Sabtu, 17 November 2012

# esai # Lemari Buku Nai

mengenang tanah huma, mengenang masa lalu


DZIKRUL MAUT DALAM KUMPULAN PUISI “TANAH HUMA”
Oleh Nailiya Nikmah

1.      Pendahuluan
Para penyair memiliki kebebasan untuk mengekspresikan segala perasaan dan pemikirannya melalui bahasa yang digunakannya dalam sebuah karya. Terlebih karena puisi adalah bentuk karya sastra yang istimewa. Unsur bahasa (kata) yang minim bisa mengandung makna yang dalam dan memerlukan penjelasan yang panjang. Itulah sebabnya kadang agak sukar memahami sebuah puisi.
Tidak berlebihan tentunya jika pembaca (penikmat) puisi pun mempunyai kebebasan yang sama dalam menikmati atau mengapresiasikan sebuah karya sastra (puisi) sesuai dengan pengalaman yang melatarbelakangi pemikiran dan perasaannya. Kumpulan puisi “Tanah Huma” karangan tiga penyair Kalimantan memiliki banyak kemungkinan objek yang dapat diamati tergantung dari sudut mana dan siapa yang memandang. Membaca judul kumpulan puisi ini kita diajak membayangkan atau mengasosiasikannya pada hamparan luas pehumaan, kebanggaan orang-orang tuha, harapan anak-anak untuk tetap bisa meneruskan perjalanan hidup.
Memang secara umum Tanah Huma menghadirkan panorama khas Kalimantan; hutan maupun kekayaan alam lainnya (Kepada Paduka Puisi, Hutan, Huma yang Perih, Berbisik dengan Laut, Gua Batu, Lapar, Kali Martapura, Di Sebuah Tanjung, dan Surat dari Muara Teweh).
Lain Tapi sesungguhnya ada hal lain yang tidak kalah menariknya untuk diamati dalam Tanah Huma. Jika cermat mengamati, kita akan menjumpai nuansa kematian dalam beberapa puisi yang dapat mengingatkan kita pada kematian atau istilahnya adalah dzikrul maut.
2.      Dzikrul Maut
Dzikrul maut, sebuah istilah yang dapat diartikan sebagai “mengingat kematian”. Mungkin tidak semua penyair berminat menggoreskan kisah kematian, seperti halnya tidak semua pengapresiasi tertarik mengupas makna kematian dalam sebuah puisi.
Mengingat kematian adalah salah satu anjuran Rasulullah. “Perbanyaklah mengingat penghancur berbagai kelezatan” HR Tirmidzi. Artinya kurangilah berbagai kelezatan dengan mengingat kematian agar berkonsentrasi pada Allah.  Selain itu mengingat kematian juga berguna untuk melembutkan hati kita. “Shafiyah ra. berkata: Ada seorang wanita mengadu kepada Aisyah ra. tentang kekesatan hatinya lalu Aisyah berkata ‘perbanyaklah mengingat kematia niscaya hatimu menjadi lembut’.
Jalan merealisasikan mengingat kematian adalah dengan mengosongkan hati dari  segala sesuatu kecuali dzikrul maut yang ada di hadapannya, seperti orang yang ingin bepergian mencapai keberuntungan besar atau menyeberangi lautan sehingga ia tidak memikirkan yang lain.
Cara paling mujarab dalam hal ini ialah memperbanyak mengingat kawan-kawan atau orang-orang yang telah mendahului. Mengingat kematian mereka, pembaringan mereka di bawah tanah, dan bagaimana tanah kuburan sekarang menimbunnya.
Abu Darda ra. berkata: Apabila Anda mengingat orang yang sudah mati anggaplah dirimu termasuk salah seorang diantara mereka.
Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari orang lain. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: Tidakkah kalian melihat bahwa kalian setiap hari menyiapkan orang yang pergi dan pulang kepada Allah, kalian meletakkannya di dalam tanah dan berbantalkan tanah degan meninggalkan para kekasih dan terputus segala upaya.
Terus-menerus menghadirkan pikiran-pikiran tersebut, ziarah kubur, dan menengok orang sakit merupakan hal-hal yang bisa memerbaharui dzikrul maut di dalam hati sehingga mendominasi dan menjadi perhatian utamanya. Pada saat itulah orang hampir telah siap dan terhindar dari kampung tipu daya. Jika tidak, maka zhahir hati dan manisnya lisan tidak lagi banyak berguna dalam memperingatkan.
Jika hatinya merasa senang dengan sesuatu di dunia maka ia harus segera ingat bahwa ia pasti berpisah darinya. Pada suatu hari Ibnu Muth’I memandangi rumahnya lalu mengagumi keindahannya kemudian ia menangis dan berkata: Demi Allah kalau bukan karena kematian niscaya aku merasa senang terhadapmu, dan seandainya bukan karena kita aka berada di dalam himpitan kuburan niscaya kami merasa senang kepada dunia. Kemudian ia menangis dengan keras sehingga suaranya terdengar.
3.      Dzikrul Maut dalam Tanah Huma
Seperti yang sudah disebitkan di awal, pembaca atau penikmat puisi bebas mengapresiasikan sebuah karya yang dibacanya. Meskipun kadang tigkat kebebasan memaknai sebuah puisi tidak setinggi kebebasan penyair dalam berkarya. Setidakya dalam berapresiasi dan mengkritisi sebuah puisi, pembaca dipengaruhi oleh latar belakang pengalamannya.
Inilah yang mendasari Tanah Huma dianalisis dari sisi kematian. Meskipun tidak semua puisi Tanah Huma berbicara tentang kematian, tetapi beberapa puisi yang mengangkat tema kematian sangat menarik untuk dicermati sebagai salah satu perwujudan dari dzikrul maut atau mengingat kematian.
Coba kita simak ‘Melintas Jalan Makam’ (halaman 9). Dari judulnya saja kita sudah mendapati nuansa kematian. Meskipun mungkin bukan kematian dalam arti sesungguhnya yang dimaksud penyair.
Dalam ‘Kepada Filsafah’ (halaman 10) kata-kata dhaif dan idhafi merupakan kata kunci yang menghubungkan kita kepada kematian. Bait terakhir memperjelas kefanaan dengan lembut.
Daun luruh
Ruh luruh
Kau lusuh
Pada puisi berikutnya, ‘Sekamar dengan Mayat’ (halaman 14) benar-benar merupakan jalan merealisasikan dzikrul maut. Hari kematian seorang sahabat tentu memberi kesan kesedihan yang mendalam, apalagi bila kematiannya dengan tragis atau tidak wajar. Ada sesuatu yang menyentak jiwa kita, betapa kematian adalah sebuah kepastian yang kita tidak tahu kapan datangnya. Bayangkan saat kita tidur di samping mayatnya, seusai membacakan Yassin sekali. Hujan yang turun saat itu menambah kepedihan. Menatap tubuhnya yang terbujur kaku dan menutupkan tudung putih di atasnya.
Setelah kematian akan ada masa perhitungan, inilah yang coba digambarkan oleh penyair dalam ‘Hisab’ (halaman 17). Sebuah peringatan bahwa setiap perbuatan dosa akan ada perhitungannya.
Menyimak ‘Melankolik’ (halaan 18) kita masih disuguhi hawa pekuburan yang sunyi. Di sana hanya ada bulan dan angin. Muram.
‘Di bawah Merah Lampu’ (halaman 19) secara simbolik mengisyaratkan kematian juga. Lampu merah merupakan tanda berhenti pada lalu lintas. Ini dapat kita asosiasikan  sebagai berhenti dari kehidupan dengan melambangkan duka abadi serta dalam kafe kelabu.
‘Memikul Keranda’(halaman 29) adalah sebuah pekerjaan yang dilakuakn orang untuk mengantar mayat ke pekuburan. Puisi ini bertutur kesedihan mendalam yang dirasakan seseorang karena kematian orang yang dikasihi. adalah sebuah pekerjaan yang dilakuakn orang untuk mengantar mayat ke pekuburan. Puisi ini bertutur kesedihan mendalam yang dirasakan seseorang karena kematian orang yang dikasihi. Perasaan tidak dapat menerima kenyatan membuatnya merasa sepi, segala menuli dan membisu seolah ia sendirian di dunia ini. Dengan diliputi kesedihan, aku lirik tetap menghantarkan kakandanya menuju peristirahatan terakhir. Uniknya perasaan sedih dan kehilangan itu justru menyadarkan aku bahwa suatu saat ia pun akan menyusul kakandanya (meninggal dunia). Ini dapat kita jumpai di bait terakhir.
dan aku juga kakanda, sampai waktu
seperti kau ke laut kembali
Sementara itu ‘Pengembara di Jalan Ujung (halaman 30) berbicara tetang perjalanan seorang manusia, sebuah perjalanan dalam episode panjang bernama kehidupan yang akan berakhir. Frase ujung jalan, ujung hari, dan mengepak jauh menggambarkan sebuah akhir yang akan segera kita temui. Begitu juga dengan fajar ke maghrib. Bait Engkau kan kembali tidakkan kembali makin mempertegas simbol kematian.
Puisi ‘Musnah’ (halaman 39) mengisyaratkan sesuatu yang tidak akan abadi. Bagi manusia ketidakabadian ini ditemukan dalam kenyataan menua dan kematian. Masa remaja pasti akan berlalu dan tidak akan pernah kembali. Tak ada manusia yang dapat menyangkal kenyataan itu.
Begitu juga dengan puisi ‘Tangisan Senja’ (halaman 40). Senja menggambarkan masa pergantian dari siang ke malam. Senja perlambang masa-masa terakhir dalam kehidupan. Boleh dikatakan sebagai waktu ajal menjemput hampir tiba atau sekarat. Tangisan anak-anak dan orang-orang yang dikasihi takkan dapat mengubah kehendak-Nya. Tinggallah harapan agar sang anak dapat meneruskan cita-cita dan berusaha sendiri.
‘Kudukung Kemenangan Tanpa Melati’ (halaman 41) terkesan begitu lembut dan bersahaja. Aku lirik mengemukakan betapa ia takut sekali mati, takut kehilangan. Tapi itu tak menghalanginya untuk terus berusaha dalam hidup. Ingin meraih kemenangan, keberhasilan, meski tak perlu diberi penghargaan. Bait terakhirnyalah yang menjelaskan makna ini. Kita memang dianjurkan mengingat kematian, tapi bukan berarti kita tidak bekerja dalam kehidupan dunia.
Agak sukar memahami ‘Kepada Bapa’ (halaman 44), tapi lambang-lambang yang digunakan masih relevan dengan kematian. Coba kita simak bait tika daun pada bunga sudah kuning tua, kemudian bait berikut:
beringsut-ingsut lara baru kau datang menjemput
sekilas pisau kata diapun melambai maut
Atau
karena beginilah harusnya akhir cerita
biar kutelan tangis kumalku komat-kamit bendungnya
Membaca ‘Malam Penghabisan’ (halaman 49) ada kesan ‘akhir’ yang kita tangkap. Itulah yang ingin disampaikan dalam baris karena kecapaian angsur mengesani jasmani pendukung. Menutup hari tentu akan membawa goresan-goresan hasil perjalanan yang ditempuh. Perlahan menyusuri cerita hidup, semua orang akan sampai pada masa tuanya. Ini yang coba disampaikan penyair dalam ‘Biola Tua’ (halaman 52).
Berbeda dengan dua penyair sebelumnya, Hijaz Yamani tak terlalu banyak bicara kematian. Hanya ada dua puisi yang menawarkan sedikit aroma kematian. ‘Saat dan Hari Baik’ mencoba mewakili. Puisi ini ditulis malam Ramadhan. Sebuah bulan yang membuat kita selalu berusaha mendekatkan diri pada Allah. Mungkin ini juga saat mengingat kematian oleh sebagian orang. Unsur dzikrul maut puisi ini diantarkan oleh bait berikut:
kalau tiba saat akhir menjelang segala penyelesaian
dengan segala harapan besar
akan penutupan segala dosa demi dosa
malam begitu merunduk kesepian
Dalam puisi ‘Orang Lalu’ (halaman 62) baris Ah, keperkasaan apakah yang harus dipertahankan mengisyaratkan bahwa tak ada kehebatan apapun yang dapat dipertahankan karena semua pasti akan musnah.
4.      Penutup
Ternyata melalui puisi pun kita dapat mengingat kematian. Tentu saja tak cukup hanya dengan membaca puisi-puisi ini untuk mengingat kematian. Banyak hal lain yang harus kita lakukan. Tapi setidaknya mungkin cara inilah yang cukup efektif bagi penggemar puisi.
Demikianlah dzikrul maut dalam kumpulan puisi Tanah Huma. Sebuah apresiasi sederhana terhadap kumpulan puisi karya D. Zauhidie, Yustan Aziddin dan Hijaz Yamani. Mungkin tak semua penikmat kumpulan puisi ini sepakat dengan pemahaman penulis bahkan mungkin sangat bertentangan. Tak ada salahnya berbagi kisah di sini, di Tanah Huma.

Sumber: Kumpulan Puisi Tanah Huma, Pustaka Jaya, 1978
Mensucikan Jiwa, Said Hawa, 1998


Makalah tersebut kusalin ulang tanpa menyuntingnya dari hardcopy yang kudapatkan dari seseorang yang aku sangat berterima kasih padanya. Aku sempat kehilangan jejak tulisanku ini. Tulisan yang sangat berarti bagi keberadaanku di ranah sastra, seni dan budaya.
Makalah ini pernah kusampaikan pada acara sastra bertajuk Diskusi Puisi di Taman Budaya, 28 maret 2002. Waktu itu, aku masih menjadi mahasiswa S1 PBSID FKIP Unlam. Masa-masa aku gila puisi. Menulis maupun membacanya. Aku mendengar kabar mau ada acara sastra di taman budaya.  Aku segera menemui dosenku, Bapak Drs. Jarkasi (alm). Kukatakan aku sangat ingin ikut acara tersebut. Bisakah aku didaftarkan. Beliau mengiyakan. Kira-kira seminggu sebelum acara, beliau memanggilku. “Coba kamu buat makalah tentang kumpulan puisi ini. Ini contoh makalah punyaku. Kamu buat yang seperti ini tapi cari topik lain!” Aku terkaget-kaget. Mau jadi peserta malah disuruh jadi pemakalah! Tapi dasar aku gila puisi, aku terima saja perintah tersebut.
Ternyata selain Bapak Jarkasi, pembicaranya adalah Bapak Ajamudin Tiffany (alm). Ehem, ehem, dua-duanya sudah almarhum nah. Tinggal aku yang belum…J Sebelumnya aku tak pernah mengikuti acara yang sekeren itu. Gugup juga aku pas melihat para peserta. Tidak hanya kalangan mahasiswa (teman-temanku), juga ada dari kalangan seniman, sastrawan, dan budayawan.Tau gak, saking tergila-gilanya aku pada para penyair tersebut, selesai acara aku nguber-nguber mereka, minta tanda tangan! Dulu gak secanggih sekarang. Aku gak punya kamera, hp kamera apalagi. Sayang aku gak punya dokumentasi fotonya selembar pun.
Nah, peserta mata kuliah Bapak Jarkasi wajib ikut acara ini dan wajib membuat tulisan semacam esai tentang acara. Jadi, meski aku pembicara, aku juga wajib mengerjakan tugas tersebut. Sampai sekarang aku masih menyimpan lembar tugas yang sudah dinilai beliau itu. Nilaiku termasuk paling sempurna (narsis.com). Aku suka memamerkannya pada anak-anakku.
Aku ingat banget habis bubar acara, aku sempat berkenalan dan berbincang dengan seseorang dari koran, namanya Bang Sandi Firly. Entah dia masih ingat momen itu atau sudah melupakannya.  Hari itu aku merasa orang paling beruntung sedunia. Bisa bertemu para penyair, berkenalan dengan Bang Sandi, dan ternyata dapat honor pula. Honornya lumayan besar untuk ukuran mahasiswa sepertiku. Sorenya, aku mentraktir adikku makan-makan dan berniat membeli sesuatu yang berharga dari uang tersebut. Akhirnya aku putuskan membeli Quran terjemah karena saat itu aku belum punya. Di halaman pertama Quran tersebut kutulisi, kenang-kenangan honor Tanah Huma.
Sampai hari ini aku tak pernah melupakan momen itu. Aku sangat berterima kasih pada Bapak Jarkasi- orang yang menyuburkan cintaku pada sastra. Beliau pembimbing skripsi terkeren yang pernah kukenal. Beliau juga yang membuatku sempat mengajar 1 semester di almamaterku pasca kelulusanku. Sayang, aku belum sempat mengucapkan terima kasih padanya….
Aku sempat merasa menyesal karena setelah itu, komputerku rusak dan aku tak punya arsip makalahku. Makalah Pak Jarkasi malah aku masih punya. 2012, 7 tahun setelah aku diterima di Poliban, aku menemukan makalahku. Unik sekali, yang masih menyimpan makalahku adalah dosen senior di kampusku mengajar. 2005 aku diterima sebagai PNS di Poliban tapi aku tak pernah berusaha mencari jejak makalahku. 2012, setelah berdiskusi dengan dosen senor tersebut – namanya Pak Tarman Effendi Tarsyad – aku kegirangan. Ternyata beliau termasuk peserta acara tersebut dan masih menyimpan makalahku! Beliau mengopikannya untukku. Thanks banget, Pak…
Hari ini, aku masih dan selalu mengenang acara Tanah Huma, mengenang para almarhum yang terlibat di acara itu. Mengenang kematian… ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar