Rabu, 30 Januari 2013
Perpisahan di Cakrawala
Oleh Nailiya Nikmah
JKF
Sahabat
saya yang berprofesi sebagai guru TK pernah bercerita. Sehari setelah hari
perisahan dia dengan murid-muridnya – ia pindah mengajar karena mengikuti suami
– ia ditelepon orang tua murid. Orang tua murid tersebut meminta sahabat saya
untuk membujuk anaknya lewat telepon. Ternyata sang murid mogok sekolah
gara-gara sahabat saya pindah. Sang murid sudah terlanjur cinta pada sahabat
saya dan tak mau diajar oleh guru lain.
Bukan
hanya karena usia sang murid yang masih terlalu belia untuk bisa memahami arti
sebuah perpisahan melainkan adanya ikatan emosional antara sahabat saya dengan
dirinya. Ikatan emosional yang sudah terjalin kuat takkan mudah diputuskan
begitu saja. Ikatan emosional inilah yang kadang membuat kita berat menerima
perubahan. Sepertinya, inilah yang sedang melanda dunia sastra di Kalsel. Pasca
kepergian Sandi Firly sang perintis Cakrawala, kelesuan melanda bumi Cakrawala.
Iklim sastra Kalsel seperti mendadak dingin bahkan membeku. Setidaknya itulah
yang terlihat di Cakrawala beberapa edisi terakhir.
Tak
bisa kita pungkiri rubrik Cakrawala yang meski hanya satu kali sepekan muncul
di Radar ini adalah satu-satunya media yang tekun membina, mendukung dan
memfasilitasi kebutuhan bersastra masyarakat Kalsel. Bisa dikatakan Cakrawala
adalah ikon sastra di Kalsel setidaknya untuk delapan tahun terakhir. Cakrawala
tidak sekedar sarana “memajang” karya sastra tapi juga sarana informasi dan
komunikasi bagi masyarakat sastra Kalsel. Cakrawala pula yang memberi ruang
seluasnya untuk pendidikan politik sastra melalui pemuatan esai, kritik dan
artikel para penulis Kalsel. Bagi saya pribadi, Cakrawala lah yang
menghubungkan saya kembali dengan guru-guru bahasa sastra saya seperti Pak
Hasbi Salim dan Ibu Diana Murni.
Pemangkasan
alias penyempitan lahan Cakrawala seperti awal dari sebuah mimpi buruk bagi
perkembangan sastra Kalsel. Terlepas dari apapun alasannya, saya menyebutnya
ini semacam membuang perangai. Siapa
yang membuang perangai? Ya, tidak
salah lagi, Sandi firly yang membuang
perangai. Bukankah penyempitan lahan Cakrawala disusul oleh kepergian Sandi
dari bumi Cakrawala. Seolah-olah Sandi telah berwasiat “Wahai pewaris tahtaku
selanjutnya (penulis tidak mengkhususkannya untuk Randu), bersiap-siaplah untuk
pekerjaan yang tidak mudah…lakukanlah sesuatu untuk kelangsungan hidup di
Cakrawala”
Maka
jangan heran, dalam kolomnya Randu pernah menuliskan betapa ia merasa ada beban
yang tidak ringan ketika menerima tampuk kepemimpinan selanjutnya. Ini adalah
kali pertama Cakrawala mengalami perubahan “presiden”. Wajar jika akan ada
wacana pembandingan, Cakrawala di tangan Sandi Vs Cakrawala di tangan Randu.
Hal yang biasa pula jika ada yang dengan berat hati berusaha menerima; atau
yang ekstrim menolak mentah-mentah.
Perihal
Cakrawala Sandi Vs Cakrawala Randu ini, izinkanlah saya menganalisis menurut
sudut pandang saya yang sangat sederhana. Cakrawala dalam wujud terakhirnya
versi Sandi adalah Cakrawala yang sudah delapan tahun dirintis, dibangun,
diupayakan oleh Sandi dengan kerja yang tidak mudah. Saya yakin, Sandi
melakukan pendekatan, teknik, dan macam-macam strategi yang tidak semudah
membalik tangan untuk menghadirkan Cakrawala tiap pekannya. Kerja keras Sandi
lah yang mampu membuat sebuah rubrik yang sepertinya hanya numpang mejeng di
harian Radar menjadi sebuah rubrik yang paling dinanti-nantikan oleh masyarakat
sastra Kalsel. Mungkin kalau diteliti (entah sudah ada atau belum yang meneliti
hal ini) penjualan koran Radar edisi Minggu sekian persen lebih banyak
dibanding hari lain.
Sepeninggal
Sandi, sepintas kita melihat bahwa pewaris tahta selanjutnya adalah orang yang
akan mempertahankan kejayaan Cakrawala (sastra koran di Kalsel). Benarkah Randu
bertugas mempertahankan? Saya justru melihat lain. Lahan Cakrawala sudah
dipangkas sebelum kepemimpian Randu. Sempitnya lahan tentu akan mempengaruhi
ruang kreativitas kita. Otomatis cerpen atau tulisan yang panjang-panjang
seperti zamannya Sandi tidak bisa lagi kita temui. Jadi, Randu sebenarnya tidak
sedang mempertahankan tapi membangun ulang. Pentingkah perbedaan istilah ini?
Sangat penting! Kata “mempertahankan” secara psikologis menuntut tanggung jawab
dan beban yang lebih berat sedangkan “membangun ulang” terkesan lebih fleksibel
dan kreatif.
Masalahnya
Randu memang harus kerja keras. Pertama,
meski Potret diganti Sketsa, Cakrawala sudah begitu melekat dengan sosok Sandi.
Cakrawala is Sandi. Hal ini jangan sampai membuat Randu berusaha
“meniru” Sandi sehingga Randu tidak
berani menampilkan dirinya sendiri. Randu tentu tidak akan sama dengan
Sandi. Tiap orang tentu memiliki style
yang berbeda. Sah-sah saja Randu belajar dari kesuksesan Sandi mengelola
Cakrawala tapi dia tetap harus mengembangkan potensi yang ada pada dirinya
sendiri. Kedua, Cakrawala pada hakikatnya
bukan milik harian Radar atau kepunyaan Sandi melainkan kehidupan masyarakat
sastra di Kalsel. Mau tidak mau, untuk kemajuan Cakrawala, Randu- atau siapapun
yang mengelolanya, harus mau dan mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan
masyarakat sastra Kalsel. Bahkan lebih dari itu, harus bisa menjalin ikatan
sosial-emosional. Pengelola Cakrawala tidak hanya bertanggung jawab pada harian
Radar tapi juga menjadi unsur penting bagi perkembangan sastra Kalsel.
Sekian dulu dari saya, kalau salah mohon ampun
dan maaf…
*esai ini pernah di muat di Harian Radar Banjarmasin
sastra
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar