Harapan vs
Kenyataan dalam Avengers: Menyelesaikan Masalah dengan Memutar Waktu
(Menonton pakai
perasaan/ Bukan Spoiler Evengers:Endgame)
Jauh-jauh hari, teman sekaligus editorku yang baik hati memintaku dengan
sangat manis untuk menemaninya menonton film kesukaannya, Avengers:Endgame. Dia
sangat takut dengan spoiler-spoiler yang bertebaran seperti hantu di sekitarnya,
saking pengennya dia menghayati film ini. Konon dia adalah penggemar berat
film-film marvels. Untuk itu, dia bahkan membelikanku tiket online dan memintaku mengatur jadwal
yang tepat secara aku adalah orang paling sibuk sedunia (ini kulebih-lebihkan).
Aku bukan orang yang mewajibkan diri menonton film sebagai orang dalam
golongan pertama. Aku tidak mengharuskan diri pergi ke bioskop. Aku tidak
terlalu takut spoiler-spoiler karena bagiku dalam setiap kepala kita tersimpan
mekanisme sendiri untuk menikmati sebuah tayangan. Beberapa film yang kutonton
di bioskop selalu dalam misi spesial, misal aku kenal baik dengan produsernya
(cie, siapa coba aku ini); aku nge-fans berat sama penulis ceritanya; ada
puisi, ada hujan dalam film tersebut; atau misi menggalakkan film-film islami. Nah, Avengers ini tidak termasuk dalam kategori-kategori tersebut. Jadi, ini
kategori baru, yaitu ditraktir teman. Ditunggu
traktiran lainnya ya. Hehe.
Aku penggemar drama korea. Aku suka film-film India. Aku salut pada
film-film Hollywood. Aku pendukung film nasional yang bervisi jelas. Aku menonton
semua sequel Iron Man. Aku kagum dengan teknologi yang dipakai Toni. Aku iri
pada kecanggihan-kecanggihan yang ada dalam kehidupan Toni. Aku terpesona pada
alur romantisme yang menyisip dan menyusup pada seri Iron Man. Bagiku, inilah
film yang menyeimbangkan logika dan perasaan. Film yang memperjuangkan
pentingnya kemajuan teknologi tapi juga mengedepankan perasaan.
Sebelum ke bioskop, aku menyempatkan diri googling. Mencari semua artikel
dengan kata kunci mengarah kepada Avengers. Setidaknya, aku punya referensi di
kepala. Sekali lagi aku tidak takut spoiler. Aku ingin jadi teman nonton yang
baik, yang cerdas. Di awal penayangan, beberapa kali temanku menanyakan apakah
aku mengantuk atau tertidur.
Nah, ini oleh-oleh dari menonton Avengers. Aku menuliskannya untukmu. Sekali
lagi, ini bukan spoiler.
Apalah arti sebuah kisah tanpa ide yang spesial. Endgame memilih ide besar “Andai”.
Andai waktu dapat kembali. Andai permasalahan bisa diselesaikan dengan cara
memutar waktu kembali. Andai sesuatu yang sudah terjadi tidak pernah terjadi. Ini
merupakan persoalan yang sering ada dalam kebanyakan kepala dan hati manusia
ketika mengahadapi masalah. Dalam dunia nyata, ini nyaris tidak bisa terjadi
bahkan mustahil. Akan tetapi, itulah harapan yang paling banyak diinginkan oleh
manusia.
Pemilihan tema besar tersebut menjadi ironi. Dibalik kekuatan para tokoh ternyata mereka memilih cara melankolis untuk menyelesaikan masalah. Beranjak dari harapan yang bertentangan dengan kenyataan. Marvel sukses
mengaduk-aduk logika dan perasaan penonton dengan memilih tema ini.
Konsep mengulang waktu sebenarnya bukan hal baru dalam dunia pengisahan.
Lorong waktu di sinetron Indonesia, mesin waktu-nya Doraemon, dan masih banyak
film lain yang menggunakan konsep ini (silakan googling sendiri). Yang membedakan
adalah tekniknya. Keindahan teknik pengembalian para tokoh Avengers ke
masa-masa lalu mereka tidak diragukan lagi. Seperti film Hollywood lainnya,
teknik selalu nomor satu. Kita dibohongi tanpa merasa dibohongi. Aku tidak akan
mengulas teknik panjang lebar. Itu jatah para kritikus film. Aku ingin membagi
apa yang ada di kepalaku sepulang menonton. Beberapa hal positif yang kukira
akan memberi manfaat untukmu:
1. Sekuat
apapun para super hero, mereka tetaplah manusia yang punya perasaan.
Ini ditunjukkan oleh semua tokoh dalam film ini. Semuanya
memiliki perasaan khusus yang kukira sangat melankolis terhadap masa lalu masing-masing.
Hal ini membuat film ini menjadi lebih rasional dan berterima di hati penonton.
2. Seorang
ibu selalu punya insting melindungi, menyayangi dan menasihati anaknya.
Ini dapat dilihat pada bagian Thor yang kembali ke
masa lalu sebelum sang ibu meninggal. Sekali lagi, teknik yang membedakan. Dalam
film ini, ibu Thor di masa lalu ketika ditemui Thor dengan teknologi yang
ditemukan Toni- mengetahui bahwa Thor yang di hadapannya adalah Thor di masa
depan. Dalam kasus Thor, fungsi memutar waktu tidak seratus persen berhasil
karena ibu Thor dengan instingnya menyadari siapa Thor yang ditemuinya saat
itu. Dia bahkan sempat memberikan nasihat bijak kepada Thor. Sebuah adegan yang
mengharukan.
3. Setiap
perjuangan membutuhkan pengorbanan.
Selain memutar waktu, konsep besar sekaligus
amanat dalam film ini adalah setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Tidak ada
yang free, tidak ada yang bisa didapatkan dengan tangan kosong. Seluruh perjuangan Avengers dibayar dengan kehilangan tokoh-tokoh hebat. Terutama pada salah satu
titik pengambilan batu yang harus mengorbankan satu di antara dua tokoh yang
saling menyayangi.
4 . Selalu
ada titik keterbatasan, sehebat apapun kita.
Ini merupakan amanat yang juga membuat film ini
sejenak membuat kita lupa bahwa itu cuma film, cuma khayalan. Pada adegan
menjelang kematian Toni, saat kematiannya hingga pemakamannya. Adegan-adegan
tersebut memupuskan kesan bahwa superhero tak akan pernah mati. Ini juga
merupakan bagian yang mengaduk-aduk logika dan perasaan dalam film Avengers.
Yang menarik dalam film ini adalah ketika Kapten Amerika menyerahkan
posisinya kepada tokoh lain. Tokoh tersebut merupakan manusia berkulit berwarna
(maaf, tanpa bermaksud SARA), ini seakan mengingatkan kita pada sejarah Amerika
yang pernah dipimpin oleh Barack Obama.
Akhirnya, Meski cuma film, aku berduka karena Toni yang ditakdirkan pergi. Itu
artinya (:seharusnya) tidak akan ada lagi sequel Iron Man. Kalaupun ada, dia
harus berujung pada kematian Toni. Kita lihat saja nanti, apakah Endgame memang
benar-benar akhir dari Iron Man. [] Nai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar