Rabu, 07 April 2021

Menafsir Ramuan Sihir Baru Sebuah Kota

19.03 2 Comments

 

Oleh Nailiya Nikmah


 

Pendahuluan

Dalam bukunya Pengarang Tidak Mati, Mahayana (2012:122) menulis satu sub bab khusus tentang komunitas sebagai gerakan ideologi estetika. Ia menyebut sebuah komunitas terbentuk seringkali dipicu oleh adanya kesadaran yang sama dalam memandang problem yang melatarbelakanginya dan harapan yang melatardepaninya.

Antologi puisi dan cerpen Sihir Baru Sebuah Kota (SBSK) diterbitkan oleh G Pustaka (Februari 2021) berjumlah 110 halaman ditulis oleh sekumpulan penulis muda Kalimantan Selatan dengan sebutan Sekte Penulis Muda Kalimantan Selatan (demikian tertulis di sampul buku). Terlepas dari siapa yang memberi nama dan hal apa yang melatarinya, makna yang bisa diambil yaitu, pertama, para penulisnya merupakan sekelompok penulis muda yang berasal dari Kalsel. Kedua, penggunaan kata sekte menjadi semacam clue awal bagi pembaca sebelum menyelami satu-persatu isi buku ini, seperti membaca rasi bintang di langit malam.

Menurut KBBI, “Sekte berarti kelompok orang yang mempunyai kepercayaan atau pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut; mazhab. Ini menjadi semacam ajang pencarian jati diri, baik para penulisnya sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok tersebut sekaligus upaya pengklaiman mereka (para penulis tersebut) sebagai kelompok penulis yang berbeda.

Siapa atau kelompok manakah yang hendak mereka bedakan dari kelompok mereka? Apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan? Arah mana yang hendak dituju? Apa yang hendak dihasilkan oleh ‘sekte’ tersebut? Ramuan macam apa yang mereka janjikan? Pertanyan-pertanyaan ini kita bawa saja sambil menuju sihir baru di sebuah kota.

Kerangka Teori

Hasil penelitian, kajian dan penelusuran data yang dilakukan oleh Sulaiman dan Priyono Tri Febrianto (2017) dalam artikel ilmiahnya pada Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik mengemukakan bahwa konsep periodesasi sejarah sastra Indonesia berdasarkan perubahan warna sastra Indonesia dipengaruhi oleh sosial, budaya dan politik. Periodesasi tersebut, yaitu Angkatan 20 (Angkatan Balai Pustaka), Angkatan 33 (Pujangga Baru), Angkatan 45 (Perjuangan), Angkatan 66 (Pergolakan), Angkatan 80 (Romantisme) dan Angkatan 98 (Reformasi).

Mahayana (2012) menyebutkan bahwa tradisi kepengarangan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Dilihat dari perspektif kepengarangan sebagai sebuah profesi, cikal-bakalnya dimulai sejak zaman raja-raja. Pada masa silam, para pujangga dan pengarang memiliki misi memperkokoh karisma raja di hadapan rakyatnya agar raja dikagumi dan dibanggakan oleh rakyat sehingga dapat melegitimasi kesaktian raja yang harus dipercaya oleh rakyat. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang memandang raja sebagai keturunan dewa. Dalam kehidupan modern, kedudukan dan peran pengarang (sastrawan) relatif lebih bebas dan mandiri meski sejarah kita mencatat bahwa pernah ada seniman dan sastrawan yang diawasi, dipaksa dan diperalat untuk kepentingan ideologi tertentu. Kemudian kesadaran sastrawan mengenai licentia poetica sebagai hak istimewa yang fundamental menyebabkan sastrawan tidak mau terikat pada pihak manapun. Mereka berpihak pada kemanusiaan. Yang diperjuangkan adalah peningkatan moral, keluhuran budi, dan peri kemanusiaan.

Menafsir Ramuan Sihir SBSK

SBSK mengandung dua jenis ramuan, yaitu puisi dan cerpen. Sungguh sebuah kerja yang berat untuk membaca dan menafsir dua ramuan sekaligus dalam satu kesempatan. Untuk itu, saya akan membaginya menjadi dua bagian dengan pendekatan yang berbeda sebelum memandang keduanya sebagai sebuah kesatuan dalam SBSK.

1.      Puisi-puisi dalam SBSK

Terdapat 25 nama penulis puisi (yang didominasi oleh laki-laki) dalam SBSK dengan jumlah puisi yang tidak seragam pada setiap penulis. Beberapa penulis sudah mempunyai ‘nama’ dalam artian sudah jelas posisinya dalam ranah kepenulisan (:kesusastraan) di Kalimantan Selatan. Penulis-penulis yang karya-karyanya sudah memiliki bentuk dan karakter. Untuk itu saya pikir saya tidak perlu lagi menghambur-hamburkan puja-puji atas keterampilan dan kepiawaian mereka dalam membuat ramuan puisi.

Tengoklah ketika ia bicara soal rindu misalnya, Ikhlas El Qasr sebagai wakil pada halaman 25 menulis di ‘Pukul Sepuluh Malam.’

...

lampu-lampu redup

barak-barak pekerja telah mencapai lelapnya

dan beberapa kendaraan telah terparkir

tapi kepalaku masih begitu beku

begitu rindu

 

Jika dibaca bait-bait sebelumnya, akan kita temukan suasana kesepian yang dibangun dengan sangat hati-hati oleh penyair. Suasana sepi yang dibangun dalam kewajaran kehidupan sebuah kota. Masih ada sedikit riuh di sekitar, akan tetapi sepi secara bertahap sudah mengerumuni aku lirik. Situasi yang sempurna untuk sebuah kerinduan.

Suasana dan situasi semacam itu, beberapa juga diramu oleh penyair lainnya. Abdillah Mubarak Nurin pada halaman 8 menulis ... Memandangmu ialah mendengarkan bunyi hujan/ Di sebuah pagi di hari libur/ .../Memandangmu ialah caraku menepi/ Dari segala keluh kesah dan kebisingan/ .... atau di puisi lainnya tentang kota dia menulis .../Langgar-langgar yang sepi /Juga pepohonan yang rapuh/ .../ Daun-daun jatuh tanpa denting/ Sungai-sungai mengering/ ....Atau tengoklah ‘Grafir Mata Luka’ yang ditulis oleh M. Irwan Aprialdy, Kau menyortir ingatan.../mata luka, pagi bertahan amsal angan/ tertahan di mimpi ganjil kepergian:/...cerita-cerita klandestin/ di bawah hujan?/.

Pada pembacaan selanjutnya, tulisan ini menggunakan pendekatan kritik feminis sederhana. Dalam ilmu sastra, feminisme berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita. Arti sederhana yang dikandung adalah pengeritik memandang sastra dengan kesadaran khusus bahwa ada jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan (Syuropati dan Agustina Soebachman, 2012).

‘Kepada Cinta’ halaman 11, aku lirik menyampaikan seluruh ihwal kepada seseorang atau sesuatu yang ia sebut Amizah. Menghadap rahim permaimu menjadi sebuah petunjuk bahwa aku lirik sedang bercakap dengan perempuan atau sesuatu yang direlasikan sebagai perempuan. Bawalah, sudahilah, marilah, izinkan, jangan kita izinkan, menjadi simbol-simbol perintah, permintaan dan larangan bagi Amizah yang memiliki rahim (:perempuan) dalam puisi ini. Di bawah lindungan judul ‘Kepada Cinta’, puisi ini pun memberikan gambaran, bahwa cinta (kepada perempuan) itu isinya larangan dan perintah.

F. Chopin:Nocturne yang ditulis oleh Achmad Zulkifli Altinus halaman 12, ...merambah di celah-celah kesunyian, menyentuh cadar keingintahuanku.

Ahmad Rasyid dalam ‘Menunggu Tua” halaman 14 secara utuh dan eksplisit menuliskan curahan hati aku lirik kepada seorang perempuan. Keinginan dan harapan-harapan yang bersifat ragawi terpampang di sini.  Aku ingin pulang dan menemukan kau mengeluh di meja makan  beserta anak-anak/ .../Aku ingin pulang dan menemukan/ selarik sambutan mesramu di atas ranjang/...aku ingin mencintaimu seperti sajak sapardi; sederhana namun kuat/. Kutipan-kutipan ini menggambarkan bahwa perempuan diharapkan ada di rumah ketika aku lirik pulang, fasih mengurus anak, terampil melayani dirinya. Selanjutnya di puisi ‘Kota” hal tersebut dipertegas kembali, setelah seharian bergurau dengan kesibukan/ laki-laki itu beranjak menuju sarangnya/ dengan kepala mendidih/ Disambut seorang wanita yang sedang bersandiwara/ di atas ranjang kayu mereka kembali berbulan madu/. Lalu pada masanya, pada akhirnya perempuan pun menjadi tidak berdaya dalam ‘Pembantu Gila’ .

‘Riwayat Nenek Tua di Perahu Terapung’ yang ditulis Arif Rahman Heriansyah pada halaman 20, kembali mengingatkan kita pada kekuatan sekaligus kelemahan perempuan banua. Senada dengan Arif, M. Rahim Arza pada halaman 29 menuliskan ‘Hikayat Muara Sungai Lok Baintan’. Pada pukul enam subuh/menatap sunrise pada kecantikan sungai Lok Baintan/ Acil berjamaah mengayuh harapannya di perbatasan waktu/ .../ yang terbingkai dalam senyum Hajjah Faridah, tenggelam di masa silam/.

Perempuan-perempuan banua begitu rajin, dini hari berkabut, merekalah yang memenuhi permukaan sungai. Seperti dua mata pisau. Satu sisi kita bisa berbangga hati, lihatlah perempuan kami mandiri dan gagah berani. Akan tetapi di sisi lain, tidakkah kita perlu juga bertanya kemana para lelaki. Maka, betapa sempurna baris terakhir puisi Arif yang berupa tanya tanpa tanda tanya, yaitu masih adakah pemuda, yang bisa menggenggam Banua.

‘Sihir Sebuah Kota’ karya Muhammad Daffa menyapa Sinta dalam dua baitnya. Dalam heningmu, Sinta, ratusan malam merombak jalan pulang/dari seluruh kisah yang dibuang/, sementara Muhammad Zaini, merayu Ratih dalam dua lariknya. Kau puisi yang selalu kucoba mengerti/ kau sajak yang selalu ingin kunikmati/. Nama-nama perempuan sering menjadi objek dalam puisi. Jika ingin ditelaah lebih jauh, barangkali kita akan temukan lebih banyak nama perempuan yang disebut dalam puisi daripada nama laki-laki. Adakah ini menjadi sebuah tanda bahwa perempuan adalah objek yang masih dan akan terus berpotensi untuk dieksploitasi. Perempuan adalah sesuatu yang selalu ingin dinikmati, demikian tulis Zaini. Barangkali pula ini sebuah petunjuk bahwa penyair laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Jikapun hipotesis ini keliru, barangkali perempuan enggan menulis nama laki-laki yang dipujanya karena ia merasa malu.

Rahmat Akbar dalam ‘Nelayan Tua’halaman 38 seorang lelaki berwajah legam menggenggam/ .../lalu tersemai di sebuah saku ibu/ berisi mimpi yang akan lebih maju. Dalam puisi ini bahkan lelaki sekuat apapun memerlukan sosok perempuan (:ibu) dalam perjuangannya. Meski sekadar dioerankan sebagai pemanjat doa dan harapan.

‘Hikayat Cinta Nelayan Piatu’ karya Rezqie M.A. Atmanegara, halaman 39. Puisi ini meng’alam’kan perempuan. Simaklah larik nelayan lahir dari rahim pesisir/.../kukalungkan selaksa permata buih di lehermu. Kita perlu menelisik lebih dalam apa yang dimaksud nelayan piatu oleh penyair. Piatu artinya seseorang yang sudah tidak beribu. Di bait kedua disebutkan nelayan lahir dari rahim pesisir. Ketika nelayan menjadi piatu, artinya dia telah kehilangan pesisir padahal kita tahu nelayanlah yang meninggalkan pesisir. Ini menjadi sesuatu yang agak bertentangan dengan logika. Menariknya lagi, penggambaran piatu yang bisa kita relasikan dengan kehilangan sosok ibu dalam puisi ini membuat aku lirik mencari pengganti sosok lain. Akulah sang nelayan piatu/ dan kaulah sampan cintaku/. Bait ini kiranya tidak bicara cinta terhadap perempuan yang berperan sebagai ibu lagi tetapi cinta terhadap perempuan lain sebagaimana relasi laki-laki dan perempuan lazimnya. Konon laki-laki akan mencari pujaan hati yang sekarakter dengan sosok ibunya. Barangkali inilah salah satu sihir dalam ramuan SBSK.

Rizani ‘Mantap’ halaman 41 menulis dengan sangat lugas, jujur, jika kita tidak ingin menyebutnya vulgar. Jika pada halaman-halaman sebelumnya pembicaraan tentang perempuan adalah sanjungan, puja-puji dan harapan-harapan lelaki (sulit untuk tidak membacanya sebagai bukan harapan laki-laki) dalam balutan masa lampau dan konvensional, Rizani dalam ‘Mantap’ menuturkan kelamahannya ketika menghadapi (:melihat) perempuan di tik tok. Perempuan yang tidak ada secara fisik atau nyata di dekatnya namun mampu membua nafsu aku lirik tak terbendung.

Rizky Burmin ‘Selepas Subuh’ halaman 43 menulis selepas subuh/ kau menggodaku/ dengan linger* warna ungu/ bers*t*buh katamu adalah obat paling ampuh melupakan hutang dan sewa kontrakan.dst. Puisi ini mencoba meminjam suara perempuan untuk mengemukakan suara laki-laki. Aku lirik tidak berani mengatakan bahwa dialah yang berpendapat demikian. Hubungan antara dua lawan jenis yang bisa melupakan hal-hal lain hanya ada dalam pikiran laki-laki. Tidak bagi perempuan.

 

2.      Cerpen-cerpen dalam SBSK

Terdapat 6 cerpen dalam SBSK yang semuanya ditulis oleh laki-laki. Berbeda dengan puisi, meski sama-sama dikerjakan dalam kesendirian, cerpen memerlukan energi yang relatif lebih banyak untuk menciptanya menjadi sebuah cerpen yang bagus. Sekali lagi, sebuah cerpen yang bagus. Bukan asal cerpen, bukan asal jadi. Ada hal penting yang memang benar-benar penting untuk bisa dikisahkan, dituliskan dan diselesaikan.

Ketika sebuah orkestra memainkan simfoni, ada upaya bersama banyak pihak di sana. Para musisi memainkan alat musik; dirigen membantu agar semua terdengar harmonis; sebelumnya komponis harus menuliskan lembar musiknya. Begitu pula dengan sandiwara, teater, film. Ada lebih banyak pihak lagi yang memainkan perannya. Ada penulis skenario, aktor, penata kostum, penata latar, pencahayaan dan sebagainya. Berbeda dengan hal tersebut, menulis fiksi adalah seni yang sepi. Card (2005) memaparkan bahwa bagi penulis fiksi, tidak ada sekelompok aktor atau musisi yang akan mengikuti perintahnya. Penulis fiksi adalah penggubah sekaligus pemain; pencerita (pendongeng) sekaligus penulis.

Seorang penulis fiksi harus mampu memadukan peran pendongeng sekaligus penulis dan melakukan keduanya dengan baik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui penokohan yang efektif. Dalam bukunya, Card membaginya menjadi tiga bagian, yaitu penciptaan, pengembangan dan penampilan. Di antara tiga bagian tersebut, bagian penciptaan merupakan hal pertama yang mestinya dipenuhi. Seperti apakah tokoh fiksi yang baik? “Jika dia adalah tokoh penting, dia harus cukup menarik dan dapat dipercaya. Jika dia tokoh sampingan, dia harus memajukan alur cerita atau membelokkannya atau meredakan ketegangan atau menyampaikan informasi-lalu dia harus menyingkir.”

Bicara tentang tokoh dan penokohan memang identik dengan pembahasan unsur intrinsik. Kadang ada kritikus yang berpendapat jangan lagi membicarakan unsur intrinsik. Akan tetapi untuk menguji kualitas sebuah karya sastra, unsur intrinsik merupakan salah  satu hal yang harusnya jadi ukuran atau indikator. Tokohlah yang membawa cerita mengalir dan berjalan kemana-mana. Pada tokohlah disematkan karakternya. Tokohlah yang menempati ruang dan waktu yang menjadi latar sebuah cerita. Tokohlah yang mengemban tema dan amanat-amanat.

Dilihat dari unsur-unsur intrinsiknya, keenam cerpen ini memiliki seluruh unsur yang harus ada dalam sebuah cerpen. Artinya, untuk bisa disebut sebagai sebuah cerpen, keenamnya sudah memenuhi kriteria tersebut. Tokoh-tokoh yang ada dalam keenam cerpen ini memenuhi apa yang ditulis oleh Card sebagai tokoh fiksi yang baik. Selanjutnya, mari kita gunakan pendekatan psikologi sastra untuk memahami ramuan sihir dalam 6 cerpen ini.

Keenam cerpen ini membicarakan perihal jiwa-jiwa yang gelisah, yang resah terhadap lingkungan sekitar sekaligus terhadap dirinya sendiri. Abdul Karim menulis “Bukankah hidup ini diciptakan? Dan kita yang menjalaninya, juga tanpa alasan yang jelas?... Tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini” setelah pertanyaan tentang Uttar dan orang berpakaian besi tidak bisa terjawab.

Muhammad Noor Fadillah menulis “Apakah aku ini anak yang durhaka?”Setelah sekian panjang upaya dan argumennya terhadap kewajiban menaati prokes di masa pandemi.

Muhammad Rifki menulis “Mengapa aku bunuh diri? Benarkah aku bunuh diri? Apakah ini neraka bagi mereka yang dibunuh? Atau bunuh diri? Mengapa Tuhan tidak menjawab pertanyaanku?...entah apa yang akan terjadi besok. Apakah aku akan berjumpa dengannya lagi?

Musa Bastara bahkan harus mengirimkan kegelisahan-kegelisahannya pada beberapa nama. Ia menyebutnya enam kisah yang menyesatkan. Mengapa Musa Bastara memilih nama-nama tersebut? Siapa mereka? Seberapa besar peran mereka terhadap pemenuhan kesempurnaan kisah yang ia tulis? Malaikat mengajariku membaca alkitab-alkitab, tapi aku belum memutuskan beragama. Itulah pernyataan yang sangat terang tentang sebuah kegelisahan, kebimbangan.

Takara Belati menuliskan sebuah kisah dengan judul berupa tanda titik dua diikuti tanda petik tunggal dan tanda kurung buka alias simbol emoji orang sedih. Sama seperti kisah-kisah sebelumnya, cerpen ini pun menghadirkan kegelisahan jiwa. Sedikit berbeda, Takara Belati menghadirkan kegelisahan jiwa yang dialami oleh manusia yang juga mengalami penderitaan fisik. Penderitaan yang membuat Majuro tidak dapat berpikir jernih. “Kau boleh memilih,” ucap sosok itu.”Ikut denganku dan sesaat berbahagia atau tetap di sini mengais-ngais sampah. Majuro dan penderitaannya membuat ia mengabaikan kata “sesaat” pada frase “sesaat berbahagia”. Untuk itu, iapun hanya mendapatkan apa yang sudah ia pilih.  Kau tak bisa mengerti semuanya, namun destinasi akhir tak semua berhenti pada api. Demikian cerpen tersebut ditutup.

Rafii Syihab menitipkan kegelisahannya pada tokoh perempuan bernama Karmila. Banyak sekali beban amanat yang harus ditanggung Karmila dalam cerpen ini. Beban utama, beban sampiran. Kisah-kisah utama, kisah-kisah pengecoh dan lain sebagainya. Beban seorang perempuan yang kehilangan suami. Beban politik. Entah mana yang utama dan mana yang sampiran.

Keenam cerpen ini mengingatkan kita pada teori Kebutuhan Maslow yang menyebutkan bahwa kebutuhan mendasar yang paling penting bagi manusia adalah aktualisasi diri alias pengakuan atas eksistensi dirinya. Keseluruhan tokoh dalam cerpen-cerpen SBSK mengirimkan pesan-pesan rahasia agar manusia merenungi hakikat kemanusiaannya kembali.

Epilog

Kembali pada pertanyaan semula. Apa sebenarnya yang diinginkan sekte penulis muda Kalsel? Arah mana yang hendak mereka tuju?[]