Senin, 12 Januari 2015

Misteri Kerinduan Micky Hidayat

11.18 0 Comments


Misteri Kerinduan Micky Hidayat*
Esai Nailiya Nikmah JKF

Membaca sajak “Meditasi Rindu” karangan Micky Hidayat seperti menghitung bintang di langit. Kita mungkin tidak akan memperoleh angka pasti tapi kita pasti akan memperoleh keindahannya. Inilah kerinduan terindah yang menyimpan sebuah misteri dari seorang penyair nasional kelahiran Banjarmasin, 4 Mei 1959 yang namanya pernah tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) karena berhasil menciptakan rekor membaca puisi selama 5,5 jam nonstop.


Meditasi Rindu
bagi ayahanda Hijaz Yamani

1
Mengingat kembali dirimu
Keterasingan dan sunyi pun menyapa
Menulisi air mata, di antara kata-kata liar buruanku
Mengaliri duka cita tak pernah terucapkan
Serombongan camar membelah laut
Kumandang takbir melayang-layang di udara
Menyusuri riwayat dunia yang tak pernah tamat kubaca
Selalu kubaca, berulang-ulang aku membacanya

2
Tiba-tiba rinduku padamu memuncak
Menjelma jadi sebuah menara kaca menjulang
Mengajari udara beterbangan
Dengan kesabaran
Mengusik angin dan cuaca
Cahaya matahari mengirimkan salam dan doa
Yang tumpah dalam kenikmatan ruang dan waktu
Dalam keheningan sempurna

3
Bayang-bayang wajahmu
Menjelma jadi rembulan dan bintang-bintang
Di hamparan sajadah kebijaksanaan
Kekhusyukan tasbih dan tahmid
Dengan kesetiaan samudera
Berkelebatan ayat-ayat
Berkilauan rahasia-rahasia
Tebing-tebing mimpi dunia
Yang diselimuti kabut
Dalam tahajud sunyi

4
Mendaki, mendaki
Mendakilah!
Meditasi, meditasi
Meditasilah!
Hingga ke puncak zikir kembara
Telah engkau reguk kehidupan fana
Dengan linangan air mata
Telah engkau enyahkan kilau-kemilau
Dan kecemasan dunia
Menuju ketenangan maha sempurna

5
Telah engkau tamatkan membaca beribu ayat
Hingga menerangi alam semesta
Telah engkau tuntaskan tafakkur dalam keheningan
Berkhalwat dalam gumaman salawat
Berharap pancaran cahaya Rasul Muhammad
Mengembara di keluasan padang mahsyar
Telah engkau kumandangkan takbir
Tak habis-habis bertakbir
Di keluasan sajadah keagungan-Nya
Hingga setiap sujud dalam rakaat demi rakaatmu
Menyentuh lantai surga

6
Sedangkan aku di sini, di puncak kerinduan ini
Beribu tahun memunguti kesepian tak terperi
Dalam ketidakberdayaan – di ruang kefanaanku
Dan menanti, akankah kau bakal datang lagi
Dengan senyum tulusmu
Kemudian pergi begitu saja, tanpa pamit dan jejak
Bersama mimpiku yang mawar
Juga rinduku tak terpuaskan

7
Sebagaimana sajak-sajak yang mengalir
Dari kawah batinku, pada setiap puncak pendakianku
Selalu saja menulisi kecemasan dunia
Menangisi luka bulan, bintang-bintang, dan matahari
Mentasbihkan kebijakan dan kebajikan
Menzikirkan kebaikan dan kebenaran
Yang pernah kau ajarkan diam-diam padaku
Seperti kediaman batu-batu

8
O, bapak, sebagaimana sajak-sajakmu
Yang kini tak bisa lagi bicara
Tetapi masih saja berulang-ulang kubaca
Senantiasa aku membacanya
Sebagaimana aku terus belajar mengeja
Dan mencari kata-kata
Sebagaimana aku terus belajar membaca
Isyarat dan gerak zaman
Sambil mengumandangkan ayat-ayat kebenaran
Dengan cahaya zikir semesta
Dan air mata doa
Mengkristal dalam jiwamu yang mawar
Bersemayam cahaya maha cahaya-Nya


Di gerbang penafsiran terhadap Meditasi Rindu, sajak ini seakan menawarkan kegamblangan pada pembaca untuk menikmatinya. Setidaknya itulah yang kita dapatkan dari frase bagi ayahanda Hijaz Yamani. Ini semacam rambu-rambu bahwa segala hal yang tertulis di Meditasi Rindu adalah ungkapan-ungkapan seorang anak terhadap ayahnya. Di rimba puisi, sebenarnya ini sesuatu yang biasa. Cukup banyak kita temukan sajak atau puisi yang ditulis seorang anak kepada ayahnya. Persoalannya menjadi tidak sederhana ketika kita memandang siapa Micky Hidayat dan siapa Hijaz Yamani. Meditasi Rindu tidak hanya bicara tentang fase bersemedinya Micky Hidayat tapi ia juga menjadi salah satu jendela kecil bagi kita untuk membaca Micky Hidayat di fase kepergian ayahnya sekaligus membaca sang maestro Hijaz Yamani serta hubungan mereka berdua.
Bait pertama dan kedua adalah tahap awal kegiatan meditasi sekaligus jendela kecil untuk membaca Micky Hidayat. 1 /Mengingat kembali dirimu/ Keterasingan dan sunyi pun menyapa/ Menulisi air mata, di antara kata-kata liar buruanku/ Mengaliri duka cita tak pernah terucapkan/…// Bait ini memperlihatkan aku lirik tengah mengingat kembali sang ayah. Artinya, hal tersebut bukan pertama kalinya dia lakukan. Seperti sebelumnya, aku dilanda rasa asing, sunyi dan sedih di tengah kesibukannya beraktivitas. Duka yang mendalam karena kepergian sang ayah bahkan membuatnya menangis namun hebatnya ia tak pernah mampu mengucapkannya. Apakah yang membuat duka cita aku lirik tak pernah terucapkan? 
Lalu, apa yang aku lirik lakukan untuk mengatasi kedukaannya tersebut? Inilah yang menjadi fokus utamanya. /…/ menyusuri riwayat dunia yang tak pernah tamat kubaca/ selalu kubaca, berulang-ulang aku membacanya//. Aku lirik melakukan pembacaan demi pembacaan. Dalam keheningannya, dalam kesadarannya akan kebesaran Allah, dengan sengaja ia ‘membaca’, merenungkan, dan memikirkan alam semesta. Inilah makna meditasi secara harfiah. Secara teori, meditasi tidak sama dengan melamun. Ia merupakan tindakan sadar karena yang melakukannya tahu dan paham akan apa yang sedang ia lakukan.
Bait kedua dan seterusnya merupakan tahap selanjutnya dalam meditasi. /Tiba-tiba rinduku padamu memuncak/ menjelma jadi sebuah menara kaca menjulang/ …/Cahaya matahari mengirimkan salam dan doa/ Yang tumpah dalam kenikmatan ruang dan waktu/ Dalam keheningan sempurna//. Puncak meditasi aku lirik adalah ketika kerinduan menjelma menjadi menara kaca yang menjulang yang disinari matahari. Obyek ‘Menara kaca yang menjulang’ menyiratkan dua hal kontras. Satu sisi, ia merupakan sesuatu yang sangat indah, agung, kemilau ketika ditimpa matahari tapi di sisi lain ia juga punya kelemahan, yaitu mudah pecah. Akhirnya, meditasi itu mengantarkan aku pada bayang-bayang wajah sang ayah. Di bait ketiga hal ini tertulis, 3/ Bayang-bayang wajahmu/ Menjelma jadi rembulan dan bintang-bintang/…. Hingga bait keempat, kenikmatan aku lirik dalam meditasinya tumpah ruah.
Diksi-diksi seperti menara kaca, bayang-bayang, matahari, rembulan, bintang-bintang, berkilauan menjadi kata kunci dalam meditasi. Sebuah artikel tentang meditasi menyebutkan bahwa salah satu tahapan meditasi adalah membayangkan sebuah objek, utamanya matahari, kemudian secara perlahan setelah terus-menerus membayangkan objek tersebut sambil merenungi-Nya, akan muncul berkas cahaya/bayangan (www.tejasurya.com/artikel-spiritual/blogs-meditasi-yoga/197-dasar-meditasi-umum-teja-surya.html). Artikel lain menyebutnya dharana atau tahap ‘memegang’ obyek dengan baik, tahap selanjutnya disebut dhyana atau tahap memasuki meditasi. Apabila kita telah dapat “memegang” obyek meditasi dengan baik, maka “saluran-saluran energi” dalam tubuh kita akan mulai terbuka dan berkembang. Inilah tahap memasuki meditasi. Pada setiap orang akan mengalami pengalaman yang berbeda-beda, ada juga yang seolah tidak mengalami hal ini tapi langsung ke tahap selanjutnya, savikalpa samadhi. Bagi yang mengalami, sensasinya bermacam-macam. Ada yang melihat cahaya biru kecil, ada yang melihat cahaya dari langit menghujam ke seluruh badan, ada yang melihat cahaya warna-warni yang indah sekali, ada yang tubuhnya merasa ringan sampai seperti terbang, ada yang merasa terangkat dari tempat duduknya, ada yang merasa tubuhnya membesar atau sebaliknya tubuhnya mengecil, dll. Ada juga yang [kadang-kadang, jarang] menerima seperti wangsit atau suruhan melalui suara yang masuk. (https://alitarimbawa.wordpress.com/2012/01/07/belajar-sendiri-meditasi-pranayama-dhyana/)
4/Mendaki, mendaki/ Mendakilah!/ Meditasi, meditasi/ Meditasilah!/ Hingga ke puncak zikir kembara/ Lima baris pertama bait keempat merupakan bait-bait yang sakral. Bait-bait yang ambigu. Bait-bait ini mengungkapkan pendakian aku lirik sekaligus pendakian sang ayah dalam pikiran aku lirik. Agaknya, inilah puncak meditasinya. Jika di bait kedua aku lirik sampai dalam keheningan sempurana, maka pada saat yang bersamaan (pada bait keempat) ia menyadari sang ayah dalam pendakiannya menuju ketenangan maha sempurna.
Lima baris terakhir pada bait keempat sampai dengan bait kelima merupakan jendela kecil untuk mengenali Hijaz Yamani. …/ Telah engkau reguk kehidupan fana/ Dengan linangan air mata/ Telah engkau enyahkan kilau-kemilau/ Dan kecemasan dunia/ Menuju ketenangan maha sempurna// 5/Telah engkau tamatkan membaca beribu ayat/ Hingga menerangi alam semesta/ …/ Hingga setiap sujud dalam rakaat demi rakaatmu/ Menyentuh lantai surga//. ‘Engkau’ dalam hal ini adalah ayahanda aku lirik yang telah berpulang. Semasa hidupnya, ia adalah orang yang sederhana, rendah hati, taat beragama, ahli ibadah, rajin mengkaji banyak hal.
Yang teristimewa, ayahanda aku lirik bukan hanya seorang yang soleh tapi juga menyolehkan orang lain. Dengan kata lain, Hijaz Yamani juga mendakwahkan nilai-nilai relijius yang ia pelajari dan yakini kepada orang lain. Hal itu dapat dilihat pada baris Telah engkau tamatkan membaca beribu ayat/ Hingga menerangi alam semesta/. Sebuah artikel yang mengupas hal ini pernah dimuat di Tabloid Serambi Ummah, 19 Desember 2001 dengan judul Hijaz Yamani: Berdakwah Lewat Puisi (terdapat dalam buku Malam Hujan). Baris-baris keistimewaan Hijaz Yamani dalam Meditasi Rindu tersebut merupakan bait-bait puncak meditasi Micky Hidayat.
Selanjutnya, pada bait keenam, ketujuh dan kedelapan, Micky sudah mengakhiri meditasinya, dengan perginya bayang-bayang sang ayah. Dengan melankolis aku lirik bertanya /…,akankah kau bakal datang lagi/ Dengan senyum tulusmu/ Kemudian pergi begitu saja, tanpa pamit dan jejak/ Bersama mimpiku yang mawar/ Juga rinduku tak terpuaskan//. Mimpi yang mawar dan rindu yang tak terpuaskan ini membuat aku lirik kembali bermeditasi. /… pada setiap puncak pendakianku/ menyiratkan meditasi rindu kerap dilakukan oleh aku lirik.
Sebagaimana sajak-sajak yang mengalir/ Dari kawah batinku…/…/ Yang pernah kau ajarkan diam-diam padaku/ Seperti kediaman batu-batu//
Inilah bait-bait sendu tentang hubungan Micky Hidayat dan Hijaz Yamani. Bukan hubungan antara seorang ayah dan anak biasa melainkan hubungan antara ayah yang penyair dan anak yang juga penyair. Ini pulalah bait kerinduan Micky yang paling misteri dalam sajak Meditasi Rindu.  Segala sajak, segala tulisan, tasbih, zikir, empati, dan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran lainnya diajarkan secara diam-diam oleh sang ayah kepada anaknya. Diam-diam yang seperti apa? Sajak ini memberi jawaban yang penuh misteri, tidak tanggung-tanggung, kediaman tersebut diumpamakan seperti kediaman batu-batu. Mengapa harus diam-diam? Apakah ini tentang seorang anak yang dilarang mengusik ruang kerja atau ruang perpustakaan ayahnya? Apakah ini tentang ‘dunia sunyi’ yang didiami para penyair? Ataukah ini tentang mengajarkan kebaikan yang cukup dilakukan tapi tak perlu diomongkan? Bagaimana dengan /…, sebagaimana sajak-sajakmu/ Yang kini tak bisa lagi bicara/, adakah diam-diam di sini bermakna tak banyak cakap antara ayah beranak itu sehingga sebenarnya sajak-sajak sang ayahlah yang mengajarinya selama ini?
Apapun itu, yang jelas, pengajaran yang seperti kediaman batu-batu itu telah berhasil mengantarkan Micky Hidayat menjadi manusia pembelajar sejati. …/Tetapi masih saja berulang-ulang kubaca/ Senantiasa aku membacanya/ Sebagaimana aku terus belajar mengeja/ Dan mencari kata-kata/ Sebagaimana aku terus belajar membaca/ Isyarat dan gerak zaman/. Dalam masa pembacaannya yang berulang-ulang terhadap sajak-sajak ayahnya, Micky Hidayat membuatkan prasasti intelektual untuk sang ayah. Desember 2012, dalam Malam Mengenang Hijaz Yamani, diluncurkan buku Malam Hujan yang dieditori oleh Micky Hidayat. Di antara sekian sajak Hijaz Yamani yang dikumpulkan itu, tentu ada alasan khusus mengapa sajak Malam Hujan yang dipilih menjadi judul buku – yang kalau disingkat menjadi MH sama dengan singkatan Micky Hidayat. Adakah ini suatu upaya meditasi lain yang dilakukan oleh Micky? 
 Sekali lagi, apapun itu, yang jelas Micky sudah melakukan hal yang akan membuat ayahnya senang. Di samping itu, inilah yang dilakukan Micky, yang akan membuat sang ayah berbahagia di kampung barunya, …/Sambil mengumandangkan ayat-ayat kebenaran/ Dengan cahaya zikir semesta/ Dan air mata doa/…. []

Referensi
  1. Hidayat, Micky. 2009. Meditasi Rindu. Jakarta: Bukupop.
  2. Yamani, Hijaz. 2012. Malam Hujan. Banjarmasin: Rumah Dokumentasi Sastra Hijaz Yamani

* Dimuat di Harian Media Kalimantan, Minggu 11 Januari 2014, Halaman Sastra