Senin, 03 April 2017

Momen Pertama Anak Bepergian Tanpa Ortu

09.31 7 Comments

Maafkan, Hari Ini Kami Tak Menemani


Petang itu, si kembar anak bungsu kami yang masih kelas 1 SD berceloteh dengan riangnya. “Mama, kami nanti mau ke Pleihari, melihat gunung, naik bis.”
            Aku terdiam sejenak mencoba memahami. Kupikir itu bisa-bisanya mereka saja. Ternyata keesokan harinya, pihak sekolah mengirimkan surat pemberitahuan resmi tentang kegiatan outbond para murid ke Tambang Ulang (Pleihari) pada hari yang sudah ditentukan (laki-laki dan perempuan pada hari yang terpisah). Di surat itu juga tertera sejumlah uang yang harus kami bayarkan jika ingin mengikutkan anak-anak pada kegiatan tersebut. Kegiatannya tidak wajib tapi aku pikir ini saat yang tepat untuk melatih kemandirian dan keberanian mereka.
            “Aku khawatir. Sebaiknya si kembar tidak usah ikut. Kalaupun ikut, kita harus mengikuti mereka meski dari kejauhan.” Itu komentar suamiku yang tidak aku sangka-sangka sebab biasanya akulah yang suka khawatir.
            “Mereka belum pernah bepergian jauh tanpa kita.”
            “Kita sudah pernah mengajak mereka ke Tambang Ulang, bukan?’ ucapku. “Mereka bahkan sudah mencoba flying fox di sana” aku mengingat setahun yang lalu kami pernah ke sana bahkan menginap satu malam dalam rangka menemani aku yang sedang menjadi pemateri dalam sebuah acara outbond mahasiswa.
            “Justru itu,” suamiku menghela nafas, “Mereka sudah tahu medan. Jangan-jangan nanti mereka memisah dari rombongan, pergi ke danau berdua saja atau apalah…”
            “Yaa nanti kita nasehati dan beri pengarahan supaya mereka tidak macam-macam” jawabku.
            “Apa iya para guru mampu meng-handle anak-anak kelas 1, 2 dan 3 SD tanpa orang tua mereka?” gumamnya. “Sebagian besar dari mereka bahkan belum menikah, belum punya pengalaman mengatasi anak kecil yang sedang aktif-aktifnya.”
            “Lalu?”
            “Kita berangkat dengan mobil sendiri. Diam-diam mengikuti dari belakang” usul suamiku.
            “Trus sampai sana kita ngapain? Ngumpet-ngumpet kaya detektif?”
            Mendekati hari H suamiku malah sedang dikelilingi banyak pekerjaan kantor. Dia menyuruhku mencari tebengan barangkali ada mama-mama lain yang jadi detektif juga. Aku paling malas kalau nebeng-nebeng. Nantilah kita pikir-pikir lagi, kilahku. Suamiku berharap anak-anak sendiri yang membatalkan keberangkatan karena ia juga tidak mau mengecewakan mereka. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, anak-anak makin semangat untuk ikut.
            “Ma, belikan kami kamera dong!”
            “Iya Ma, kamera yang begantung di leher itu…”
Aku ternganga. Aku baru ingat, dalam surat pemberitahuan terdapat catatan bahwa para murid tidak diperbolehkan membawa telepon genggam tapi boleh membawa kamera.
            “Satu-satu ya Ma.”
            “Buat apa?”
            “Kami hendak berfoto di gunung dengan Umar.”
            “Minta fotokan ustadz saja”
            “Yaah Mama… kan di surat ada bacaannya boleh membawa kamera.”
            “Boleh membawa itu bukan berarti harus membawa, Nak. Boleh itu, yaa boleh. Boleh membawa boleh tidak. Kalau tidak punya ya tidak ada yang bisa dibawa.”
            “Makanya Ma, Mama belikan saja supaya kita punya kamera.”
            “Kalian gak usah ikut saja ya?” bujuk suamiku.
            “Yee Abah, orang mau pergi disuruh gak ikut. Seru tauuu”
            “Ya sudah, kamera gak jadi. Permintaan diganti dengan tas baru.” Ini nih keahlian si kembar, keahlian melobi tingkat tinggi.
            “Maksudnya?”
            “Masak kami ke gunung pakai tas sekolah? Kebesaran tasnya, Ma”
            “Sudah, tidur sana. Nanti besok kesiangan.”
            “Setelah kami tidur, mama diam-diam pergi mencarikan tas ya?
            “Huss. Tidur. Pakai yang ada saja. Tas sekolahmu”
            “Bangunkan jam dua lah, Ma. Nanti ditinggal bis” Hah? Memangnya mau sahur?
            Aku berbaring di antara keduanya. Salah seorang memelukku, “Mama, aku sedih”
            “Hah? Kenapa? Masalah tas baru?”
            “Bukan…”
            “Lalu?”
            “Besok aku tak bisa melihat mama dong”
            Aku memeluknya. “Nanti kan pulang juga? Bisa lihat lagi?”
            Aku tidak tahu siapa di antara kami yang terlelap lebih dulu sampai aku merasa ada yang menggoyang-goyang kakiku.
            “Psst..bangun, ayo bangun. Jangan tidur dulu… Saatnya diskusi. ”
           
***
            Setengah terpejam aku berdiskusi dengan suami. Usai merundingkan plus minusnya keberangkatan anak-anak, kami akhirnya bersepakat bahwa mereka berangkat tanpa ada acara detektif-detektifan. Kami juga bersepakat untuk membelikan tas baru yang ukurannya lebih kecil daripada tas sekolah asal dapat harga yang terjangkau. Pukul sembilanan malam itu, setelah mereka tertidur pulas, aku dan suami keliling Jalan Cemara mencari orang jual tas. Alhamdulillah dapat toko yang menjual tas bagus harga terjangkau. Ke dalam masing-masing tas kumasukkan kudapan yang sudah mereka beli sorenya, satu set baju ganti dalam kantong plastik dan susu kotak.
            Paginya mereka bangun lebih cepat. Salat Subuh, sarapan, mandi, memakai seragam olah raga, mengenakan kaos kaki, sepatu, tak lupa kopiah seragam sekolahnya. Mereka sangat bersemangat, terlebih setelah mengetahui ada tas baru. Aku juga memasukkan kotak bekal berisi mie sayur bertabur abon dan sebotol susu coklat hangat.
            Sambil memakaikan baju aku mengajak mereka ngobrol. “Mama bisa mempercayai kalian berdua, kan?”
            Keduanya menatapku. Aku melanjutkan maksudku,“Kalian tidak akan menjauh dari ustadz dan rombongan. Janji?”
            “Baiklah…kami janji”
“Ini uang masing-masing sepuluh ribu, sesuai petunjuk di surat sekolah” kataku.
“Horee, kami mau jajan nanti di sana
            “Lihat…Mama memasukkan satu set baju ganti dalam kantong plastik ini ke tas kalian. Baju ini hanya dipakai kalau keadaan darurat. Jika tidak darurat, tidak usah ganti baju. Baju kotornya, masukkan dalam kantong plastik ini. Oke?’
Keduanya mengangguk.
“Kalian paham arti darurat?”
“Iya lah, Ma. Basah karena kehujanan misalnya, atau tumpah air minum, atau apakah lagi yang basah-basah”
“Pandai anak Mama...,Oiya, kalian perlu jaket tidak?”
“Tentu!”
Tidak ada suara dari suamiku tapi dengan ekor mataku aku melihat kecemasan di wajahnya. Dia pasti meragukan anak-anak bisa mengganti baju sendiri dan membawa balik baju kotor seperti yang kuinstruksikan. Dia diam saja karena sudah aku wanti-wanti agar tidak mengucapkan segala prasangka yang tidak baik. Lalu tibalah adegan mengharu biru itu.
foto keberangkatan

“Ma…maaf ya, hari ini kami harus pergi tanpa Mama.” Kata seseorang di antara mereka.
“Iya, Ma, Maaf ya hari ini kami tidak bisa menemani mama.” Kata yang lainnya.
“Mama jangan sedih dan bete ya? Mama ngobrol-ngobrol dengan siapakah biar tidak bosan selama kami tidak ada hari ini” mereka saling menimpali. Ada yang mengusap-usap tanganku, ada yang mengusap-usap punggungku.

            Aduh…rasa ada yang nyess di hati. Rasanya, aku yang lebih sering meninggalkan mereka daripada sebaliknya. Iya, ini pertama kalinya mereka pergi ke luar kota tanpa kami. Aku jadi mikir bagaimana rasanya para orang tua yang melepas anaknya dalam waktu lama seperti sekolah di luar daerah. 
Para murid diminta berkumpul di sekolah pukul 06.30. Si kembar meminta kami mengantar bersama para kakak. Dalam perjalanan ke sekolah, aku bertanya, “Ini nanti Mama tunggu sampai bis berangkat atau tidak perlu?”
            “Kayaknya tidak perlu deh, Ma. Nanti kami sedih, takutnya kami menangis melihat mama dari dalam bis” Hehehe..ada-ada saja.
            Saking semangatnya, turun dari mobil mereka lupa membawa jaket. Suamiku mulai menunjukkan kekhawatirannya, “Tu…kan. Baru dari sini saja lupa membawa jaket. Apa sebaiknya jaket ditinggal saja daripada hilang di jalan”
            “Apaan sih,,, tanya anaknya aja, mau pakai jaket atau tidak. Kalau pakai ya kasihkan saja” kataku. Nyatanya mereka memilih membawa jaket kesayangannya. Dalam hati aku sudah merelakan seandainya jaket itu hilang dalam perjalanan agar nanti tidak terlalu kecewa.
            Setelah itu, aku sendirian di rumah. Suamiku dan anak kedua sudah berangkat ke sekolah. Anak pertamaku harusnya libur karena sekolahnya hanya memberlakukan 5 hari sekolah tetapi karena sedang ada tugas dari guru, ia pun pergi juga ke sekolah. Kukira, dengan kesendirian itu aku akan lebih banyak punya waktu untuk mengetik, menulis, dan melakukan hal lainnya yang biasanya aku keluhkan tak bisa lagi kulakukan.
            Nyatanya aku tidak mengetik atau menulis satu katapun. Aku tidak bisa berkonsentrasi. Diam-diam ada cemas yang menjalari pikiran dan hati. Akhirnya aku memilih salat sunat. Sepanjang hari itu aku memilih menyibukkan diri mengerjakan pekerjaan kerumahtanggaaan sambil mendengarkan dzikir pagi-petang dari speaker murottal yang baru kubeli. Aku mengalihkan kecemasanku dalam bentuk menyibukkan diri, mulai menyapu seluruh ruangan, mengepel, mencuci, membenahi lemari pakaian, menyusun ulang koleksi buku dan mengerjakan segala macam kesibukan domestik lainnya. Sesekali aku mengecek handphone. Tak ada apa-apa. Para ustadz tidak ada yang bisa dihubungi. Dalam benakku terngiang kalimat kepala sekolah sehari sebelum keberangkatan, para orang tua nanti akan dihubungi kalau kami sudah sampai.
***

Waktu salat Asar sudah lima belas menitan berlalu. Berkali-kali aku mengecek HP. Belum ada sms, belum ada panggilan. Aku mulai gelisah, mondar-mandir tidak karuan. Kepalaku sedikit pening sehingga aku berbaring di ruang baca kami. Tanganku memegang buku tapi tak satu katapun bisa kucerna. Sampai kemudian HP ku berbunyi tapi setelah kulihat bukan nomor guru anak-anak. Segera kuangkat, terdengar suara santun Ustadz Kha- gurunya anak-anak- dari seberang. Aha! Macam menerima telpon dari pacar saja riangnya hatiku. Anak-anak sudah di sekolah. Kami bergegas menjemput.
Ternyata sebagian anak sudah dijemput. Kulihat si kembar menunggu di tepi jalan depan sekolah sudah mengenakan baju ganti yang kubekali. Kedua guru mereka mendampingi.
“Siapa tadi yang main basah-basahan…” kata wali kelasnya sebelum aku sempat bertanya mengapa mereka memakai baju darurat.
Ramailah anak-anak menanggapi. Mereka berebut bercerita. Setelah ngobrol sebentar, kami pamit pulang. Dalam perjalanan salah seorang memamerkan kartu tanda peserta yang terkalung di lehernya. “Ma, aku punya ini nih coba lihat. Ada namaku di sini” dia tersenyum bangga. Karena di rumah sedang kedatangan adikku sekeluarga, si kembar asyik bermain dengan kakak-kakak dan sepupunya. Aku tahu mereka sebenarnya lelah tapi main adalah urusan paling penting!
Malamnya aku minta mereka masuk kamar duluan. Aku masih sibuk membereskan dapur sehabis makan malam. Kupikir mereka pasti akan langsung terlelap karena lelah seharian ke Tambang Ulang. Ternyata mereka tidak tidur. “Kami menunggu Mama” katanya. Aku jadi merasa bersalah.
“Bagaimana mama hari ini, apakah baik-baik saja?” tanya yang satu.
“Ow…baik, alhamdulillah, luar biasa, tetap semangat, Allahuakbar” jawabku menirukan yel-ye mereka.
“Capek ya Ma cuci-cuci di dapur?”
“Berkas-berkas Mama beres lah?” (mereka menyebut berkas untuk segala jenis bahan yang menghambur di area kerjaku).
Aku hanya tersenyum.
“Kenapa belum tidur?”
“Kami hendak bercerita”
Satu-satu cerita mengalir. Mulai cerita dalam bis. Mereka duduk tidak berdekatan. Ini sebuah kemajuan dalam sosialisasi mereka. Selalu berdua sejak dalam rahim kadang membuat anak kembar menjadi sangat sulit untuk memiliki teman selain kembarannya. Lalu tentang serunya flying fox dan taman labirin.
“Ma, tanduk rusanya sekarang tanbah panjang lho. Nanti kita ke sana ya Ma biar Mama melihatnya”
“Tadi kami jajan sendiri. Ada teman yang tidak bisa jajan, kami yang membelikan. Aduh…capek bolak-balik”
“Oiya, tadi mau menyewa sepeda seperti waktu dulu. Eh, pamannya tidak mau menyewakan sepedanya kepada kami. Katanya kami tidak bisa naik sepeda nanti jatuh. Kok pamannya lupa sih dengan kami.”
“Kalau baju basah ceritanya gimana?”
“Itu…si Imin nyemplung ke danau, dia berenang. Lihai, Ma. Kok bisa ya Imin berenang dengan mudah seperti itu”
“Lalu? Kenapa kalian yang basah?”
“Ya…kami main-main air di tepinya”
Aku menguap sambil membayangkan betapa pegalnya badan para ustadz malam ini. Tentu tidak mudah mengawasi anak laki-laki kelas 1, 2 dan 3 SD di alam terbuka seperti itu.
“Bagaimana rasanya hari ini?” tanyaku sebelum terlelap.
“Sedikit senang…” jawab mereka.
“Kok sedikit?” aneh banget, cerita heboh-heboh kok bilangnya sedikit senang?
“Ya…karena gak ada Mama.”
Anak-anak memang paling bisa deh.
“Ma.. Sabtu depan kita ke sana yuuk.”
Satu tantangan kami lewati dengan hasil sangat memuaskan. Besok, tentu masih banyak tantangan lain yang lebih amazing![]