Rabu, 30 Januari 2013

Perpisahan di Cakrawala

04.21 0 Comments


Perpisahan di Cakrawala
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Sahabat saya yang berprofesi sebagai guru TK pernah bercerita. Sehari setelah hari perisahan dia dengan murid-muridnya – ia pindah mengajar karena mengikuti suami – ia ditelepon orang tua murid. Orang tua murid tersebut meminta sahabat saya untuk membujuk anaknya lewat telepon. Ternyata sang murid mogok sekolah gara-gara sahabat saya pindah. Sang murid sudah terlanjur cinta pada sahabat saya dan tak mau diajar oleh guru lain.
Bukan hanya karena usia sang murid yang masih terlalu belia untuk bisa memahami arti sebuah perpisahan melainkan adanya ikatan emosional antara sahabat saya dengan dirinya. Ikatan emosional yang sudah terjalin kuat takkan mudah diputuskan begitu saja. Ikatan emosional inilah yang kadang membuat kita berat menerima perubahan. Sepertinya, inilah yang sedang melanda dunia sastra di Kalsel. Pasca kepergian Sandi Firly sang perintis Cakrawala, kelesuan melanda bumi Cakrawala. Iklim sastra Kalsel seperti mendadak dingin bahkan membeku. Setidaknya itulah yang terlihat di Cakrawala beberapa edisi terakhir.
Tak bisa kita pungkiri rubrik Cakrawala yang meski hanya satu kali sepekan muncul di Radar ini adalah satu-satunya media yang tekun membina, mendukung dan memfasilitasi kebutuhan bersastra masyarakat Kalsel. Bisa dikatakan Cakrawala adalah ikon sastra di Kalsel setidaknya untuk delapan tahun terakhir. Cakrawala tidak sekedar sarana “memajang” karya sastra tapi juga sarana informasi dan komunikasi bagi masyarakat sastra Kalsel. Cakrawala pula yang memberi ruang seluasnya untuk pendidikan politik sastra melalui pemuatan esai, kritik dan artikel para penulis Kalsel. Bagi saya pribadi, Cakrawala lah yang menghubungkan saya kembali dengan guru-guru bahasa sastra saya seperti Pak Hasbi Salim dan Ibu Diana Murni.
Pemangkasan alias penyempitan lahan Cakrawala seperti awal dari sebuah mimpi buruk bagi perkembangan sastra Kalsel. Terlepas dari apapun alasannya, saya menyebutnya ini semacam membuang perangai. Siapa yang membuang perangai? Ya, tidak salah lagi, Sandi firly yang membuang perangai. Bukankah penyempitan lahan Cakrawala disusul oleh kepergian Sandi dari bumi Cakrawala. Seolah-olah Sandi telah berwasiat “Wahai pewaris tahtaku selanjutnya (penulis tidak mengkhususkannya untuk Randu), bersiap-siaplah untuk pekerjaan yang tidak mudah…lakukanlah sesuatu untuk kelangsungan hidup di Cakrawala”
Maka jangan heran, dalam kolomnya Randu pernah menuliskan betapa ia merasa ada beban yang tidak ringan ketika menerima tampuk kepemimpinan selanjutnya. Ini adalah kali pertama Cakrawala mengalami perubahan “presiden”. Wajar jika akan ada wacana pembandingan, Cakrawala di tangan Sandi Vs Cakrawala di tangan Randu. Hal yang biasa pula jika ada yang dengan berat hati berusaha menerima; atau yang ekstrim menolak mentah-mentah.
Perihal Cakrawala Sandi Vs Cakrawala Randu ini, izinkanlah saya menganalisis menurut sudut pandang saya yang sangat sederhana. Cakrawala dalam wujud terakhirnya versi Sandi adalah Cakrawala yang sudah delapan tahun dirintis, dibangun, diupayakan oleh Sandi dengan kerja yang tidak mudah. Saya yakin, Sandi melakukan pendekatan, teknik, dan macam-macam strategi yang tidak semudah membalik tangan untuk menghadirkan Cakrawala tiap pekannya. Kerja keras Sandi lah yang mampu membuat sebuah rubrik yang sepertinya hanya numpang mejeng di harian Radar menjadi sebuah rubrik yang paling dinanti-nantikan oleh masyarakat sastra Kalsel. Mungkin kalau diteliti (entah sudah ada atau belum yang meneliti hal ini) penjualan koran Radar edisi Minggu sekian persen lebih banyak dibanding hari lain.
Sepeninggal Sandi, sepintas kita melihat bahwa pewaris tahta selanjutnya adalah orang yang akan mempertahankan kejayaan Cakrawala (sastra koran di Kalsel). Benarkah Randu bertugas mempertahankan? Saya justru melihat lain. Lahan Cakrawala sudah dipangkas sebelum kepemimpian Randu. Sempitnya lahan tentu akan mempengaruhi ruang kreativitas kita. Otomatis cerpen atau tulisan yang panjang-panjang seperti zamannya Sandi tidak bisa lagi kita temui. Jadi, Randu sebenarnya tidak sedang mempertahankan tapi membangun ulang. Pentingkah perbedaan istilah ini? Sangat penting! Kata “mempertahankan” secara psikologis menuntut tanggung jawab dan beban yang lebih berat sedangkan “membangun ulang” terkesan lebih fleksibel dan kreatif.
Masalahnya Randu memang harus kerja keras. Pertama, meski Potret diganti Sketsa, Cakrawala sudah begitu melekat dengan sosok Sandi. Cakrawala is Sandi.  Hal ini jangan sampai membuat Randu berusaha “meniru” Sandi sehingga Randu tidak  berani menampilkan dirinya sendiri. Randu tentu tidak akan sama dengan Sandi. Tiap orang tentu memiliki style yang berbeda. Sah-sah saja Randu belajar dari kesuksesan Sandi mengelola Cakrawala tapi dia tetap harus mengembangkan potensi yang ada pada dirinya sendiri. Kedua, Cakrawala pada hakikatnya bukan milik harian Radar atau kepunyaan Sandi melainkan kehidupan masyarakat sastra di Kalsel. Mau tidak mau, untuk kemajuan Cakrawala, Randu- atau siapapun yang mengelolanya, harus mau dan mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat sastra Kalsel. Bahkan lebih dari itu, harus bisa menjalin ikatan sosial-emosional. Pengelola Cakrawala tidak hanya bertanggung jawab pada harian Radar tapi juga menjadi unsur penting bagi perkembangan sastra Kalsel.
Sekian dulu dari saya, kalau salah mohon ampun dan maaf… 



*esai ini pernah di muat di Harian Radar Banjarmasin

Sembilan Jam di Kotamu

04.17 0 Comments


Sembilan Jam di Kotamu


sepanjang jalan hujan cemburu
tangannya bertubi-tubi menamparku
yang tengah menyembunyikan sepayung rindu

setapak menuju Loksadomu
peta nya asyik bercumbu
dalam tangis diyang bermata sayu

sembilan jam berlalu
detiknya bagiku adalah kelu
kecuali setitik senyummu
di depan anggrek berwarna ungu

Lalu, tiba-tiba kulihat “selamat jalan” pada sebuah tugu


Kandangan, 1-3, Januari 2013


























Inikah Kasudahannya?

04.14 0 Comments


Inikah Kasudahannya?
(Tentang Cerpen “Kada Bakasudahan” Vs “Karindangan”)
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Sudah sepekan ini perbincangan tentang kecurigaan terhadap cerpen “Kada Bakasudahan” yang ditulis oleh Nur Hidayah mewarnai pemberitaan di kolom Seni Budaya Media Kalimantan. Hal ini diawali oleh Tajuddin Noor Ganie (TNG) (Media Kalimantan, 6 Desember 2010) yang memaparkan hasil temuannya, yaitu 7 paragraf di “Kada Bakasudahan” yang mirip dengan paragraf di cerpen “Karindangan” karya Seroja Murni.
Temuan tersebut cukup mengejutkan saya tetapi saya belum bisa berkomentar apa-apa karena menurut saya semuanya masih kabur. 7 paragraf, istilah hypogram dan beberapa kalimat lain yang ditulis TNG membuat saya ragu-ragu mengambil simpulan apapun terhadap karya Nur Hidayah.
Saya mencoba mengingat kembali suasana sidang dewan juri saat mencari pemenang lomba cerpen tersebut. Saat proses penjurian berlangsung kami tak tahu cerpen A ditulis oleh siapa, cerpen B ditulis oleh siapa dan seterusnya karena nama pengarang telah dihilangkan oleh panitia sebelum cerpen-cerpen tersebut diserahkan ke  tangan kami. Betapa menyenangkan melakukan penilaian tanpa mengetahui siapa nama-nama dibalik penulisan cerpen tersebut. Perdebatan seputar ide mana yang paling menarik, diksi yang tepat, alur yang bagus dan sebagainya mewarnai proses penjurian. Dalam hal ini istilah unsur yang kami pakai adalah bahasa, bentuk dan isi. Ada cerpen yang idenya biasa saja tapi dari segi diksi (bahasa)  sangat kuat, ada yang sebaliknya dan ada juga yang bagus semua unsurnya (selengkapnya baca buku Aruh Manyanggar Banua, 2010:55-61).
Menurut saya, Cerpen “Kada Bakasudahan” cukup menarik dilihat dari ide, alur dan terutama diksinya. Kesan “Banjar”nya pun sangat menonjol. Setelah cerpen “Karindangan” karangan Seroja Murni  sampai ke tangan saya, mulailah saya membaca, membandingkan dan menganalisis kedua cerpen tersebut. Pertama, unsur tema. Tema besar kedua cerpen ini mirip, yaitu tema percintaan. Yang membedakan adalah “Karindangan” mengangkat tema percintaan orang dewasa sedangkan “Kada Bakasudahan” mengangkat tema percintaan ‘orang muda’. Yang kedua, segi alur. Cerpen “Karindangan” bercerita tentang seorang perempuan lajang yang mencintai dan menginginkan seorang lelaki untuk menjadi suaminya. Sayangnya lelaki tersebut sudah beristri dan beranak. Meski sang perempuan sudah tahu lelaki idamannya sudah ada yang memiliki, ia tetap menaruh harapan. Wacana poligami pun muncul. Ia bahkan mendatangi ‘calon madunya’ untuk meminta restu. Proses ini lah yang menjadi pusat cerita cerpen ini. Sementara itu pada cerpen “Kada Bakasudahan”, diceritakan seorang perempuan remaja yang jatuh cinta pada seorang lelaki lajang. Ia mendatangi rumah lelaki tersebut dengan maksud menyampaikan isi hatinya pada si lelaki. Proses inilah yang jadi pusat cerita. Ia terkagum-kagum pada segala keindahan yang ada di rumah lelaki tersebut. Di akhir cerita ada sebuah kejutan ternyata lelaki tersebut sudah mempunyai pacar. Hancurlah hati sang perempuan.
Ketiga , kedua cerpen ini memiliki kemiripan pada hal tak sampainya sebuah hasrat untuk memiliki seseorang yang dicintai. Kemiripan atau bahkan kesamaan ide cerita bukanlah sebuah kesalahan. Tak sedikit penulis membuat sebuah karya yang idenya mirip dengan karya orang lain padahal ia tak pernah membaca karya orang tersebut. Hal inilah yang membuat saya sampai pada detik-detik terakhir sebelum membaca “Karindangan” punya Seroja Murni – selalu bersikap positif dan berprasangka baik kepada Nur Hidayah.
Setelah itu saya meneliti paragraf-paragraf yang dianggap mirip oleh TNG. Sayapun memberanikan diri  membuat simpulan (atas nama pribadi) bahwa Nur Hidayah  telah melakukan pengutipan terhadap paragraf-paragraf tersebut. Di dunia kepenulisan, pengutipan boleh dan bisa saja dilakukan, khususnya pada karangan non fiksi atau karangan ilmiah. Tentu saja, ada tata cara dan teknik pengutipan yang harus dipatuhi. Pada karangan fiksi pun sebenarnya pengutipan boleh dilakukan untuk mendukung cerita dan tentu saja  ini pun ada aturan dan etikanya. Pengutipan yang tidak dilakukan dengan etika pengutipan yang benar bukanlah pengutipan yang diperbolehkan dalam dunia tulis-menulis. Pengutipan yang dilakukan Nur Hidayah tidak hanya mendukung cerpen “Kada Bakasudahan” tetapi juga menjadi kekuatan cerpen ini. Sebagai contoh, paragraf awal yang begitu memesona tak lain adalah paragraf awal cerpen “Karindangan”.
 Ketidakjujuran pengarang “Kada Bakasudahan” membuat beberapa pihak jadi kesal, marah dan kecewa. Secara hiperbolik HE Benyamin pun melampiaskannya kepada dewan juri sehingga nila setitik telah merusak susu sebelanga. Berkenaan dengan tulisan HEB di Media Kalimantan, 12 Desember 2010, saya memberi tanggapan sebagai berikut: Pertama, juri sudah berusaha melakukan penilaian seobjektif mungkin. Kedua, juri sudah berupaya melakukan penilaiai sesuai dengan kapasitas masing-masing sehingga tidak benar jika dikatakan juri tidak serius mengemban amanah. Menangnya sang plagiat bukanlah sesuatu yang disengaja oleh juri. Ketiga, pendapat HEB yang menyatakan “…seandainya, cerpen peserta lomba Aruh Sastra tersebut plagiat dari cerpen yang tidak pernah dipublikasikan, maka hal seperti ini dapat dimaklumi.” menurut saya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Keempat, yang kita cari sekarang adalah solusi bukan bacakut papadaan. Tulisan HEB menurut saya kurang memberikan solusi tapi malah menyiratkan kesan ketidaksenangannya terhadap person (mohon maaf kalau saya keliru menafsirkan.) Kelima, seharusnya HEB (dan siapapun) melakukan penyorotan yang seimbang. Tidak hanya mengarahkan jari telunjuk kepada juri tapi juga menyadarkan si plagiator dan menyuarakan serta mensosialisasikan betapa berdosanya perbuatan memplagiat karya orang lain. 
Berdasarkan uraian di atas, dengan segala kerendahan hati, kami (:saya, karena belum ada sidang formal dewan juri) memohon maaf apabila terpilihnya cerpen “Kada Bakasudahan” menjadi salah satu nominasi dan menjadi juara harapan II Lomba Menulis Cerpen Bahasa Banjar dalam rangkaian kegiatan Aruh Sastra Kal-sel VII dianggap merugikan banyak pihak. Izinkan kami mengulang kalimat terakhir kami di Manyanggar Banua: 2010:61 “Tak ada gading yang tak retak, tak ada gading yang tak retak!” Kami juga mengucapkan terima kasih kepada TNG yang telah menemukan data/bukti seperti yang sudah saya sebut di awal. Secara pribadi saya mencoba menyapa Nur Hidayah untuk berbesar jiwa ‘menerima’ kenyataan ini.
Semoga tulisan ini dapat dianggap sebagai langkah awal upaya positif dan solutif dari kami.
                                            Flamboyan, 12 Desember 2010.


Cinta di Musim Tengkujuh

04.07 0 Comments


Cinta di Musim Tengkujuh
Untuk Ran

untuk apa fatwamu
jika yang berkenan hanya bisu

di musim tengkujuh ku kayuh cinta
padamu yang tak mungkin kulabuh
muram-muram mengerumuni

Puisi mainanmu,
mencengkeram kalimat-kalimatku berbilang purnama
mengirimkan musim airmata ke kamarku
mengelabui langit-langitnya tidak bersela
mencabik-cabik sukma hingga sekarat

cercahan majasmu belum habis kutafsiri
angin kencang buru-buru menghampiri
di musim tengkujuh kali ini, Ran
ada cinta yang harus tenggelam


Banjarmasin, Januari 2013

Sebongkah Rindu dalam Lemari

04.02 0 Comments


Sebongkah Rindu dalam Lemari

selembar kenangan kutempel di kamar mandi
cicak membacanya malu-malu
kecoa mengejar-ngejar waktuku
sebentar lagi, sekejap saja – kah
cermin berembun mengaburkan wajah
di kabusnya kutulis namamu dengan telunjuk
dan mengakhirinya dengan tanda tanya

rinai di ujung shower membagi-bagi harapan yang dingin
menusukkan sepi hingga ke tulang
mendustakan suam-suam kuku senyum matahari
pada dinding batu yang diam
ku tabur serbuk-serbuk tangis
ku puangi dada yang penuh dendam

“mengapa engkau, mengapa aku”

dalam lemari ku tapakan sebongkah rindu
terselip di antara gaun merah jambu, daster-daster,
pakaian dalam dan blazer
gigil menetesi ujung handuk, membirui bibir merah
mencicil jejak retak setiap pagi
kelak rayap melagukan nyanyian waktu
dengan tempo luka andante
bongkahan rindu menyublim
menguar abadi pada gaun merah jambu, daster-daster,
pakaian dalam dan blazer





Banjarmasin, Oktober 2012 – Januari 2013

Rabu, 16 Januari 2013

Juriyat Cinta

02.05 0 Comments

Juriyat Cinta
(balasan Sajak Sanggam Cinta)
Oleh Nailiya Nikmah JKF

untuk Kanda Rezqie Muhammad AlFajar Atmanegara

membaca pahatan Sanggam Cinta mu di alam maya
adalah mengoyak mimpi semu mata pena dinda
menimang ukiran rindumu yang bertahta rumpun ilalang
adalah mendulang luka-luka purbaku yang hilang
melukis sanja kuning di batang banyu sambil menghitung caracau enggang
adalah mandarasi juriyat dukaku sepanjang Hulu Sungai

maafkan,
sesungguhnya
lalaya mimpi telah lama kutinggalkan
bersama persembahan tarian terakhir di Meratusmu
di purnama ke sembilan

kukubur perahu yang tak pernah kukayuh
ke dalam pagi yang renta
kulabuh tangis yang tak pernah tiris
ke dalam butah kenangan
kusalin kecipak telapak diyang
ke bayang bulan yang jatuh di bola matamu

Kanda,
jangan terlalu lama menafsiri airmataku
menanti keringnya adalah keakhiran sungaimu
kan kuabadikan juriyat cinta kita
pada kitab lamut dan mamandaku yang tak pernah nyata

samar ku dengar senandung panting ditingkahi nyanyian orang dalam
dari bukit yang jauh, teramat jauh

dinding-dinding beton menyentuh langit
- pencerabut rindu rumpun ilalangku-
di situlah kini aku menganyam purun cinta
menunggu kereta ke negeri niscaya

(masih tercium wangi kesturi
yang kau semat di ujung lekuk kerudungku
- kuhirup sepanjang pejaman mata sejarah cinta kita)

Flamboyan 3, Banjarmasin, 9 Januari 2012

Sabtu, 05 Januari 2013

Teriakan Bisu Tiga Lelaki

03.54 2 Comments


TERIAKAN BISU TIGA LELAKI
Esai Nailiya Nikmah JKF*

Menuangkan isi hati ke dalam bentuk puisi terkadang menjadi pilihan terbaik bagi siapa saja. Tidak terkecuali bagi tiga orang lelaki (Imam Budiman, M. Ansyar dan Zian Army Wahyufi) yang mengumpulkan puisi-puisinya dalam buku Teriakan Bisu (TB) terbitan Media Tahura, 2012. Ada dua kemungkinan yang ingin disampaikan ketiganya melalui teriakan bisunya. Pertama, mereka sebenarnya sedang ingin berteriak tetapi mereka tidak punya suara (:kekuatan) untuk berteriak sehingga yang terjadi adalah mereka menyunyikan teriakan tersebut menjadi baris-baris puisi yang sepi. Kemungkinan kedua, mereka berceloteh, berteriak lewat puisi-puisi tersebut namun sejatinya mereka “bisu”. Hal ini diakui oleh Zian secara tersurat dalam epilog buku TB, “ …maka setidaknya, buku inilah teriakan kami selanjutnya, meski kami hanyalah orang-orang “bisu“.
Di antara beragam hal yang diteriakkan oleh Zian dkk dalam TB, pembaca dapat menemukan “orang tua” sebagai salah satunya. Anak lelaki berbicara tentang orang tua. Adakah keunikannya jika dibandingkan dengan pembicaraan oleh anak perempuan? Para orang tua biasanya lebih lembut dan halus perangainya ketika berbicara dengan anak perempuannya tapi tidak dengan anak laki-laki. Saat anak perempuan menangis, ayah pasti kelimpungan mencari sapu tangan untuk mengusap air matanya tapi saat anak lelaki menangis, ayahnya akan berkata, “simpan tangismu, anak laki nggak boleh cengeng!
Ada empat puisi tentang orang tua dalam TB. Puisi tersebut adalah Bapak (hlm 24) dikarang oleh Imam Budiman; Puisi untuk Orang tuaku (hlm 47) dikarang oleh M. Ansyar; Krak! (hlm 59) dan Kampung Batu (hlm 65) dikarang oleh Zian Army Wahyufi.
 Puisi “Bapak” didominasi oleh bunyi-bunyi ringan dan lembut seperti e dan i. Misalnya pada kata semburat, manapun, menimpa, sebelumnya, setumpuk, permata, menuduhnya, tersenyum, membahagiakan dan diam. Lambang bunyi dapat dihubungkan dengan suasana jiwa (Tarsyad, 2011:15). Bunyi yang ringan dan lembut melukiskan suasana yang sendu. Hal ini terkait dengan makna umum puisi “Bapak” yang menggambarkan kesedihan aku lirik ketika tahu bapaknya ingin menikah lagi yang disebutnya dengan ibu baru.
Gaya bahasa klimaks terdapat pada larik “…dan ketika ia singgah dalam jangka waktu relatif singkat, sangat sebentar/ dirinya pun terengguti ketidakadilan yang entah dengan siapa ku/ harus menuduhnya.” Gagasan-gagasan yang diungkapkan mengandung urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya. Di sini terdapat pula ungkapan yang perifrasis, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. “Jangka waktu relatif singkat, sangat sebentar.” Seharusnya cukup “waktu yang singkat” atau “sangat sebentar”. Keduanya tidak perlu digunakan bersamaan. 
Gaya bahasa yang antitesis juga terdapat dalam “Bapak”. “…meski keinginan diri menolak keras…/aku diam.” Antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan (Keraf, 2002:126). Gagasan “ingin menolak keras” dibenturkan dengan gagasan “diam”. Semua itu karena Imam terpaksa. Untuk keterpaksaan itu, Imam pun mengeluh /huh! Entah apa jadinya!/. Lihat juga catatan di akhir puisi Imam.   “Keterpaksaan, Juli 2011”
Pada puisi “Puisi untuk Orangtuaku” terdapat gaya bahasa kiasan persamaan/ simile. Gaya bahasa ini adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain (Keraf, 2002:138). /Itulah ketakutanku Ayah, Ibu/ yang datang bak gelombang besar/. Ansyar begitu takutnya terhadap orangtuanya sampai ia menyamakan ketakutannya dengan gelombang besar. Gelombang yang siap menggulungnya.
Puisi berikutnya berjudul “Krak!” ditulis oleh Zian. Puisi ini mengingatkan kita pada gaya puisi Sutardji Calzoum Bachri. Penggunaan gaya bahasa repetisi yang berupa anafora pada “Kau tulis” menjadi ruh puisi “Krak!”.
Gaya aliterasi juga mewarnai puisi ini. Gaya aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud pengulangan konsonan yang sama (Keraf, 2002: 130). Pada puisi “Krak!” terdapat pengulangan konsonan k di tiap barisnya. Terdapat kata sajak, jejak, serak, berontak, gejolak, bentak, sorak, teriak, sesak, Bapak, Anak, sentak, gertak, benak, jarak, hentak, gerak, detak, retak, kelak, tebak, hendak dan tidak.
Semua kata yang mengandung pengulangan konsonan k tersebut ditulis menggunakan huruf kecil pada huruf pertamanya, kecuali pada kata Bapak dan Anak. Ini menyiratkan bahwa ada yang penting yang terjadi antara bapak dan anak. Kedua kata  ini pun diletakkan di tengah baris, yang menyiratkan poros persoalan pada puisi ini adalah bapak dan anak.
Berdasarkan teori lambang bunyi Semi dalam Tarsyad (2011:15), konsonan k termasuk dalam kelompok bunyi yang ringan. Bunyi yang ringan melukiskan suasana sendu. Krak! adalah bunyi yang ditimbulkan oleh sesuatu yang patah atau belah.  Dengan tanda seru di sampingnya menyiratkan bunyi tersebut cukup keras. Di balik kegaduhan bunyi Krak! tersimpan unsur kesenduan. Biasanya sesuatu yang patah akan menimbulkan kesedihan mendalam, terlebih apabila yang patah itu adalah sekeping hati.
Puisi “Kampung Batu” dimulai Zian dengan melempar sebuah pertanyaan. “Buat apa kau datang ke kampungku”. Pertanyaan ini menimbulkan kode teka-teki secara struktur. Zian seolah-olah meragukan urgensi orang lain untuk datang ke kampungnya.
Pada puisi ini terdapat repetisi kata batu dan debu. Bunyi vokal a dan u serta bunyi konsonan b dan d termasuk dalam kelompok bunyi-bunyi yang berat. Bunyi yang berat melukiskan perasaan jiwa yang tertekan dan gelisah (Semi dalam Tarsyad, 2011:15). Zian menyimpan perasaan tertekan dan gelisah karena persoalan-persoalan yang bisa membuatnya termasuk dalam kategori anak durhaka. Anak durhaka tentunya akan menjadi batu seperti Malin Kundang di Sumatra (atau menjadi gunung seperti Angui di banua kita). Lalu batu itu pun akan jadi debu. Anak durhaka akan sia-sia hidupnya.
Sebenarnya Zian anak terakhir yang belum jadi batu. Seperti katanya “…Sisa aku di sini – yang juga telah durhaka, menunggu jadi batu dan debu/…/ Mama-abah pergi umrah”. Sayangnya Zian pun kelak akan jadi batu. Akan tetapi ada peluang sebenarnya untuk Zian. “…Mama-abah pergi umrah” Kalimat ini menyiratkan harapan untuk Zian. Bisa saja ketika umrah itu orangtuanya khusyuk berdoa untuk Zian. Bukankah doa di Baitullah sering terkabul? Meski begitu, Zian tetap tertekan dan gelisah. Untuk itu ia ma- anyaki lagi.” Jadi, masih tertarik datang ke kampungku?”
Puisi-puisi yang bicara tentang orang tua ini bertemakan suasana keterpaksaan. Zian dkk terpaksa menuruti kehendak orang tua, tak berani membantah, lama-kelamaan hal ini membuat mereka memilih “bisu”. Pada puisi “Bapak”, Imam Budiman tidak suka bapaknya menikah lagi tetapi demi melihat bapaknya tersenyum, ia terpaksa menyetujuinya dan memilih untuk diam. Pada puisi “Puisi untuk Orangtuaku” Muhammad Ansyar juga terpaksa tak bisa jujur karena ia takut terhadap kemarahan ayah ibunya. Dengan melankolis, Ansyar mengakui bahwa hatinya begitu rapuh. Kemarahan orang tuanya membuatnya tidak merasa bebas. Ia juga tak bisa melihat keramaian dengan jelas. Dengan kata lain, hidupnya selalu sepi. Pada puisi “Krak!” Zian dengan tegas mendeskripsikan perseteruan antara anak dengan Bapak. Zian ingin memberontak tapi bapaknya balas membentak. Ketika Zian menyentak, bapaknya balas menggertak. Ujung-ujungnya Zian merasa ada yang retak karena tiap kehendaknya selalu tidak sama dengan kehendak Bapak. Agaknya puisi ini terhubung dengan puisi “Kampung Batu”. Dalam “Kampung Batu” Zian akhirnya mengakui bahwa ia pun telah berani melawan orang tuanya. Ia melakukan kedurhakaan – mengikuti seluruh orang di kampungnya – justru di saat orang tuanya sedang mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya. Secara berlawanan Zian juga ingin mengemukakan bahwa masih ada setitik harapan dari doa dan ampunan orangtuanya. Tapi sepertinya menjadi batu sudah terlanjur menjadi ancaman yang menakutkan bagi dirinya. Zian merasa ia pasti akan membatu pula. Zian tidak sendiri, orang sekampung bahkan telah lebih dulu menjadi batu. Ternyata “bersuara” pun akan berujung pada diam. Seperti diamnya batu-batu yang terbuat dari anak durhaka. 
Puisi-puisi tadi mengingatkan saya pada puisi Arief Rahman Heriansyah yang berjudul “Sajak Ayah; Pada Pernyataan Ngarai Sastra” dalam buku Balian Jazirah Anak Ladang (2011:5-6).
Puisi tersebut berisi suara hati Arief tentang ayahnya: “…/kemudian saatnya menjadi bisu/ bisu yang tertahan di kemudian…// dalam sajak Ayah; mengapa terlalaikan oleh cinta/ dalam sajak Ayah; hempaskanlah apapun maksud baikmu/ dalam sajak Ayah; aku selalu menggenggam fatamorgana/ dalam sajak Ayah; mengapa bingkisan tua itu masih terkatup rapat?...// …dalam luka aku menggores sajak/ pada langit buram yang tak kumengerti”. Sama seperti Zian dkk, Arief pun menjalani saat-saat menjadi bisu.
Diksi-diksi seperti hasrat, mimpi, imaji, dikontraskan dengan tak bernyali menjelaskan apa yang disebut dengan fatamorgana. Suasana sedih mewarnai puisi ini dari awal sampai akhir. Arief bahkan merasa perlu menegaskan kelukaan hatinya dengan memberi catatan pada puisinya tersebut, “*Ayah; kehendakmu goreskan sakit hatiku, bagaimanapun aku tetap mencintaimu…
Jurang yang menganga antara orang tua dan anak; ketidakterampilan dalam berkomunikasi, kerap menutupi maksud baik orang tua terhadap anaknya. Akhirnya ada anak yang merasa terpaksa menuruti semua keinginan orang tuanya. Artinya, ia mau saja menepiskan keinginan dirinya sendiri demi berbakti pada orang tua dan menelan konsekuensinya: hati yang terluka. Ada juga anak yang memilih berontak – lalu durhaka. Sementara Zian dkk terkatung-katung antara keduanya. Akhirnya mereka memilih berteriak lewat puisi. Uniknya, puisi-puisi tentang orangtua tersebut didominasi oleh sosok orangtua laki-laki. Imam menyebutnya “Bapak”. Ansyar dan Arief menyebutnya “Ayah”, Zian menyebutnya “Bapak” dan “Abah”. Adakah misteri yang tak bisa ditemukan jawabannya antara ayah dan anak laki-laki?
-------------------------------------------------------------------------------------------------

* Nailiya Nikmah JKF lahir di Banjarmasin, 9 Desember 1980. Pencinta hujan ini sejak kecil menyukai sastra dan menggemari baca tulis, menjalani masa remaja yang indah di Amuntai. Nailiya aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Banjarmasin dan Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Kalimantan Selatan. Sekarang ia menjadi pengajar Bahasa Indonesia di Politeknik Negeri Banjarmasin, sering menjadi pembicara pada seminar, pelatihan, workshop, diskusi, bedah buku seputar kesusastraan dan keterampilan berbahasa. Beberapa karyanya yang telah dibukukan adalah Nyanyian Tanpa Nyanyian (Antocer bersama-9 penulis perempuan Kal-Sel), Menulis itu Mudah (esai bersama), Konser Kecemasan (Kumpulan Puisi Lingkungan Hidup/Puisi bersama), Rindu Rumpun Ilalang (antocer sendiri), Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Pelangi di Pelabuhan (kumcer bersama FLP), Antologi Bersama-Puisi Religius Indonesia “Para Kekasih”, Ketika Api Bicara (antocer HSU), Senja di Teluk Wandoma (antocer nasional bersama), Malam Kumpai Batu (anto kisdap bersama), Kiat Menulis dan Cerpen Pilihan (bersama penulis HSU). Cerpennya “Mangadap Langit” terpilih sebagai juara harapan III Lomba Menulis Cerpen Bahasa Banjar, Disbudpar.