Minggu, 20 Desember 2015

AKADEMI GAJAH

03.46 0 Comments
Aku sudah menuju bagian kasir toko buku terbesar di kotaku dengan setumpuk buku dalam tas jinjing dari pramuniaga. Beberapa lngkah lagi aku sampai ke meja kasir. Entah bagaimana mataku tiba-tiba tertumbuk pada sebuah buku dengan judul yang sudah hampir dua tahun ini kucari-cari. Ayahku Bukan Pembohong yang dikarang oleh Tere Liye. Aku sudah tidak peduli betapa pengeluaranku akan melebihi anggaran. Betapa isi dompetku akan berkurang. Aku langsung mencomot dan memasukkannya dalam jinjingan belanja. Buku itu pun bergabung dengan buku lainnya.
Ceritanya begini, belum genap dua tahunan yg lalu itu, aku menginap di rumah adikku di Jogja. Ketika itulah aku menemukan buku ABP. Baru setengahnya aku membaca, kami sudah harus pulang ke Banjarmasin. Sebenarnya bisa saja aku meminjamnya tapi aku tidak enak. hehe. Kupikir toh aku bisa membelinya di toko buku setiba di kotaku. Ternyata aku harus gigit jari. Buku tersebut tidak ada di kotaku. Jadilah aku penasaran level 9 dengan kisahnya.
Akademi Gajah, Lembah Bukhara, Suku Penguasa Angin dan yang lainnya... Semacam kata kunci yang menjadi misteri dalam kekepoanku terhadap novel tsb.
Aku heran juga, mengapa penulis memilih nama GAjah. Mengapa tidak nama lain. Akademi Bintang misalnya? Hehe...
Sejujurnya yang paling ingin aku ketahui adalah apakah ayahnya pembohong atau tidak. itu saja. Ternyata endingnya cukup mengejutkan buatku. Tiba-tiba aku merasa semakin sayang terhadap ayahku. Ayahku juga suka bercerita seperti ayah Dam, meski dongeng ayah selalu terulang yang itu-itu saja.
Lalu akupun terpikir ingin memasukkan anak-anakku ke Akademi Gajah, andai akademi itu ada...

Minggu, 13 Desember 2015

Motivasi Menulis

11.02 1 Comments
Post ku yang ini merupakan materi yang pernah kusampaikan di beberapa seminar kepenulisan. Aslinya dalam bentuk power point. Jadi agak kurang panjang penjelasannya memang. Yang merasa butuh penjelasan lebih jauh, silakan tinggalkan pesan yaa?


Setitik Semangat untuk yang Ingin Menulis
Oleh Nailiya Nikmah JKF

Bayangkan seandainya nenek moyang kita tidak meninggalkan tulisan di candi, di prasasti, di lontar atau yang lain…. Betapa susahnya kita menelusuri jejak-jejak sejarah kita…
Sejarah Islam mencatat: 70 orang sahabat terbunuh pada perang Yamamah – yg sebagian besarnya adalah para penghafal Quran. Umar Bin Khatab meyakinkan Abu Bakar agar mengumpulkan serakan Alquran yang ditulis pada pelepah kurma, daun dan tulang; dan menuliskan ayat-ayat yang tdk ditulis – yang cuma dihafal.

Tahukah Kamu?

  •   Menulis bisa menimbulkan efek

Dalam dunia kedokteran, menulis bisa menyembuhkan. Sebuah penelitian ilmiah pernah dilakukan tentang hal ini. Mendeskripsikan apa yang dirasakan setiap harinya, membuat seseorang lebih baik daripada yang tidak menuliskannya.


  •   Menulis bisa mengubah dunia

Karl Max ---> Das Capital
Van deventer --> De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). (1899)
  HTR --> Ketika Mas Gagah Pergi
Gola Gong --> Balada Si Roy
Ipho Santoso --> otak kanan
Yohanes Surya -->Mestakung

Untuk Apa Kita Menulis?
Berikut ini beberapa kemungkinan alasan mengapa kita menulis
  •  Untuk menyampaikan sesuatu
  •  Untuk menunjukkan eksistensi diri
  • Untuk mengeluarkan isi hati
  • Untuk menyalurkan hobi
  •  Untuk memelihara kenangan
  • Untuk mencari penghasilan
  • Untuk mengikat ilmu
  • Untuk mencerahkan dunia?
  • ....

Bagi muslim dan muslimah, bisa melihat
  Q.S. Adz Dzariat:56
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi (beribadah) kepada-Ku”

Jika mengacu pada ayat tersebut, maka seorang muslim yg beriman akan menjadikan ibadah sebagai motivasinya menulis, yaitu
Menulis dalam kerangka ibadah

Selain itu,
Menulis adalah cara memotivasi diri sendiri agar tetap mau melangkah dan melangkah (Prof. Yohanes Surya, Ph.D.)
Caranya:
            Tuliskan apa saja yang menjadi cita-citamu dalam buku atau catatan lainnya. Baca dan doakan setiap hari, yakinlah, lalu melangkah lah!

Menulis, seperti halnya naik sepeda, adalah keterampilan. Siapa pun bisa naik sepeda asal mau belajar, mau menerima kemungkinan jatuh-bangun. Jadi, siapapun bisa menulis asal mau belajar dan latihan

Sabtu, 12 Desember 2015

Tentang Ide

20.50 0 Comments


Postingan berikut ini merupakan materi yang pernah saya pakai untuk dibahas dalam kelas menulis online bersama grup FLP Cabang Banjarbaru. Semoga bermanfaat

Dari Ide Segalanya Bermula

Apa yang paling berharga dalam dunia kepengarangan? Yang tanpanya para pengarang bisa semaput? Ya, apalagi kalau bukan “ide”. Ada yang menyebutnya “ilham”, “inspirasi” dan sebagainya. Apapun namanya, si ide adalah hal paling penting dalam proses menghasilkan sebuah karya. Untuk itulah, kali ini kita akan mendiskusikannya.

Tanpa ide, tidak akan ada cerita. Tanpa ide tidak akan ada karya. Lantas, dari mana sih si ide ini berasal? Kadang-kadang ide datang tak terduga. Bisa jadi, dia datang saat kita justru tidak sedang mencarinya. Kadang-kadang ide malah tidak nongol-nongol meski kita sudah mencarinya kemana-mana. Nah, jangan sampai kita hanya duduk bertopang dagu menunggu datangnya ide sambil mendengarkan detak jam dinding. Daripada menunggu datangnya sang ide, lebih baik kita mencari ide, kita menjemput ide dengan mengenali sumber-sumber ide.

Sumber Ide
Ada beberapa sumber ide penulisan (cerpen) menurut Hermawan Aksan (2011).
  1. Pengalaman pribadi
  2. Sepenggal peristiwa dalam kehidupan pribadi seseorang
  3. Obrolan dengan orang lain
  4. Sejarah
  5. Peristiwa-peristiwa yang ditulis di koran
  6. Peristiwa yang terjadi secara kebetulan
  7. Petualangan
  8. Gejolak sosia politik
  9. Mimpi

Menurut Fauzil Adhim (2005) masalah yang paling mudah kita tuis adalah apapun yang kita yakini, kita alami dan kita rasakan.

AS Laksana (2013) mengatakan jika Anda ingin menulis karena mencintai dunia penciptaan, menulislah dalam suasana hati apapun. Ketika sedang jatuh cinta, ketika sedang patah hati, ketika sedang puyeng, ketika sedang bahagia, bahkan ketika sedang tidak punya ide! Nah, lho.

Menulis apa saja ketika sedang tidak punya ide sebenarnya adalah salah satu cara untuk memancing datangnya ide.

Dengan strategi tiga kata.

Mengkoneksikan Satu Ide dengan Ide lainnya

Satu ide akan jadi satu karya. Jadi, jika punya banyak ide atau banyak ide berseliweran di kepala, mestinya akan menghasilkan banyak karya juga. Misal punya 5 ide, berarti bisa jadi 5 karya (cerita). Nah, daripada mengkoneksikan satu ide dengan ide lainnya, lebih baik kita menggali tiap ide lebih dalam. Jadi, yang kita koneksikan adalah hal-hal yang masih berhubungan dalam satu ide. Bagaimana caranya? Mungkin yang dilakukan oleh Gola Gong bisa ditiru.
Ketika menemukan sesuatu yang menarik, Gola Gong (2007) akan melakukan investigasi. Ia akan menggali semua unsur 5W+1H-nya. What, Where, When, Who, Why and How.

Membangun Ide agar Bisa Diaplikasikan/Dijabarkan

Setelah kita menemukan ide, langkah selanjutnya adalah membuat kerangka karangan. Secara sederhana, kerangka karangan (cerita) terdiri atas:
  1. bagaimana kita memulai suatu kisah (prolog)
  2. apa konflik permasalahannya
  3. bagaimana kita mengakhirinya (ending).

Dari tiga hal di atas, barulah kita kembangkan menjadi beberapa unsur lain. Unsur lain tersebut adalah unsur-unsur pembangun karya, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Mulai dari apa temanya, bagaimana alurnya, siapa tokohnya, apa latarnya dan lain-lain.

Kamis, 03 Desember 2015

Pantai Batakan

03.42 0 Comments
Satu lagi tempat wisata populer di Kalimantan Selatan. Namanya Pantai Batakan. Pantai ini terletak di Kabupaten Tanah Laut.
Pantai Batakan berada di Desa Batakan, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Jarak dari pusat kota pelaihari kurang lebih 40 km. Pantai Bantakan berpasir coklat dan banyak ditumbuhi pohon pinus. Di dekat pantai ini juga terdapat sebuah pulau di tengah laut bernama pulau Datu. Di pantai ini kamu bisa bermain  pasir sepuasnya dan mendengarkan irama pohon pinus yang berbisik. Apalagi kalau kamu mendirikan tenda dan menikmati malam berlatar suara debur ombak sepanjang malam. Pagi harinya kamu dapat menikmati indahnya matahari terbit dan segarnya udara khas tepi pantai.
Di sini juga ada beberapa kuda yang dapat kamu tunggangi mengelilingi kawasan pantai. Tenang saja, jika kamu belum mahir, ada joki yang membantumu.

Pulau Kembang

03.28 2 Comments
Kalau mendengar Banjarmasin, apa yang kamu ingat? Pasar Terapung? Seribu Sungai? Kamu tidak salah tapi ada satu lagi yang harus kamu ketahui, yaitu Pulau Kembang.



Pulau Kembang merupakan sebuah pulau yang berada di tengah Sungai Barito. Tempat wisata ini menjadi habitat monyet dan beberapa jenis burung. Menurut warga, di pulau ini terdapat seekor monyet besar yang merupakan raja monyet.
Saat berkunjung ke pulau ini, berhati-hatilah dengan barang bawaan Anda. Monyet-monyet seringkali penasaran dan ingin melihat apa saja yang Anda bawa. Tidak jarang monyet-monyet itu mengambil tas, kamera, sepatu anak Anda, topi, atau benda lainnya. Sebaiknya bawa makanan ringan atau buah-buahan untuk mengalihkan perhatian mereka dari tas Anda. Akan tetapi tidak perlu khawatir. Di sana ada juga beberapa orang warga sekitar yang akan membantu kita mengatasi monyet-monyet tersebut. Semacam pawang gitu...
Naah, yang unik di pulau ini terdapat sebuah kuil dan altar dengan arca berbentuk monyet putih atau Hanoman. Altar ini, oleh warga Tionghoa, digunakan untuk meletakkan sesaji pada saat-saat tertentu.
Tempat wisata ini berjarak sekitar 1,5 km dari pusat kota Banjarmasin. Untuk dapat melihat aktifitas monyet-monyet ini dari dekat, Anda harus membayar sebesar 5.000 Rupiah untuk wisatawan domestik dan 25.000 Rupiah untuk wisatawan mancanegara. Sebaiknya jadikan kunjungan ke tempat ini serangkai dengan kunjungan ke Pasar Terapung. Pasti lebih seru!


Kain Sasirangan

03.12 0 Comments
Kali ini aku memposting sebuah tulisan tentang kain khas Kalimantan Selatan. Berbeda dengan artikel-artikelku yang lain, postingan yang satu ini aku kutip/ aku ambil dari rumah maya orang lain. Berikut kutipannya:



Sejarah
Kain Sasirangan umumnya digunakan sebagai kain adat yang biasa digunakan pada acara-acara adat suku Banjar. Kata sasirangan berasal dari kata menyirang yang berarti menjelujur, karena dikerjakan dengan cara menjelujur kemudian diikat dengan tali raffia dan selanjutnya dicelup, hingga kini sasirangan masih dibuat secara manual.
Menurut sejarahnya, Sasirangan merupakan kain sakral warisan abad XII saat Lambung Mangkurat menjadi patih Negara Dipa. Awalnya sasirangan dikenal sebagai kain untuk “batatamba” atau
penyembuhan orang sakit yang harus dipesan khusus terlebih dahulu (pamintaan) sehingga pembutan kain sasirangan seringkali mengikuti kehendak pemesannya. Oleh karena itu, Urang Banjar seringkali menyebut sasirangan kain pamintaan yang artinya permintaan. Selain untuk kesembuhan orang yang tertimpa penyakit, kain ini juga merupakan kain sakral, yang biasa dipakai pada upacara-upacara adat.
Pada zaman dahulu kala kain sasirangan diberi warna sesuai dengan tujuan pembuatannya, yakni sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan suatu jenis penyakit tertentu yang diderita oleh seseorang.
Arti Warna Sasisangan :
1. Kain sasirangan warna kuning merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit kuning (bahasa Banjar kana wisa)
2. Kain sasirangan warna merah merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit kepala, dan sulit tidur (imsonia)
3. Kain sasirangan warna hijau merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit lumpuh (stroke)
4. Kain sasirangan warna hitam merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit demam dan kulit gatal-gatal
5. Kain sasirangan warna ungu merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit perut (diare, disentri, dan kolera)
6. Kain sasirangan warna coklat merupakan tanda simbolik bahwa pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit tekanan jiwa (stress)

Dahulu kala kain sasirangan diberi warna dengan zat pewarna yang dibuat dari bahan-bahan yang bersifat alami, yakni dibuat dari biji, buah, daun, kulit, atau umbi tanaman yang tumbuh liar di hutan atau sengaja ditanam di sekitar tempat tinggal para pembuat kain sasirangan itu sendiri.
Ada 6 warna utama kain sasirangan yang dibuat dari zat pewarna alami dimaksud, yakni :
1. Kuning, bahan pembuatnya adalah kunyit atau temulawak
2. Merah, bahan pembuatnya adalah gambir, buah mengkudu, lombok merah, atau kesumba (sonokeling, pen)
3. Hijau, bahan pembuatnya adalah daun pudak atau jahe
4. Hitam, bahan pembuatnya adalah kabuau atau uar
5. Ungu, bahan pembuatnya adalah biji buah gandaria (bahasa Banjar Ramania, pen)
6. Coklat, bahan pembuatnya adalah uar atau kulit buah rambutan

Supaya warnanya menjadi lebih tua, lebih muda, dan supaya tahan lama (tidak mudah pudar), bahan pewarna di atas kemudian dicampur dengan rempah-rempah lain seperti garam, jintan, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis, kapur, tawas, cuka, atau terusi.

Motif-motif kain sasirangan banyak sekali jumlahnya. Motif yang umum diketahui yaitu beberapa motif berikut ini :
1.    Iris Pudak
2.    Kambang Raja
3.    Bayam Raja
4.    Kulit Kurikit
5.    Ombak Sinapur Karang
6.    Bintang Bahambur
7.    Sari Gading
8.    Kulit Kayu
9.    Naga Balimbur
10.    Jajumputan
11.    Turun Dayang
12.    Kambang Tampuk Manggis
13.    Daun Jaruju
14.    Kangkung Kaombakan
15.    Sisik Tanggiling
16.    Kambang Tanjung

Kain sasirangan adalah sejenis kain yang diberi gambar dengan corak dan warna tertentu yang sudah dipolakan secara tradisional menurut citarasa budaya yang khas etnis Banjar di Kalsel.

Secara etimologis istilah Sasirangan bukanlah kata benda sebagaimana yang dikesankan oleh pengertian di atas, tapi adalah kata kerja. "Sa" artinya satu dan "sirang" artinya jelujur. Ini berarti "sasirangan" artinya dibuat menjadi satu jelujur.Menurut sejarah sekitar abad XII sampai abad ke XIV pada masa kerajaan Dipa, di Kalimantan Selatan telah dikenal masyarakat sejenis batik sandang yang disebut Kain Calapan yang kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan.

Menurut cerita rakyat atau sahibul hikayat, kain sasirangan yang pertama dibuat yaitu tatkala Patih Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di atas rakit balarut banyu. Menjelang akhir tapanya rakit Patih tiba di daerah Rantau kota Bagantung. Dilihatnya seonggok buih dan dari dalam buih terdengan suara seorang wanita, wanita itu adalah Putri Junjung Buih yang kelak menjadi Raja di Banua ini. Tetapi ia baru muncul ke permukaan kalau syarat-syarat yang dimintanya dipenuhi, yaitu sebuah istana Batung yang diselesaikan dalam sehari dan kain dapat selesai sehari yang ditenun dan dicalap atau diwarnai oleh 40 orang putri dengan motif wadi / padiwaringin. Itulah kain calapan / sasirangan yang pertama kali dibuat.

Kain sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak warna-warm berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas (vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah disepakati secara social budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain (kata benda).

Pada mulanya kain sasirangan disebut kain langgundi, yakni kain tenun berwana kuning. Ketika Empu Jatmika berkuasa sebagai raja di Kerajaan Negara Dipa pada tahun 1355-1362. Kain langgundi merupakan kain yang digunakan secara luas sebagai bahan untuk membuat busana harian oleh segenap warga negara Kerajaan Negara Dipa.

Hikayat Banjar memaparkan secara tersirat bahwa di kawasan yang sekarang ini dikenal sebagai pusat kota Amuntai banyak berdiam para pengrajin kain langgundi. Keterampilan membuat kain langgundi ketika itu tidak hanya dikuasai oleh para wanita yang sudah tua saja, tetapi juga dikuasai oleh para wanita yang masih gadis belia. Paparan ini menyiratkan bahwa kain langgundi ketika itu memiliki pangsa pasar yang besar. Jika tidak, maka sudah barang tentu tidak bakal banyak warga negara Kerajaan Negara Dipa yang menekuninya sebagai pekerjaan utama. Bukti bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para pembuat kain langgundi adalah paparan tentang keberhasilan Lambung Mangkurat memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai syarat kesediaannya untuk dijadikan raja putri di Kerajaan Negara Dipa.

Menurut Hikayat Banjar, Putri Junjung Buih ketika itu meminta Lambung Mangkurat membuatkan sebuah mahligai megah yang harus selesai dikerjakan dalam tempo satu hari oleh 40 orang tukang pria yang masih bujangan. Selain itu, Putri Junjung Buih juga meminta Lambung Mangkurat membuatkan sehelai kain langgundi yang selesai ditenun dan dihiasi dalam tempo satu hari oleh 40 orang wanita yang masih perawan.

Semua permintaan Putri Junjung Buih itu dapat dipenuhi dengan mudah oleh Lambung Mangkurat. Paparan ini menyiratkan bahwa di kota Amuntai ketika itu banyak berdiam para tukang pria yang masih bujang, dan para penenun wanita yang masih perawan. Jika tidak, maka sudah barang tentu Lambung Mangkurat tidak akan mampu memenuhi semua permintaan Putri Junjung Buih. Pada hari yang telah disepakati, naiklah Putri Junjung Buih ke alam manusia meninggalkan tempat persemayamannya selama ini yang terletak di dasar Sungai Tabalong. Ketika itulah warga negara Kerajaan Negara Dipa melihat Putri Junjung Buih tampil dengan anggunnya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya ketika itu tidak lain adalah kain langgundi warna kuning basil tenuman 40 orang penenun wanita yang masih perawan (Ras, 1968 : Baris 725-735, Hikajat Bandjar)
Merujuk kepada paparan yang ada di dalam Hikayat Banjar (selesai ditulis tahun 1635), kain langgundi sebagai cikal bakal kain sasirangan sudah dikenal orang sejak tahun 1365 M. Namun, sudah barang tentu kain langgundi yang dibuat pada kurun-kurun waktu dimaksud sudah tidak mungkin ditemukan lagi artefaknya.

Menurut laporan Wulan (2006), kain sasirangan yang paling tua berusia sekitar 300 tahun. Kain sasirangan ini dimiliki oleh Ibu Ida Fitriah Kusuma, salah seorang warga kota Banjarmasin (Tulah Mata Picak Tangan Tengkong, SKH Mata Banua Banjarmasin, Senin, 13 November 2006, hal 1 bersambung ke hal 13).

Konon, sejak Putri Junjung Buih mengenakan kain langgundi, maka sejak itu pula, warga negara Kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi mengenakan kain langgundi. Mereka khawatir akan kualat karena terkena tulah Putri Junjung Buih yang sejak itu menjadi raja putri junjungan mereka. Akibatnya, para pengrajin kain langgundi tidak lagi membuatnya, karena pangsa pasarnya memang sudah tidak ada lagi.

Meskipun demikian, kain langgundi ternyata tidaklah punah sama sekali. Beberapa orang warga negara Kerajaan Negara Dipa masih tetap membuatnya. Kali ini kain langgundi dibuat bukan untuk dijadikan sebagai bahan pembuat busana harian, tetapi sebagai bahan pembuat busana khusus bagi mereka yang mengidap penyakit pingitan. Penyakit pingitan adalah penyakit yang diyakini sebagai penyakit yang berasal dari ulah para arwah leluhur yang linggal di alam roh (alam barzah). Menurut keyakinan yang sudah berurat berakar di kalangan etnis Banjar di Kalsel, konon para arwah leluhur itu secara berkala akan menuntut anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya untuk mengenakan kain langgundi. Begitulah, setiap satu, tiga, lima, dan tujuh tahun anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya akan jatuh sakit akibat terkena penyakit pingitan. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkannya dari penyakit pingitan itu kecuati mengenakan kain langgundi. Kain langgundi yang di pergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif itu dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan keperluan, seperti sarung (tapih bahalai), bebat (babat), selendang (kakamban), dan ikat kepala (laung). Corak dan warna gambar kain langgundi sangatlah beragam (tidak melulu bercorak getas dan berwarna dasar kuning saja), karena setiap jenis penyakit pingitan menuntut adanya kain langgundi dengan corak dan warna gambar tertentu yang saling berbeda-beda. Sejak dipergunakan sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan alternatif inilah kain langgundi lebih dikenal sebagai kain sasirangan. Nama ini berkaitan dengan cara pembuatan, yakni disirang (kain yang dijelujur dengan cara dijahit kemudian dicelup ke dalam zat pewarna).

Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan sebagai kain untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa, bahkan mungkin sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan oleh Empu Jatmika pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika itu (sebelum tahun 1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara.

Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan sebagai kain untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa, bahkan mungkin sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan oleh Empu Jatmika pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika itu (sebelum tahun 1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara.

Setelah Putri Junjung Buih, kemudian Pangeran Surianata, dan anak, cucu, buyut, intah, piat keturunannya berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, kain langgundi hanya boleh dikenakan sebagai busana kebesaran para bangsawan kerajaaan. Rakyat jelata tidak berani mengenakannya sebagai busana harian karena, takut terkena tulah. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika, itu (sesudah tahun 1335) merujuk kepada fungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani bagi para bangsawan kerajaan saja.

Fauzi (1993), memperkirakan sejak abad ke 14-15 kain sasirangan berubah menjadi kain yang dikeramatkan dan kain Pamintaan, yakni kain yang hanya dibuat berdasarkan permintaan anak, cucu, buyut, intah piat para bangsawan pengidap penyakit pingitan. Konon, diyakini tidak ada obat lain yang mujarab bagi para pengidap penyakit pingitan ini selain dari pada mengenakan kain sasirangan di kepala (ikat kepala, selendang), di perut (bebat), atau bahkan menjadikannya sebagai selimut fidur (sarong).

Menurut penuturan nenek Jumantan (72 tahun), seorang juru sembuh terkenal di kota Banjarmasin, para pasien penyakit pingitan yang datang berobat kepadanya tidak lain adalah orang-orang yang masih mempunyai hubungan pertalian darah dengan nenek moyang mereka yang dulu tinggal di Amuntai, Alabio, Kalua, dan Margasari (Wulan, 2006).

Patut diduga, nenek moyang para pasien nenek Jumantan tersebut tidak lain adalah anak, cucu, buyut, intah, piat dari 40 orang wanita perawan yang dulu berjasa membantu Lambung Mangkurat membuatkan kain langgundi yang diminta oleh Putri Junjung Buih. Ini berarti fungsi kain sasirangan sudah bergeser.

Perbedaan asal-usul geneologis nenek moyang antara anak, cucu, keturunan bangsawan berdarah biru menuntut perlakuan yang berbeda dalam hal proses penyembuhan. Proses penyembuhan penyakit yang dideritanya, keturunan rakyat jelata dapat dilakukan dengan cara-cara yang sederhana. Sekadar meminum air putih yang sudah diberi mantra-mantra atau doa-doa oleh para juru sembuhnya.

Sementara proses penyembuhan penyakit yang diderita oleh keturunan bangsawan sudah mengalami perumitan yang sedemikian rupa. Proses penyembuhan penyakit yang mereka derita harus dilengkapi dengan terapi mengenakan kain sasirangan yang harganya relatif mahal. Paparan ini merupakan petunjuk bahwa kain sasirangan pada zaman dahulu kala pernah menjadi simbol status sosial di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Kasus semacam ini masih terjadi hingga sekarang ini.

Rakyat jelata yang hidupnya miskin hanya diberi fasilitas pengobatan setara dengan dana yang tersedia dalam program asuransi kesehatan bagi rakyat miskin. Sementara itu para pejabat bahkan para mantan pejabat diberi fasilitas pengobatan yang terbilang istimewa dan dirawat di rumah sakit berkelas dengan dana ditanggung negara.

Menurut keterangan nenek Antung Kacit, siapa saja yang nenek moyangnya bukan keturunan bangsawan atau bukan keturunan pembuat kain sasirangan, akan kualat karena terkena tulah yang sangat menakutkan, yakni ninta picak tangan tengkong (bahasa Banjar, artinya mata buta dan tangan mati rasa karena terkena stroke).


Kalian juga dapat menemukan bahan serupa dalam buku Sasirangan, Kain Khas dari Tanah Banjar karangan Tajuddin Noor Ganie, M.Pd yang diterbitkan oleh Tuas Media.

Selasa, 03 November 2015

Catatan Kecil Saja

03.08 0 Comments
Aku tahu, diam-diam kamu masih sering berkunjung. Tak apa, toh rumah ini memang tak pernah kukunci.  Maaf, jika rumahku sedikit berdebu. Akhir-akhir ini aku agak sibuk. Sibuk memikirkan hal-hal yang kurang penting sebenarnya
Setelah aku membaca sebuah buku tebal dan mencerna kalimat demi kalimat, barulah aku merasa rileks dan mulai bisa membenahi rumah ini kembali. Aku mengubah beberapa hal, menata ulang tata letak, membeli sedikit perabot baru, dan merenovasi konsep. Kuharap kau bisa merasakan aura move on ku :)
Hanya saja, jika kau tidak keberatan, bila lain waktu kau mampir kembali, tolong tinggalkan sebait puisimu di sini. Aku akan merasa sangat senang menikmatinya.

Salam
Nai


Sabtu, 24 Oktober 2015

Episode Durian

15.32 0 Comments


        Episode Durian
Oleh Nailiya Nikmah JKF*

Musim hujan telah tiba.Setelah sekian lama udara panas bercokol di kota Banjarmasin, kini hawa dingin mulai menyapa. Aku merapatkan jaket. Sebuah gerak spontan ketika tiba-tiba aku merasa dingin mulai menyusup ke tulang. Aku mengayuh sepeda agak cepat. Beberapa pasang mata menatapku, tepatnya menatap sepeda bututku. Aku punya alasan sendiri kenapa di era serba canggih ini aku masih setia bersepeda.Tak ada yang tahu alasan itu selain aku. Sudahlah, tak perlu membicarakan perihal sepeda ini.
Aku membaui aspal yang dibelai hujan sore ini. Ah, tak murni baunya. Ada bau lain yang mengusik. Bau harum dengan aroma khas yang tak dapat  kulukiskan dengan kata-kata. Otakku langsung menampilkan format buah dengan banyak duri dan muncullah kata durian. Ya, durian! Sekarang sudah musim durian lagi. Aku mengayuh sepeda sambil bersenandung lirih,
           
Aku yang lemah tanpamu
Aku yang rentan karena
Cinta yang tlah hilang darimu
Yang mampu menyanjungku...*)

            Durian... aku bergumam dalam hati. Durian membuatku teringat pada Iwar. Buah berdaging lembut dan manis itu nyaris membuatku menceraikan Iwar, istriku yang putih bersayap. Aku menyebutnya putih bersayap karena ia seperti bidadari. sejak pertama melihatnya di resepsi perkawinan sepupu, aku sudah jatuh cinta pada Iwar. Tangannya begitu terampil meracik ketupat. waktu itu ia kebagian menjaga stand ketupat tumis. senyum tulusnya terpamer indah ketika aku minta diambilkan sepiring penuh ketupat tumis buatan ibunya itu. kata indah adikku, semua makanan yang ditata prasmanan itu dibuat oleh Acil Imah, ibunya Iwar. aku yakin dimakanan itu ada jejak jari putih Iwar yang selalu turun tangan membantu pegawai ibunya.
            Rupanya Iwar pun sudah terkena panah asmara ketika kami berkenalan di acara itu. Aku masih ingat Iwar dengan malu-malu menangkupkan kedua tengannya di depan dada ketika aku akan  akan menjabat tangannya. ”Namaku Wardani, kak. Semua orang memanggilku Iwar” ucapnya bersahabat.
            Nama yang singkat tetapi indah ditelingaku. Entahlah, mungkin karena si empunya berwajah indah.Tidak seperti adikku, bernama Indah tapi orangnya tidak indah. Astaghfirullah kok jadi menjelekkan adik sendiri? Inilah cinta. Kalau mata ketutupan cinta, ya begini ini. Adik sendiri malah jadi tidak jelas keberadaannya. Kupikir tidak hanya aku yang jadi kacau begini kalau lagi jatuh cinta.

            Aku pun dengan lantang menyebut namaku “Namaku Gusti Hermansyah, ortu sih ngasihnya itu, tapi teman-teman memanggilku Aman. Makanya kalau jalan denganku pasti aman...”candaku. Kulihat ia tersenyum dan Subhanallah ada lekuk kecil di kedua pipinya. Kata Indah itu namanya lesung pipit. Aku tak perduli apa namanya. Tapi yang jelas aku ingin selau melihat lekuk kecil dikedua pipinya itu.

            Darimu kutemukan hidupku...*)

            Sejak itu semua menjadi aneh. Di kamarku kulihat ada Iwar. Di meja makan, di ruang tamu, bahkan di kamar mandiku! Dimana-mana ada Iwar. Bahkan dalam tidurku aku melihat Iwar dengan lekuk kecil pipinya kearah ku. Ia berbaju pengantin warna putih dan bersayap! Esoknya aku seperti anak kecil merengek minta di belikan maina baru kepada ibunya. Aku ingin bidadari bersayap itu. Aku ingin memiliki Iwar. Tidak main-main, aku ingin menikahinya. Maka seisi rumah kalang kabut menanggapi permintaanku.
            “Kamu jangan mengada-ada, Man. Baru dua semester kuliah sudah minta kawin” komentar Abah.
            “iya, Man. Lagian kenapa juga harus Iwar bungas itu yang kau pilih? Mama tak tahu berapa nanti jujuran yang diminta keluarganya. Untuk ukuran Iwar dan keluarganya pastilah diatas harga pasaran, Man” sahut mama.
            “Harga pasaran apa sih,Ma? Memangnya Aman mau beli barang?” Aku melotot.
            “Eh, si kakak, dikasih tahu nggak mau mendengarkan. ”Si Iwar tuh banyak kelebihannya. Ibarat mangga tuh kada bapira, kada masam, kada pangar, pokoknya sip” sahut Indah. ”Dia anak orang kaya, cantik, solehah, pintar lagi” sambungnya. 
            “Oya? tambah semangat nih” tukasku. Semua kepala menggeleng.
            “Man,jangan menyupanakan keluarga.Kalau kita ditolak,mau ditaruh dimana muka kita?” usik mama.
            “Ma, apa salahnya kita usaha dulu. Lagi pula Aman pikir kita tidak terlalu miskin kalau memang kekayaan yang jadi ukuran mereka. Coba Mama perhatikan Aman, Aman gagah, penampilan menarik, otak encer, keturunan baik-baik, punya bisnis kecil-kecilan, pokoknya nggak memalukan deh...” promosiku disambut timpukan tisu oleh Indah.
            “Ada satu yang belum kamu miliki , Man...” lirih Mama.
            “O, ya? Apa itu ?” sahutku heran karena merasa aku sudah terlalu sempurna untuk sekedar melamar Iwar.
“Iwar itu masih keturunan almarhum Haji Rusdi. Ulama berpengaruh di hulu sungai. Tidak ada keturunan Haji Rusdi yang tidak alim. Semua pintar ngaji, soleh dan solehah. Iwar tidak pantas denganmu, Man. Terlalu jauh ...” jawab Mama.
“Aman juga bisa ngaji kok, Ma! Ya...memang sih tartilnya masih belum sempurna. Tapi Aman janji akan belajar ngaji lagi supaya bacaanya sebagus Iwar” Harapku.
“Man...Abah dan Mama tidak melarang kamu berteman dengan Iwar. Tapi tolong... untuk yang lebih dari itu nanti dulu...  kita belum siap.” Abah menengahi.
Aku tidak puas dengan jawaban Abah. Hari itu aku bolos kuliah. Aku mencari info sebanyak-banyaknya tentang Iwar. Ternyata selama SD sampai SMA Iwar hidup bersama neneknya di Amuntai. Lulus SMA baru ia tinggal bersama orang tuanya yang kaya raya itu. Iwar kuliah di IAIN. Konon suara Iwar sangat merdu bila sedang mengumandangkan ayat-ayat suci. Aku tak peduli dengan semua itu. Aku hanya peduli pada satu hal, bahwa Iwar adalah bidadari putih bersayap yang turun ke bumi untukku. Aku harus segera melamar Iwar. Bukan apa-apa,sejak dulu aku sudah bertekad tidak akan pacaran dan apabila tertarik atau jatuh hati dengan seseorang, maka akan langsung kulamar. Aku tidak main-main.
Begini-begini aku sudah sering ikut seminar tentang menikah dini dan bahayanya pacaran. Buku-buku bertema pernikahan pun sudah pernah kubaca. Tapi aku tidak menyangka juga akan bertemu dengan soulmate secepat itu.
Aku tak berani menemui Iwar. Bukan karena aku merasa tidak pantas dengannya, bukan pula karena takut dengan ibunya atau ayahnya. Aku hanya tak sanggup melihat senyum bulannya yang selalu terbit setiap waktu. Aku ingin memiliki senyum itu. Ingin meletakkannya di kamarku, menyelipkannya di sakuku, memformatnya jadi wallpaper di hpku, ah tidak... aku ingin menempatkannya di hatiku agar tidak ada orang lain yang turut menikmatinya. Hampir sebulan aku seperti orang sakit. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, biasa... gejala penyakit kasmaran pada umumnya. Tapi baru saat itu aku benar-benar paham bagaimana rasanya merindu. Aku pun mendadak puitis. Berlembar surat cinta untuk Iwar teronggok di laci meja belajar, sebagian di tempat sampah. Bahkan aku pernah kehilangan sebuah surat yang lupa kusimpan di laci.
Anehnya suatu hari aku mendapat titipan surat dari Iwar melalui Indah. Isinya benar-benar mengagetkanku. Singkat, jelas, padat, menarik, dan perlu !
Maka Abah, Mama, aku dan Indah mendatangi rumah Iwar. Prosesnya begitu mudah. Tak ada jujuran yang mahal-mahal, tak ada tawar-menawar, tak ada persyaratan ini itu. Yang ada hanya cinta. Cinta dimana-mana. Jadilah Iwar bidadariku. Hak milik pribadi. Iwar istri yang sempurna. Pandai membagi waktu antara kuliah dan keluarga. Hari-hari bersama Iwar selalu menjadi episode indah yang penuh kejutan dan cinta.
Bagiku ... kaulah cinta sejati *)
Sampai tragedi itu terjadi... baru empat  bulan pasca pernikahan. Waktu itu musim durian seperti sekarang. Berlatar senja dan gerimis. Aku baru pulang mengantar dari mengantar orderan spanduk anak hukum. Bisnis cetak dan sablon yang kukelola amatiran dapat untung yang lebih dari biasanya. Aku memutuskan membeli durian tiga biji. Kubayangkan Iwar akan tersenyum senang melihatku membawa buah mahal itu. Ya... setidaknya setelah menikah semua jadi barang mewah dan mahal bagi kami. Tak apa menyenangkan istri sekali-sekali. Lagi pula aku sudah kangen ingin makan durian. Durian adalah buah favoritku. Kelelahanku langsung pamit setelah kelebat sayap putih Iwar melambai di khayalku.
“Assalamu’alaikum, War...Iwar...lihat aku bawa apa...nih untukmu” teriakku tak sabar menanti sambutan hangatnya.
“Wa’alaikum salam, kak ... bawa apa..” kulihat Iwar melakukan gerak penajaman penciuman. Durian tak dapat disembunyikan. Baunya pasti akan menyapa lebih dulu.
“kak Aman bawa ..du..rian..??” tanyanya. Kulihat senyum bulannya yang selalu terbit tiba-tiba enggan hadir. Mukanya memucat.
“Ada apa, War ?? kamu sakit ?? kita ke dokter ??” Aku cemas sekali. Tak pernah terlintas bagaimana jadinya kalau bidadariku terkulai lemas tak bertenaga.
Iwar menggeleng. Gugup ia menjawab “ah, tidak, Iwar tidak sakit. Kecapekan saja barangkali”
“Ya sudah, kamu istirahat. Tapi sekarang kita makan durian dulu, ya ?” sahutku lega.
“Maaf, kak, Iwar ke kamar dulu. Ada yang mau dikerjakan” pamitnya buru-buru.
“War! Tolong duriannya di bukakan ya...!! Aku mau mandi!” Aku bergegas mengambil handuk. Rasanya segar sekali. Iwar menyiapkan air hangat untukku mandi. Aku jadi merasa tersanjung. Keluar dari kamar mandi aku tak mendapati Iwar di dapur. Padahal aku sudah tak sabar ingin mencomot durian dan melumatnya. Durianku masih utuh.
“War! Iwar!” agak kesal aku mencarinya.
Di kamar tidak ada, di ruang belajarnya juga tidak ada. Penasaran aku lari kedepan. Kulihat Iwar duduk di kursi pelataran kami. “kamu ngapain disini?” selidikku.
“Maaf, kak. Tadi Iwar agak pusing. Mau nyari angin segar.” Jawaban Iwar bagai tamparan keras di pipiku. Entah setan apa yang membisikku. Bagiku Iwar menjawab “Maaf, kak Iwar sudah bosan di rumah terus. Iwar ingin beraktivitas di luar.”
“Durian, kenapa belum dibuka juga?” kucoba menyimpan kekesalan. ”
“Maaf, kak, Iwar tidak bisa membukakan duriannya.” Agak takut ia menjawab.
“Nanti kuajari. Ayo, kita ke dapur. Kamu harus bisa, durian buah kesukaanku. Ayo !”
“Tapi ... Iwar tidak suka durian..” kalimat itu seperti bantahan bagiku.
“kalau kamu tidak terlalu suka, tak apa mencicipi saja. Asyik dong, aku bisa puas makan duriannya” godaku.
“Tapi Iwar benar-benar tidak suka ...”  ucapnya lagi.
“ Ya, sudah, kamu tidak usah ikut makan. Kamu membukakannya, lalu menemani aku makan durian di dapur. ” Aku nyaris kehilangan makna sabar.
“Iwar tidak bisa..., maaf...” matanya berkaca-kaca. Mungkin ia sudah menangkap kemarahanku.
“Mau kamu apa sih ?! sudah berani membantah ? Aku sudah capek-capek kerja, kupikir kamu senang kubelikan durian. Oke! Kamu mungkin sudah bosan makan durian! Di rumahmu tiga biji durian ini tidak ada harganya kan ! Tapi tolong hargai aku. Suamimu ini baru baru kali ini bisa membelikanmu sesuatu. Maaf, War aku baru bisa membelikanmu durian bukan permata. Maaf!” Teriakku lantang.
“Iwar tidak bermaksud seperti itu, kak...” Ia menangis. Sesungguhnya aku gugup juga melihat butiran kristal meleleh di pipinya. Aku ingin merengkuhnya. Tapi egoku sedang berdiri pongah.” Sejak kecil... Iwar tidak suka makan durian..., Iwar...”
“Sejak kecil, sejak kecil! Itu masa lalu! Sekarang kamu hidup denganku. Aku suka durian, kamu istriku, seharusnya kamu juga suka durian. Banyak hal bisa diubah!” potongku.
“Iwar tidak tahan mencium baunya...” ucapnya sesegukan.
“O, ya??? Jadi seumur hidup aku tidak boleh lagi makan durian karena kamu tidak tahan mencium baunya?!” Aku melotot seperti kucing jantan siap menerkam kucing jantan lainnya saat berebut ikan. Iwar menunduk. Kulihat ia berulang kali menyeka air matanya. Pasti esok mata indahnya jadi sembab dan tak bagus. Peduli adul !  aku lagi marah. Marah pada Iwar. Aku memohon ampun pada-Nya karena saat ini aku merasa menyesal telah menikah dan memilih hidup bersama Iwar. Bidadariku ternyata memiliki cela. Ia memiliki sifat pembenci. Celakanya ia membenci sesuatu yang paling aku suka. Durianku, cintaku. Seumur hidup belum pernah ada yang berani melarangku makan durian. Selamanya akan tetap begitu.
Tak ada yang bisa mengubahnya, termasuk Iwar. Iwar yang baru hitungan bulan mendampingiku. Hidup durian! Kulihat para durian bertepuk tangan menyambut pidatoku. Apakah ini pertanda aku dan Iwar tidak cocok ? Apa aku harus berpisah saja dengannya ? Aku bergidik ngeri sambil buru-buru mendelete pikiran buruk itu. Iblis, pasti iblis sedang terkikik kegirangan. Aku tidak sadar sedang melakukan hal yang kontras dengan apa yang baru saja kuucapkan. Aku tak ingin Iwar mengubah kesenanganku, tapi aku justru memaksa Iwar mengikuti kesenanganku.
Iwar melesat ke dapur. Aku umpama suara guntur yang menguntit di belakang kilat. Iwar lah kilatnya. Ia mengambil pisau tajam di rak piring. Aku kaget. Kutepis prasangka buruk sambil menghimpun kekuatan. Iwar dengan tangkas membelah sebiji durian, mencomot isinya dan memasukkannya ke mulut. Aku ternganga. Tiba-tiba Iwar berlari lagi. Langkah seribunya hampir menabrakku. Ia ke kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Aku menggedor-gedor pintu. Kudengar suara orang muntah dari dalam kamar mandi. Iwar muntah-muntah! Aku panik, seperti Jerry tokoh tikus dalam kartun favorit indah yang sedang mencari jalan keluar dari kejaran Tom si kucing. Tapi aku tak secerdik dan selincah Jerry. Aku mematung sekian menit sampai pintu kamar mandi terbuka. Iwar kuyu. Ia pasti sudah mengeluarkan seluruh isi perutnya. Pasti menyakitkan. Aku merasa bersalah. Tak ada sepotong kata pun yang keluar dari mulutnya. Iwar ke kamar. Lagi-lagi aku mengekor. Untuk ke sekian kalinya aku terperangah, Iwar mengganti dasternya dengan gamis coklat dan memadukannya dengan kerudung putih tulang.
“Mau kemana War?” tanyaku lebih mirip memelas.
Dia tetap bisu. Di depan pintu ia mengambil tangan kananku dan menciumnya.
“Selamat makan durian, kak. Maaf, Iwar pergi dulu.” Aku tak dapat mencegahnya. Mukaku tak cukup tebal untuk sekedar menanyakan ke mana tujuannya. Aku yakin , Iwar masih bidadari yang manis. Supra fit merah melaju bersama pemiliknya, meninggalkan aku dengan sejuta rasa bersalah.
Setelah isya aku mendapat telpon dari Iwar. Aku lega. Setidaknya kini aku tahu posisi Iwar.” Kak, Iwar menginap di rumah Mama dulu, ya? Kebetulan Abah dan Indah lagi ke Jakarta. Iwar menemani Mama. Kak Aman jaga rumah kita saja. Makan malam sudah ada di meja makan. Besok pagi-pagi sekali ada yang ngantar nasi kuning buat sarapan.” Itulah Iwar. Ia tak seperti perempuan pada umumnya. Kalau ngambek sama suami ngadu ke orang tua. Iwar malah pulang ke mertua. Tidak mengadu. Tapi sekedar menyunyikan diri dan menyepikan kerumitan yang baru saja terjadi. Aku menarik nafas lega.
Malam seperti penjara tanpa Iwar. Ke pelataran, sepi. Ke dapur, sunyi. Ke kamar, nyeri. Aku tak berselera lagi makan durian. Durian tragedi, siapa yang mau makan? Aku keluar bersepeda menyusuri jalan bercahaya setelah memberikan durian-durian tragedi ke tetangga sebelah. Jalan-jalan berhias petromaks memaksaku mampir.
“Durian, Mas?” Tanya pedagang durian.
“Ya,” aku malas menawar. Aku memakannya sambil lesehan di samping anak penjualnya. Bocah laki-laki kurus tujuh tahunan itu menatapku tak berkedip.
“Mau?” aku tak yakin ia sudah pernah makan durian dagangan ayahnya. Buktinya ia mengangguk dan cepat mencomot durianku.
“Bapak baik sekali. Pasti senang jadi anak Bapak” ucapnya.
“Ah, kamu bisa saja. Saya belum punya anak.” Aku agak tak biasa dipanggil Bapak.
“kalau begitu, pasti istri Bapak bahagia punya suami sebaik Bapak” ralatnya. Istri... bahagia...? aku tersedak. Segera kusudahi pesta durianku dengan bocah kurus itu.
“Mau ke mana, Pak?” tahannya.
“Pulang! Sisanya kamu habiskan saja!” Aku segera mengayuh pedal Phoniex bututku melaju membelah malam yang mulai semakin kelam. Aku ingin tidur dan bermimpi tentang Iwar.

                                                            ***
Sepulang kuliah hari itu aku tak kemana-mana. Tidak ada niat ke rumah Mama. Nanti suasana malah kacau. Di pelataran kudapati sebiji durian besar menggiurkan. Sepucuk surat sengaja diletakkan di bawahnya. Tergesa kubaca,
            Kak, maafkan senmua kesalahan Iwar. Durian ini sebagai tanda perdamaian dari Iwar. Dimakan, ya! Kalau sudah selesai makannya jangan lupa gosok gigi dan tolong jemput Iwar di rumah Mama. Nanti malam kita bicarakan baik-baik soal perbedaan selera kita. Tadi Iwar naik angkot, kunci supra fit Iwar titip di tetangga depan.
            Ah, Iwar tak ada yang perlu di maafkan. Aku lah yang meniup di atas bara. Iwar masih bidadariku. Bidadari putih bersayap dengan lekuk kecil di pipi dan senyum bulan yang selalu terbit. Mengingat  senyum Iwar membuatku mempercepat laju sepedaku. Aku tak takut pada langit yang mulai gerimis lagi. Aku ingin segera sampai di rumah. Membuka lembaran album kenangan saat indah bersama Iwar. Iwar sekarang pasti sedang tersenyum di atas sana.  Besok Mama nengadakan acara haulan. Setahun kepergian Iwar. Angkot yang ia naiki dikemudikan sopir mabuk. Entah bagaimana kejadian persisnya, yang jelas aku mendapati Iwar sudah tak bernyawa di rumah sakit Islam. Maafkan aku durian... sejak  kepergian Iwar aku  tak tahan mencium bau durian lagi. Selain itu aku juga tak sanggup memakai supra fit atau sepeda motor apapun lagi karena semua itu hanya mengingatkanku pada Iwar menjelang kepergiannya. Iwar dengan supra fit merah adalah gambaran terakhir yang terekam dengan jelas di memoriku. Aku semakin mempercepat laju sepeda. Kepalaku pusing,aku tidak tahan lagi,aku ingin muntah...
            Bila yang tertulis untukku adalah yang terbaik untukmu
            Kan kujadikan kau kenangan yang terindah dalam hidupku
            Namun takkan mudah bagiku meninggalkan jejak hidupmu
            Yang tlah terukir abadi sebagai kenangan yang terindah...*)

*) Lirik lagu kenangan terindah/samsons
Ket Bhs Banjar:
Bungas = cantik
Jujuran = mahar
Kada masam,kada bapira,kada pangar = tidak ada keburukan/cacat
Kuyu = pucat, lesu
Manyupanakan = mempermalukan
Pelataran = teras
Haulan = selamatan tahunan memperingati kematian.














Cerpen ini pernah dimuat di harian Radar Banjarmasin kolom Cakrawala, Februari 2007, terdapat dalam buku antologi cerpen  Nailiya Nikmah JKF "Rindu Rumpun Ilalang" dan antologi cerpen 9 pengarang perempuan Kalsel "Nyanyian Tanpa Nyanyian"






















Kamis, 30 April 2015

Perempuan yang Tertindas

14.44 0 Comments
Pulang sekolah putriku kelas  6 SD berkata bahwa minggu depan dia mendapat giliran kultum dalam pertemuan pekanan kelompoknya. Dia bilang dia sudah punya tema atau topik yang akan disampaikan.
"Tolong jangan diganggu ya, Nisrina mau konsentrasi menulis konsep kultum dulu. Nanti kalau selesai akan Nisrina bacakan ke Mama."
"Okay.." sahutku.
Beberapa lama kemudian dia menemuiku.
"Ma, ini kubacakan tapi ingat jangan dipotong dulu, jangan dikomen dulu saat aku masih membacakan kultumnya yaa"
"Baiklah..." jawabku.
"Janji lho, Ma!"
"Yup. Janji" ucapku yakin.
Putriku mulai membacakan konsep kultumnya.
"Assalamualaikum Wr. Wb.
.... dst (kalimat pembuka pada umumnya)
Hari ini saya akan membawakan kultum yang berjudul "Perempuan yang Tertindas oleh Laki-laki"
Sampai situ aku langsung buka mulut
"What!!! itu judul kultummu?"
Oh, tidak. Baru sampai judul aku sudah melanggar janjiku saudara-saudara. Habisnya judulnya begitu gitu! Terdengar seperti kajian gender yang sering aku baca. Dari mana dia dapat ide seperti itu?
"Kan sudah janji gak dipotong duluuu," putriku cemberut.
Ah...aku belum bisa menahan diri dari tidak menyela... Ini PR lagi buatku. Inilah poin penting tulisanku kali ini. PR seorang ibu: Berusahalah menjadi pendengar yang baik, yang tidak menyela!

Senin, 23 Maret 2015

Pecinta Buku

15.49 0 Comments
Siang itu kami sedang menikmati jamuan makan acara resepsi perkawinan yang cukup mewah di sebuah gedung terbesar di kotaku. Kami bertiga saja, aku, putri sulungku dan putra keduaku. Sambil menyendok sup asparagus, aku menyaksikan tayangan slide prosesi akad nikah yang sudah berlangsung sehari sebelum resepsi. Putriku memandangi slide itu sambil menyuap semangka dan melon sedangkan putraku asyik menikmati siomay.
"Keren sekali prosesi nikahannya ya Ma! Ada videonya seperti ini" kata putriku yang beranjak remaja.
"Tenang, nanti kalau kamu nikah juga akan mama rekamkan, trus ditayangin seperti ini. Nanti kamu serba pink ya?" jawabku sambil menghirup sup.
"Jangan, Ma. Kalau akad nya bagusnya serba putih. Terlihat suci. Nanti resepsinya baru serba pink" Jawab putriku santai.
"Oh, gitu ya?"
"Kamu nanti serba hijau, ya? " Putriku menanyai adiknya.
Yang ditanya diam saja ambil terus melihat sekeliling.
Malamnya perbincangan masih seputar pernikahan. Putriku masih ribut soal pilihan warna tema di hari pernikahan. Aku geli sendiri. Dia baru kelas 6 SD!
"Ngomong-ngomong, semoga calon suamimu nanti, selain soleh, dia juga pecinta buku, Ya!" cetusku.
"Memangnya kenapa, Ma?"
"Yaaah kali aja di antara koleksi bukunya ada buku bagus yang mama belum baca. Kan kita bisa sharing jugaa. Kwkwkwk..."
"Alaaah mama."
"Udah ah, masih jauuuh juga kaleee" elak putriku. "Aku mau sekolah dulu, kerja dulu, bla bla bla" ocehnya.
Dalam hati aku berbisik, jika seseorang itu mencintai buku, ia pasti lebih mencintai istrinya. Bukunya diberi sampul, dijagai, dibaca, drawat, masak istrinya tidak? Pecinta buku tidak akan tega melipat lembaran kertas di buku, apalagi melipat lembaran hati istrinya? Pecinta buku tidak akan tega melihat bukunya robek, masa ia tega merobek hati istrinya? Mungkin aku berlebihan. Ini hanya gumaman seorang ibu yang mencintai bukunya, ups maksudku mencintai putrinya:)

Sabtu, 14 Maret 2015

ALAM DAN FEMININITAS DALAM KUMPULAN PUISI MANTRA RINDU KARYA KALSUM BELGIS

04.58 0 Comments


ALAM DAN FEMININITAS DALAM KUMPULAN PUISI MANTRA RINDU KARYA KALSUM BELGIS


Nailiya Nikmah



ABSTRAK

Gerakan feminis new age berkeyakinan kuat bahwa dominasi terhadap perempuan sudah berjalan lama, sama tuanya dengan dominasi terhadap bumi (alam). Menurut Sukidi (2001:10) relasi bumi-perempuan yang sama-sama menjadi objek eksploitasi ini dapat dilacak misalnya dari berbagai mitos, legenda, pendapat yang menyimbolkan bumi sebagai “ibu” dan “perempuan”. Dalam gerakan tersebut diyakini paradigma sains yang holistik dan ekologis. Gerakan tersebut mengintegrasikan kesadaran spiritualitas feminis dengan kesadaran ekologis. Inilah yang selanjutnya disebut dengan ecofeminism. Menurut Maimunah (2013:233) ecofeminism adalah sebuah ideologi yang membangun teori dan praktik berdasarkan pandangan bahwa terdapat hubungan yang erat antara isu lingkungan dan gender. Opresi terhadap alam diyakini berkaitan dengan opresi terhadap perempuan.
Dari sisi linguistik sering ditemui unsur-unsur yang meng’alam’kan perempuan atau mem’feminin’kan perempuan, misalnya frase “pemerkosaan hutan” atau “penggarapan tanah”. Hal tersebut terdapat pula dalam kumpulan puisi Mantra Rindu karya Kalsum Belgis yang dipilih sebagai sumber data makalah ini. Mantra Rindu adalah kumpulan puisi yang banyak mengungkapkan fenomena kerusakan alam. Buku ini diterbitkan oleh Mingguraya Press, Januari 2012. Kalsum Belgis adalah salah satu dari sedikit penyair perempuan Kalimantan Selatan yang cukup intens dalam berkarya. Pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimana hubungan alam dan femininitas ditampilkan dalam puisi dengan landasan teori ecofeminism.

Kata Kunci: Ecofeminism,  Femininitas, Perempuan dan Alam, Mantra Rindu, Kalsum Belgis




Makalah lengkap ada dalam "Ecology of Language & Literature" Seminar Proceedings. Disampaikan pada One Day National Seminar on Ecology of Language and Literature & Creative Writing Workshop on Green Literature, Banjarmasin 12 March 2015.

ANTOLOGI CERPEN “NYANYIAN KERBAU RAWA” SEBAGAI SALAH SATU BACAAN ANAK

04.56 0 Comments


ANTOLOGI CERPEN “NYANYIAN KERBAU RAWA”
 SEBAGAI SALAH SATU BACAAN ANAK

Nailiya Nikmah

ABSTRAK

Ketersediaan bahan bacaan bagi anak, selain memperhatikan faktor hal yang diminati anak hendaknya juga menyesuaikannya dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan anak. Mei 2013, terbit sebuah buku antologi cerpen anak yang berjudul Nyanyian Kerbau Rawa (NKR) yang dikarang oleh para penulis dari Grup Persahabatan Menulis (GPM) Amuntai. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah buku tersebut dipandang sebagai salah satu sastra anak? Bagaimanakah unsur-unsur pembangun karya sastra pada seluruh cerpen yang terdapat di dalam buku NKR dan relevansinya sebagai salah satu bahan bacaan anak?
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang menggunakan pendekatan struktural. Sumber data yang digunakan adalah cerpen-cerpen dalam buku antologi cerpen anak NKR karya Edwin Yulisar dkk, penerbit Group Persahabatan Menulis (GPM) Amuntai, diterbitkan Mei 2013 dengan jumlah halaman yaitu 144hlm.
Hasil penelitian menunjukkan dalam NKR terdapat cerpen-cerpen yang bertema persahabatan, keluarga, indahnya berbagi, pentingnya menjadi diri sendiri, bakat dan prestasi anak, kebiasaan baik, pentingnya menjaga kesehatan gigi, dan petualangan. Semua tema tersebut pada dasarnya sudah sesuai dengan perkembangan anak. Amanat atau pesan yang terdapat dalam buku antologi cerpen anak NKR di samping pesan-pesan lain, pada umumnya adalah pesan-pesan tentang berbuat baik kepada orang tua seperti cintailah orang tua; hormatilah dan sayangilah orang tua terutama ibu, serta taatilah perintah orang tua. Ditinjau dari sudut pandang sastra anak, buku NKR memiliki potensi sebagai salah satu bahan bacaan anak yang tergolong dalam bacaan realistik dengan beberapa catatan di dalamnya.

Kata Kunci: Nyanyian Kerbau Rawa, Antologi Cerpen Anak, Grup Persahabatan Menulis (GPM) Amuntai


Makalah lengkap terdapat dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Sosial dan Budaya "Pahlawan", ISSN 2338-0853, Volume 03, No.03, Tahun 2014, Penerbit FKIP Universitas Ahmad Yani