Kamis, 29 November 2012

Merobek Hujan

09.53 2 Comments
Puisi Nailiya Nikmah JKF
Banjarmasin

Merobek Hujan
Buat –mu

hapuslah kalimat asing dalam prosa pendek kita
penampakannya hanya membasikan kenangan
kuncup ini takkan pernah jadi bunga
meski di belantaranya hujan bermain

hapuslah seluruh ingatan yang menyandera namaku
di serat-serat catatanmu
karena seperti juga aku
kau terbebas dari semua belenggu
kecuali takdir yang sudah di kumur-Nya
menjadi semburan di kertas kita

Robeklah kitab cinta kita
seperti aku merobek hujan hari ini!



Hujan, November 2012




Hujan, Matahari, dan Sajak Terakhir


jika engkau hujan
dimanakah dapat kusentuh rintiknya
jika engkau matahari
di manakah dapat kupandang sinarnya

Jika ini luka- dan sepertinya begitu
- biarlah kutulis sajak terakhir

12 November 2012

Sabtu, 17 November 2012

mengenang tanah huma, mengenang masa lalu

22.50 0 Comments

DZIKRUL MAUT DALAM KUMPULAN PUISI “TANAH HUMA”
Oleh Nailiya Nikmah

1.      Pendahuluan
Para penyair memiliki kebebasan untuk mengekspresikan segala perasaan dan pemikirannya melalui bahasa yang digunakannya dalam sebuah karya. Terlebih karena puisi adalah bentuk karya sastra yang istimewa. Unsur bahasa (kata) yang minim bisa mengandung makna yang dalam dan memerlukan penjelasan yang panjang. Itulah sebabnya kadang agak sukar memahami sebuah puisi.
Tidak berlebihan tentunya jika pembaca (penikmat) puisi pun mempunyai kebebasan yang sama dalam menikmati atau mengapresiasikan sebuah karya sastra (puisi) sesuai dengan pengalaman yang melatarbelakangi pemikiran dan perasaannya. Kumpulan puisi “Tanah Huma” karangan tiga penyair Kalimantan memiliki banyak kemungkinan objek yang dapat diamati tergantung dari sudut mana dan siapa yang memandang. Membaca judul kumpulan puisi ini kita diajak membayangkan atau mengasosiasikannya pada hamparan luas pehumaan, kebanggaan orang-orang tuha, harapan anak-anak untuk tetap bisa meneruskan perjalanan hidup.
Memang secara umum Tanah Huma menghadirkan panorama khas Kalimantan; hutan maupun kekayaan alam lainnya (Kepada Paduka Puisi, Hutan, Huma yang Perih, Berbisik dengan Laut, Gua Batu, Lapar, Kali Martapura, Di Sebuah Tanjung, dan Surat dari Muara Teweh).
Lain Tapi sesungguhnya ada hal lain yang tidak kalah menariknya untuk diamati dalam Tanah Huma. Jika cermat mengamati, kita akan menjumpai nuansa kematian dalam beberapa puisi yang dapat mengingatkan kita pada kematian atau istilahnya adalah dzikrul maut.
2.      Dzikrul Maut
Dzikrul maut, sebuah istilah yang dapat diartikan sebagai “mengingat kematian”. Mungkin tidak semua penyair berminat menggoreskan kisah kematian, seperti halnya tidak semua pengapresiasi tertarik mengupas makna kematian dalam sebuah puisi.
Mengingat kematian adalah salah satu anjuran Rasulullah. “Perbanyaklah mengingat penghancur berbagai kelezatan” HR Tirmidzi. Artinya kurangilah berbagai kelezatan dengan mengingat kematian agar berkonsentrasi pada Allah.  Selain itu mengingat kematian juga berguna untuk melembutkan hati kita. “Shafiyah ra. berkata: Ada seorang wanita mengadu kepada Aisyah ra. tentang kekesatan hatinya lalu Aisyah berkata ‘perbanyaklah mengingat kematia niscaya hatimu menjadi lembut’.
Jalan merealisasikan mengingat kematian adalah dengan mengosongkan hati dari  segala sesuatu kecuali dzikrul maut yang ada di hadapannya, seperti orang yang ingin bepergian mencapai keberuntungan besar atau menyeberangi lautan sehingga ia tidak memikirkan yang lain.
Cara paling mujarab dalam hal ini ialah memperbanyak mengingat kawan-kawan atau orang-orang yang telah mendahului. Mengingat kematian mereka, pembaringan mereka di bawah tanah, dan bagaimana tanah kuburan sekarang menimbunnya.
Abu Darda ra. berkata: Apabila Anda mengingat orang yang sudah mati anggaplah dirimu termasuk salah seorang diantara mereka.
Orang yang berbahagia adalah orang yang mengambil pelajaran dari orang lain. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: Tidakkah kalian melihat bahwa kalian setiap hari menyiapkan orang yang pergi dan pulang kepada Allah, kalian meletakkannya di dalam tanah dan berbantalkan tanah degan meninggalkan para kekasih dan terputus segala upaya.
Terus-menerus menghadirkan pikiran-pikiran tersebut, ziarah kubur, dan menengok orang sakit merupakan hal-hal yang bisa memerbaharui dzikrul maut di dalam hati sehingga mendominasi dan menjadi perhatian utamanya. Pada saat itulah orang hampir telah siap dan terhindar dari kampung tipu daya. Jika tidak, maka zhahir hati dan manisnya lisan tidak lagi banyak berguna dalam memperingatkan.
Jika hatinya merasa senang dengan sesuatu di dunia maka ia harus segera ingat bahwa ia pasti berpisah darinya. Pada suatu hari Ibnu Muth’I memandangi rumahnya lalu mengagumi keindahannya kemudian ia menangis dan berkata: Demi Allah kalau bukan karena kematian niscaya aku merasa senang terhadapmu, dan seandainya bukan karena kita aka berada di dalam himpitan kuburan niscaya kami merasa senang kepada dunia. Kemudian ia menangis dengan keras sehingga suaranya terdengar.
3.      Dzikrul Maut dalam Tanah Huma
Seperti yang sudah disebitkan di awal, pembaca atau penikmat puisi bebas mengapresiasikan sebuah karya yang dibacanya. Meskipun kadang tigkat kebebasan memaknai sebuah puisi tidak setinggi kebebasan penyair dalam berkarya. Setidakya dalam berapresiasi dan mengkritisi sebuah puisi, pembaca dipengaruhi oleh latar belakang pengalamannya.
Inilah yang mendasari Tanah Huma dianalisis dari sisi kematian. Meskipun tidak semua puisi Tanah Huma berbicara tentang kematian, tetapi beberapa puisi yang mengangkat tema kematian sangat menarik untuk dicermati sebagai salah satu perwujudan dari dzikrul maut atau mengingat kematian.
Coba kita simak ‘Melintas Jalan Makam’ (halaman 9). Dari judulnya saja kita sudah mendapati nuansa kematian. Meskipun mungkin bukan kematian dalam arti sesungguhnya yang dimaksud penyair.
Dalam ‘Kepada Filsafah’ (halaman 10) kata-kata dhaif dan idhafi merupakan kata kunci yang menghubungkan kita kepada kematian. Bait terakhir memperjelas kefanaan dengan lembut.
Daun luruh
Ruh luruh
Kau lusuh
Pada puisi berikutnya, ‘Sekamar dengan Mayat’ (halaman 14) benar-benar merupakan jalan merealisasikan dzikrul maut. Hari kematian seorang sahabat tentu memberi kesan kesedihan yang mendalam, apalagi bila kematiannya dengan tragis atau tidak wajar. Ada sesuatu yang menyentak jiwa kita, betapa kematian adalah sebuah kepastian yang kita tidak tahu kapan datangnya. Bayangkan saat kita tidur di samping mayatnya, seusai membacakan Yassin sekali. Hujan yang turun saat itu menambah kepedihan. Menatap tubuhnya yang terbujur kaku dan menutupkan tudung putih di atasnya.
Setelah kematian akan ada masa perhitungan, inilah yang coba digambarkan oleh penyair dalam ‘Hisab’ (halaman 17). Sebuah peringatan bahwa setiap perbuatan dosa akan ada perhitungannya.
Menyimak ‘Melankolik’ (halaan 18) kita masih disuguhi hawa pekuburan yang sunyi. Di sana hanya ada bulan dan angin. Muram.
‘Di bawah Merah Lampu’ (halaman 19) secara simbolik mengisyaratkan kematian juga. Lampu merah merupakan tanda berhenti pada lalu lintas. Ini dapat kita asosiasikan  sebagai berhenti dari kehidupan dengan melambangkan duka abadi serta dalam kafe kelabu.
‘Memikul Keranda’(halaman 29) adalah sebuah pekerjaan yang dilakuakn orang untuk mengantar mayat ke pekuburan. Puisi ini bertutur kesedihan mendalam yang dirasakan seseorang karena kematian orang yang dikasihi. adalah sebuah pekerjaan yang dilakuakn orang untuk mengantar mayat ke pekuburan. Puisi ini bertutur kesedihan mendalam yang dirasakan seseorang karena kematian orang yang dikasihi. Perasaan tidak dapat menerima kenyatan membuatnya merasa sepi, segala menuli dan membisu seolah ia sendirian di dunia ini. Dengan diliputi kesedihan, aku lirik tetap menghantarkan kakandanya menuju peristirahatan terakhir. Uniknya perasaan sedih dan kehilangan itu justru menyadarkan aku bahwa suatu saat ia pun akan menyusul kakandanya (meninggal dunia). Ini dapat kita jumpai di bait terakhir.
dan aku juga kakanda, sampai waktu
seperti kau ke laut kembali
Sementara itu ‘Pengembara di Jalan Ujung (halaman 30) berbicara tetang perjalanan seorang manusia, sebuah perjalanan dalam episode panjang bernama kehidupan yang akan berakhir. Frase ujung jalan, ujung hari, dan mengepak jauh menggambarkan sebuah akhir yang akan segera kita temui. Begitu juga dengan fajar ke maghrib. Bait Engkau kan kembali tidakkan kembali makin mempertegas simbol kematian.
Puisi ‘Musnah’ (halaman 39) mengisyaratkan sesuatu yang tidak akan abadi. Bagi manusia ketidakabadian ini ditemukan dalam kenyataan menua dan kematian. Masa remaja pasti akan berlalu dan tidak akan pernah kembali. Tak ada manusia yang dapat menyangkal kenyataan itu.
Begitu juga dengan puisi ‘Tangisan Senja’ (halaman 40). Senja menggambarkan masa pergantian dari siang ke malam. Senja perlambang masa-masa terakhir dalam kehidupan. Boleh dikatakan sebagai waktu ajal menjemput hampir tiba atau sekarat. Tangisan anak-anak dan orang-orang yang dikasihi takkan dapat mengubah kehendak-Nya. Tinggallah harapan agar sang anak dapat meneruskan cita-cita dan berusaha sendiri.
‘Kudukung Kemenangan Tanpa Melati’ (halaman 41) terkesan begitu lembut dan bersahaja. Aku lirik mengemukakan betapa ia takut sekali mati, takut kehilangan. Tapi itu tak menghalanginya untuk terus berusaha dalam hidup. Ingin meraih kemenangan, keberhasilan, meski tak perlu diberi penghargaan. Bait terakhirnyalah yang menjelaskan makna ini. Kita memang dianjurkan mengingat kematian, tapi bukan berarti kita tidak bekerja dalam kehidupan dunia.
Agak sukar memahami ‘Kepada Bapa’ (halaman 44), tapi lambang-lambang yang digunakan masih relevan dengan kematian. Coba kita simak bait tika daun pada bunga sudah kuning tua, kemudian bait berikut:
beringsut-ingsut lara baru kau datang menjemput
sekilas pisau kata diapun melambai maut
Atau
karena beginilah harusnya akhir cerita
biar kutelan tangis kumalku komat-kamit bendungnya
Membaca ‘Malam Penghabisan’ (halaman 49) ada kesan ‘akhir’ yang kita tangkap. Itulah yang ingin disampaikan dalam baris karena kecapaian angsur mengesani jasmani pendukung. Menutup hari tentu akan membawa goresan-goresan hasil perjalanan yang ditempuh. Perlahan menyusuri cerita hidup, semua orang akan sampai pada masa tuanya. Ini yang coba disampaikan penyair dalam ‘Biola Tua’ (halaman 52).
Berbeda dengan dua penyair sebelumnya, Hijaz Yamani tak terlalu banyak bicara kematian. Hanya ada dua puisi yang menawarkan sedikit aroma kematian. ‘Saat dan Hari Baik’ mencoba mewakili. Puisi ini ditulis malam Ramadhan. Sebuah bulan yang membuat kita selalu berusaha mendekatkan diri pada Allah. Mungkin ini juga saat mengingat kematian oleh sebagian orang. Unsur dzikrul maut puisi ini diantarkan oleh bait berikut:
kalau tiba saat akhir menjelang segala penyelesaian
dengan segala harapan besar
akan penutupan segala dosa demi dosa
malam begitu merunduk kesepian
Dalam puisi ‘Orang Lalu’ (halaman 62) baris Ah, keperkasaan apakah yang harus dipertahankan mengisyaratkan bahwa tak ada kehebatan apapun yang dapat dipertahankan karena semua pasti akan musnah.
4.      Penutup
Ternyata melalui puisi pun kita dapat mengingat kematian. Tentu saja tak cukup hanya dengan membaca puisi-puisi ini untuk mengingat kematian. Banyak hal lain yang harus kita lakukan. Tapi setidaknya mungkin cara inilah yang cukup efektif bagi penggemar puisi.
Demikianlah dzikrul maut dalam kumpulan puisi Tanah Huma. Sebuah apresiasi sederhana terhadap kumpulan puisi karya D. Zauhidie, Yustan Aziddin dan Hijaz Yamani. Mungkin tak semua penikmat kumpulan puisi ini sepakat dengan pemahaman penulis bahkan mungkin sangat bertentangan. Tak ada salahnya berbagi kisah di sini, di Tanah Huma.

Sumber: Kumpulan Puisi Tanah Huma, Pustaka Jaya, 1978
Mensucikan Jiwa, Said Hawa, 1998


Makalah tersebut kusalin ulang tanpa menyuntingnya dari hardcopy yang kudapatkan dari seseorang yang aku sangat berterima kasih padanya. Aku sempat kehilangan jejak tulisanku ini. Tulisan yang sangat berarti bagi keberadaanku di ranah sastra, seni dan budaya.
Makalah ini pernah kusampaikan pada acara sastra bertajuk Diskusi Puisi di Taman Budaya, 28 maret 2002. Waktu itu, aku masih menjadi mahasiswa S1 PBSID FKIP Unlam. Masa-masa aku gila puisi. Menulis maupun membacanya. Aku mendengar kabar mau ada acara sastra di taman budaya.  Aku segera menemui dosenku, Bapak Drs. Jarkasi (alm). Kukatakan aku sangat ingin ikut acara tersebut. Bisakah aku didaftarkan. Beliau mengiyakan. Kira-kira seminggu sebelum acara, beliau memanggilku. “Coba kamu buat makalah tentang kumpulan puisi ini. Ini contoh makalah punyaku. Kamu buat yang seperti ini tapi cari topik lain!” Aku terkaget-kaget. Mau jadi peserta malah disuruh jadi pemakalah! Tapi dasar aku gila puisi, aku terima saja perintah tersebut.
Ternyata selain Bapak Jarkasi, pembicaranya adalah Bapak Ajamudin Tiffany (alm). Ehem, ehem, dua-duanya sudah almarhum nah. Tinggal aku yang belum…J Sebelumnya aku tak pernah mengikuti acara yang sekeren itu. Gugup juga aku pas melihat para peserta. Tidak hanya kalangan mahasiswa (teman-temanku), juga ada dari kalangan seniman, sastrawan, dan budayawan.Tau gak, saking tergila-gilanya aku pada para penyair tersebut, selesai acara aku nguber-nguber mereka, minta tanda tangan! Dulu gak secanggih sekarang. Aku gak punya kamera, hp kamera apalagi. Sayang aku gak punya dokumentasi fotonya selembar pun.
Nah, peserta mata kuliah Bapak Jarkasi wajib ikut acara ini dan wajib membuat tulisan semacam esai tentang acara. Jadi, meski aku pembicara, aku juga wajib mengerjakan tugas tersebut. Sampai sekarang aku masih menyimpan lembar tugas yang sudah dinilai beliau itu. Nilaiku termasuk paling sempurna (narsis.com). Aku suka memamerkannya pada anak-anakku.
Aku ingat banget habis bubar acara, aku sempat berkenalan dan berbincang dengan seseorang dari koran, namanya Bang Sandi Firly. Entah dia masih ingat momen itu atau sudah melupakannya.  Hari itu aku merasa orang paling beruntung sedunia. Bisa bertemu para penyair, berkenalan dengan Bang Sandi, dan ternyata dapat honor pula. Honornya lumayan besar untuk ukuran mahasiswa sepertiku. Sorenya, aku mentraktir adikku makan-makan dan berniat membeli sesuatu yang berharga dari uang tersebut. Akhirnya aku putuskan membeli Quran terjemah karena saat itu aku belum punya. Di halaman pertama Quran tersebut kutulisi, kenang-kenangan honor Tanah Huma.
Sampai hari ini aku tak pernah melupakan momen itu. Aku sangat berterima kasih pada Bapak Jarkasi- orang yang menyuburkan cintaku pada sastra. Beliau pembimbing skripsi terkeren yang pernah kukenal. Beliau juga yang membuatku sempat mengajar 1 semester di almamaterku pasca kelulusanku. Sayang, aku belum sempat mengucapkan terima kasih padanya….
Aku sempat merasa menyesal karena setelah itu, komputerku rusak dan aku tak punya arsip makalahku. Makalah Pak Jarkasi malah aku masih punya. 2012, 7 tahun setelah aku diterima di Poliban, aku menemukan makalahku. Unik sekali, yang masih menyimpan makalahku adalah dosen senior di kampusku mengajar. 2005 aku diterima sebagai PNS di Poliban tapi aku tak pernah berusaha mencari jejak makalahku. 2012, setelah berdiskusi dengan dosen senor tersebut – namanya Pak Tarman Effendi Tarsyad – aku kegirangan. Ternyata beliau termasuk peserta acara tersebut dan masih menyimpan makalahku! Beliau mengopikannya untukku. Thanks banget, Pak…
Hari ini, aku masih dan selalu mengenang acara Tanah Huma, mengenang para almarhum yang terlibat di acara itu. Mengenang kematian… ***

Fa: Lamut Cinta

02.58 2 Comments

Fa: Lamut Cinta
Cerpen Nailiya Nikmah JKF

Bismillahi ini mula kubilang kartas dan dawat jualan dagang kartasnya putih selain lapang pena manulis tangan bagoyang, tintanya titih di kartas lapang bukannya beta pandai mengarang hanya taingat di dalam badan hanya kurait diumpamakan tali dadayan umpama pendek kupanjangakan umpama tagumpal kita bujurakan. Wahai Saudara anak tuntunan baik laki-laki atau parampuan, jantan, betina, janda parawan, tua, muda, balu dan bujang, jikalau ada malam ini tasama ngaran, jangan jadi pikiran.[1]

“Beruntung ya jadi laki-laki,” celutuk Fa tiba-tiba.
“Maksudmu apa, say?” Wida menghentikan ketikannya. Keningnya berkerut. Tak biasanya rekan kerja sekaligus sahabatnya itu begitu iri dengan laki-laki.
“Kalau seorang laki-laki yang sudah beristri jatuh cinta lagi, sudah ada pintu darurat bernama poligami. Sebaliknya, kalau perempuan yang sudah bersuami jatuh cinta lagi, hanya bisa menahan hati” jawab Fa enteng. Seenteng angin sore itu yang masuk melalui jendela yang terbuka lebar. Karyawan lain sudah pulang semua. Tinggal Fa dan Wida di kantor karena harus menyelesaikan laporan penelitian. Fa dan Wida sama-sama penggemar sejuk AC alami. Jika mereka hanya tertinggal berdua di kantor, no AC.
Wida melotot. Ia segera menutup file setelah memastikan datanya tersimpan aman. “Pekerjaan kita kali ini benar-benar membuatmu lelah sepertinya, Fa. Fisik yang lelah kadang membuat pikiran kita terganggu, lho. Ayo, di-save dulu. Besok saja lagi.”
“Ah, siapa bilang? Aku masih fit kok. Nih, lihat” Fa berdiri sambil memutar tubuhnya 360 derajat.
“Berarti, otakmu yang lelah. Ada yang korslet barangkali sampai kamu menggugat hal yang satu itu,” Wida tergelak.
“Enak aja. Kamu yang korslet” Fa menimpuk Wida dengan kertas buram yang menggumpal di mejanya.
“Hati-hati bicara lho, Fa. Salah-salah kamu nanti dituduh aliran Islam liberal, kalau nggak, dibilang kafir.”
“Iya, iya, bos…. Maaf deh, ku delete ucapanku.” Fa mengemasi barangnya. Sebenarnya ia berharap Wida menusiknya agar ia bisa menumpahkan beban hatinya.
* * *
Sore mengantarkan resah ke lubuk hati Fa. Pelabuhan Lama, satu-satunya tempat yang disukainya, menjadi penjeda sebelum pulang, sebelum matahari terbenam sempurna. Angin mengibarkan kerudungnya. Fa memandang riak-riak kecil berwarna coklat muda yang terhampar di hadapannya. Tak dipedulikannya pengunjung lain yang lalu-lalang di sekitarnya. Ia ingin berceloteh pada sungai dan angin. Sesekali ditatapnya layar ponselnya. Fa membaca ulang beberapa pesan di kotak masuk dalam seminggu terakhir yang sengajanya tidak dihapus. Seminggu terakhir ini ia nyaris tak pernah tak menjeda perjalanannya dari kantor ke rumah dengan ritual seperti itu. Ritual membacakan sms untuk sungai dan angin. Sampai ia merasa yakin azan akan berkumandang untuk daerah Banjarmasin dan sekitarnya, barulah ia meninggalkan Pelabuhan Lama.
Di perjalanan pulang, sambil menyetir hanya ada satu nama yang berputar-putar di kepala Fa. Sebuah nama yang akan menghubungkannya dengan nama lain. Re. Ya, nama itu lah yang akhir-akhir ini memenuhi kotak masuk di ponselnya. Sebuah nama yang akan menghubungkannya pula dengan nama Salman dan Rijal menjadi sebuah rajutan syal yang kusut masai. Ia tak tahan lagi. Kali ini ia ingin berbagi. Di tekannya nomor kontak Wida. Fa mengalurkan ceritanya, membagikan kepingan-kepingan kisahnya yang belum diketahui Wida. Sudut matanya mengalirkan bening sesalan. Ia yakin, Wida di ujung ponselnya pun sedang menangis. Ia merasakan pelukan sahabat terbaiknya itu dari jauh.
* * *
Sapuluh parkara kubawahakan, satu per satu kukatakan, nanti maknanya kupacahakan: satu tali, dua lalaran, tiga tungkat, ampat ukuran, lima jarum, anam kulindan, tujuh kompas, delapan padoman, kasambilan teuri politik, yang kasapuluh dengan aturan.
Sapuluh tadi dengan aturan di mana tadi awal parmulaan ini maknanya kupacahakan. Satu tali tadi dua lalaran tiga taqdimtaqlim yang ditantukan. Malam ini kita balamutan carita bahari kubawaakan. Memang badanku sebagai palamutan tiada mamakai buku atau tulisan, tiada di kitab seperti Quran, tiada dijual dari pasaran, tiada batajwid seperti al-Quran…[2]

Fa membaca kitabnya pelan-pelan. Sesekali ia menyeka air mata yang menggantung di pipi dan sudut bibirnya. Saat seperti ini adalah saat terdekat Fa dengan Tuhannya.
Fa malu karena ia telah melanggar aturan. Aturan tertinggi dalam hidupnya yang juga menjadi aturan tertinggi Ibu Bapaknya, Kai Nininya, Datu-Datunya. Tak ada yang lebih melukai selain dikhianati. Tak ada yang lebih memalukan selain mengkhianati. Fa tidak kunjung mengerti kenapa ia sampai bisa jatuh hati dua kali dalam hidupnya. Pun ia tak pernah memahami kenapa matanya yang awas itu bisa dibutakan oleh pesona lain. Bahkan logikanya tak jua menemukan jawaban kenapa perempuan selengkap ia bisa merasa lebih lengkap oleh kehadiran pelengkap lain selain Rijal.
Salman. Lelaki berusia tujuh tahun di atasnya yang selalu menggunakan kata ganti ulun untuk menyebut dirinya meski dengan orang yang lebih muda. Lelaki cerdas tapi sederhana yang beramalan ilmu padi. Lelaki sederhana itulah yang telah mengubah sedikit saja haluan jiwa Fa. Sesederhana perkenalannya. Mereka bahkan tidak berkenalan secara langsung. Fa mengetahui ada seseorang bernama Salman di focus group discussion-nya dari daftar hadir yang dibagikannya ke peserta. Saat membaca daftar hadir itu, samar-samar Fa ingat, ada budayawan atau sastrawan bernama Salman yang berasal dari Hulu Sungai yang suka membuat tulisan tentang sastra dan budaya Banjar. Lalu ia membisiki  Wida agar mencari tahu yang mana di antara peserta tersebut yang bernama Salman. Wida mencari tahu ke peserta lain, lalu memberitahukannya pada Fa. Begitu saja. Ya, begitulah perkenalannya dengan Salman.
Fa ingin lamut sebagai bahan disertasinya untuk meraih gelar Doktor. Teman-temannya sudah mengingatkannya bahwa meneliti lamut seperti mengurai benang kusut. Rijal bahkan mengumpamakannya seperti melukis dalam air saking susahnya meneliti lamut menurutnya. Fa seperti cadas. Ia kukuh mau mengangkat lamut.
“Jangan ribet-ribet deh, Fa. Yang penting kamu cepat lulus dan jadi Doktor” ucap Wida.
“Tapi aku mau lamut, Wid” rengeknya.
“Kenapa harus lamut?”
“Karena aku peduli!” suara Fa meninggi.
“Peduli itu sama anak yatim, orang miskin, orang terlantar, korban bencana…” sanggah Wida.
“Aku melihat kondisi Lamut sekarang lebih buruk dari itu, Wid” Fa mulai berorasi.
“Ah, terserah kau lah, Fa” Wida kehabisan bahan. Ia terlihat sebel karena tak sependapat dengan Fa.
“Tapi, kau mau membantuku, kan?” suara Fa melunak karena melihat wajah Wida yang mulai tak bersahabat.
Wida langsung mengacak-acak kepala Fa sampai kerudungnya mencong-mencong. “Alah…sudah ada maunya, baru deh ramah….”
Ternyata pendapat teman-temannya ada benarnya juga. Minggu-minggu pertama penelitiannya, Fa kewalahan. Data yang diperolehnya simpang siur. Ada yang bilang lamut asli Hulu Sungai Selatan. Ada juga yang bilang, lamut dari Cina di bawa ke Hulu Sungai Utara.[3] Referensi juga kurang lengkap. Yang paling membuat Fa nyaris menyerah adalah kenyataan bahwa lamut adalah tradisi lisan yang hampir punah. Menelitinya tak bisa dikerjakan sambil lalu dan sendirian di dalam kamar sambil tidur-tiduran seperti meneliti sastra tulis. Meneliti lamut berarti menjalin kerja sama. Fa harus turun ke lapangan, menggali informasi dari informan dan palamutan. [4]
Meski dari awal menyatakan siap membantu, Wida kadang absen juga. Rijal juga tidak terlalu bisa diandalkan, ia sibuk dengan proyeknya. Entah bagaimana awalnya, akhirnya yang banyak membantunya adalah Salman. Salman sampai menginap berhari-hari di rumah temannya hanya untuk membantu Fa. Waktu Fa menanyakan alasan kenapa Salman mau repot-repot membantunya, jawaban Salman membuat Fa merasa “sesuatu”.
Ulun peduli dengan lamut….” Salman menjawab dengan santai.  Ia membutiri beberapa alasan tapi Fa tidak mendengarkan lagi. Cukup kalimat awalnya saja yang ia simak. Kalimat yang membuatnya merasa se-misi dengan Salman.
Fa tidak akan lupa saat tinggal lima orang saja di ruang pertunjukan – salah satunya Salman. Saat itu, ia terkantuk-kantuk menyaksikan palamutan menuturkan serunya kisah Kasan Mandi sambil manapak terbang. Wida serius merekam pertunjukan. Salman menyeduhkan secangkir kopi manis untuk Fa. Semula Fa mengira kopi itu untuk palamutan. Ketika tahu kopi itu untuknya, Fa terbengong-bengong.
Rekonstruksi lamut hampir selesai. Salman sudah pulang ke kampungnya tapi komunikasi tetap terjalin lewat sms. Fa sering meminta pendapat-pendapat Salman tentang sastra. Ia nyaris lupa kalau Salman lulusan SMA. Berdiskusi dengan Salman seperti berbicara dengan doktor sastra dari negeri antah berantah yang belum pernah ditemuinya. Salman juga ahli membuat puisi. Fa dikiriminya beberapa. Lama-lama ia jadi terbiasa dengan Salman. Terasa ada yang janggal jika tak menerima sms Salman. Semacam perasaan mengganggu yang rasanya sama dengan perasaan  jika lama tak mengunjungi Ibu. Ah, bukankah itu kangen namanya? Lalu terciptalah bait-bait puisi di laptopnya. Bait-bait tentang Salman.
Hingga suatu sore yang berpelangi. Fa sedang membaca naskah transkrip lamut, ada kosa kata yang membuatnya bingung. Ia teringat Salman tapi tidak enak hati menghubunginya. Rasanya sudah terlalu sering ia mengganggu Salman. Lagi pula, ia sedang ingin menghindar dari Salman. Tengah Fa menimang-nimang ponselnya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh bunyi ponselnya. Ada pesan masuk. Ternyata dari Salman! Fa hampir memekik. Ia seperti anak kecil yang baru dijanjikan es krim.
Ulun lagi ngetik naskah baru nih. Mau dikirim ke penerbit.
Fa segera membalasnya, baru aja mau sms pyan.
Wah, kayaknya kita sehati…hohoo.., Salman membalas.
Fa terhenyak. Entah kenapa, ia merasa ada yang aneh menyusup ke ruang hati. Seperti ada yang mengalir, menelikung di lorong-lorong jiwa. Ramai dan sepi bersilangan. Fa merasa senang sekaligus cemas.
Jujur, kata “sehati” membuatku takut. Fa memejamkan matanya sambil menekan tombol di ponsel. Di layar tertulis pesan terkirim.
Duh, maaf kalau ulun keliru menggunakan  kata “sehati” untuk menggambarkan keadaan yang terjadi. Kenapa takut? Salman membalas.
Fa bingung mau membalas apa. Akhirnya ia hanya mengirim satu kata, Entahlah…
Duh, bisa jadi bahan tulisan, tuh! Kalimat itu yang dikirim Salman berikutnya.
Fa langsung membalas, Sudah tercipta sepuluh puisi. Mendadak puitis.
Sekitar lima menit kemudian Salman membalas Wah…wah… menurut Socrates, semua orang mendadak jadi penyair kalau sedang jatuh cinta. Hayoo…
Balasan Salman membuat Fa panas dingin. Ia bertanya-tanya apakah sebenarnya Salman tahu apa yang ia rasakan. Apakah Salman juga merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan? Fa tak berani berharap. Fa merasa seperti anak baru gede yang sedang terlibat cinta monyet. Ia merasa sangat konyol tapi tangannya mengetik, Itulah yang kutakutkan.
Salman pasti kehabisan kata. Ia hanya membalas dengan Hm…
Akhirnya Fa pun membalas Hm…juga. Setelah itu ia menghapus semua item di kotak pesan ponselnya.
Sejak hari itu Fa seperti orang linglung. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Yang ada di pikirannya hanya Salman dan Salman. Fa tahu apa yang dirasakannya adalah sebuah pelanggaran tapi ia tetap membiarkan perasan-perasaan itu dan menyimpannya rapi-rapi. Fa seperti menyimpan bom waktu yang kapan saja bisa meledak.  
Tak usah menunggu lama. Bom itu ternyata justru meledak di hulu sana. Di subuh yang luka, seseorang yang mengaku tulang rusuk Salman, seseorang yang bernama Re menelpon ke ponselnya. Di saat ia baru saja keluar dari kamar mandi setelah menyucikan jiwa dan raganya dengan air wudhu. Seharian itu dan hari-hari selanjutnya Fa menerima luapan kecaman dari Re. Fa sangat paham apa yang dirasakan Re. Tak ada pembelaan apa-apa dari Fa atas sumpah serapah Re. Fa hanya satu kali mengirim balasan, sebuah kalimat singkat bahwa tak ada apa-apa antara ia dengan Salman.
 Lalu datanglah sms ini, Minggu depan aku labuh ke Banjar. Aku mau ketemu kamu. Tempatnya kau yang tentukan. Sms inilah yang menggiring burung-burung cemas ke langit pantai hati Fa. Untuk apa Re ingin bertemu dengannya? Untuk menambah luka hatinya dan hati Fa? Wida tak berani menyarankan apa-apa. Fa tahu, sahabatnya itu sebenarnya kecewa dengannya.

***
sungai adalah kaca bening
di permukaannya selalu terpantulkan wajah yang bingung,
entah milik siapa.
(mungkin juga wajah kita sendiri) yang mencari ke luhuk-
luhuk tersembunyi [5]

Beberapa menit Re dan Fa mematung. Keduanya mengakrabi pertemuan langit dan sungai yang menjadi kawan setia kapal-kapal putih. “Menikahlah dengannya. Aku siap dimadu. Jika kau mau, aku bersedia membagi Salman denganmu.” Di Pelabuhan Lama, Re menawarkan jaring untuk menangkap angin pada Fa.
Fa melotot mendengar tawaran Re. Ia luruh. Ada yang menggedor-gedor pintu jiwanya yang lelah. “Aku tak bisa menikah dengan Salman,” derai Fa.
“Tapi kenapa?” tusik Re. “Itu jalan yang sesuai aturan.”
Fa mematung. Pandangannya lurus ke tengah sungai. Sore tidak menyuguhkan gerimis tapi Fa merasa ada yang membasahi hatinya. Tidak semua pertautan hati bisa disimpulkan dalam ikatan pernikahan, batin Fa.
“Kau dan Salman sama saja. Tak ada yang mau menerima tawaranku. Aku tahu, ada sesuatu di antara kalian,” desak Re.
“Kau lihat laki-laki yang sedang bermain lempar tangkap bola dengan balita lucu itu?”Fa menunjuk ke seberang jalan. Re mengikuti tunjukan Fa.
“Laki-laki itu namanya Rijal dan balita itu, Adit. Suami dan anakku,” Fa menggetaskan hatinya.
Kali ini gilaran Re yang membisu. Beberapa detik keduanya tak bersuara, larut dalam pikiran masing-masing. Angin sibuk mengibarkan kerudung keduanya.
“Re, aku janji, setelah ini aku tak akan menghubungi Salman lagi,” ucap Fa.
“Kau tidak tapi Salman iya!” Re menyahut cepat.
“Dia tak kan bisa lagi. Percaya padaku,” sekonyong-konyong Fa melempar ponselnya sekuat tenaga ke tengah sungai, menciptakan bunyi cemplung dan riak-riak di permukaannya beberapa saat. Setelah itu sungai kembali tenang dan bisa dijadikan cermin. Fa yakin, hatinya pun seperti sungai itu. Besok atau besoknya lagi, pasti ia akan melupakan Salman.
* * *
Aku tersenyum. Cerpenku dimuat. Kali ini aku tak memakai nama asli. Takut sepenggal kisahku diketahui oleh orang lain. Beginilah kalau pengarang lagi jatuh cinta, bisa jadi ide cerita. Sebelum cerpen itu jadi, aku tak bisa ngapa-ngapain. Gara-gara karindangan dengan seseorang. Setelah kujadikan cerpen, lumayan, bisa membuatku lebih tenang. Mungkin ini bagian dari proses kreatifku?
“Kenapa, La, senyum-senyum sendiri baca koran?” tanya adikku. “Cerpennya lucu, ya? Cerpen siapa?”
“Tidak lucu sih…tapi aku senang aja membacanya. Nama pengarangnya Nayomi.” Aku menutup koran Minggu. Lumayan, bisa beli buku baru nih dari honornya.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada pesan masuk. Hai, Fa. Apa kabar?
Aku kaget setengah mati. Berarti ada yang tahu kalau penulis cerpen itu adalah aku! Segera kubalas sms nya, Siapa, neh?
Aku Salman
Aku buru-buru mematikan ponsel. Apakah itu dia? Bagaimana dia bisa tahu? Apakah aku harus membuang ponselku ke sungai juga seperti tokohku? Aku memandangi ponselku. Ah, enggak ah. Sayang, kan ponselnya? Ganti kartu aja. Beres.
***

Catatan:
Beberapa bagian yang menyangkut lamut, datanya  diambil dari artikel/esai Sainul Hermawan dalam bukunya Maitihi Sastra Kalimantan Selatan  2008-2011:




[1] kutipan ucapan palamutan yang biasa dibawakan oleh Jamhar Akbar di awal pertunjukan, lihat  Hermawan, 2011:265.
[2] kutipan ucapan palamutan yang biasa dibawakan oleh Jamhar Akbar di awal pertunjukan, lihat  Hermawan, 2011:265.
[3] Lihat Hermawan, 2011:252.
[4] Lihat Hermawan, 2011:234
[5] Penggalan puisi Hajriansyah, “Sungai Adalah Kenangan dan Mimpi yang Terang”, dikutip dari buku Sungai Kenangan, 2012:66