Oleh Nailiya Nikmah JKF
Diterbitkan
oleh Edulitera 2020, Kumpulan Puisi Aku Ingin Lahir dari Rahim Puisimu (AILdRP)
karangan Ikhlas El Qasr menambah satu lagi daftar buku kumpulan puisi karya
penulis Kalimantan Selatan. Sebagaimana buku-buku lainnya, ia akan menemukan
takdirnya sendiri kelak. Bahwa puisi adalah istimewa, tidak akan membuat nasib sebuah
buku puisi serta-merta menjadi istimewa. Bahwa puisi adalah kata-kata yang
bermantra, lihatlah bagaimana mantra itu bekerja pada Ikhlas, padaku, padamu,
dan padanya yang lain.
|
sesaat menjelang bedah buku daring |
Pendahulauan
Masih ingat silang pendapat
soal kata mudik dan pulang kampung? Itu contoh kasus tentang
diksi yang relevan dengan sikon kekinian pada masa covid. Hanya pada masa
covid, kedua kata tersebut menjadi perdebatan. Tetiba sebagian besar orang
berpikir dan seperti baru saja menyadari bahwa kata-kata memiliki makna. Ya, setiap
kata memiliki makna. Lebih dari itu, ia memiliki jiwa. Hanya jiwa-jiwa terpilih
yang mampu menembus dinding hati pembaca atau pendengar.
Untuk itulah kata-kata selalu
dipilih sebelum digunakan. Proses pemilihan itu ada meski kadang prosesnya
berlangsung begitu cepat dan kita tidak menyadarinya. Geraf (2002) pernah
mengungkapkan bahwa “Pengertian pilihan kata atau diksi jauh kebih luas dari
apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah ini bukan saja
dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan
suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa
dan ungkapan.”
Kita bisa saja menemukan
kata-kata yang bermakna mirip atau nyaris sama persis, tetapi kita tidak serta-merta
bisa memakai maupun menukar posisi penggunaan kata-kata tersebut dalam sebuah
karya. Dipilihnya kata gadis, perempuan atau wanita
misalnya. Meski ketiganya bersinonim, ada nilai rasa yang tidak bisa
sepenuhnya dianggap sama. Terlebih ketika ia sudah berada dalam situasi,
kondisi dan ruang tertentu. Bahkan ketika kata-kata tersebut memiliki tingkat
kesamaan makna yang nyaris sempurna seperti
kursi dan bangku, tidak akan
membuat kita lantas seenaknya saja menaruh sebuah kata dalam karangan. Otak dan
hati kita akan bertarung bersama-sama dalam waktu yang sangat cepat untuk
memutuskan kata apa yang dipilih.
Kata-kata adalah mantra bagi
para penyair. Sayap-sayap makna yang dibawanya membuat kata-kata dalam puisi
tidak bisa diukur secara mutlak sebagaimana ilmu pasti. Seringkali kita
menemukan kata-kata yang bermakna ambigu dalam puisi, bahkan bisa jadi, satu
puisi yang dibaca seratus orang akan menghasilkan seratus penafsiran dan
mungkin lebih. Meskipun demikian, puisi yang bagus tidak selalu yang memuat
kata-kata rumit berbelit. Kadang, puisi-puisi sederhana; puisi-puisi yang
menggunakan kata-kata lugas justru menjadi sangat menyentuh dan memikat hati
pembacanya. Kita tidak akan lupa betapa sederhananya cinta yang ingin diungkap
Sapardi dalam puisi “Aku Ingin” – yang sering dipakai para pecinta untuk
mengungkapkan cintanya kepada sang kekasih. Tengok pula kesederhanaan diksi
yang dipilih Taufiq Ismail dalam puisi-puisi sosialnya. Begitu pula yang
ditulis oleh Y.S. Agus Suseno dan Micky Hidayat. Pada umumnya, semua puisi itu
hadir secara sederhana, kita penafsirnyalah yang membuatnya berjuta makna.
Ruang-ruang dalam jiwa, kerja otak dan hati yang berkolaborasi dengan
pengalaman hidup membuat kita menemukan proses klik yang berbeda-beda terhadap suatu puisi.
Teori dan
Pendekatan
Membaca sebuah karya adalah
membaca pengarangnya. Meski ada yang berpendapat, setelah sebuah karya tercipta
dan dilempar menjadi milik pembaca, maka matilah pengarangnya, pandangan ini
tidak sepenuhnya benar. Jika kita memahami bahwa selalu ada dua unsur dalam
sebuah karya sastra, yaitu unsur intrinsik
dan ekstrinsik, kita tidak akan pernah bisa mengabaikan sang pengarang. Siapa
dia, apa profesinya, apa pandangan hidupnya, bagaimana masa kecilnya, buku apa
yang dia baca, di masa apa dia hidup, siapa yang membuat ia jatuh setengah
mati, siapa yang membuat ia bangkit beribu kali, semua itu sedikit banyak akan
mempengaruhi karyanya. Termasuk kata-kata atau diksi apa yang paling
menghantuinya. Bukan, mungkin bukan kata-katanya secara fisik, melainkan konsep
atau makna dari kata-kata tersebutlah yang menghantuinya.
Carlyle (1827) menulis kritik
sastra tentang keterkaitan antara seorang penyair yang puisinya mencerminkan
tingkah laku yang berhubungan secara psikologis. Cukup lama orang menganggap
karya-karya sastra terkait dengan masalah biografi pengarang; karya sastra
merupakan cerminan perasaan, dan lebih ekstrim lagi sastra merupakan ekspresi
impuls seksual yang terpendam dari si pencipta. Menurut Abrams, sebelum telaah
mendalam tentang hal tersebut, ada beberapa unsur yang peru diketahui. Salah satu unsur tersebut adalah perlunya
membaca suatu karya sastra untuk menemukan cerminan kepribadian si pengarang
dalam karya tersebut. Fenomena sastra sebagai “cermin” pribadi telah lama
berkembang meskipun demikian Endraswara menyatakan tidak selamanya pribadi
pengarang selalu masuk ke dalam karya sastranya. (Minderop, 2013:61-62).
Pendekatan psikologi sastra
menjadi pilihan yang tepat untuk membedah kumpulan puisi ini setelah melalui
observasi awal yang menghasilkan suatu temuan betapa banyak puisi dalam buku
ini yang berbicara tentang keadaan batin aku lirik – yang ditengarai tidak jauh
berbeda dengan keadaan batin sang pengarang.
Pembahasan
Buku ini memuat 100 judul puisi
– yang jika ditelusuri titi mangsanya tata urutan peletakan halamannya sangat
acak – dengan jumlah bait setiap puisi rata-rata empat sampai lima bait.
Lirik-lirik yang tidak bisa dibilang pendek di setiap bait menggambarkan
penyair memiliki nafas yang cukup panjang dalam berkreasi. Secara keseluruhan
puisi-puisi dalam buku ini bertema cinta, lebih tepatnya deraan cinta yang
menciptakan kesedihan berkepanjangan.
Sejak kemarin, kita masih duduk di bangku keheningan.
Memeluk biji-biji cemas yang tumbuh liar di kepala kita.
Berakar pada jalar-jalar yang mematikan logika
Aku tahu, merindu adalah jantung dari segala kesakitan yang menyetubuhi
raga
(Meruntuhkan Hening, hlm 134)
Beberapa kata yang menjadi key word dalam bait tersebut yaitu keheningan, cemas, liar, kepala, mematikan logika,
jantung, kesakitan, raga dan merindu.
Kita akan temukan satu benang merah dalam hal ini yaitu merindu sebagai entah hulu entah hilir-nya perasaan cinta
menyebabkan munculnya gangguan-gangguan seperti perasaan cemas, logika yang
mati, keliaran dalam berpikir. Orang yang sedang jatuh cinta adalah orang yang
sedang mengalami distorsi tanda petik. Logika bisa terbolak-balik bahkan bisa
jadi mati alias tidak rasional lagi dalam berpikir dan bertindak.
Gangguan-gangguan psikologis tersebut ketika sudah berada pada taraf akut akan
menyerang fisik seperti munculnya rasa sakit pada raga. Pernah mendengar orang
muntah mendengar nama mantan disebut? Atau mendadak sakit kepala atau jantung
berpacu lebih cepat ketika lewat depan rumah mantan? Semacam itulah yang ingin
diungkapkan dalam puisi tersebut.
Tema cinta sudah biasa. Tidak
terhitung berapa karya di dunia ini yang bicara soal cinta. Inilah kenyataan,
inilah data bahwa persoalan cinta adalah persoalan utama umat manusia di muka
bumi. Tema cinta yang tak sampai selalu menjadi serbuan like para patah hati-wan.
Perasaan senasib sependeritaan membuat empati mudah dibangun. Tulisan-tulisan
seputar cinta yang mati berkali-kali entah karena dikhianati, entah karena diri
sendiri yang ke lain hati membuat manusia menyadari mereka tidak sendirian di
planet ini.
Konon, sebuah penelitian yang
menjadi salah satu dasar teori psiko-analisis menyebutkan bahwa obat bagi
penderita histeria - sebuah gangguan
kejiawaan yang berefek ke fisik- begitu sederhana, yaitu bercerita. Inilah yang
dipilih oleh aku lirik dalam buku ini.
Beberapa puisi ditulis begitu panjang dengan bentuk jalinan kisah.
Persis seperti orang yang sedang bercerita.
Aku tahu, kamu tidak benar-benar ingin pergi, Tidak pernah. Kamu hanya
hilang ditelan malam saat sepi lebih sering menyungkupmu dengan beragam
kecemasan. (Sebuah Ikatan, hlm 51).
Orang yang sedang dimabuk cinta
adalah orang yang paling keras kepala. Sering kali kekeraskepalaan itu membuat
ia jatuh dalam kesengsaraan yang berpanjangan. Kekeraskepalaan atau
kekerashatian tersebut sebenarnya hanyalah merupakan upaya menghibur dirinya
sendiri. Sebuah upaya dengan cara menipu diri sendiri. “Dia tidak jahat, kok.
Dia terlalu baik malah. Dia tidak bermaksud menyakiti aku. Dia cuma sedang
ingin sendiri” dst. Pernah dengar kalimat pembelaan semacam itu? Atau
barangkali kalimat itu yang keluar dari mulutmu ketika dijahati orang tercinta?
Kutipan bait hlm 15 menuturkan sikap menipu diri sendiri aku lirik dengan
sangat baik. Salah satu sikap yang akan kita tunjukkan ketika menghadapi rasa
sakit adalah berupaya menolak kenyataan. Mencoba mencarikan argumen dan
pembelaan agar hati senang karena masih telalu menyayangi. Pada fase ini
perbedaan antara terlalu cinta dan terlalu bodoh seringkali amat tipis.
Puisi “Semalam Bersama
Kenangan” hlm 100-102 habis-habisan memuntahkan seluruh penderitaan aku lirik.
Seluruh kata, tidak bisa tidak, adalah jantung buku ini. Ia menyimpan seluruh
rahasia aku lirik. Ia adalah cerita utuh perjalanan hati aku lirik. Ia adalah
gambaran fluktuatif perasaan aku lirik yang menyeluruh. Diksi yang merupakan key word-nya seperti retakan rembulan, kenangan, menyakitkan,
menyesal, bersahabat dengan luka, memaafkan, lebih dari cukup untuk
deskripsi sebuah kisah luka batin yang aku alami.
Puisi “Semalam Bersama
Kenangan” adalah sebuah trial and error
–nya aku lirik dalam upaya move on. Ia
mencoba membersamai kenangan dalam satu malam untuk mengukur kekuatan hatinya. Seseorang
bisa saja bilang “Aku sudah menyadari aku disakiti, aku sudah memaafkan. Aku
sudah melupakan. Aku sudah move on.
Aku baik-baik saja”. Tentu saja itu yang terjadi di alam sadar. Sebagai manusia
yang baik, seseorang harus memaafkan, demikian super ego bicara. Seseorang
harus melangkah maju dsb. Akan tetapi yang terjadi di alam bawah sadar sering
kali jauh bertolak belakang daripada yang diperlihatkan oleh alam sadar.
Cobalah dengarkan kembali lagu kenangan bersama si dia. Jika sudah tidak
menangis lagi, berbahagialah. Setidaknya di alam sadar, kita sudah tidak
bersimbah air mata lagi. Adapun yang terjadi dengan alam bawah sadar baru bisa
kita buktikan dengan melihat impact dan wujudnya pada apa yang kita lakukan dan
jalani di tahun-tahun setelahnya.
Puisi “Aku Ingin Lahir dari
Rahim Puisimu” hlm 18 menggambarkan sebuah keadaan baru bagi aku lirik. Ini
juga harus dibaca secara utuh. Barangkali kelahiran baru aku lirik dalam puisi ini bisa disetarakan dengan era
new normal pasca gempuran korona. Ada banyak persiapan yang harus dilakukan
sebab sebagaimana serangan virus ce o ve i d yang bisa ada gelombang kedua ketiga dst, itu berarti peluang untuk
serangan berikutnya masih terbuka lebar. Peluang untuk sakit hati kembali oleh
orang yang sama masih ada selama kita masih satu planet dengannya. Di sinilah
aku lirik memilih langkah cerdas. Ia memilih untuk move on dengan cara yang berbeda, yaitu ingin terlahir dari rahim
puisi. Ya, ia memilih jalan sunyi para penyair.
Penutup
Puisi bisa jadi hanya permainan kata bagi sebagian orang
yang tidak memahami makna cinta. Puisi bisa jadi sekadar bualan di mulut para
penipu hati. Penyair dan waktu yang akan membuktikan seberapa jujur puisi
bertutur dan seberapa rapi ia bisa menyimpan rahasia. Lalu, ingatlah sekeras
apapun seseorang melawan kenangan; senyaring apapun seseorang berteriak bahwa
ia sudah move on, hanya sebuah
kelahiran jiwa yang baru yang akan menjawabnya. Selamat lahir kembali, Ikhlas
El Qasr. [] Nai, Zona Merah, 2020.
catatan:
Tulisan ini disampaikan oleh Nailiya dalam Bedah Buku Daring, Sabtu, 6 Juni 2020.
Luar biasa daratan borneo. Selalu melahirkan pemuisi berbakat. Bravo mnak Nay
BalasHapusTerima kasih, Mbak Anis. Senang bisa dikunjungi oleh orang hebat.
Hapus