Sabtu, 27 Januari 2018

# esai # sastra

Dua Lelaki di Hati Junjung Buih (Sebuah Catatan Pementasan Dipa: Tales of Sukmaraga And Padmaraga)

Kisah Puteri Junjung Buih hampir tidak asing lagi bagi masyarakat Kalimantan Selatan khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Kisah yang begitu melekat di hati urang banua karena terkait pula dengan kisah-kisah seputar situs Candi Agung yang terletak di kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Kisah tersebut terkait pula dengan sebuah nama yang menjadi nama perguruan tinggi negeri terbesar di Kalimantan, yaitu Sang Patih Lambung Mangkurat (:Universitas Lambung Mangkurat). Karena ia termasuk dalam cerita rakyat yang berkembangnya secara lisan atau dari mulut ke mulut, tidak heran jika ada beberapa perbedaan atau beberapa versi cerita.

Tersebutlah sebuah kerajaan yang hendak mencari pemimpin terbaik bernama Negara Dipa. Sang Patih yang bernama Lambung Mangkurat bertapa sekian waktu. Hingga seorang puteri berkenan menjelma ke permukaan air. Di antara buih-buih, ia hadir dengan wujud perempuan yang sangat cantik. Karena itulah ia disebut Puteri Junjung Buih. Sebelumnya, para gadis menyirang kain sebagai persyaratan dari sang puteri yang harus dipenuhi. Dalam kisah lain disebut juga sang putri meminta Mahligai setinggi rumpun bambu sebagai persyaratan.


Prolog Dipa

Kemunculan sang puteri menarik perhatian dua perjaka terbaik Negara Dipa, Sukmaraga dan Padmaraga yang tak lain adalah kemenakan Lambung Mangkurat. Sayangnya, Sang Paman tidak senang melihat kedekatan Sukmaraga dan Padmaraga terhadap Puteri Junjung Buih. Menurut Lambung Mangkurat, kedua lelaki tersebut tidak layak untuk dekat dengan Puteri Junjung Buih.
Pertapaan Lambung Mangkurat sebelum Putri Junjung Buih menjelma

Dalam berbagai versi, disebutkan pada akhirnya para ponakan tewas di tangan paman sendiri. Maka muncullah sebuah lelucon yang sebenarnya tidak lucu, lelucon tentang sang pahlawan adalah pembunuh. Akan tetapi dalam pementasan bertajuk Dipa: Tales of Sukmaraga And Padmaraga, hal tersebut disampaikan berbeda.

Unsur Yang Membangun Pementasan Dipa

Diangkatnya kisah Putri Junjung Buih menjadi sebuah pementasan atau pertunjukan bukan hal yang baru. Sekadar menyebut contoh, Sanggar Air HSU pernah mengangkatnya dalam sebuah pertunjukan pada momen Aruh Sastra Kalsel Banjarbaru beberapa tahun lalu. Pertunjukan yang memaksimalkan gerak (tari) dan musik didukung visualisasi siluet yang elegan membuat kisah Junjung Buih menancap penuh kesan di hati penonton meski kisahnya telah khatam dibaca bahkan kisahnya sudah di luar kepala.

Bagaimana menghadirkan kisah yang telah diakrabi oleh masyarakat menjadi sebuah tontonan baru yang memikat merupakan sebuah tantangan bagi insan seni pertunjukan. Sebuah tontonan yang lebih sesuai dengan suasana kekinian (:zaman now) sehingga cerita-cerita rakyat akan tetap menjadi pilihan masyarakatnya sendiri; sehingga penonton tidak merasa rugi membeli tiket dan meluangkan waktu untuk menonton.

Hal ini pula kiranya yang menjadi tantangan bagi tim Sendratasik Berkarya 7 yang mementaskan kisah Putri Junjung Buih pada 27-28 Desember 2017 lalu di Gedung Balairung Sari Taman Budaya Kalimantan Selatan. Disutradarai oleh Bayu Bastari Setiawan dan Astrada Supriyanto, Sendratasik Berkarya 7 berhasil menjawab tantangan tersebut. Pementasan Dipa membawa angin segar bagi dunia seni pertunjukan. Ia sepertinya diharapkan dapat menjadi satu indikasi bahwa lokalitas masih menjadi pilihan yang seksi di era kekinian. Untuk itulah, seperti yang dituturkan dalam Buku Pementasan, konsep garapan yang dipilih agak berbeda dari pakem. Jika selama ini kisah tertuju pada satu titik semata “sang Puteri”, bagaimana kalau kali ini fokus utama bukan sang puteri?

“Tim Sendratasik Berkarya 7 ingin keluar dari jalur kebiasaan tersebut, sehingga memutuskan untuk lebih menyorot tokoh dua putera Mandastana, yaitu Sukmaraga dan Padmaraga dengan tidak mensubordinasi peran Lambung Mangkurat dan Puteri Junjung Buih.” (Buku Pementasan, 2017).
Bagian pemenuhan persyaratan dari Putri

Yang menjadi persoalan berikutnya adalah seberapa berhasil Dipa keluar dari “pakem” cerita Junjung Buih yang terlanjur beredar dan melekat di ingatan masyarakat? Apakah ketika hal itu tidak berhasil dilakukan sama dengan kegagalan Dipa sebagai sebuah pementasan? Tulisan ini mencermati hal tersebut secara sederhana menggunakan Model Perselingkuhan Kreatif (Suryanata, 2016:135) antara model pengkajian sosiologis dan struktural.

Sebagaimana karya sastra pada umumnya, Dipa: Tales of Sukmaraga Padmaraga dibangun atas beberapa unsur:
Lambung Mangkurat menyambut kehadiran Putri Junjung Buih


1.   Tema dan amanat
Pada umumnya tema yang berkembang di masyarakat tentang kisah Puteri Junjung Buih terkait dengan pentingnya kepemimpinan serta kisah terlarangnya kasih sayang sang puteri dengan dua bersaudara Sukmaraga Padmaraga. Akan tetapi melalui dialog-dialog cerdasnya, Dipa mencoba mengusung tema lain, yaitu tema sosial. Ini terlihat dari beberapa adegan yang menampilkan Sukmaraga dan Padmaraga dididik oleh sang ayah untuk menjadi pemuda yang selalu melakukan kebaikan, mendahulukan kepentingan orang banyak, membela rakyat yang lemah, tidak membiarkan kesewenangan terjadi begitu saja di depan mata.
Hanya saja jika dicermati lebih dalam, secara tersirat Dipa masih belum bisa lepas dari tema pakem, yaitu kisah cinta terlarang. Dipa masih mengungkap cinta yang dibedakan oleh kedudukan atau kasta seseorang. Ini terdapat dalam dialog yang diucapkan oleh Lambung Mangkurat yang  mengungkapkan bahwa sebagai raja puteri titisan dewata, Junjung Buih tidak layak bersanding dengan dua bujang pilihan Negara Dipa. Puteri titisan dewata hanya pantas bersanding dengan putera titisan dewata.
Putri Junjung Buih disambut gembira 

2.   Tokoh, perwatakan dan penokohan
Dari judulnya, terlihat bahwa tokoh utama pementasan Dipa adalah Sukmaraga dan Padmaraga. Pemilihan Sukmaraga dan Padmaraga membuat pementasan ini berkategori tokoh sederhana karena sifat dan watak keduanya tidak berubah dari awal sampai akhir. Kebaikan dan ketulusan hati dua bersaudara ini terasa sampai akhir pertunjukan. Pemilihan para pemain dan inner action para aktor dalam pementasan berhasil membuat perwatakan dan penokohan Sukmaraga dan Padmaraga menarik perhatian para penonton melebihi porsi ketokohan Junjung Buih dan Lambung Mangkurat.
Sukamaraga dan Padmaraga bersama Puteri Junjung Buih

Akan tetapi, kharisma Junjung buih dan Lambung Mangkurat tidak bisa dipadamkan begitu saja walau penggarapan Dipa telah ditata sedemikian rupa untuk menonjolkan sisi ketokohan Sukmaraga dan Padmaraga. 
Junjung Buih masih ditampilkan sebagai yang tercantik dalam pertunjukan. Secara tersurat, Junjung Buih menaruh hati pada dua pemuda yang tidak lain adalah rakyatnya sendiri. Ia bahkan harus berdebat dengan Lambung Mangkurat dalam urusan ini. Meski seorang Raja (Ratu), Junjung Buih juga manusia, demikian yang ingin disampaikan Dipa. Kalau saya menyukai dan ingin berteman dengan mereka memangnya kenapa? So what? kira-kira begitu bahasa kekiniannya. 
Sementara itu, Lambung Mangkurat masih ditonjolkan sebagai pemegang mutlak kekuasaan di Negara Dipa. Bahkan pementasan ini melakukan upaya pembelaan terhadap Lambung Mangkurat dengan mengajukan pertanyaan naka “Bagaimana kalau”. “Bagaimana kalau” dalam pementasan Dipa salah satunya adalah bagaimana kalau Lambung Mangkurat tidak membunuh Sukmaraga dan Padmaraga sementara sejarah telah mencatat keduanya tewas mengenaskan. Lalu dicarilah dan dimunculkanlah tokoh antagonis sang perompak dari negeri seberang yang secara open ending story menjadi salah satu tokoh yang berpeluang menjadi tersangka pembunuhan terhadap Sukmaraga dan Padmaraga.

3.   Latar atau setting dan pelataran
Latar dan pelataran Dipa hampir tidak jauh berbeda dengan pementasan cerita serupa pada umumnya, yaitu istana tempat tinggal puteri Junjung Buih dengan segala atributnya dan lingkungan keseharian Sukmaraga Padmaraga. Ada sedikit tambahan latar fantasi sebagai pengembangan cerita utama.
Ada beberapa faktor pendukung unsur latar dan pelataran Dipa sebagai sebuah pementasan. Selain memaksimalkan panggung Balairung Sari, Dipa memanfaatkan teknik visualisasi pada layar yang bersumber dan didukung teknologi komputer sehingga membuat Dipa tidak melulu berada di zamannya. Pementasan Dipa juga didukung penuh oleh musik suasana dan vokal kualitas prima para choir sebagai bagian dari upaya penguatan latar dan pelataran.

4.   Alur dan pengaluran
Alur pementasan Dipa diilhami dari naskah “Lambung Mangkurat di Negara Dipa” Karya DMA. H. Adjim Arijadi yang digubah dengan tambahan tokoh-tokoh fiktif dan perubahan ending cerita. Sebagai sebuah pementasan utuh, Dipa menawarkan alur gabung dengan menampilkan penombakan yang dilakukan oleh Lambung Mangkurat di awal cerita. Ini membuat kesan awal, “Oh, kisah ini sama saja dengan yang saya ketahui” di benak penonton. Berikutnya, penonton mendapat banyak kejutan sehingga Dipa tidak lantas menjadi pertunjukan yang membosankan.

5.   Bahasa dan gaya bahasa
Pementasan Dipa menggunakan bahasa Indonesia dengan menyelipkan gaya-gaya sindiran melalui lelucon atau humor segar pada beberapa bagian. Secara umum gaya bahasa yang dipilih cenderung lurus dan sangat berhati-hati sehingga kesan klasik masih tetap ada. Sebagaimana lazimnya karya-karya drama, simbolisme menjadi satu hal yang akan semakin terbuka pemaknaannya setelah dipentaskan. Berbagai sarana panggung atau pementasan seringkali sangat membantu dalam proses penafsiran makna yang disimbolkan (Suryanata, 2016:57).
Dalam pementasan Dipa simbol ini salah satunya bisa kita dapati pada properti yang membuat posisi Ibu Sukmaraga Padmaraga berada di atas, lebih tinggi daripada tokoh lain dalam sebuah adegan. Ini menyimbolkan sosok seorang ibu yang paling dihormati dan dihargai. Ini juga mendukung kemungkinan seorang ibu selalu berada “di atas” dalam hal feeling atau firasat.
Simbol lain dapat kita temukan pada prosesi munculnya Puteri Junjung Buih setelah para gadis menyirang kain, serta simbol-simbol lain pada kostum yang dikenakan para pemain.

Catatan pementasan

Pementasan Dipa merupakan proyek tahunan bertajuk Sendratasik Berkarya dengan Dipa sebagai yang ke-7. Ketua pelaksana adalah Nida Arifah, Pimpro Aminuddin, Stage Manager Ove Natari. Pementasan tersebut menghadirkan 14 orang pemusik, 21 pemain teater, 4 orang choir dan 6 orang penari utama.
Kekuatan pementasan Dipa, seperti kekuatan pementasan Sendratasik lainnya ada pada penataan setting, penata tari dan penata musik. Pementasan Dipa menghadirkan 5 orang penata setting, 2 orang penata tari serta 3 orang penata musik. Ketiga hal ini digarap maksimal sehingga menghasilkan kolaborasi yang harmoni di atas panggung. Nyaris tidak ada yang janggal dalam tiga hal pendukung tersebut. Tiap properti (termasuk kostum) memiliki makna sehingga hampir tidak ada properti yang mubazir. Begitu juga dengan musik dan tari, tidak ada musik dan tari yang hadir sebagai pelengkap semata. Hampir semua komponen merupakan unsur utama yang memiliki peran utuh dalam pementasan Dipa.

Siapakah Sebenarnya Pusat Cerita dalam Dipa: Tales of Sukmaraga Padmaraga?

Pengkajian Pementasan Dipa secara sosiologis yang mendekati sastra sebagai cermin proses sosial-ekonomi  yang terjadi di masyarakat menghasilkan beberapa hal sebagai berikut:

Kebaikan akan selalu ada berdampingan dengan kejahatan. Seberapa besarpun kejahatan akan selalu ada upaya-upaya perlawanannya. Ini dapat kita lihat dari pembelaan yang dilakukan oleh Sukmaraga dan Padmaraga terhadap para dayang yang sedang diganggu para perompak jahat.
Cerminan lain yang diungkap Dipa adalah masih terdapatnya pengkastaan dan pelevelan manusia berdasar derajat-derajat yang pengukurannya dibuat oleh manusia itu sendiri. Hingga akhir waktu, cinta akan selalu menemukan tantangannya sendiri-sendiri. Sekalipun ia seorang puteri yang harusnya bisa mempunyai kehendak, Junjung Buih tidak diperkenankan memilih belahan jiwanya. Nyanyian sedih Junjung Buih seta tarian-tarian cantiknya membuat sang putri masih menjadi power of story dalam Dipa.
Berikutnya, yang dapat kita temukan ketika melongok ke cermin Dipa, adanya sebuah ketetapan bahwa seorang pemimpin harus menjunjung hukum yang berlaku dan bertindak sesuai hukum tersebut. Hanya saja pada kasus Lambung Mangkurat, Dipa tidak dengan tegas menunjukkan dia berada di pihak yang mana. Dengan kata lain, Dipa tidak tegas menunjukkan apakah sejatinya yang menjadi dasar sikap Lambung Mangkurat. Pada adegan Lambung Mangkurat berperang dalam batinnya sendiri, batin Lambung Mangkurat menyindir benarkah larangan kedekatan Sukmaraga Padmaraga terhadap Puteri Junjung Buih murni didasari keinginan Lambung Mangkurat menjunjung hukum yang berlaku di Negara Dipa?
“Biarlah orang-orang menyangka aku yang membunuh Sukmaraga Padmaraga. Biarlah sejarah mencatat aku sang pembunuh” menyiratkan sebuah pembelaan terhadap Lambung Mangkurat. Dipa mencoba mengaburkan “hal” yang selama ini dianggap fakta oleh masyarakat tentang Lambung Mangkurat sang pembunuh. Dipa memunculkan peluang “Bagaimana kalau catatan sejarah selama ini keliru? Bagaimana kalau bukan Lambung Mangkurat yang membunuh dua ksatria Negara Dipa? Sebagai sebuah kisah yang berkembang secara lisan, maka Dipa memiliki sedikit “kebolehan” atau “kewajaran” untuk membuat jawaban-jawaban lain tentang Lambung Mangkurat.
Ketika ketiga hal tersebut (Sukmaraga dan Padmaraga; Putrj Junjung Buih; dan Lambung Mangkurat) tampil secara seimbang dalam pementasan Dipa, maka mari kita bertanya, benarkah Dipa: Tales of Sukmaraga Padmaraga adalah kisah tentang Sukmaraga dan Padmaraga? [] 

Nai, Kayutangi Januari 2018

Referensi
Tim Kreatif Sendratasik Berkarya 7. 2017. Buku Pementasan Dipa: Tales of Sukmaraga and Padmaraga.
Suryanata, Jamal T. 2016. Pengkajian Drama. Yogyakarta: Akar Indonesia.











7 komentar:

  1. Aku pernah denger kisah junjung buih ini, lumayan seru .. Dan waktu itu tau dari guru mulok di sma yang cerita beginian hehe

    BalasHapus
  2. Iya mba sering banget dengar nama Junjung Buih ini, kalo ceritanya sih masih belum pernah dengar secara panjang kali lebar. Hihihi

    BalasHapus
  3. Kalo yang berkembang di masyarakat cerita Lambung Mangkurat seperti itu, kenapa dijadikan nama kampus ya mba? Duh, sumpah saya pengen tau lebih dalam lagi ttg cerita Negara Dipa lagi, kalo bisa sampai cerita yg sebenar2nya yang terjadi. Mba, kapan2 bahas lagi yaa yaa yaaa *pemaksaan 😁

    BalasHapus
  4. Wah nggak tahu sama sekali euy kisah junjung buih ini. Tahunya cuma putri junjung buih lahir dari buih. Heu

    BalasHapus
  5. Wah ternyata begitu ya ceritanya.. Keren ya bu.. Ulun sebenarnya belum pernah baca.. Hihi.. *malu.. Dulu itu apa pernah ya kisah2 spt ini diceritakan disekolah.. Kok sepertinya memory ulun masih nol besar kecuali nama2nya.. Berarti harus dibuat makin waw nih penyebaran kisahnya spy dimemory lengket.. *otaknya mungkin yang salah ya.. Haha

    BalasHapus
  6. Aku belum pernah ngeliat pementasan di Banjarmasin ini. Hihi Siapa tau mbak nai mau ngajakin aku liat beginian nanti. Wkwkwkwk
    Btw, aku lalau pas liburan di Kota lain malah liat, yg disini ga ngerti sistemnya buat nonton-nonton sih. He

    BalasHapus
  7. Ceritanya bagus banget mbak. Jadi tau cerita tentang putri junjung buih.

    BalasHapus