh kehadiran pelengkap lain selain Rijal.
Salman. Lelaki berusia tujuh tahun di atasnya yang selalu menggunakan kata ganti ulun untuk menyebut dirinya meski dengan orang yang lebih muda. Lelaki cerdas tapi sederhana yang beramalan ilmu padi. Lelaki sederhana itulah yang telah mengubah sedikit saja haluan jiwa Fa. Sesederhana perkenalannya. Mereka bahkan tidak berkenalan secara langsung. Fa mengetahui ada seseorang bernama Salman di focus group discussion-nya dari daftar hadir yang dibagikannya ke peserta. Saat membaca daftar hadir itu, samar-samar Fa ingat, ada budayawan atau sastrawan bernama Salman yang berasal dari Hulu Sungai yang suka membuat tulisan tentang sastra dan budaya Banjar. Lalu ia membisiki  Wida agar mencari tahu yang mana di antara peserta tersebut yang bernama Salman. Wida mencari tahu ke peserta lain, lalu memberitahukannya pada Fa. Begitu saja. Ya, begitulah perkenalannya dengan Salman.
Fa ingin lamut sebagai bahan disertasinya untuk meraih gelar Doktor. Teman-temannya sudah mengingatkannya bahwa meneliti lamut seperti mengurai benang kusut. Rijal bahkan mengumpamakannya seperti melukis dalam air saking susahnya meneliti lamut menurutnya. Fa seperti cadas. Ia kukuh mau mengangkat lamut.
“Jangan ribet-ribet deh, Fa. Yang penting kamu cepat lulus dan jadi Doktor” ucap Wida.
“Tapi aku mau lamut, Wid” rengeknya.
“Kenapa harus lamut?”
“Karena aku peduli!” suara Fa meninggi.
“Peduli itu sama anak yatim, orang miskin, orang terlantar, korban bencana…” sanggah Wida.
“Aku melihat kondisi Lamut sekarang lebih buruk dari itu, Wid” Fa mulai berorasi.
“Ah, terserah kau lah, Fa” Wida kehabisan bahan. Ia terlihat sebel karena tak sependapat dengan Fa.
“Tapi, kau mau membantuku, kan?” suara Fa melunak karena melihat wajah Wida yang mulai tak bersahabat.
Wida langsung mengacak-acak kepala Fa sampai kerudungnya mencong-mencong. “Alah…sudah ada maunya, baru deh ramah….”
Ternyata pendapat teman-temannya ada benarnya juga. Minggu-minggu pertama penelitiannya, Fa kewalahan. Data yang diperolehnya simpang siur. Ada yang bilang lamut asli Hulu Sungai Selatan. Ada juga yang bilang, lamut dari Cina di bawa ke Hulu Sungai Utara.[3] Referensi juga kurang lengkap. Yang paling membuat Fa nyaris menyerah adalah kenyataan bahwa lamut adalah tradisi lisan yang hampir punah. Menelitinya tak bisa dikerjakan sambil lalu dan sendirian di dalam kamar sambil tidur-tiduran seperti meneliti sastra tulis. Meneliti lamut berarti menjalin kerja sama. Fa harus turun ke lapangan, menggali informasi dari informan dan palamutan. [4]
Meski dari awal menyatakan siap membantu, Wida kadang absen juga. Rijal juga tidak terlalu bisa diandalkan, ia sibuk dengan proyeknya. Entah bagaimana awalnya, akhirnya yang banyak membantunya adalah Salman. Salman sampai menginap berhari-hari di rumah temannya hanya untuk membantu Fa. Waktu Fa menanyakan alasan kenapa Salman mau repot-repot membantunya, jawaban Salman membuat Fa merasa “sesuatu”.
Ulun peduli dengan lamut….” Salman menjawab dengan santai.  Ia membutiri beberapa alasan tapi Fa tidak mendengarkan lagi. Cukup kalimat awalnya saja yang ia simak. Kalimat yang membuatnya merasa se-misi dengan Salman.
Fa tidak akan lupa saat tinggal lima orang saja di ruang pertunjukan – salah satunya Salman. Saat itu, ia terkantuk-kantuk menyaksikan palamutan menuturkan serunya kisah Kasan Mandi sambil manapak terbang. Wida serius merekam pertunjukan. Salman menyeduhkan secangkir kopi manis untuk Fa. Semula Fa mengira kopi itu untuk palamutan. Ketika tahu kopi itu untuknya, Fa terbengong-bengong.
Rekonstruksi lamut hampir selesai. Salman sudah pulang ke kampungnya tapi komunikasi tetap terjalin lewat sms. Fa sering meminta pendapat-pendapat Salman tentang sastra. Ia nyaris lupa kalau Salman lulusan SMA. Berdiskusi dengan Salman seperti berbicara dengan doktor sastra dari negeri antah berantah yang belum pernah ditemuinya. Salman juga ahli membuat puisi. Fa dikiriminya beberapa. Lama-lama ia jadi terbiasa dengan Salman. Terasa ada yang janggal jika tak menerima sms Salman. Semacam perasaan mengganggu yang rasanya sama dengan perasaan  jika lama tak mengunjungi Ibu. Ah, bukankah itu kangen namanya? Lalu terciptalah bait-bait puisi di laptopnya. Bait-bait tentang Salman.
Hingga suatu sore yang berpelangi. Fa sedang membaca naskah transkrip lamut, ada kosa kata yang membuatnya bingung. Ia teringat Salman tapi tidak enak hati menghubunginya. Rasanya sudah terlalu sering ia mengganggu Salman. Lagi pula, ia sedang ingin menghindar dari Salman. Tengah Fa menimang-nimang ponselnya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh bunyi ponselnya. Ada pesan masuk. Ternyata dari Salman! Fa hampir memekik. Ia seperti anak kecil yang baru dijanjikan es krim.
Ulun lagi ngetik naskah baru nih. Mau dikirim ke penerbit.
Fa segera membalasnya, baru aja mau sms pyan.
Wah, kayaknya kita sehati…hohoo.., Salman membalas.
Fa terhenyak. Entah kenapa, ia merasa ada yang aneh menyusup ke ruang hati. Seperti ada yang mengalir, menelikung di lorong-lorong jiwa. Ramai dan sepi bersilangan. Fa merasa senang sekaligus cemas.
Jujur, kata “sehati” membuatku takut. Fa memejamkan matanya sambil menekan tombol di ponsel. Di layar tertulis pesan terkirim.
Duh, maaf kalau ulun keliru menggunakan  kata “sehati” untuk menggambarkan keadaan yang terjadi. Kenapa takut? Salman membalas.
Fa bingung mau membalas apa. Akhirnya ia hanya mengirim satu kata, Entahlah…
Duh, bisa jadi bahan tulisan, tuh! Kalimat itu yang dikirim Salman berikutnya.
Fa langsung membalas, Sudah tercipta sepuluh puisi. Mendadak puitis.
Sekitar lima menit kemudian Salman membalas Wah…wah… menurut Socrates, semua orang mendadak jadi penyair kalau sedang jatuh cinta. Hayoo…
Balasan Salman membuat Fa panas dingin. Ia bertanya-tanya apakah sebenarnya Salman tahu apa yang ia rasakan. Apakah Salman juga merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan? Fa tak berani berharap. Fa merasa seperti anak baru gede yang sedang terlibat cinta monyet. Ia merasa sangat konyol tapi tangannya mengetik, Itulah yang kutakutkan.
Salman pasti kehabisan kata. Ia hanya membalas dengan Hm…
Akhirnya Fa pun membalas Hm…juga. Setelah itu ia menghapus semua item di kotak pesan ponselnya.
Sejak hari itu Fa seperti orang linglung. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Yang ada di pikirannya hanya Salman dan Salman. Fa tahu apa yang dirasakannya adalah sebuah pelanggaran tapi ia tetap membiarkan perasan-perasaan itu dan menyimpannya rapi-rapi. Fa seperti menyimpan bom waktu yang kapan saja bisa meledak.  
Tak usah menunggu lama. Bom itu ternyata justru meledak di hulu sana. Di subuh yang luka, seseorang yang mengaku tulang rusuk Salman, seseorang yang bernama Re menelpon ke ponselnya. Di saat ia baru saja keluar dari kamar mandi setelah menyucikan jiwa dan raganya dengan air wudhu. Seharian itu dan hari-hari selanjutnya Fa menerima luapan kecaman dari Re. Fa sangat paham apa yang dirasakan Re. Tak ada pembelaan apa-apa dari Fa atas sumpah serapah Re. Fa hanya satu kali mengirim balasan, sebuah kalimat singkat bahwa tak ada apa-apa antara ia dengan Salman.
 Lalu datanglah sms ini, Minggu depan aku labuh ke Banjar. Aku mau ketemu kamu. Tempatnya kau yang tentukan. Sms inilah yang menggiring burung-burung cemas ke langit pantai hati Fa. Untuk apa Re ingin bertemu dengannya? Untuk menambah luka hatinya dan hati Fa? Wida tak berani menyarankan apa-apa. Fa tahu, sahabatnya itu sebenarnya kecewa dengannya.

***
sungai adalah kaca bening
di permukaannya selalu terpantulkan wajah yang bingung,
entah milik siapa.
(mungkin juga wajah kita sendiri) yang mencari ke luhuk-
luhuk tersembunyi [5]

Beberapa menit Re dan Fa mematung. Keduanya mengakrabi pertemuan langit dan sungai yang menjadi kawan setia kapal-kapal putih. “Menikahlah dengannya. Aku siap dimadu. Jika kau mau, aku bersedia membagi Salman denganmu.” Di Pelabuhan Lama, Re menawarkan jaring untuk menangkap angin pada Fa.
Fa melotot mendengar tawaran Re. Ia luruh. Ada yang menggedor-gedor pintu jiwanya yang lelah. “Aku tak bisa menikah dengan Salman,” derai Fa.
“Tapi kenapa?” tusik Re. “Itu jalan yang sesuai aturan.”
Fa mematung. Pandangannya lurus ke tengah sungai. Sore tidak menyuguhkan gerimis tapi Fa merasa ada yang membasahi hatinya. Tidak semua pertautan hati bisa disimpulkan dalam ikatan pernikahan, batin Fa.
“Kau dan Salman sama saja. Tak ada yang mau menerima tawaranku. Aku tahu, ada sesuatu di antara kalian,” desak Re.
“Kau lihat laki-laki yang sedang bermain lempar tangkap bola dengan balita lucu itu?”Fa menunjuk ke seberang jalan. Re mengikuti tunjukan Fa.
“Laki-laki itu namanya Rijal dan balita itu, Adit. Suami dan anakku,” Fa menggetaskan hatinya.
Kali ini gilaran Re yang membisu. Beberapa detik keduanya tak bersuara, larut dalam pikiran masing-masing. Angin sibuk mengibarkan kerudung keduanya.
“Re, aku janji, setelah ini aku tak akan menghubungi Salman lagi,” ucap Fa.
“Kau tidak tapi Salman iya!” Re menyahut cepat.
“Dia tak kan bisa lagi. Percaya padaku,” sekonyong-konyong Fa melempar ponselnya sekuat tenaga ke tengah sungai, menciptakan bunyi cemplung dan riak-riak di permukaannya beberapa saat. Setelah itu sungai kembali tenang dan bisa dijadikan cermin. Fa yakin, hatinya pun seperti sungai itu. Besok atau besoknya lagi, pasti ia akan melupakan Salman.
* * *
Aku tersenyum. Cerpenku dimuat. Kali ini aku tak memakai nama asli. Takut sepenggal kisahku diketahui oleh orang lain. Beginilah kalau pengarang lagi jatuh cinta, bisa jadi ide cerita. Sebelum cerpen itu jadi, aku tak bisa ngapa-ngapain. Gara-gara karindangan dengan seseorang. Setelah kujadikan cerpen, lumayan, bisa membuatku lebih tenang. Mungkin ini bagian dari proses kreatifku?
“Kenapa, La, senyum-senyum sendiri baca koran?” tanya adikku. “Cerpennya lucu, ya? Cerpen siapa?”
“Tidak lucu sih…tapi aku senang aja membacanya. Nama pengarangnya Nayomi.” Aku menutup koran Minggu. Lumayan, bisa beli buku baru nih dari honornya.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan masuk. Hai, Fa. Apa kabar?
Aku kaget setengah mati. Berarti ada yang tahu kalau penulis cerpen itu adalah aku! Segera kubalas sms nya, Siapa, neh?
Aku Salman
Aku buru-buru mematikan ponsel. Apakah itu dia? Bagaimana dia bisa tahu? Apakah aku harus membuang ponselku ke sungai juga seperti tokohku? Aku memandangi ponselku. Ah, enggak ah. Sayang, kan ponselnya? Ganti kartu aja. Beres.
***

Catatan:
Beberapa bagian yang menyangkut lamut, datanya  diambil dari artikel/esai Sainul Hermawan dalam bukunya Maitihi Sastra Kalimantan Selatan  2008-2011:




[1] kutipan ucapan palamutan yang biasa dibawakan oleh Jamhar Akbar di awal pertunjukan, lihat  Hermawan, 2011:265.
[2] kutipan ucapan palamutan yang biasa dibawakan oleh Jamhar Akbar di awal pertunjukan, lihat  Hermawan, 2011:265.
[3] Lihat Hermawan, 2011:252.
[4] Lihat Hermawan, 2011:234
[5] Penggalan puisi Hajriansyah, “Sungai Adalah Kenangan dan Mimpi yang Terang”, dikutip dari buku Sungai Kenangan, 2012:66

2 komentar: